25. Shattered
" Missing you is hurting me. But yet, you're still my favorite pain."
Nala tidak mengindahkan hujan yang menerpa wajahnya semakin deras. Ia juga tidak menghiraukan udara malam yang menggigit setiap senti kulitnya karena dirinya hanya memakai pakaian tipis.
Nala meraup wajahnya untuk mengusir air dari sana. Ia mengetuk pintu coklat itu lagi untuk kesekian kali.
" Kak Dewa?" Panggil Nala menggigil. Bibir gadis itu sudah mulai membiru akibat berdiri setengah jam di luar rumah. Namun sepertinya dia tidak peduli.
" Kak Dewa?" Panggilnya lagi dengan suara lebih kencang, meskipun sia-sia karena gelegar guntur menelan suaranya.
Nala mengusap kedua bahunya yang kedinginan. Tubuhnya gemetar. Ia menelan ludah karena tenggorokannya terasa kering. Nala berjongkok untuk meraup sedikit kehangatan sebelum mengetuk lagi.
" Kak Dewa?"
Seperti yang sudah-sudah, hanya keheningan yang menjawabnya. Tapi Nala tidak menyerah. Dia tidak mau menyerah. Dia harus meluruskan sesuatu disini. Sesuatu yang membuat seluruh dunianya jungkir balik.
**
Nala baru saja selesai mandi ketika pintu rumahnya diketuk. Ia membukanya dan mendapati Raya disana. Ia menatap Nala dengan seringaian yang seharusnya membuat Nala muak. Tapi kebahagiaan karena kencan dengan Dewa hari ini membuatnya bisa memaklumi apapun kelakuan Raya padanya.
" Ada apa kak?" Tanya Nala sopan. Tumben sekali Raya menyambanginya ke rumah.
Bukannya menjawab, Raya justru menatap Nala lekat-lekat dengan senyum lebar sampai telinga. Nala hanya menghembuskan nafas malas. Ia sudah terbiasa dengan seringaian menyindir itu.
" Ternyata gue bener. Dewa emang nggak bener-bener suka sama lo." Celetuknya membuat Nala menatapnya. Ia mengerutkan kening.
" Hmph! Udah dari lama gue curiga kenapa Dewa bisa tiba-tiba nganggep lo pacar. Dilihat dari manapun, lo nggak cocok buat Dewa. Gue kenal Dewa udah lama, dan gue tahu selera dia kayak apa." Dia mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari Nala, " Dan lo nggak masuk hitungan."
Nala mengerjap.
" Kenapa sih? Tiba-tiba ngomong gitu disini? Udah capek ganggu gue di sekolah apa gimana?" Tanya Nala kebingungan.
Raya tertawa mendengar kalimat yang penuh dengan kepercayaan diri itu. Ia menyodorkan sebuah map pada Nala.
" Gue ngucapin selamat atas pencapaian lo di OSN Matematika. Tapi gue harap lo tetep semangat di tingkat nasional setelah baca ini." Katanya dengan ketidaktulusan yang nyata. Tanpa pamit, ia berbalik dengan tawa masih bergema.
" Dia kenapa? Apa sefrustasi itu?" Gumam Nala bingung. Ia ganti mengamati map hijau di tangannya dan membukanya. Hanya ada sebuah kertas disana. Nala mengambilnya dan membaca satu persatu isinya.
Saat itu pula, kakinya kehilangan kekuatan.
**
Nala menggelengkan kepala. Dia perlu mendapatkan kepastian dari Dewa. Dia perlu bicara dengannya. Dia perlu mendengar sendiri dari mulut laki-laki itu. Nala mengetuk lagi. Dia tahu mereka sudah pindah ke desa. Namun ia berharap sekali Dewa masih disini.
Ia meraih ponselnya dan dan memanggil kembali nama terakhir yang ia hubungi tanpa diangkat. Dengan susah payah, karena jemarinya gemetar. Hanya ada nada sambung tanpa diangkat. Seperti ini, sudah kesekian puluh kalinya.
" Kak Dewa?" Panggil Nala dengan suaranya lirih. Lama-lama cuaca membuatnya takhluk juga.
Ia menggeser tubuhnya untuk bersandar di daun pintu, menjauh dari terpaan hujan. Nala bersedekap erat-erat dengan kepala bersandar di daun pintu. Tubuhnya mulai menggigil hebat.
" Kak Dewa?" Bisiknya dengan mata terpejam. Kesadaran mulai meninggalkan dirinya hingga ia tidak peduli saat sebuah sosok mendekati dan berjongkok di depannya.
" Kak Dewa?" Katanya tak lebih dari sebuah bisikan. Gadis itu meringkuk dalam-dalam dengan kepala terkulai.
" Keras kepala sekali." Ujar Alex pelan sembari menyentuh pipi putrinya yang dingin bagai es. Tanpa sepengetahuan Nala, ia mengikuti gerak gerik Dewa dan Nala setelah peringatannya pada Dewa beberapa minggu lalu. Dia bisa memperkirakan hal seperti ini akan terjadi.
Alex beringsut ke samping Nala dan menyelipkan tangannya di leher dan belakang lutut Nala, membopongnya tanpa kesulitan. Kepala Nala langsung terkulai di bahunya.
" Siapkan mobilnya. Kita pulang." Kata Alex pada Joey yang berdiri bagai patung sembari membawa payung.
**
Nala membuka mata dan mendapati langit-langit kamar yang tidak asing. Ia mengerang saat kepalanya terasa ditusuk ribuan paku. Kemudian, seluruh kejadian kemarin terlintas di otaknya. Nala mendudukkan dirinya dengan mendadak.
Seharusnya dia masih ada di depan rumah Dewa.
Nala menatap jam bekernya dan segera mandi. Tidak penting bagaimana ia bisa pulang. Yang terpenting saat ini dia harus berangkat sekolah dan menemukan Dewa disana. Nala mengabaikan denyutan hebat di kepalanya. Ia bahkan tidak repot-repot berkaca. Ia hanya ingin waktu berjalan lebih cepat sehingga ia bisa langsung berada di sekolah.
" Mau kemana?"
Suara tajam saat dirinya berada di kaki tangga menyita perhatian Nala. Nala menoleh dan mendapati Alex sedang duduk di meja makan. Nala tidak menggubrisnya. Ia berjalan keluar. Ia harus segera sampai ke sekolah.
Alex menghela nafas.
" Perlu saya antar, tuan?" Tanya Joey. Alex menggeleng.
" Dia kuat. Dia hanya perlu waktu."
Sementara itu, Nala yang sudah sampai di sekolah sama sekali tidak menyadari tatapan aneh anak-anak sekitar. Langkah kakinya otomatis menuju kelas Dewa, tapi ia sadar bahwa Dewa tidak mungkin disana karena kelasnya digunakan siswa kelas dua untuk ujian semester. Nala menelan ludah. Kelas tiga sudah tidak mempunyai urusan di seolah kecuali legalisir ijazah. Maka Nala berjalan ke jajaran kantor.
" Astaga!!" Seru Lila menggaet tangannya saat mereka berpapasan di koridor. Anak itu terbelalak menatap penampilan Nala.
" Ini rambut kenapa? Kamu nggak sisiran?" Pekiknya. " La, wajah lo ancur banget tau nggak. Ada apa? Lo sakit?"
Nala mengibaskan lengannya untuk mengusir tangan Lila dari sana. " Gue cari kak Dewa. Gue harus ketemu dia."
Lila mengerutkan kening pada sosok Nala yang berjalan menjauh. Jadi anak itu sedang ada masalah dengan Dewa?
Lila mengikuti Nala di belakangnya tanpa Nala sadari. Ia tidak bisa melepaskan Nala dalam keadaan seperti itu.
Nala tahu jika tidak ada motor Dewa di parkiran, maka Dewa tidak ada disini. Tapi Nala tetap mondar-mandir di depan ruang guru. Berharap menemukan sosok yang dicarinya. Ia tidak peduli pada siswa maupun guru yang menatapnya dengan penasaran. Ia bahkan tidak peduli dengan bel yang berbunyi pertanda ujian akan dimulai beberapa menit lagi.
" Ayo La. Kita ada ujian!" Lila menggaet tangannya. Namun Nala kembali mengibaskannya.
" Gue nunggu kak Dewa." Jawab Nala dengan mata yang tidak pernah berhenti menyapu sekitar.
" Gue nggak ngerti lo ada masalah apa sama kak Dewa, tapi gue yakin dia nggak mau lo bolos ujian kayak gini! Mana Nala yang udah bertekad bikin kak Dewa bangga? Sikap lo kayak gini justru bikin dia sedih!" Seru Lila tidak tahan lagi.
Mendengar itu, Nala menoleh pada Lila.
" Gitu, ya?" Tanya Nala pelan. Lila menghembuskan nafas keras. Ia menggandeng tangan Nala.
" Iya. Gue yakin itu. Ayo ke kelas dan lo harus fokus sama ujian. Lo nggak mau bikin dia kecewa, kan?"
Nala menggeleng pada punggung Lila. Dia tidak mau membuat Dewa kecewa.
Tidak butuh waktu lama bagi Lila untuk tahu bahwa dirinya perlu mengawasi Nala. Gadis itu seperti orang gila. Ia menyelesaikan soal ujian dalam waktu lima belas menit, kemudian keluar dengan tergesa. Lila harus menahan umpatannya karena dia tidak bisa mengikuti Nala yang seperti itu.
Lila menemukan Nala lagi di depan kantor. Mondar-mandir di antara kelas tiga yang masih mempunyai urusan dengan sekolah.
" La, lo ada bimbingan." Ucap Lila tegas di hadapan Nala. Nala mengabaikannya.
" Nala!" Seru Lila membuat Nala akhirnya terfokus. Ia menangkupkan kedua tangannya menahan pipi Nala. " Lo ada bimbingan. Jangan kayak gini! Lo harus fokus sama lomba kalau lo mau banggain kak Dewa! Fokus, La! Gue yakin pada waktunya nanti lo pasti ketemu kak Dewa. Tapi jangan mengabaikan kewajiban lo! Kak Dewa udah susah-susah ngedukung lo!"
Nala membasahi bibirnya saat mengingat isi kertas itu. Tapi ia menampiknya kuat-kuat. Benar. Apa yang dikatakan Lila benar. Dia hanya harus berhasil di lomba tingkat nasional itu. Dia tidak mau Dewa punya alasan untuk kecewa padanya.
**
Hari demi hari berlalu dengan Nala berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Dengan berat, ia tetap mengikuti bimbingan yang memang berhasil mengalihkan fokusnya. Hanya beberapa saat sebelum mereka keluar dari ruangan dan membuat Nala teringat kembali keresahannya.
Selama itu, Nala setia memeriksa parkiran dan menyipitkan mata pada rombongan kelas tiga. Tapi tidak sekalipun ia menemukan sosok yang dicarinya.
Lila menggaet Nala ke toilet tanpa menggubris protesan gadis itu. Tanpa basa-basi, Lila mengeluarkan tisu basah dan mengusapkannya pada wajah Nala.
" Lo kacau." Katanya cemas. " Mata bengkak sampai hampir nggak bisa ngebuka kaya gini! Kantung mata juga udah ngalah-ngalahin panda! lo nangis semaleman? Kurang tidur apa gimana?"
Nala bungkam. Tebakan Lila tidak salah. Bagaimana bisa ia tidak menangis saat telfon dari Dewa tidak kunjung datang? Bagaimana bisa ia tidur jika setiap malam ia sibuk mengetuki pintu rumah Dewa tanpa hasil?
Lila mengeluarkan sebuah sisir dari dalam tasnya dan mulai menyisir rambut awut-awutan Nala dengan lembut. Ia bertaruh bahwa Nala sudah tidak menyisir rambutnya selama beberapa hari. Ia harus bersabar saat sisirnya menyangkut di rambut yang mirip sarang burung itu berkali-kali.
" Ck! Gue nggak akan paksa lo cerita sama gue, La. Tapi please jangan ngehancurin diri lo sendiri. Lo masih punya banyak hal yang perlu lo perjuangin."
Nala tetap bungkam. Ia hanya menatap pantulan dirinya di cermin. Dirinya yang menatap dengan mata yang memerah, bengkak dan kosong.
**
Penampilan Nala yang seperti orang gila mau tidak mau menarik siswa-siswa yang lain untuk memperhatikannya. Tidak terkecuali jajaran kelas tiga yang sangat membenci Nala.
" Kenapa? Dewa akhirnya ninggalin lo?" Ejek Mikalila siang itu. Gadis itu mencekal tangan Nala kala Nala mondar mandir di depan ruangan guru.
Mendengarnya, Nala tertegun sejenak. Namun kemudian gadis itu melirik tajam ke arah Mikaila hingga Mikaila menelan ludah tanpa sadar.
Gue lihat setan!
Namun Mikalila tetap memasang wajah angkuhnya walaupun pegangan di tangan Nala melonggar. Ia meraup rahang Nala dan memaksanya mendongak untuk melihatnya. Mikaila menyeringai.
" Akhirnya Dewa sadar juga." Bisiknya di depan wajah datar Nala. " Saran gue, lo mundur. Lo nggak pernah pantes buat Dewa!"
Sedetik, dua detik...
Tidak ada respon dari Nala selain hanya menatap Mikaila dengan kosong. Mikaila menghempaskan wajah Nala sembari berdecih.
" Mana sikap sombong lo yang selangit itu? Mlempem lo dibuang Dewa?" Ejek gadis itu hanya beberapa senti dari wajah Nala. Tidak ada respon dari Nala membuat tawa Mikaila makin membahana.
Mikaila memutuskan meninggalkan sosok yang sangat menyedihkan itu, namun tidak sebelum dia meraup rambut Nala yang terurai dengan kasar dan melemparkannya ke muka Nala.
Nala bungkam. Gadis itu menatap ke depannya beberapa detik, kemudian kembali mondar mandir seakan kejadian tadi tidak pernah ada.
Beberapa menit kemudian, seseorang mencekal tangannya untuk kedua kali.
" Mau sampai kapan gila kayak gini?" Hujam Raya dengan mata berkilat pada gadis di depannya. Nala menatapnya kosong, membuat Raya membuang nafas kasar. Tanpa aba, Raya menarik Nala menjauhi kerumunan. Hal itu sedikit menyentil kesadaran Nala. Ia menghentakkan tangannya.
" Kalau perlu ngomong disini aja!" Kata Nala dingin. Raya tersenyum mengejek.
" Nggak ada gunanya lo disini nyari Dewa. Dewa bilang sama gue dia nggak datang hari ini." Kata Raya jelas. Kalimat itu membuat Nala menatap Raya.
Seringaian Raya melebar. " Iya, tadi pagi dia telfon gue. Tapi bukan itu yang mau gue omongin. Ikut gue! Gue nggak mau lo bikin malu Dewa disini!"
Raya menggaet kasar tangan Nala. Nala, yang berusaha mencerna apa yang terjadi mengikuti langkah Raya tanpa sadar.
Jadi Dewa menelfon Raya dan mengabaikan panggilan darinya. Berarti bukan karena ponselnya rusak, kan? Seakan sebuah besi panas disurukkan di dada Nala, membuatnya nyeri disana.
Raya membawa mereka ke taman, yang kini tampak lengang karena waktu ujian belum selesai. Raya mendorong bahu Nala, memaksa Nala duduk di salah satu bangku batu. Setelahnya, gadis itu duduk di sebelah Nala.
Raya menghirup nafas dalam-dalam, " Iya, gue tahu pasti lo sakit. Tapi lo nggak pantes bersikap kayak gini. Harusnya surat perjanjian itu ngejelasin semuanya sama lo."
Nala bungkam. Raya melirik Nala sekilas. Rasa cemburunya langsung lenyap sejak hari pertama ia membaca perjanjian itu. Saat ini, dia justru ingin tertawa keras-keras melihat sosok arogan di sampingnya terpuruk. Tapi dia masih bisa bersikap pantas.
" Gue kenal banget sama Dewa. Keluarganya adalah hal paling penting buat Dewa. Dewa bersedia melakukan apa aja buat mereka." Sambung Raya. " Jadi, menurut gue wajar kalau dia ngelakuin ini semua. Itu cara dia memastikan masa depan Dilla. Lo pikir dia peduli gitu sama lo? Lo pikir dia mikir apa akibatnya buat lo? Orang asing yang baru aja dia kenal dibandingkan keluarganya?"
Nala mengerjapkan mata.
" Dari dulu, Dewa nggak sungkan ngelakuin apa aja buat keluarganya. Gue harap lo paham dan nggak menyalahkan Dewa lagi. Gue harap lo berhenti mengharapkan Dewa karena lo nggak lebih dari alat demi membantu melancarkan masa depan Dilla. Demi kebaikan lo sendiri, mending lo berhenti cari dia. Nggak ada gunanya. Nggak ada yang akan berubah. Lo cuma akan ganggu dia karena saat ini, nggak ada alasan lagi buat dia pura-pura sama lo."
Raya menoleh pada Nala yang menatap ke depan tanpa fokus. " Dari awal, nama hubungan kalian itu kepura-puraan. Gue harap lo ngerti dan jangan ganggu Dewa lagi sama apapun drama yang mungkin bisa lo buat!"
Dengan kalimat itu, Raya berdiri dan meninggalkan Nala sendirian di taman. Air mata yang sedari tadi menggenang kini mulai meleleh, membasahi pipi hingga ke dagunya dan menetes di pangkuan Nala.
Dia tidak pernah membiarkan orang lain meracuni pikirannya dengan mudah. Tapi dia tidak mampu menampik logika di dalam kata-kata Raya karena sebenarnya di dalam hati, dia pun mulai berpikiran sama.
Namun kemudian ia teringat semua perkataan Dewa padanya, semua perlakuan laki-laki itu padanya.
Semuanya terlalu jahat untuk menjadi sebuah kebohongan.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top