27. Menjatuhkan Pilihan
"When a man cries over a girl, it means he loves her more than anything"
Nala menerima secangkir teh hangat dari Bi Inah yang dipanggil Alex ke rumah saat menemukan Nala menangis di beranda rumahnya. Ia mengamati anak gadisnya yang sudah tenang dan sedang menyeruput teh dalam diam.
" Bulan depan papa balik ke Perancis." Kata Alex mengamati Nala.
Nala mengabaikannya. Ia masih menyeruput teh, berusaha mereguk kehangatan sebanyak yang ia bisa. Kemudian perlahan ia menurunkannya dan menatap Alex datar.
" Aku ikut." Jawab Nala. Alex terkejut atas jawaban Nala, tapi Nala tidak peduli. Dia sudah sedemikian luka, mengapa tidak bunuh diri sekalian?
" Ma Cherie, papa serius." Tanya Alex kembali.
Nala meletakkan cangkirnya yang sudah kosong di meja dan berdiri. " Aku juga serius, pa." Jawabnya sebelum berbalik ke arah tangga dan naik menuju kamarnya.
Alex mengamati punggung anak perempuannya. Selongsong kosong, itulah yang ia lihat darinya saat menemukan Nala menangis keras di depan rumah tadi. Ia bisa menebak apa yang sudah terjadi. Sekarang apa yang ia khawatirkan akhirnya terjadi.
" Sepertinya sudah saatnya Nala tahu. Benar begitu kan maumu, Mon amour Eva?" Bisiknya menatap foto keluarga dimana ada cintanya disitu.
**
Nala turun dari mobil di depan hotel milik papanya. Beberapa waktu lalu, Joey memberitahunya bahwa Alex memintanya untuk bertemu, dan Nala mematuhinya. Ia tidak peduli lagi dengan apapun. Dia hanya akan ikut bagaimana dunia berputar.
Seluruh jajaran pegawai membungkukkan badan ketika tahu seorang Halid melewati mereka. Ia mengikuti Joey ke dalam lift yang akhirnya membawa Nala ke depan pintu berukir megah milik ruang kerja Alex.
" Ada apa?" Tanya Nala datar saat ia duduk tepat di hadapan Alex. Bukannya menjawab, ia menyerahkan sebuah map yang terlihat usang. Namun di ujung map itu tertulis Carissa Eveline Halid. Nala menatap ayahnya sejenak, kemudian mengulurkan tangan untuk meraih isinya yang juga sama usangnya. Saat itu, Alex berdiri.
" Papa ada di luar jika kamu butuh sesuatu." Katanya pelan saat melewati Nala. Nala tidak menggubrisnya. Ia sibuk mengamati tulisan tangan meliuk yang sangat ia kenali itu.
"Dear my beloved twinnie, Arkaan Radhitya Halid dan Kanala Radhinnabil Halid..." Tulisan ibunya menyapa Nala. Mengirimkan gelayar kerinduan di hatinya yang baru saja mati. Nala menahan diri agar kuat membaca kata demi kata.
Dan ketika kalimat demi kalimat melewati matanya, tangannya semakin mencengkram erat-erat tepi kertas itu hingga menekuk. Setiap paragraf seakan tidak henti mengundang air mata. Menyingkap sesuatu yang tidak pernah Nala perkirakan.
" Papa..." Isaknya memejamkan mata rapat-rapat. Nala menunduk dengan tangan mencengkram roknya. Ia segera berlari keluar dan membuka pintu. Papanya disana, duduk di sebuah sofa dan menoleh padanya dari sebuah foto di tangannya. Nala berlari dan memeluknya, menangis hebat.
" Papa...papa...maaf." Isak Nala membenamkan wajahnya di sosok yang nyaris tidak pernah ia kenali itu.
Alex kembali dari keterkejutannya. Rupanya putrinya sudah membacanya sampai habis. Ia membalas pelukan Nala, melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh mungil yang hampir tidak pernah direngkuhnya itu.
" Papa yang seharusnya minta maaf, sayang. Di saat terakhir, mamamu menyangka bahwa Radit akan bertahan. Maka ia menulis surat untuk kalian berdua. Eva berpesan pada papa untuk memberikan surat ini ketika kalian bersedia ikut ke Perancis menemui Julianne dan Fabian." Katanya pelan. Nala menggeleng lagi. Bukan itu, dia tidak peduli lagi.
" Sejak kapan..." Nala tergagap. " Sejak kapan papa didiagnosa Serosis Hati?" Tanya Nala mengatakan itu dengan ketakutan yang amat sangat.
Alex merapatkan pelukannya. " Waktu kalian kelas lima SD. Itu kenapa papa butuh mama kamu di Perancis. Papa ingin jika suatu saat papa meninggal, ada mama kamu di samping papa."
Nala semakin mengeraskan tangisannya saat papa mengulang tulisan mamanya. " Papa egois sampai membuat kalian berdua menderita. Tapi papa tidak bisa jauh dari mama. Sampai kapanpun, Eva adalah wanita yang papa cintai."
Alex melepaskan Nala. Ia duduk di sofa sehingga mata mereka sejajar. Alex menghapus air mata Nala dengan lembut. " Julianne adalah teman terbaik mamamu. Seperti yang kamu tahu, Eva adalah perempuan paling baik yang ada di bumi. Sejak Eva tahu bahwa suami Julianne dibunuh, mamamu meminta papa untuk mengangkat Fabian sebagai anak, papa lakukan. Tapi untuk menikahi Julianne, papa tidak akan pernah bisa meskipun itu permintaan mama. Tidak pernah ada pernikahan. Biarlah semua orang di dunia mengira bahwa Julianne adalah pasangan seorang Alexander Halid, tapi bagi papa, satu-satunya wanita adalah mama kamu, Carissa Eveline. Dari dulu sampai kapanpun, hanya ada mama."
" Papa egois, tidak pernah bisa meluangkan waktu bagi kalian di Indonesia." Kata Alex dengan penyesalan yang nyata. " Papa terlalu sibuk menciptakan sebuah kerajaan dengan dalih agar keluarga kita bahagia sampai suatu saat papa kehilangan mama dan Radit. Setelah itupun, papa masih meninggalkan kamu, anak papa satu-satunya, gadis tercantik papa. Maka sekarang papa akan membawa kamu kesana, ke Perancis. Ke rumah kita."
Nala mengangguk kuat-kuat.
Untuk pertama kalinya setelah kematian Eva, senyuman bahagia terbit di wajah Alexander Halid. Ia menangkupkan tangannya yang besar di pipi cantik putrinya.
" Kita mulai hidup kita bersama disana." Katanya penuh rasa sayang sebelum mengecup kening Nala.
Nala merengkuh papanya kembali dengan segala kerinduannya. Sesuatu mulai menghangat di hatinya yang dingin.
" Kalau begitu kita tunda keberangkatan kita ke Perancis." Kata Alex membuat Nala mendongak.
" Kenapa?"
" Karena papa harus ada waktu kamu dinobatkan sebagai juara umum." Kata Alex tersenyum lebar.
**
" DIEM!!"
" HUWAAAAA!! DAPA MAU LALAAAA!! LALAAAAAAA!!"
" ASTAGA DAFA! BISA DIEM NGGAK SIH MULUTNYA?"
Dewa bergegas masuk ke dalam kamar Dilla. Ia mendapati Dilla sedang menggendong Dafa yang meronta hebat serta menangis keras-keras. Anak itu rewel karena kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dewa meraih Dafa dari gendongan Dilla.
" Kamu juga kenapa masih disini? Besok ujian masuk SMA Angkasa." Kata Dewa pada adiknya.
Dilla menatap bengis pada Dewa, " Dilla nggak akan masuk kesana."
Dewa jengah dengan kekeraskepalaan adiknya yang sudah mengatakan hal itu berkali-kali.
" Berhenti bilang kayak gitu. Pikirkan masa depan kamu, dek!"
" Dilla nggak perlu masa depan yang dibayar dengan nasib orang." Desis Dilla bergetar, " Dilla masih nggak percaya abang sebegitu teganya sama kak Nala. Sejak kapan Dilla punya abang yang brengsek kayak gini? Abang nggak percaya sama Dilla? Dilla lebih dari mampu dapetin beasiswa itu, bang. Kenapa abang musti ngelakuin itu? Kenapa bang, KENAPA??"
Setelah melemparkan pandangan benci pada Dewa, Dilla keluar dan membanting pintu keras-keras. Dewa memejamkan mata untuk menenangkan dirinya.
" Dafa gambar aja ya. Sama Lala kapan-kapan. Mana coba buku gambarnya Dafa?" Dewa meniru cara Nala untuk menenangkan Dafa.
Mendengar kata buku gambar, tangis Dafa mereda. Ia mengajak Dewa keluar dan masuk ke kamar ibunya. Dewa menurunkan Dafa sehingga anak itu mengambil buku gambar dari tas mungilnya dan menarik keluar crayon miliknya.
" Dilla kenapa lagi?" tanya ibunya yang sedang duduk di kasur, menjahit jaket Dewa. Kondisi Rani masih belum stabil. Ibunya masih sering kelelahan.
Dewa duduk bersila di lantai di dekat kaki ibunya, mengawasi Dafa yang sudah sibuk mewarnai.
" Nggak papa bu. Dafa rewel tadi." Kata Dewa memijit kaki ibunya.
Rani berhenti mengayunkan jarum. Ia menatap Dewa yang telaten memijit kakinya, kemudian menghela nafas.
" Dilla masih marah sama kamu?" tanya ibunya kemudian. Ibunya tahu tentang perjanjian itu dari Dilla. Anak perempuannya itu begitu emosional hingga Rani sadar betapa kecewanya dia pada abang yang selama ini ia percayai.
Dewa berhenti sejenak, kemudian meneruskan pijitannya sembari mengangguk. Rani membelai kepala Dewa.
" Pantas saja adikmu marah, nak." Tanya Rani pelan.
" Sebut saja ini cara Dewa memastikan masa depan Dilla, bu. Buat Dewa, nggak ada yang lebih penting daripada ibu, Dilla dan Dafa." Jawab Dewa tanpa mendongak.
" Gimana dengan kamu?"
Dewa menggeleng, " Dewa nggak papa bu."
" Sampai bikin semua ayam gosong kamu bilang baik-baik aja?" Tanya Rani lembut. " Kenapa nggak ngejar Nala? Perbaiki semuanya. Nggak usah mengkhawatirkan ibu, De. Kejar keinginan kamu."
Dewa terdiam cukup lama, kemudian menatap ibunya dengan seulas senyum.
" Dewa nggak papa. Ibu nggak perlu khawatir." Katanya sembari bangkit, " Dewa ambil jahe hangat dulu buat ibu di dapur."
Dewa keluar menuju dapur dalam diam. Dia hanya melarikan diri dari kata-kata Rani. Dia tidak kuat lagi. Sesampainya di sana, ia menanggalkan seluruh topengnya. Ia menarik rambutnya kuat-kuat sembari menunduk dalam.
" Brengsek." Bisiknya pada dirinya sendiri. " Lo cowok paling brengsek di dunia, De."
Jika kemarin Nala berusaha agar berani menghadapinya, lain halnya dengan Dewa. Ia menahan diri untuk merengkuh tubuh mungil yang setengah mati dirindukannya , berkata padanya bahwa apa yang dia katakan tidak benar.
Melihat bagaimana kacaunya Nala seperti dirinya cukup menjadi bukti bahwa ia telah menyiksa gadis itu. Dewa ingin memeluknya, memberikannya kedamaian seperti yang selama ini ia lakukan. Hanya saja, pada akhirnya dia menahan diri.
Karena demi apapun di dunia, ibunya adalah hal paling penting bagi Dewa. Melihat bagaimana egoisnya dia pada Nala, bagaimana gadis itu selalu berhasil mengacaukan nalarnya, Dewa takut jika dirinya akan melakukan apapun demi memiliki Nala, apapun, termasuk mengesampingkan ibunya.
Alex benar. Dia tidak punya kapasitas membagi fokus. Dia cuma remaja akhir sembilan belas tahun yang merasa sombong dengan mengambil terlalu banyak hal untuk dirinya.
Tapi tentu, melepas Nala sama saja dengan mencabut jantungnya sendiri.
Sekarang saja untuk pertama kali dalam hidupnya, Dewa merasa ingin mati. Menghentikan semua rasa yang menyiksanya begitu dasyat. Dewa mencengkram tepi konter demi meredam luka di dadanya yang berdarah sejak kemarin. Dia tidak akan pernah bisa merasa sama lagi. Dia tidak akan pernah bisa baik-baik saja.
" Maaf La. Maaf." Dewa, menunduk dalam-dalam dengan tangan yang lain menutupi matanya. Bibirnya bergetar. " Maafin gue, La. Maaf, Ya Tuhan, maaf."
" Bang..."
Sebuah tangan mungil melingkar di perut Dewa dari belakang. Dewa terkejut saat menyadari bahwa Dilla terisak di belakangnya.
" Maafin Dilla." Kata Dilla dengan suara bergetar. " Harusnya Dilla tahu ini pilihan yang berat buat abang. Maafin Dilla karena udah bilang abang brengsek. Abang Dilla nggak jahat. Abang Dilla baik."
Dewa terdiam. Ia hanya mencengkram tepi konter lebih erat.
" Abang cinta Kak Nala, kan?" Tanya Dilla kemudian membuat setitik air mata Dewa jatuh.
" Dilla akan masuk Angkasa. Dilla akan menjadi orang yang berguna. Dilla nggak akan pernah jadi beban lagi buat abang." Kata Dilla mengeratkan pelukannya.
" Kamu bukan beban, dek." Bisik Dewa serak. Namun ia bisa merasakan Dilla menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
" Dilla nggak akan bikin abang menderita lagi. Dilla nggak akan bikin abang menyiksa diri lagi. Suatu saat..." Dilla menelan ludah. " Suatu saat pasti ketemu kak Nala lagi. Kalau memang kak Nala punya abang, suatu saat pasti ketemu lagi, bang."
Mendengar itu, Dewa menghela nafas dalam-dalam. Kemudian, ia berbalik untuk membelai lembut puncak kepala Dilla yang masih tenggelam di dadanya.
Ucapan Dilla menyadarkannya. Dewa masih punya adik dan ibunya sebagai orang yang membutuhkan keberadaannya, membutuhkan kekuatannya. Dewa harus mengingat mereka jika sewaktu-waktu pikiran gila melintas di otaknya.
" Makasih ya." Katanya bersyukur membalas pelukan Dilla. Dilla mengangguk pelan di pundak Dewa, menangis. Dewa pun memejamkan mata.
" Lihat La. Malam ini semuanya menangis karena aku lepasin kamu."
*END*
Footnote :
Ma Cherie : My sweetheart
Mon Amour : My love
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top