5. unreasonable Suggestion

" Dua benang tetap akan teruntai masing-masing hingga takdir yang mempertemukannya di suatu titik. Atau, salah satunya memutuskan untuk berpilin."

Dewa mengedarkan pandangan begitu kakinya menginjak kantin. Ketika mendapati apa yang dicarinya, Dewa melanjutkan langkah untuk mengikuti Leon ke salah satu bangku.

" Lo kemarin kemana?" Leon memulai interogasinya dengan tangan terlipat.

" Ada urusan mendadak." Celetuk Dewa berkonsentrasi pada semangkuk soto yang mengepul. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil sendok di ujung meja.

" Dan gue harus percaya?" tanya Leon dengan nada sarkatis. Dewa mengangguk, membuat Leon mendengus tidak puas.

" De, lo nyembunyiin sesuatu dari gue. Seingat gue lo pernah janji nggak bakal ngulangi itu lagi." Hujam Leon menyipit. Dewa mendongak untuk menatapnya. Sekelebat masa lalu melintas di matanya. Dewa menghela nafas.

" Jangan sekarang. Gue nggak ngerti gimana bilangnya." Ucap Dewa akhirnya. Leon benar. Bagaimanapun juga Leon adalah sahabatnya.

Leon membelalak pada Dewa, " Jadi beneran lo ada rahasia De? Sejak kapan lo pinter berahasia gitu, heh?"

" Ck!" Decak Dewa menendang kursi Leon, menyuruhnya mengecilkan suaranya. " Maaf, gue minta maaf. Tapi gue emang belum bisa ngomong sekarang."

Leon mengurai tangannya dan ganti menumpukannya pada meja, " Gue cuma perlu lo ngomong. Jangan pernah sembunyiin apapun dari gue, inget yang lalu, De!"

Dewa menatap tajam Leon, " Jangan ungkit itu lagi, brengsek!"

" Makanya ngomong!"

" Besok! Gue bilang besok ya besok! Ck!" Dewa melempar pandangan tajam pada Leon sebelum meneruskan santapannya. Leon menatap Dewa sebelum akhirnya menghela nafas panjang. Sepertinya dirinya memang kelewatan.

Leon menatap ke arah Nala yang duduk berdua dengan perempuan kelas satu lainnya. Cepolnya terayun saat gadis itu memakan baksonya dengan antusias. Melihatnya di kantin dan bercakap dengan temannya membuat Leon merasa seakan Nala adalah gadis baik-baik. Sungguh, tidak ada penampilan darinya yang mengkhianati istilah gadis baik-baik. Dia seperti adik kelas yang menyenangkan.

" Permisi, boleh duduk sini? Yang lain penuh."

Leon menoleh ketika Raya menatap mereka cemas. Dewa menoleh sekilas, kemudian mengangguk sebelum meneruskan makannya. Leon tidak mungkin salah mengartikan senyuman bahagia itu. Matanya beralih pada Dewa. Dasar anak itu! Leon ingin sekali menguliti otaknya agar tidak berkabut untuk urusan hati!

**

Mendapatkan laporan tentang nilai Nala bukan perkara yang sulit bagi Dewa. Kepala sekolah sudah membantunya secara rahasia. Yang paling sulit adalah menatap nilai-nilai doremifa berwarna merah itu. Selalu saja berhasil membuat Dewa tersungkur putus asa di atas meja jika mengingatnya.

Belum lagi masalah bolos bersama Reno. Dewa tidak bisa mengabaikannya jika sudah ada Reno disana. Terhitung dua kali ia mengikuti gadis itu hanya untuk memastikan mereka pergi di tempat yang sama. Kemudian Dewa akan kembali ke sekolah seperti kesetanan agar sampai sebelum bel istirahat usai berbunyi.

Dia harus bagaimana? Apa yang harus dilakukannya? Astaga!

Gadis itu seperti tidak terjangkau. Sulit sekali mengenal gadis itu untuk memulai misi yang diberikan kepala sekolah padanya.

Maka ketika ia memastikan yang duduk di bangku tersembunyi perpustakaan itu adalah Nala, Dewa tidak menyia-nyiakannya.

Nala mendengus saat menyadari kedatangan Dewa.

" Kenapa disini? Kursi yang lain masih banyak itu!" Katanya ketus.

" Gue nemuin tempat ini dua tahun lebih awal daripada lo." Balas Dewa santai.

Ia menarik kursi di depan gadis itu dan duduk menghadapnya. Nala memutar bola mata, namun tidak membalasnya. Ia justru meneruskan membaca. Dewa melirik sekilas bacaan anak itu. Novel remaja. Hmm...paling tidak ada bukti bahwa dia memang manusia berusia remaja. Semakin sulit ditebak saja. Nala seakan berada pada zona abu-abu. Dibilang nakal tidak terlalu, dibilang tidak nakal juga salah.

"Nggak kabur lagi?"

Gadis itu menggeleng singkat tanpa mengangkat wajah dari bukunya. Dewa mengamatinya, sesaat langsung tahu kemungkinan alasan anak itu menjadi jinak seperti ini.

" Udah minum obat?"

Nala menghembuskan nafas keras. Ia mendelik pada Dewa.

" Kak, berisik! Sttt!" Ujarnya mengacungkan satu jari di depan mulutnya.

Dewa harus menahan tawa saat ekspresi gadis itu terlihat lucu. Wajahnya yang mungil mengeriut di dalam hoodie yang kebesaran. Dewa melambaikan tangan.

" Oke oke, gue diem." Jawab Dewa dengan satu sudut bibirnya terangkat. Lebih baik dia tidak mengganggu gadis ini daripada nanti dia memutuskan pindah tempat duduk.

Tiga puluh menit kemudian bel masuk berbunyi. Seperti yang sudah diduga, Nala mengacuhkannya. Ia masih asik membaca.

Dewa beranjak keluar bersama yang lain. Namun ia tidak berjalan ke kelasnya. Langkah Dewa menuju UKS dan menulis sesuatu di buku kunjungan, kemudian ke kantin. Sesaat kemudian ia kembali ke perpustakaan.

" Obat." Jelas Dewa pada Pak Genta, penjaga perpustakaan yang sudah mengenal Dewa. Beliau hanya mengangguk ketika melihat isinya. Dewa menuju ke bangku di sudut dan masih menemukan Nala di sana. Dewa menaruh plastik itu di depannya.

" Diminum."

Nala mendongak. " Itu apa?" Tanyanya curiga.

Dewa mengulurkan tangan menyentuh dahi gadis itu sejenak. Panas seperti dugaannya. Nala menepisnya kuat-kuat.

" Apaan sih?" tukas gadis itu tajam.

" Diminum." Ulang Dewa sembari mengedik pada plastik yang berisi botol air mineral, nasi bungkus dan obat.

" Biar bisa kabur lagi." Dewa meliriknya sekilas sebelum berbalik keluar dari perpustakaan. Langkahnya berhenti ketika bertemu dengan seseorang yang tidak pernah disangkanya ada di sana. Rahang Dewa mengeras. Cowok itu langsung mendorong Reno menjauhi perpustakaan.

" Mau ngapain disini?" Desis Dewa tidak suka dengan dugaan yang ada di kepalanya. Reno menepis tangan Dewa dan menatapnya malas.

" Bukan urusan lo. Minggir!" Sergah Reno berusaha menepikan Dewa. Namun cowok itu bergeming.

" Jangan deket-dekat Nala." Desis Dewa tajam. Reno menatap Dewa beberapa saat, kemudian tersenyum miring.

" Suka-suka gue. Minggir lo!"

Namun Dewa tetap menahan kerah baju Reno.

" Gue ingetin seakali lagi, Ren! Lo jangan macem-macem sama Nala. Jangan ajak-ajak orang lain rusak kayak lo!"

BUGH!!

Reno meninju sisi kepala Dewa hingga membuat tubuhnya terlontar. Reno ganti menahan kerah seragam Dewa.

" Lo nggak ngerti apa-apa." Desisnya terluka. Pandangan mereka beradu hingga sebuah tangan mendorong masing-masing mereka dengan kuat.

" Pergi sana lo!" Usir Leon pada Reno yang mendengus dan menghilang di perpustakaan. Untuk sesaat, Leon terpana dengan peristiwa itu. Pasti Pak Genta syok lahir batin.

Leon segera membantu Dewa berdiri. Dewa memalingkan muka, tidak siap dengan tatapan menghakimi Leon. Namun lagi-lagi Leon hanya menghela nafas panjang. Laki-laki itu menggeplak kepala Dewa seperti yang biasa Dewa lakukan.

" Ngapain Reno ke perpus? Udah insyaf dia?" Celetuk Leon dengan tangan bersedekap. Namun matanya segera membulat ketika dilihatnya siapa yang disambangi Reno.

"Sialan! Udah gue bilang anak itu ada hubungannya sam...eh, mau ngapain lo?" Cegah Leon ketika Dewa hendak kembali ke perpustakaan. Wajah Dewa sudah mengeriut mengerikan. Ini anak kenapa sih?

"Awas!" Dewa berusaha menyingkirkan Leon. Seketika, Leon langsung terperangah ketika Dewa masuk dan menarik paksa Reno keluar dari sana. Bisa dilihatnya Nala berdiri karena terkejut.

" Jauh-jauh nggak lo!" Desis Dewa dengan muka yang dekat sekali dengan Reno. Reno yang lebih pendek dari Dewa beberapa senti sama sekali tidak merasa terintimidasi, ia bahkan tersenyum meremehkan.

" Ck! Apa-apaan sih!" Nala ikut keluar dan berusaha memisahkan mereka dengan tubuhnya yang mungil. Leon yang melihat hawa-hawa keributan langsung menengahi.

" Ck! Gila ini anak! Lo nggak mungkin bikin keributan disini, De. Ayo!"

Namun Dewa mengabaikannya. Ia justru menatap marah kepada Nala, " Lo itu punya otak nggak? Ngapain dekat-dekat cowok rusak kayak dia?!"

Pandangan Nala mengeras, namun Reno keburu mengulurkan tangan di antara Dewa dan Nala.

" Jaga omongan lo!" Sergahnya melepaskan diri dari cengkraman Dewa. Reno meraih siku Nala dan menariknya mendekat. Dewa menggeram.

" Sejak kapan lo peduli sama anak buangan? Sana belajar yang rajin biar dapet beasiswa lagi!" Ejek Reno. Api meletup di mata Dewa. Ia maju selangkah.

" Cukup!" lengking Nala menatap Dewa dengan marah, " Berhenti ganggu gue. Lo nggak punya hak ngatur hidup gue! Ayo!"

Senyum kemenangan terlukis di wajah Reno saat cowok bertindik itu menarik Nala menjauh. Leon harus bersusah payah menahan Dewa untuk tidak mengikutinya.

" Udahlah De, sejak kapan lo peduli sama mereka? Lo itu...ck!"

" Lepasin gue! Gue nggak bisa biarin Nala deket-deket Reno!"

" Kenapa? Sejak kapan lo peduli sama Nala, HAH?? Lo suka sama Nala?!" Seru Leon melotot. Dewa berhenti meronta. Ia menatap Leon sengit.

" Kenapa lo nyimpulin hal kayak gitu?"

" Karena lo tiba-tiba peduli sama dia, bego!" Leon melepas pegangannya dan bersedekap. " Udah waktunya lo cerita sama gue. Gue tebak, ini ada hubungannya sama Nala!"

Bibir Dewa membentuk gadis tipis mendengarnya, namun Leon memutuskan untuk tidak menyerah. Ia melotot pada Dewa hingga bola matanya nyaris keluar.

**

" MATI AJA SANA!!" Seru Leon ketika Dewa memberitahunya tentang perjanjian itu.

Dewa merebahkan dirinya di lantai dingin dan menatap langit-langit ruang olahraga. Dewa memutuskan memberitahukan semuanya pada Leon sepulang sekolah. Ia memang tidak bisa menahannya lebih lama dari Leon.

" Perjanjian dengan setan." Celetuk Leon membuat Dewa menoleh padanya. " Jadi, lo udah sampai mana?"

Dewa menghembuskan nafas lelah. Ia pun sudah menceritakan kemana Nala membolos.

" Cuma situ." Ujar Dewa, " Gue bener-bener ketemu jalan buntu, Le. Nggak ngerti harus gimana. Dia terlalu jauh buat diselami, buat dipengaruhi."

Leon mengangguk-angguk memahami kesulitan sahabatnya. " Lo nggak mungkin muncul terus nyuruh dia ikut olimpiade seenak udel. It doesn't make any sense."

Mereka membiarkan keheningan melanda. Dewa merasakan bebannya berkurang. Memang benar berbagi itu mengurangi beban.

" Kalau prestasi dia selama SMP itu fair, dia nggak mungkin sebego itu dalam pelajaran. Dia punya kemampuan. Lo nggak kepikiran kalau dia sengaja ngelakuin itu?" Tanya Leon menyuarakan asumsi Dewa berhari-hari lalu.

" Iya, gue juga mikir gitu. Tapi apa? Apa alasannya sampai bersikap sebodoh itu?" Tanya Dewa tidak habis pikir.

" Sekali lagi, cuma dia yang tahu jawabannya."

Dewa terdiam. Mereka menemukan jalan buntu lagi.

" Apa yang bisa bikin gue wajar tanya hal seperti itu ke dia?" Tanya Dewa lamat-lamat, " Gue harus apa biar bisa dengan leluasa cari tahu tentang dia? Dia sama gue, kita, itu orang asing."

" Perfectly a stranger." Leon mengangkat bahu." Dipacarin."

" Somplak!"

" Gue serius, kunyuk!" Seru Leon tidak terima. Dewa mendengus.

" Jangan mulai lagi."

Leon memutar bola mata, " Astaga! Mau sampai kapan sih penyakit jomblo lo ini? Lo itu pinter! Gue jamin pacaran nggak akan ganggu hidup lo, De! Lo terlalu tangguh buat diganggu sama hubungan macam pacaran!"

Dewa kembali menatap ke langit-langit. " Gue nggak siap bagi perhatian lagi Le. Udah cukup gue mikir adek-adek sama ibu gue. Gue nggak perlu sesuatu yang merepotkan seperti pacaran."

" Mau sampai kapan lo berprinsip kayak gitu? Awas perjaka bangkotan lo!" Sindir Leon. " Lagian pacaran dipikir banget-banget."

" Bagi gue pacaran itu nggak main-main, Le." Dewa bangkit untuk duduk dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Ia menoleh tajam pada Leon, " Dengan pacaran, lo punya tanggungjawab sama pacar lo, apalagi lo laki-laki."

" Gini nih yang bikin ribet. Pacaran, seneng-seneng udah. Bukan istri juga." Sergah Leon. " Lo juga harus ati-ati, De. Gue nggak mau kejadian kayak tadi ada lagi. Lo bisa celaka!"

Dewa terdiam. Tidak menyangka jika dirinya lepas kendali. Jika tidak ada Leon, mungkin dia sudah mematahkan lengan Reno yang dengan mudahnya meraih Nala. Melihat Nala yang dekat dengan Reno sudah pasti menyulut kemarahannya. Bagaimana bisa anak itu mengikuti Reno dengan langkah ringan?

Dewa membuang nafas kasar dan berdiri.

"Mau kemana lo?" Tanya Leon.

" Kerja. Udah telat gue." Jawab Dewa tanpa menoleh.

**

Dewa bekerja di salah satu minimarket yang sedang merajai negara ini. Meskipun hanya bekerja paruh waktu, tapi dari situ paling tidak Dewa bisa mendapatkan tambahan uang saku tanpa merepotkan ibunya.

Pada hari dimana ia mendapat jadwal bekerja, Dewa selalu dipastikan pulang malam. Sesampainya di rumah, laki-laki itu akan mengambil alih apapun pekerjaan ibunya yang sedang mempersiapkan dagangan untuk esok hari.

Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam ketika akhirnya Dewa selesai mempersiapkan dagangan ayam panggang milik ibunya. Selesai mandi, Dewa merebahkan tubuhnya di kasur untuk beristirahat. Saat itu, pintu kamarnya diketuk.

" Bang, udah tidur?" Suara Dilla terdengar.

" Belum. Ada apa?" Tanya Dewa tanpa beranjak dari tempat tidur. Dilla membuka pintu dengan hati-hati, kemudian mengacungkan sebuah buku.

" Butuh bantuan." Ucapnya meringis. Dewa terkekeh pelan dan mendorong dirinya duduk di atas kasur.

" Pelajaran apa? Bab apa?" tanya Dewa saat Dilla ikut naik ke tempat tidurnya.

" Fisika. Ini." Dilla membuka bukunya pada salah satu halaman. " Bingung aku bang. Kok jawabannya absurd ya?"

" Hmmm..." Dewa mengernyit menatap materi yang diadukan Dilla, kemudian memeriksa jawaban adiknya.

" Kamu salah disini, dek. Ruas kanannya belum dikalikan dua." Celetuk Dewa.

" Hah! Masa!!" Sergah Dilla tidak terima. Ia merebut kertas dari tangan kakaknya dan mendengus.

" Isss...Selalu kayak gini! Aku tuh mesti kurang teliti gini, bang! Nyebelin!" Sahut adiknya menggerutu. Dilla turun dari tempat tidur dan duduk di meja belajar Dewa, memperbaiki jawabannya di sana. Dewa terkekeh geli. Ia kembali berbaring, membiarkan Dilla dengan segala gerutuannya.

" Dek?" Panggil Dewa tiba-tiba.

" Hmm?"

" Kamu cewek, kan?"

Dilla melempar pandangan kesal ke arah kakaknya, " Jangan aneh-aneh deh bang! Lagi badmood ini!"

Dewa terkekeh lagi, ia tidak tahu mengapa ia tiba-tiba ingin bertanya pada adiknya. Mungkin saja adiknya tahu.

" Menurut kamu, apa yang bikin cewek melakukan sesuatu dengan sukarela?"

Dilla mengerjap, merasa aneh dengan pertanyaan kakaknya. Namun ia menjawabnya dengan enteng.

" Banyak motifnya. Aku pingin masuk SMA Angkasa, makanya aku belajar. Aku pingin bersih, makanya aku mandi."

" Kalau abang? Apa yang bikin Dilla menurut kalau disuruh abang?" Tanya Dewa. Dilla memang tidak pernah melawan kata-katanya.

Dilla meliriknya sekilas, " Karena Dilla tahu kata-kata abang itu baik. Abang jagain Dilla. Dilla percaya sama abang."

" Walaupun kadang abang bikin Dilla kesel?"

" Sering." Dengus Dilla, " Apalagi kalau disuruh beliin nasi goreng depan gang! Tapi Dilla sayang abang. Abang udah berbuat banyak buat Dilla."

Dilla mengangkat kepalanya memandangi poster Michael Jordan di depannya, " Kadang ya, cewek itu bertindak menuruti hati. Semisal dia udah jatuh cinta sama seseorang, dia bisa nurut sama orang yang dia suka, tanpa syarat. Kadang di luar logika, bang. Jangankan sama pacar, sama gebetan yang belum tentu jadi pacarnya aja nurutnya luar biasa."

Dilla menggelengkan kepalanya lagi. Gadis situ meneruskan pekerjaannya, " Main hati itu mengerikan. Itu ibarat ngajuin ratu cuma buat makan tentara tepat di depan benteng lawan, siap kehilangan salah satu hal paling berharga yaitu hati. Sekali jalan, nggak ada kesempatan mengulang waktu."

Dewa menoleh pada Dilla yang berkata sembari menulis. Konsentrasi adiknya sungguh menakjubkan. Dewa terkekeh.

" Kamu udah besar, ya?"

Dilla mendengus, " Nggak secepet yang aku pingin. Aku masih belum bisa apa-apa."

Dewa memandangi sosok adiknya dengan penuh rasa sayang. Bagaimana bisa ia menyesal untuk memperjuangkan kebaikan demi adiknya?

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top