26. Lies
"Stop, just stop you heartbeat! Can't you see my chest was already broken?"
Zio menepuk pundak Nala, membuat gadis itu menoleh.
" Gue bangga sama lo." Ucapnya. " Makasih udah mau kasih performa terbaik lo hari ini."
Nala mengangguk singkat dan kembali menatap ke luar jendela mobil.
Zio menatap punggung gadis itu sesaat sebelum menghela nafas pelan. Jujur saja, ia ketakutan saat tiba-tiba Nala datang ke bimbingan dalam keadaan yang sama sekali kacau. Gadis itu lebih banyak terdiam. Berkali-kali kehilangan fokus. Ia sangat takut Nala tidak bisa memberikan penampilan terbaiknya saat seleksi nasional hari ini.
Tapi ternyata ketakutannya tidak beralasan. Gadis itu menunjukkan profesionalitasnya. Ia datang dengan penampilan yang rapi dan pembawaan yang tenang, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Ia juga mampu bekerja sama dengan baik sehingga Zio optimis mereka bisa mendapatkan hasil yang baik.
Nala memandangi pepohonan yang terbang di luar sana. Seleksi nasional merampas lima hari berharganya untuk bertemu Dewa karena kali ini mereka harus terbang ke pulau sebelah dan melakukan persiapan disana. Namun dia sudah belajar untuk memisahkan setiap masalahnya. Tidak adil jika dia mengacaukan harapan semua orang hanya karena masalah yang lain meskipun rasanya berat untuk bisa bertahan dari himpitan yang sesak ini. Seperti dirinya dipaksa mengangkat gunung. Tak terelakkan, tak terbayangkan bebannya.
Leon dan Reno, juga anak buah Reno, mereka seakan ikut tertelan bumi. Nala tidak mendapati kehadiran satu pun dari mereka di sekolah. Nala mengerjapkan matanya ketika lagi-lagi rasa sesal akan lima hari itu datang. Dia tidak bisa menampik ketakutannya jika ternyata dalam lima hari itu, Dewa datang ke sekolah.
Nala berterima kasih pada semuanya saat mereka menurunkan Nala di depan gerbang masuk perumahan tempatnya tinggal. Nala melangkah ke rumahnya dengan perasaan kosong, seperti yang akhir-akhir ini ia rasakan.
Hingga sesuatu yang ia dapat di depan gerbang rumahnya membuat langkahnya terhenti.
Nala tergugu sejenak, kemudian meneruskan langkah. Paling tidak, apapun masalah mereka harus diselesaikan di dalam gerbang, bukan di tempat terbuka seperti ini. Maka ia berjalan melewati Dewa yang bergeming dan membuka gerbang.
Ia bisa mendengar Dewa mengikutinya di belakang. Nala sampai di beranda rumahnya. Ia hendak membuka kunci pintu rumah saat Dewa berbicara.
" Disini aja."
Nala memejamkan mata saat mendengar kembali suara yang ia rindukan selama dua bulan ini. Ia menurunkan tangannya, kemudian berbalik untuk menghadapi sosok jangkung di depannya. Nala menunduk menatap celana laki-laki itu. Bungkam.
Seharusnya ia langsung memeluknya, atau paling tidak, terharu karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan Dewa setelah selama ini usahanya sia-sia. Dia masih tetap mencari Dewa setelah ceramah Raya beberapa minggu lalu. Dia masih tidak mau percaya. Dia tidak ingin percaya. Dia ingin mendengar penjelasan itu dari Dewa sendiri.
Tapi seperti semua orang ketika mendapatkan kejutan, waktu akan melunturkan keterkejutan, digantikan oleh diri yang perlahan menyusun pertahanan demi mendengar kabar buruk. Persis seperti itulah yang dirasakan Nala.
Saat ini, sebagian dirinya sudah menerima jika apa yang dikatakan Raya adalah benar. Ia merasa tidak punya hak untuk menangis karena ia merasa tidak punya hak lagi untuk merasa rindu. Malahan, ada kemungkinan ia tidak punya hak itu dari awal.
" Jadi kamu udah tahu tentang perjanjian itu?" Dewa memulai bagaikan melempar godam kuat-kuat ke dada Nala. Bahkan jika semuanya adalah benar, Dewa masih bersikap sopan padanya.
Nala mengangguk.
" Baguslah. Jadi aku nggak perlu ngejelasin apa-apa lagi sama kamu."
Nada yang seakan tidak peduli itu akhirnya membuat Nala mengangkat kepalanya untuk menatap Dewa. Wajahnya terlihat tirus. Kantung mata terbentuk samar di bawah matanya. Dewa terlihat berantakan. Tapi ia tidak yakin jika itu karena dirinya. Itu pasti karena tekanan menjadi mahasiswa baru.
Nala menatap mata Dewa. Disana, hanya ada sorot pandang dingin. Tidak ada sorot lembut ataupun hangat seperti yang selama ini ia kira ada disana.
" Itu bener?" Akhirnya Nala bisa mengeluarkan suara meskipun hanya berbisik. Tangannya terkepal. Ia setengah mati menahan diri agar kuat menatap wajah Dewa.
Dewa mengangkat alis.
" Kamu udah baca perjanjiannya."
Nala menggeleng. " Aku tanya, itu bener kalau semua sikap kak Dewa sama aku hanya pura-pura?"
" Kamu tahu sendiri jawabannya."
" Jawabannya cuma bener atau nggak." Nala berkata. Ia ingin mendengar kebenaran hingga sekecil apapun dari Dewa saat ini juga.
Dewa menatapnya lama. Bibirnya mengatup menjadi garis lurus.
" Bener. Aku cuma pura-pura sama kamu. Nggak nyangka aja ternyata kamu kebawa dengan mudah."
Nala merasa dadanya mulai sesak. Matanya memanas. Tapi kali ini menangis di depan Dewa terasa sangat salah.
" Semua yang kak Dewa bilang, semuanya bohong?"
Dewa terdiam, kemudian menjawab dengan sama dinginnya. " Iya."
Nala seperti dihantam truk tronton berkecepatan maksimal.
" Semua yang kak Dewa lakuin, itu bohong?"
" Iya." Jawab Dewa cepat, " Dan berhenti tanya seperti itu. Kamu cuma akan kecewa."
Nala menggigit bibir bagian dalamnya hanya agar dirinya tidak menangis. Perkataan Raya terngiang kembali di telinganya, lebih jelas daripada biasanya. Ia menatap sepasang mata legam yang dingin itu selama beberapa saat sebelum berpaling.
" Aku ngerti." Jawab Nala berbalik hendak menutup pintu. " Selamat ya. Paling nggak kebodohanku bisa bantu kamu."
" Setelah ini, aku harap kamu nggak ngelakuin hal bodoh lagi. Seharusnya kamu belajar kalau kamu bisa berguna dengan semua potensi yang kamu punya." Suara Dewa menahan langkah kaki Nala. Nala berbalik lagi menghadapinya.
" Itu bukan urusan kamu lagi." Jawab Nala.
Dewa mempertajam tatapannya.
" Iya, itu memang bukan urusanku. Dari awal, hal itu bukan urusanku. Jadi jangan sampai ada orang yang ngelakuin hal yang sama hanya untuk membuat kamu sadar."
Nala setengah mati menahan keinginan untuk berkedip agar air mata yang sudah mengumpul di pelupuk matanya tidak menetes. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat agar isakan tidak lolos dari mulutnya. Nala hanya bisa menatap Dewa yang masih mempertahankan sorot pandang dingin tidak peduli.
Setelah beberapa saat menyiksa Nala dengan sikap bagai es itu, Dewa berbalik.
Tidak, tidak, tidak!
Nala melangkah cepat dan menahan ujung kaos Dewa, menghentikannya meninggalkan Nala.
" Aku nggak percaya." Bisik Nala dengan satu tetes air mata terjatuh. Meskipun demikian, ia menatap sosok Dewa yang masih memunggunginya dengan tajam. " Aku nggak percaya sama semua omongan tadi."
Tubuh Dewa menegang. Kemudian, laki-laki itu berbalik. Ia masih menatap Nala dengan sorot dingin seperti tadi.
" Bagian mananya yang kamu nggak ngerti?" Tanyanya dingin. " Kamu udah baca perjanjiannya. Itu bukan pura-pura."
Nala menggeleng, membuat beberapa tetes air mata terjatuh dari wajah cantiknya. " Persetan dengan perjanjiannya. Aku nggak peduli. Apa yang kita lalui itu bukan kebohongan."
Mendengarnya, Dewa tertawa hingga membuat Nala mengatupkan bibirnya dan mundur satu langkah tanpa sadar. Dewa tertawa begitu dingin, begitu jahat.
" Kamu kira aku serius sama kamu?" Tanya Dewa masih dengan seulas seringai yang tidak mencapai mata dinginnya. " Kamu pikir aku bener-bener suka sama kamu? Kamu harusnya langsung sadar ketika banyak orang bilang kita nggak sepadan."
Bibir bawah Nala bergetar hebat. Namun ia menatap sosok mengerikan di depannya dengan berani.
" Bohong." Celetuk Nala bergetar. " Berhenti bohong. Kamu nggak cocok berkata bohong!"
Dewa masih menatapnya dengan dingin, kemudian mendekatinya hingga jarak mereka begitu dekat.
" Kamu sama sekali nggak kenal aku. Aku orang egois, jahat dan akan melakukan apapun demi tujuanku." Bisiknya dingin di telinga Nala. " Jangan pikirkan ciuman-ciuman kita. Bagiku, itu nggak pernah ada."
" BOHONG!" Teriak Nala menjauh. Air mata mengalir deras dari pelupuknya. Namun Dewa hanya menatapnya dengan datar. Kemudian, ia menghirup nafas dalam.
" Maaf. Tapi itu kenyataannya. Perjanjian itu udah berakhir, maka aku mengakhiri kepura-puraan kita. Setelah ini, kita nggak ada apa-apa lagi." Jawab Dewa bagai pukulan palu di dada Nala. Dewa berbalik, namun lagi-lagi Nala menahannya.
" Sedetik saja. Walau hanya sedetik, kamu nggak pernah cinta sama aku?" Tanya Nala.
Untuk kedua kalinya, Dewa terdiam lama sebelum berbalik dan menunduk memandang gadis berwajah ayu itu.
" Berhenti tanya seperti itu." Katanya pelan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. " Kamu udah tahu jawabannya. Maaf, aku minta maaf karena menyeret kamu sampai titik yang nggak terduga seperti ini. Tapi cukup, Kanala. Berhenti disini. Berhenti mempermalukan diri sendiri. Kita selesai."
Dewa mengatakannya dengan tegas. Seperti sebuah ultimatum yang tidak diragukan kebenarannya. Kekuatan dalam kalimat itu berhasil mengunci mulut Nala, menghilangkan suaranya. Dewa menatapnya, tidak lagi dengan sorot mata dingin, melainkan...kasihan? Sebegitu memalukankah dirinya di depan Dewa? Memohon untuk sesuatu yang tidak pernah ada?
Nala terpaku ketika Dewa akhirnya berbalik dan berjalan menjauh.
Ketika Dewa menghilang bersama motornya, ia baru mengizinkan air mata meleleh disertai isakan yang tertahan. Hatinya berteriak bahwa apa yang dikatakan Dewa adalah kebohongan. Namun perlahan, nalarnya bekerja. Nala mengingat ketakutannya selama ini. Pertanyaannya mengapa Dewa tiba-tiba memilihnya. Ketakutan karena dirinya yang tidak pantas bersanding dengan Dewa.
Itu semua hanya karena perjanjian itu. Tidak pernah ada rasa. Hanya Nala yang dengan bodohnya mengira itu semua ada.
Selama ini, Nala hanya menemukan fatamorgana di dataran gurun pasir, bukannya oase.
Tanpa diduga, gelombang memori menerpanya, mengirimkan aliran emosi yang menghentaknya kuat-kuat hingga Nala harus menangkupkan tangan rapat-rapat ke mulutnya. Nala berjongkok dan meringkuk dalam-dalam memeluk sesuatu yang berdarah tepat di dadanya. Berdenyut, mengirimkan rasa nyeri ke setiap pori tubuhnya.
Hingga pada satu titik luka itu membuat lubang menganga, Nala melepaskan teriakan pada langit cerah yang mengejeknya.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top