4. Stalker
" Dia seperti puncak gunung es. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya dia."
Manik mata Leon mengikuti sosok yang sedang men-dribble bola basket bolak balik di ruang olahraga SMA Angkasa. Leon melepas kecupannya pada bibir botol dan mengusir pergi lelehan keringat di keningnya. Matanya menyipit.
Tidak biasanya Dewa memilih menghabiskan waktu di ruang olahraga. Anak itu kan penghuni setia perpustakaan. Namun tadi tiba-tiba anak itu menyeret Leon ke ruang olahraga untuk bertanding basket, bahkan menyerang dengan beringas. Bila melihat Dewa yang seperti ini, dia sedikit menyesal tidak menahannya lebih lama di tim basket.
Leon melirik jam tangannya. Sudah hampir dua jam mereka bermain dan tidak ada tanda-tanda dari Dewa akan berhenti. Anak itu masih serius berlari menggiring bola, melakukan lay up, menembak three point, menembak ke arah belakang, sampai melempar bola basket dari daerah lawan. Leon membiarkan saja Dewa dengan segala kegilaannya. Keringat bercucuran membasahi kaus putih tipisnya, mencetak jelas otot-otot yang selama ini tersembunyi sia-sia. Leon mendengus, bagaimana jika para gadis mengetahuinya, ya? Bisa dibayangkan hidup Dewa tidak akan tenang. Dewa yang menutup diri saja sudah punya banyak penggemar!
Dewa melemparkan bola keras-keras hingga membentur papan persegi pada ring. Bola oranye itu memantul kembali yang disambut Dewa dengan berlari. Tanpa jeda, Dewa memperlaju larinya dan melakukan lay up sempurna sembari menghantamkan bola keras-keras ke ring, membuat bola itu masuk mulus dan memantul keras ke arah tribune.
Dewa menatap arah larinya bola dengan nafas terengah. Ia menjatuhkan diri ke lantai dan memejamkan mata, menikmati sensasi menyenangkan yang jarang dirasakannya.
Entah mengapa, perjanjian antara dia dan kepala sekolah terasa sangat salah, padahal Dewa tahu tidak ada satupun orang yang rugi disitu, bahkan Nala sekalipun. Dan satu lagi, bagaimana dia harus memulai? Menghadapi kekeraskepalaan gadis yang satu itu saja rasanya sangat merepotkan.
Dewa membuka mata saat mendengar langkah kaki yang mendekat. Leon berdiri tepat di sebelah kepalanya, mengulurkan sebotol air mineral padanya. Dewa menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk duduk.
" Trims." Katanya menyahut uluran Leon dan meneguknya banyak-banyak. Leon berjongkok di sampingnya.
" Lo tahu lo bisa cerita apa aja sama gue." Leon menelengkan kepala.
Dewa menutup botolnya, ia melirik Leon, " Ngomong apa sih gue nggak ngerti."
Dewa bangkit menuju salah satu bangku dan memakai seragamnya.
" Lo ngajak tanding basket saat jam kosong itu tanda-tanda kiamat, tahu nggak?" Ejek Leon mengikuti jejak Dewa. " Stop being a shit. Ngomong sama gue lo ada masalah apa!"
" Nggak ada apa-apa. Gue cuma bosen aja."
" Ini lagi! Merinding gue! Lo nggak lagi kenapa-napa kan De? Nggak lihat malaikat maut kan lo ya?" Ucap Leon cemas. Ia memegang dahi Dewa untuk memastikan anak itu tidak demam. Bulu kuduknya benar-benar berdiri ketika mendengar Dewa bosan dengan perpustakaan.
Dewa menepis tangan Leon.
" Ck! Berhenti jadi hombreng!" Tukas Dewa keluar ruang olahraga.
Mata Leon melebar, " Lo ngatain gue hombreng?" Serunya terluka, " LO YANG JOMBLO MENAHUN NGATAIN GUE HOMBRENG? MINTA GUE SUNAT LAGI APA YA?"
Dewa yang mendengar raungan Leon mendengus geli. Ia sengaja berjalan lebih dulu untuk menjaga jarak dari Leon. Anak itu terlalu mengenalnya untuk bisa tahu Dewa sedang ada masalah. Dewa juga tidak paham mengapa ia tidak menceritakan semuanya pada Leon mengingat persahabatan mereka yang tidak sebentar. Namun ada sesuatu yang menahannya. Alam bawah sadar Dewa berkata kasusnya ini bukan untuk diumbar sana sini.
BRUKK!
" Ah, ma-maaf!!" Seru seorang gadis berkuncir dua sembari merapikan lembaran kertas yang berserakan di lantai.
" Nggak papa. Lain kali hati-hati." Dewa ikut berjongkok dan membantu gadis itu. Dari bentuk-bentuknya, Dewa tahu itu hasil ulangan harian yang sudah dinilai. Rahangnya mengeras ketika selembar kertas menarik perhatiannya. Sebuah lembar ulangan atas nama Kanala Radhinnabil. Disamping namanya, terpampang dengan jumawa angka dua puluh berwarna merah. Begitu banyak coretan berwarna merah yang nyaris menenggelamkan tulisan tangan gadis itu. Dewa mendengus. Sebetulnya dia berhadapan dengan makhluk seperti apa?
" Te-terima kasih, kak Dewa!!" Ucap gadis itu ketika Dewa mengulurkan setumpuk kertas padanya. Dewa mengangguk mempersilahkannya pergi. Cowok itu berdiri dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sembari menatap punggung si gadis berkepang itu.
Kelas sepuluh IPA 1.
Sepertinya, langkah awal yang harus dilakukan Dewa adalah mengenal lebih jauh siapa si Kanala ini.
Dewa hendak melanjutkan langkahnya ketika mendengar langkah tergesa dari samping. Dewa menoleh dan mengangkat alis saat dilihatnya Nala berlari dengan kecepatan super sambil menenteng tasnya. Siswa di sepanjang koridor menepi saat anak itu lewat.
Cukup!
Dewa menggaet lengan gadis itu ketika Nala lewat di sampingnya, menghentikan maraton Nala.
" Aww!" Seru Nala saat tangannya mendadak tertahan. Ia menoleh dan terkejut melihat orang yang menahannya.
" Mau kemana? Nggak capek kabur terus? Hm?" Tanya Dewa masih mencengkram siku gadis itu kuat-kuat.
" Ck! Lepasin! Gue buru-buru!" Nala berusaha melepaskan pegangan Dewa, namun Dewa bergeming.
" Jawab gue dulu!"
Nala membuang nafas kasar dan mendelik pada Dewa. Ia mengusir rambut yang menempel di wajahnya yang berkeringat. Cengkraman Dewa seperti capit kepiting. Nala berdecak tidak sabar. Ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi dengan Dewa. Nala menarik tangan yang dicengkram Dewa, membuat Dewa mengarah kepadanya. Pada waktu yang bersamaan, tangan lain dari gadis itu mengepal dan mengarah ke hidung Dewa.
Dalam sepersekian detik, Dewa menangkis dengan telapak tangannya. Namun karena terkejut, pegangan Dewa menjadi longgar. Nala memutar lengannya dan melepaskan diri dari Dewa. Dewa bisa melihat gadis itu mendengus kesal sebelum berlari kencang meninggalkannya.
Dewa tercengang. Dia lupa satu informasi bahwa gadis itu pemegang sabuk hitam Taekwondo.
" SHIT!!"
Dewa menoleh dan mendapati Leon berjalan terburu ke arahnya. Ia menepuk bahu Dewa, matanya membulat.
" Apa?" Sergah Dewa mengusir tangan Leon dari bahunya dan meneruskan berjalan.
" Lo ngapain pakai acara nahan-nahan segala? Setahu gue lo nggak pernah peduli sekalipun Nala kelesotan di tanah juga!"
Namun Dewa hanya mengangkat bahu. Leon terkekeh.
" Dan kayaknya dia bukan gadis biasa. Apa? Karateka kayak lo?"
Dewa menggeleng, " Taekwondoin sabuk item."
Leon terperangah.
" Double shit, man! Selama ini cewek-cewek pada ngimpi ngelus-elus itu hidung. Tapi dia malah milih matahin idung lo. Salut gue sama Kanala!"
Dewa menggeplak belakang kepala Leon. " Berhenti ngomong sampah atau gue rontokin semua gigi lo!" Ucapnya tajam. Pikirannya penuh dengan Nala. Gadis itu tidak pernah berhenti memberinya kejutan.
**
Nala menoleh ke belakang, kalau-kalau Dewa mengikutinya. Kemudian ia nyengir saat mendapati Dewa tidak ada dimanapun. Lagipula, sepertinya Dewa bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain.
Nala menuju bangunan belakang sekolah, tempat berderetnya bangunan tua bekas ruang kelas yang sekarang dijadikan gudang. Tidak ada satupun siswa yang kemari, tentu saja. Bagi Nala itu justru memudahkannya. Ia berjalan bagian tembok dimana terdapat sebuah kursi kayu disana. Dengan lincah, Nala memanjat kursi kayu dan meraih puncak tembok yang langsung diatasinya dengan sekali lompat.
" Hup!" Serunya senang ketika Nala mendarat dengan sempurna di balik tembok. Nala tersenyum lebar. Tidak sulit menemukan titik yang cocok untuk kabur di hari pertama sekolah.
" Wah, lo masih berani?"
Nala menoleh. Matanya memutar dengan malas ketika menyadari siapa yang menyapanya.
Lima remaja dengan penampilan urakan (baju dikeluarkan, tidak mengenakan ikat pinggang, rambut gondrong, beberapa berwarna) sedang merokok sembari bersandar di dinding. Reno, sang ketua geng menjapit rokok dengan jari telunjuk dan jari tengah sebelum mengeluarkannya dan menghembuskan rentetan asap putih melalui mulutnya. Matanya tidak pernah meninggalkan Nala.
Nala tidak menggubrisnya. Ia bertemu mereka setelah beberapa kali percobaan kaburnya berhasil. Mereka hanya mengamati Nala melompat dan menjauh, tidak lebih. Nala mengabaikan mereka yang masih menatap Nala lekat-lekat.
" Lo Kanala, kan? Cewek yang berani sama Raya?" Celetuk Reno menatap punggung gadis itu. Nala mengabaikannya.
Reno menyesap rokoknya sebelum meneruskan.
" Perlu diajar kan si bos satu itu? Gimana menurut lo?"
Kali ini sudut bibir Reno terangkat saat dilihatnya Nala berhenti. Gadis itu memutar badan dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Reno membuang putung rokoknya yang sudah habis dan berdiri. Ia berjalan mendekati Nala dan berhenti tepat di depannya, dalam hati mengagumi keberanian cewek itu berada dekat-dekat dengannya.
" Lo punya nyali, heh?" Reno menyeringai. " Gimana penawaran gue tadi?"
Nala melirik tangan Reno yang hinggap di bahunya, kemudian mengusirnya, " Penawaran yang mana?"
Reno menatapnya sejenak, sebelum menegakkan diri, " Kita kasih Raya pelajaran. Kepalanya perlu dikempesin."
" Dan kenapa gue harus setuju?" Tanya Nala dengan santai.
" Karena lo akan berguna, dan bakalan seneng lihat Raya hancur. Dia terlalu sombong." Jawab Reno.
" Hmm...nggak deh, makasih. Gue nggak minat sama balas dendam." Celetuk Nala akan berbalik. Namun bahunya ditahan Reno. Laki-laki bertindik itu mendengus tanda mengejek.
" Lo cuma anak bau kencur disini, dan lo udah berani kabur. Tinggal tunggu waktu aja lo denger apa yang Raya bilang tentang lo!"
Sekali lagi, Nala mengedikkan bahunya agar tangan Reno pergi. Ia mendongak menatap Reno, " Gue nggak ada waktu ngelakuin hal-hal yang nggak berguna."
Sontak, Reno terbahak disusul dengan keempat temannya yang juga mendengarkan.
" Hal yang nggak berguna? Lo kabur, tolol!" Seru Reno diantara tawanya. " Mau ngapain lo? Clubbing sampai malam? Atau ada bookingan?"
Nala tentu tahu apa yang dimaksud cowok urakan itu, namun ia hanya menarik satu ujung bibirnya. Nala mengeluarkan sweater abu-abu dari dalam tas dan memakainya. Ia memasang tudungnya dan menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku.
" Lo boleh ikut kalo mau." Celetuknya tenang. Tawa Reno langsung berhenti. Ia tampak tertarik dengan perkataan Nala. Matanya berkilat.
" Nggak asik gue lempar lo dari jembatan." Ancamnya meskipun dengan seringaian di wajahnya. Nala hanya mengangkat bahu dan berbalik. Cengirannya semakin lebar ketika didengarnya langkah Reno di belakang.
**
Tidak ada yang keluar dari mulut pemuda itu selama beberapa saat. Dirinya masih membeku akibat perkataan Nala beberapa waktu lalu.
Dewa memutuskan untuk mengikuti Nala yang sudah tidak terlihat, mengabaikan teriakan Leon. Ia melihat Nala berbelok di ujung lorong dan berlari ke arah yang sama. Namun ketika Dewa sampai di bagian sekolah yang terbengkalai, ia tidak menemukan sosok Nala dimanapun.
Dengan nafas terengah, Dewa berjalan menyibak ilalang yang tumbuh setinggi lututnya. Ia yakin sekali gadis itu berlari ke arah sini. Langkahnya berhenti ketika didengarnya suara Reno disusul suara seorang gadis yang menyahut. Segera Dewa menempelkan dirinya di dinding seperti cicak, mendengarkan baik-baik.
Dan hasilnya ia masih tidak percaya.
" Apa yang dipikirkan gadis itu? Astaga!!!" Seru Dewa membelalakkan mata. Dia tidak percaya! Seperti orang kesetanan, Dewa berlari ke arah parkiran dan menghidupkan motornya. Pikirannya hanya satu, ia harus mengetahui kemana mereka pergi. Apapun yang berkaitan dengan Reno, Dewa tidak bisa membayangkannya.
Dewa perlu beberapa menit sampai di ujung jalan setapak yang ia yakini sebagai jalan yang akan Nala tempuh. Jalan setapak itu berujung pada jalan raya. Dewa menggeram ketika tebakkannya benar. Ia sempat melihat siluet salah satu anak buah Reno naik ke dalam bis sebelum akhirnya bis itu melaju.
Dewa membiarkan beberapa kendaraan memisahkan dirinya dengan bis. Dari belakang, Dewa bisa melihat siluet Reno dan yang lain tertawa terbahak-bahak. Tanpa sadar Dewa mengeraskan rahang.
Dewa terlalu berkonsentrasi agar tidak kehilangan bis itu sehingga tidak menyadari dimana dia berada. Tahu-tahu saja Nala dan Reno cs turun saat bis itu berhenti untuk kesekian kali. Dewa menghentikan motornya jauh dari mereka dan baru menilai sekitarnya.
Dia bisa memperkirakan daerah ini jauh dari sekolah. Mereka bahkan sudah keluar dari hiruk pikuk perkotaan. Dewa menyipitkan mata ketika Nala menghilang di salah satu gang yang menuju perumahan padat penduduk di pinggir sungai. Dewa memutuskan memarkir motornya di depan minimarket sebelum mengikuti mereka.
Gang itu sempit dan curam. Di kanan kirinya penuh dengan rumah penduduk yang berjejalan. Dewa seperti penguntit ketika dirinya harus bersembunyi saat rombongan itu belok. Di gang yang sempit dan banyak kelokan seperti ini, Dewa harus ekstra hati-hati agar tidak kehilangan mereka sekaligus membuat dirinya tetap tidak disadari.
Dewa berbelok ke jalan yang sebelumnya Nala ambil, kemudian langsung menarik kembali dirinya di balik tembok tinggi itu. Dewa menyembulkan kepalanya.
Disana, terdapat lapangan luas dengan sungai yang mengalir deras jauh di bawah di salah satu sisinya. Berpuluh anak kecil bersorak begitu Nala datang. Gadis itu tertawa lepas dan menyambut beberapa anak yang menyeretnya. Gadis itu bertingkah begitu santai, sedangkan Reno cs terbengong. Mereka berdiri kaku di tengah kerumunan anak-anak kecil berpakaian lusuh itu. Namun sepertinya anak-anak kecil itu justru tertarik dengan penampilan Reno cs yang tidak biasa. Mereka segera menarik-nariknya, meminta perhatian. Dewa hampir saja mengumpat keras-keras ketika melihat salah satu anak buah Reno akhirnya menggendong salah satu dari mereka.
" Nak, kenapa disini?"
Dewa hampir jantungan. Ia menoleh ke depan dan mendapati bapak-bapak yang memanggul sebongkok rumput.
" Temannya Kanala?" Tanyanya lagi. Dewa mengangguk. Ia dengan cepat menguasai diri.
" Kanala, dia sering kemari?" Tanya Dewa. Bapak-bapak itu menoleh ke arah lapangan sekilas sebelum menjawab.
" Iya, sering sekali. Dia mengajar anak-anak di kampung."
Oke, Dewa mengerutkan dahi.
" Mengajar?"
Bapak itu mengangguk sekali, "Anak-anak disini hampir semuanya tidak bisa bersekolah. Mereka anak jalanan. Pengamen. Kanala dan lainnya, mereka sudah lama menjadi pengajar disini."
Dewa tercengang.
" Sejak Kanala dan yang lain disini, anak-anak sudah tidak pernah mencuri lagi. Yah, paling tidak mereka punya moral walaupun tidak pernah bersekolah. Itu pengharapan paling tinggi buat orang-orang seperti kami."
Bapak itu terkekeh beberapa saat sebelum berlalu. Dewa mengamati punggung renta itu, memikirkan semua yang telah beliau katakan. Kemudian ia kembali menoleh ke arah lapangan. Kali ini tidak hanya Nala dan Reno cs. Ada tiga orang dewasa disana yang kemungkinan besar adalah pengajar. Dewa bisa langsung menyimpulkan karena pakaian mereka terlihat bersih dan rapi diantara yang lain. Mungkin seumuran mahasiswa. Salah satu dari mereka bahkan sudah mempersiapkan papan tulis lipat dan anak-anak itu sedang berlarian untuk duduk bersila dalam sebuah barisan. Reno cs duduk dengan canggung di depan, masih dikelilingi anak-anak yang terlalu kecil untuk serius, sedangkan Nala mengambil posisi di depan.
Entah apa yang dikatakan gadis itu. Terlihat jelas ia bertepuk tangan antusias dengan wajah ceria. Anak-anak mengikutinya, dan mereka bernyanyi mengikuti Nala.
Dewa seperti tidak mengenali Nala yang hanya bisa mendengus dan menampilkan wajah kesal. Disini, anak itu terlihat gembira. Senyum tidak pernah meninggalkan wajahnya. Suaranya yang jernih terkadang didengar Dewa. Gadis itu disana, memainkan tangannya dengan ekspresif untuk diikuti anak-anak yang sama antusiasnya.
Dewa bersedekap dan menyandarkan bahunya di tembok. Matanya menatap gadis itu tanpa berkedip.
Dewa baru saja mengikuti gadis itu membolos. Betapa pintarnya dia!
*TBC*
Dewa itu ganteng, temans. Tapi dia tetep remaja yang sah-sah saja nempel di dinding kayak cicak -.-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top