3. Perjanjian dengan setan

" Terkadang, kita menertawai takdir yang sedang bersiap mempermainkan kita."

" Apa alasan kamu terlambat?"

Kali ini pertanyaan Dewa seperti penghakiman bagi Nala. Gadis itu hanya memalingkan wajahnya meskipun rasa bersalah mendera. Ia bangun kesiangan karena jam bekernya mati.

" Bangun kesiangan." Jawab Nala akhirnya. Mata Dewa laksana pisau yang menusuk sampai ke inti diri Nala, membuatnya menelan ludah. Padahal dia bukan gadis lemah seperti ini. Tapi entah mengapa ketenangan Dewa justru membuat jiwa pemberontak Nala mereda. Harusnya Dewa bertanya padanya dengan nada yang lebih sarkatis sehingga Nala bisa menghadapinya dengan mudah. Tapi tidak! Nada rendah pada suara Dewa justru membuat rasa bersalah itu menguat. Sialan!

" Kamu tahu kesalahan kamu." Ucap Dewa masih dengan nada sedingin es. Nala mengangguk. Ia memang salah dan ia mengakui itu.

Dewa menatap adik kelasnya itu. Adik kelas yang berani menentang ketua OSIS paling menyeramkan sepanjang sejarah SMA Angkasa. Ternyata gadis itu berani mengakui kesalahannya. Dewa beranjak.

" Ikut!" Perintah Dewa singkat. Dewa membawa Nala menuju ruang OSIS. Nala mengerjap.

" Bersihkan. Harus rapi dalam waktu setengah jam." Dewa menjatuhkan vonisnya.

Nala mengerutkan dahi, " Nggak ngerjain soal lagi?"

Dewa menatap Nala, " Ngerjain soal terlalu mudah buat kamu. Saya pilihkan hukuman lain yang juga berguna."

Sialan! Senior itu menggunakan kata-katanya sebagai senjata! Nala menyapukan pandangannya di ruang OSIS. Menatap tumpukan kertas, kardus dan meja kursi yang berantakan.

" Ini...gudang?" tanya Nala polos saking berantakannya ruangan OSIS. Untuk pertama kalinya sejak bertemu Nala, Dewa sependapat dengannya.

**

" BOLOS!"

Sentak Raya melemparkan kedua tangannya di udara. Kemudian menunjuk Dewa.

" Lihat apa hasilnya prinsip lo, De! Bukannya jera, anak itu malah bolos! Bolos!!" Seru Raya nyaring.

Ia tidak percaya ada junior yang sebegitu berani membolos saat MOS. Sejak dia menjabat sebagai ketua OSIS, tidak pernah ada yang berani menentangnya. Seluruh kedisiplinan yang ia terapkan selalu dipatuhi oleh seluruh siswa di SMA Angkasa, bahkan hingga cara berpakaian. Tidak ada yang mampu melawan kekuasaannya sebagai ketua OSIS. Tidak ada yang berani mengulangi kesalahan yang sama jika Raya sendiri sudah menegur mereka. Kemampun Raya untuk memberi hukuman baik dengan tindakan maupun lisan sangat terkenal. Bahkan, tidak pernah ada yang berani beradu mulut dengan ketua OSIS yang terkenal dengan lidah tajamnya itu. Ini adalah pertama kalinya ia tidak mampu membuat seseorang jera!

Dewa berdiri sembari bersedekap. Tidak pernah mengira bahwa Nala akan berani membolos di hari terakhir MOS. Anak itu punya nyali, ternyata.

" Udah sih Ray, kalau kasusnya udah bolos yang turun tangan itu BP, bukan kita lagi." Celetuk Fajri menenangkan Raya yang sepertinya hobi sekali menyalahkan Dewa.

Raya tersenyum sinis, " Oh iya dong, udah jelas anak seperti apa si Nala itu. Dan Dewa menghadapinya dengan lemah lembut! Kenapa De, kamu suka sama Nala? Karena dia cantik apa gimana?"

Dewa menatap Raya tajam. Dia paling tidak suka dipojokkan dengan topik itu.

" Dia berani bolos dan lo masih merasa bisa bikin dia jera dengan cara main fisik?" Tanya Dewa. Namun Raya hanya mendengus. Perasaan Raya sudah mengambil alih. Dia mulai memikirkan alasan lain mengapa Dewa begitu menolak caranya menghukum si pemberontak itu. Raya tidak terima.

" Kan? Lo belain dia, De? Kenapa sih? Oke gue paham dia cantik, dia punya nyali karena ngelawan gue! Tapi dia itu punya jiwa berandal! Preman!"

Dewa mengunci tatapan Raya beberapa saat, kemudian berjalan ke pintu.

" Mau kemana lo? Gue belum selesai!" Seru Raya. Dewa berbalik.

" Mending lo minum es dulu sana, habis itu ngomong lagi sama gue." Celetuk Dewa sebelum meneruskan jalannya.

" ASTAGA ANAK ITU YA?? MAUNYA APA SIH!!" Teriak Raya menumpahkan kekesalannya. Sedangkan yang lain terkekeh.

**

Dua bulan kemudian, jelas sudah bagaimana seorang Kanala Radhinnabil menjadi buah bibir di civitas SMA Angkasa.

Bagaimana tidak? Setelah dipanggil BP karena bolos pada hari terakhir MOS, seminggu kemudian anak itu dipanggil oleh BP lagi karena hal yang sama. Bukan itu saja, dengan segera Nala dikenal sebagai siswa yang doyan terlambat, sering bolos dan hobi tertidur di kelas. Dia adalah simbol kemalasan, meskipun dia tidak pernah berulah dan mengganggu siswa lain. Jelas saja dia akan kesulitan mendapat teman.

Dewa beberapa kali bertemu Nala secara tidak sengaja. Gadis itu hanya menganggukkan kepala sebentar sebelum menatap ke depan sembari meniup permen karet dengan santai. Sedangkan Dewa tidak mau repot-repot menanggapinya. Baginya, masalahnya dengan Nala selesai begitu MOS selesai.

Leon menyenggol bahu Dewa ketika tanpa sengaja mereka berpapasan dengan Nala untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, gadis itu memberikan tanda bahwa ia mengenal Dewa. Hanya satu detik jarum jam, setelahnya gadis itu melangkah santai dengan satu tangan pada tali ranselnya. Rambut panjangnya ia cepol tinggi-tinggi di atas kepala sehingga memamerkan lehernya yang mulus dan jenjang. Mengherankan bagaimana sikap arogan gadis itu mampu menutupi kenyataan bahwa ia berpenampilan sesuai aturan. Seragamnya, asesorisnya, kaus kaki bahkan sepatu sesuai dengan peraturan sekolah. Namun keseluruhan gadis itu terasa sangat salah.

" Apaan sih?" Seru Dewa risih karena Leon menyenggol bahunya kelewat keras. Namun yang ditanya masih melongo demi mengikuti langkah Nala yang semakin menjauh.

Dengusan Dewa menyadarkan Leon.

" Jadi itu yang namanya Kanala? Cewek yang berani sama Raya saat MOS?" Tanya Leon. Dewa mengangguk malas.

" Cantik De! Nggak nyangka gue cantik-cantik gitu jiwanya pemberontak, eh! Mesti seru!" Seru Leon berbinar, sementara Dewa di sebelahnya tidak menanggapi komentar tidak penting Leon.

" Gila, man! Tingkahnya antimainstream, gila gila!" Celetuk Leon saat mengamati cara berjalan gadis itu yang semakin jauh.

Dewa hanya mengangkat bahu, tidak mau terusik dengan kenyataan itu. Leon berdecak.

" Menurut lo Kanala orangnya kayak apa sih, De? Sumpah penasaran gue! Cewek itu berhasil bikin Raya mirip kereta api uap selama seminggu, tau nggak?" Kekeh Leon.

" A troubled girl." Jawab Dewa singkat. Leon menoleh pada Dewa.

" Nggak kecantol De? Cantik lho. Asli itu gue jamin. Kulitnya mulus, idungnya mancung, bibirnya pingin gue-duuhhh!"

Dewa menggeplak belakang kepala Leon keras-keras, berharap otak sahabatnya ini bisa mengarah kepada kebenaran meski hanya satu derajat. Leon mengumpat sembari memegang belakang kepalanya.

**

" La...Nala!"

Sebuah sikutan dan bisik-bisik membangunkan Nala. Nala mengerjapkan bulu mata lentiknya dan mengangkat kepalanya yang terasa berat. Ketika fokusnya kembali, dilihatnya sang guru –Nala lupa namanya- sedang berkacak pinggang dengan wajah yang kecut.

" Sudah bangun, Kanala?" Tanya sang guru dengan nada sarkatis.

" Sudah bu, terima kasih sudah memberi saya waktu untuk beristirahat." Ucap Nala tulus. Sontak, seluruh isi kelas terbahak. Namun sang guru wanita berusia tiga puluhan tahun itu memadamkannya dalam sekali lirikan.

" Maju. Mari lihat istirahat kamu itu berguna atau tidak! Kerjakan soal di papan tulis!" Perintah sang guru menunjuk papan tulis. Nala mengikuti telunjuk gurunya, kemudian mengangkat alis.

" Eh, kapan ganti kimia?" Tanyanya polos. Kali ini, beberapa anak mati-matian menahan tawanya. Mereka sudah cukup mengenal tabiat seorang Kanala Radhinnabil, meski cantik, tingkah cewek satu ini perlu diwaspadai. Sementara Lila yang menjadi teman sebangkunya menepuk jidat keras-keras. Demi apa dia dapat teman sebangku macam Nala?!

Tampak sekali sang guru sudah kehabisan kesabaran. " DIAM! KANALA, NANTI IKUT KE RUANG BP!"

Nala memutar bola matanya dengan malas, " Astaga bu, kasihan guru BP-nya bosen lihat saya terus!"

" NALA!" Seru gurunya sadis. Nala mengalah.

" Heran, seneng banget nyuruh saya kesana. Bukan ibu kimia, ibu matematika juga." Keluh Nala tersiksa, " Harusnya ada undang-undang yang mengatur tentang guru yang merampas hak istirahat muridnya, iya nggak, Lil?"

Lila yang terkejut langsung menggeleng ketakutan. Ia tidak mau disangkut pautkan dengan kelakuan laknat teman sebangkunya ini. Namun Nala malah menghembuskan nafas pasrah. Sebagian besar murid sudah cekikikan melihat kekonyolan Nala dan kemarahan sang guru. Sepertinya sang guru kehilangan kemampuan bicara saking marahnya.

Teeett-teeeett-teeeett

Bel tanda istirahat mencairkan suasana kelas Nala. Sang guru pun merapikan tasnya sebelum menatap tajam Nala.

" Saya tunggu kamu di ruang BP!" Ujar sang guru angkuh. Ia berjalan tegap ke luar kelas di atas sepatu hak tingginya. Manik mata Nala mengikutinya.

Nala mengambil permen karet dari sakunya. Begitu sang guru menghilang, Nala menyahut tasnya.

" Eits, lo mau kabur lagi?" Lila menahan tas Nala, " Lo disuruh ke BP, La!"

Nala mengangguk. Ia mengunyah permen karetnya, menatap Lila lekat-lekat.

" Cepetan kesana...La!" Ucapnya serius. Lila melongo saat Nala kabur dari genggamannya secepat angin.

" Eh sableng!" Umpat Lila tersadar. " Yang disuruh elo, bukan GUE, BEGO!!"

**

Guru dengan rambut yang sebagian mulai memutih itu akhirnya memutar kursi untuk menatap Nala. Ia menumpukan tangkupan tangannya di lutut kakinya yang bersilang, mengamati Nala yang menguap tanpa ditutup-tutupi.

" Mengapa orangtua kamu tidak pernah kemari?" Tanyanya akhirnya. Sudah dua kali ia menyurati orangtua Kanala, tapi mereka tidak pernah hadir. Dirinya sebagai guru BP mempunyai kewajiban berbicara dengan orangtua Kanala mengingat kasus luar biasa anak mereka, kan?

" Untuk apa?" Tanya Nala dengan malas.

Guru itu menghembuskan nafas lelah. Jelas sekali Kanala akan menjadi murid yang rajin menemuinya di ruang BP.

" Suratnya tidak pernah kamu sampaikan?" Tanya beliau lagi.

Nala mengangkat bahu menunjukkan ketidakpeduliannya.

" Kanala, bapak masih menggunakan cara halus untuk memanggil orangtua kamu lewat kamu. Jangan paksa bapak menelfon mereka dan menjelaskan kelakuan kamu!"

Nala menatap wajah yang mulai emosi itu dengan datar. " Silahkan jika anda merasa bisa membuat mereka kemari. Saya justru akan merasa takjub jika mereka datang hanya gara-gara kelakuan saya."

Kening sang guru mengerut beberapa saat, sebelum pemahaman menguasainya. Sepertinya, muridnya yang satu ini punya masalah keluarga hingga mempengaruhi kelakuannya. Hal ini cukup sering terjadi.

Pandangannya melembut, " Kanala, kita disini tidak hanya menghukum kamu karena kesalahan. Kita juga membantumu, nak. Kalau kamu bersedia bercerita, tentu saja kami akan mendengarkanmu dengan senang hati."

Nala mengerjap, kemudian mengangkat alis. " Terima kasih." Ucapnya terkekeh. " Tapi saya nggak butuh tempat curhat."

Sang guru masih mencoba bersabar, " Tapi paling tidak, beri perhatian pada nilai kamu. Nilai kamu keterlaluan, Kanala. Saya bisa memberi waktu privat dengan guru yang lain jika kamu bersedia."

Lagi-lagi Nala menggeleng, " Nggak perlu. Mereka saja yang kerajinan. Udah sih pak, tinggal tulis nama saya di buku batik kayak biasa. Saya masih ada urusan habis mengepel koridor ini!"

**

Ketenangan Dewa di perpustakaan terusik oleh Leon yang tiba-tiba duduk di hadapannya. Dewa kesulitan menerima fakta ini. Leon dan perpustakaan? Pemuda itu pasti mabuk milktea!!

Leon memandang sekitar dengan ketidaknyamanan yang kentara, " Astaga! Ini perpus apa kuburan? Kalau ada pocong ngintip pas lo lagi milih buku gimana, De?"

Dewa memilih mengabaikan pernyataan konyol Leon.

" Kenapa?" Tanya Dewa. Leon yang memilih membersihkan toilet seharian dibanding masuk ke perpustakaan kini melangkahkan kakinya ke tempat sakral tersebut. Jelas ada sesuatu yang penting.

" Lo dipanggil kepsek." Kata Leon singkat. Dewa mengerutkan kening.

" Gue? Kenapa?"

" Mana gue ngerti! Tadi papasan di koridor. Beliau tanya gue lo kemana, secara satu sekolah tahu lo belahan jiwa gue, De." Ucap Leon bangga.

" Dan gue berterima kasih banget kalo lo mau keluar sekarang. Gue udah nggak tahan disini. Gatel-gatel gue!" Sambung Leon menggaruk-garuk kepalanya.

Dewa terkekeh, namun menuruti permintaan Leon.

" Ada ponsel, kalau lo perlu tahu." Celetuk Dewa mengembalikan buku yang ia baca ke tempatnya semula.

" Ponsel gue kelindes bola basket, kunyuk!" Sergah Leon terluka. Ia tidak ingin diingatkan peristiwa mengenaskan itu.

Mereka berdua keluar dari perpustakaan dan menuju ruang kepala sekolah. Leon dan Dewa berbelok di ujung koridor, kemudian langsung menepi dengan sigap ketika sesuatu-atau seseorang- berlari dengan kencang ke arah yang berlawanan. Mirip bis-bis telolet itu.

" Kabur lagi?" Kekeh Leon yang menatap punggung langsing gadis itu. Dewa yang mengenali ranselnya pun berpendapat sama.

" Nggak capek apa ya? Menurut lo, berapa lama anak itu bisa bertahan disini? Kelakuannya minta di DO gitu." Celetuk Leon ketika mereka meneruskan perjalanan. " Kabar burung bilang dia udah mulai kenalan sama Reno cs."

Leon sekilas melirik Dewa yang mengedikkan bahu. Dia tidak peduli.

Leon meninggalkannya di depan ruang kepala sekolah. Dewa masuk dan segera disambut oleh sang kepala sekolah, Pak Amir.

" Bapak mencari saya?" Sapa Dewa basa-basi. Pak Amir mengangguk.

" Saya ada tugas buat kamu."

Dewa mengerutkan kening.

" Kamu pasti kenal siswa baru yang bernama Kanala Radhinnabil." Pak Amir membuka permasalahannya. Sementara Dewa menghela nafas. Sampai kapan nama itu akan terus muncul di sekitarnya?

" Kamu tahu pasti kelakuannya ketika MOS dan apa yang sudah diperbuatnya selama menjadi siswa disini."

Dewa mengangguk. Pak Amir menatap murid kebanggannya dengan puas.

" Saya mempunyai tugas untuk kamu. Kamu bujuk Kanala agar mau menjadi wakil sekolah dalam olimpiade matematika tahun ini."

Sebentar. Dewa rasa ia perlu mendengarnya sekali lagi.

" Maaf?" tanya Dewa semakin memperdalam kerutannya. Membujuk? Olimpiade? Maksudnya? Pak Amir terkekeh melihat kebingungan Dewa. Ia membuka lacinya dan mengeluarkan sebuah map merah. Map itu ia sodorkan pada Dewa yang menerimanya.

" Kamu tahu jika sekolah kita sedang terpuruk selama dua tahun terakhir. Tidak ada satupun cabang olimpiade yang dimenangkan sekolah kita, kecuali matematika oleh kamu dan Fathan tahun lalu. Kita tidak boleh membiarkan ini. SMA Angkasa adalah SMA unggulan." Pak Amir mengedik pada map, menyuruh Dewa membukanya.

" Kanala Radhinnabil, pemegang sabuk hitam Taekwondo, juara umum sejak SD, kelakuan baik, wakil provinsi untuk olimpiade matematika tingkat SMP."

Mata Dewa bergulir membaca satu per satu biodata tentang Kanala, persis seperti apa yang dikatakan sang kepala sekolah. Pak Amir menatap Dewa yang masih terus membaca fakta-fakta tentang Kanala dengan ketidakpercayaan semakin besar pada setiap detailnya.

" Dia punya potensi, itu alasan saya mempertahankan dia di SMA Angkasa. Dan kamu, Dewangga, saya menugaskan kamu untuk membujuknya mengembalikan nama baik sekolah kita."

Dewa balas menatap Pak Amir. Ia teringat saat ketika Dewa menghukum Nala mengerjakan soal. Cowok itu menutup map dan mengembalikannya ke meja Pak Amir.

" Mengapa harus dia? Masih banyak siswa potensial lain yang bisa diharapkan. Dia tidak punya kemauan belajar, pak." Kata Dewa apa adanya.

" Saya juga dengar itu. Tertidur di kelas, tidak ada niat sama sekali. Tapi dia potensial. Jika saja dia ada niat, saya bisa membayangkan betapa luar biasanya dia." Pak Amir menatap Dewa dengan berbinar. Dewa menelan ludah.

" Tapi pak, apa justru tidak beresiko menumpukan harapan pada siswa seperti dia?" Tanya Dewa mengeluarkan uneg-unegnya. Bagaimanapun dia sebagai siswa SMA Angkasa ingin yang terbaik untuk sekolahnya. Pak Amir menggeleng.

" Saya yakin dia bisa, tapi dia butuh orang lain dan saya merasa itu kamu." Kata Pak Amir tegas. Ia menatap Dewa lekat-lekat. Dewa menghela nafas. Tidak pernah ia bayangkan kembali berurusan dengan siswa bermasalah seperti itu.

" Saya tahu kamu fokus pada beasiswa DIPA itu, yang bisa saya pastikan jadi milik kamu." Pak Amir bangkit. Ia berjalan menuju laci di belakangnya. " Maka dari itu saya mengajukan penawaran lain."

Pak Amir kembali dengan sebendel kertas di tangannya. Ia menyerahkan pada Dewa. Dewa membacanya sejenak, kemudian matanya melebar.

" Tidak perlu memikirkan beasiswa. Adik perempuanmu, Adilla Anastasya, akan bisa sekolah disini dengan biaya pribadi dari saya selama tiga tahun. Anggap saja itu rasa terima kasih saya untuk kamu yang sudah berjuang mengharumkan sekolah ini. Saya sudah mendengar gaung prestasi Adilla. Dia calon siswa yang pantas di SMA Angkasa, sudah pasti dia bisa melalui ujian masuk dengan mudah." Ucap Pak Amir tulus.

Tangan Dewa gemetar. Matanya masih menyusuri bulir demi bulir kalimat di surat perjanjian itu.

Keluarganya bukanlah keluarga yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah elit dan berprestasi seperti SMA Angkasa. Untuk masuk SMA unggulan ini pun, Dewa harus mati-matian merebut beasiswa setiap tahunnya, entah beasiswa internal, eksternal maupun yang harus melewati perjuangan seperti penelitian dan yang lainnya. Dewa tidak keberatan. Dia punya tujuan untuk masuk sekolah berkualitas seperti ini. Dan Dewa tahu, Dilla juga memimpikan SMA Angkasa.

Jika Dewa menerima penawaran ini, adiknya tidak perlu susah-susah bersaing dengan pengincar beasiswa yang lainnya. Malah, dia tidak perlu pusing memikirkan biaya selama tiga tahun ke depan. Satu beban ibunya akan terangkat.

" Tugasmu hanya satu. Pastikan Nala mau menjadi wakil dalam olimpiade matematika." Tegas Pak Amir. " Dia bisa, kamu hanya harus yakin itu."

Dewa mencengkram erat-erat kertas itu. Suara Pak Amir terdengar samar-samar.

" Saya terima."

Ini demi adiknya, demi keluarganya. Tidak ada yang salah. Lagipula apa yang ia lakukan justru akan menguntungkan banyak pihak. Dewa membubuhkan tanda tangannya dengan tangan gemetar.

Iya kan?

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top