24. Mencoba Bertahan
" Cause we are still lying under the same sky. Still see the same moon. Whenever you feel the warmth of the sun, just remember that I always love you, always miss you, always want you."
" Peradangan di paru-paru sudah meluas. Dia butuh terapi, bukan hanya obat. Saya sangat menyarankan lingkungan yang bebas dari polusi. Dengan begitu, progres untuk membaiknya akan berjalan cepat."
Pria ber jas putih dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu berkata dengan sangat jelas pada Dewa.
" Bagaimana? Kamu sudah memutuskan untuk pindah? Saya bisa membuatkan surat rekomendasi agar Ibu Rani mendapatkan perawatan di rumah sakit terdekat nantinya."
Dewa memejamkan matanya erat-erat. Gemetar yang timbul saat melihat ibunya terbaring tidak sadarkan diri dengan selang membantu pernafasannya sangat mengerikan. Saat ini, kehidupan ibunya berada di tangannya. Perlahan, Dewa membuka matanya dan mengangguk.
" Ada."
Dokter tampak lega. Ia memberikan senyum semangat pada Dewa.
" Silahkan tulis disini. Nanti saya berikan rekomendasinya saat Ibu Rani keluar dari rumah sakit." Kata sang dokter memberikan pulpen pada Dewa, yang diterima Dewa dengan gemetar.
Setelah selesai semuanya, ia keluar.
" Gimana?"
Dilla langsung menghambur ke arahnya dengan Dafa berada di pelukannya. Ia bisa melihat ketakutan di wajah gadis itu. Bahkan jejak-jejak air mata masih terlihat jelas. Dafa, anak itu seakan mengerti keadaan ibunya yang tidak baik sehingga menangis sejak tadi.
Dewa mengambil Dafa dari gendongan Dilla dan ganti menggendongnya. Ia mengusap puncak kepala Dilla untuk menenangkan. Ia tersenyum. Paling tidak, ia harus bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.
" Kita pindah ke desa. Disana ibu bisa cepat sembuh."
Dilla terkejut. Tapi kemudian mengangguk, paham bahwa itu yang terbaik bagi ibunya.
" Kayaknya aku emang harus menyerah masuk Angkasa." Gumam Dilla menghirup nafas dalam-dalam.
" Nggak, siapa bilang kamu boleh menyerah, dek? Dengar, kamu udah besar. Kamu bisa mandiri. Kamu harus tetap sekolah di Angkasa, biar ibu sama abang di desa." Kata Dewa tidak setuju dengan kata-kata Dilla. Dilla menatap Dewa dengan mata berkaca-kaca.
" Tapi Dilla nggak mau kalau nggak ada abang sama ibu sama Dafa. Dilla juga mau bantu abang."
Dewa menghela nafas, kemudian memeluk Dill dengan tangannya yang bebas.
" Dengerin abang, dek. Dilla udah besar, udah tahu cara menjaga diri. Suatu saat, Dilla juga harus hidup mandiri. Abang janji abang sering-sering nengok Dilla. Abang juga harus ngurusi warung ibu sebelum warungnya abang pindah ke tempat yang lebih dekat."
Dilla terisak. Ia mencengkram erat-erat seragam Dewa.
" Abang janji sama Dilla, ya. Abang sering nengok Dilla."
Dewa melepaskan Dewa, kemudian merendahkan diri untuk mensejajarkan matanya dengan Dilla.
" Pernah abang ingkar janji sama Dilla?" Tanya Dewa menatap dalam-dalam mata adiknya. Dilla menggeleng.
" Nah, kan? Abang bakalan ajak Dafa nanti." Kata Dewa menenangkan. " Abang juga harus memastikan kalau Dilla nggak nakal."
Dilla memukul pelan punggung Dewa saat mendengarnya. Membuat Dewa tertawa.
**
Dewa benar-benar memindahkan keluarganya di desa tempat kelahiran ibunya. Disana, hanya ada sepupu Dewa yang berprofesi sebagai petani. Selama dua minggu, dirinya sibuk mengurusi kepindahan semuanya. Selain itu, dia juga tidak bisa meninggalkan Dilla sendirian saat Dilla sedang ujian. Sementara Dewa tinggal menghitung hari menunggu pengumuman kelulusan.
" Jadi sekarang tinggal di desa?" Tanya Nala pada satu waktu Dewa melaksanakan kewajibannya di malam hari. Ia mengaktifkan mode pengeras suara karena dirinya juga sibuk berkemas.
" Iya." Jawab Dewa memasukkan beberapa bukunya ke dalam kardus.
Nala diam sejenak, " Oh..." Hanya itu responnya. Mendengarnya, Dewa menghentikan aktivitasnya. Tidak seharusnya ia mengerjakan perkerjaan lain ketika memberikan waktu untuk Nala. Akhirnya ia duduk menghadap meja belajar, mengamati kertas-kertas yang berserakan disana.
" Maaf. Ini mendadak sekali. Aku sampai nggak sempat kasih kabar ke kamu." Kata Dewa sungguh-sungguh.
" Iya nggak papa. Aku juga sibuk belajar buat ujian kenaikan kelas ini." Kata Nala tulus. Dewa menghirup nafas dalam-dalam dan memejamkan mata.
" Nala. Aku kangen kamu." Kata Dewa pelan. Ia menangkupkan satu tangan menutupi matanya.
" Aku juga kangen kak Dewa." Balas gadis itu. " Udah lama nggak ketemu."
" Iya. Maaf." Kata Dewa menyadari keterbatasannya.
" Nggak papa. Aku nggak masalah. Ditelfon aja aku udah seneng. Kak Dewa fokus sama ibu dulu aja." Kata Nala penuh pengertian.
" Tapi aku kangen kamu, La. Aku pingin lihat wajah kamu. Aku pingin peluk kamu. Aku pingin cium kamu." Ucapnya. Mendengarnya, Nala tertawa.
" Kamu nggak kangen aku cium?" Tanya Dewa tidak terima.
" Ehem. Apasih kak Dewa! Nanti Dilla dengar itu..." Celetuk gadis itu. Dewa bisa membayangkan wajahnya merona saat ini.
" Dilla baru belajar. Jadi kamu kangen nggak aku cium?" Tanya Dewa menggoda Nala.
" Ck! Astaga..."
" Jawab aja La." Paksa Dewa semakin menikmati menggoda Nala. Dia yakin wajah Nala pasti sudah semerah tomat.
" Ka...kangen." Jawab Nala pelan sekali. Tapi mampu membuat Dewa tertawa tanpa suara.
" Gimana ini? Aku jadi pingin ketemu kamu sekarang." Kata Dewa pelan. Ia benar-benar rindu padanya.
" Aku juga, kak Dewa." Ucap Nala lembut. " Tapi jangan sekarang. Kasihan Dilla malam-malam begini masa ditinggal."
" Kamu itu ya, selalu memikirkan orang lain." Kata Dewa menghembuskan nafas keras.
" Lhah gimana sih? Itu adek sendiri juga." Tukas Nala.
" Aku nggak tahu kapan bisa ketemu. Urusan sini masih banyak." Kata Dewa jujur. Ia tidak mau berkelit bahwa dia masih mempunyai banyak urusan disini.
" Nggak papa. Aku tetep sayang kak Dewa. Kapan-kapan kak Dewa harus ajak aku ke Desa. Siapa tahu bisa cari kampus yang dekat disana." Ucap Nala. Dewa menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Saat itu, terlihat olehnya dokumen yang diberikan Alex beberapa waktu yang lalu. Ia mengamatinya. Mendadak, kata-kata Alex terngiang di telinganya.
"Jangan bilang pada saya kamu bisa menjaga keduanya sekaligus, Dewa. Kapasitas kamu tidak memungkinkan. Kamu tidak bisa membagi fokus. Dan saya tidak mau Nala akhirnya hanya mementingkan kamu tanpa memikirkan masa depannya."
Dewa memejamkan matanya. Nyatanya, saat ini perkataan Alex hampir saja terbukti. Atau justru sudah terbukti. Dia tahu dia tidak adil pada Nala. Dan dia juga tahu, dia tidak bisa setengah hati mengurusi keluarganya.
" Aku harus gimana, La?" Ucap Dewa pelan.
" Hm? Apanya yang gimana?"
Dewa tersadar bahwa ia dalam keadaan menelfon Nala. Ia menggeleng. " Nggak papa. Cuma kangen kamu pakai banget."
Nala terdiam. Ketika gadis itu bicara lagi, suaranya terdengar parau.
" Aku juga." Jawab Nala lirih. Jika sudah begini, dia harus bagaimana? Dia dengan keegoisannya yang tinggi tidak ingin melepaskan Nala.
"Nala?" Panggilnya lembut. " Actually, we aren't that far." Sambungnya terkekeh. Dewa menoleh untuk memandang langit hitam bertabur bintang dari jendelanya yang masih terbuka.
" Cause we are still lying under the same sky. Still see the same moon. Whenever you feel the warmth of the sun, just remember that I always love you, always miss you, always want you."
**
Mata Nala melebar seakan keluar dari rongga ketika melihat sosok yang duduk di depan kelasnya siang itu.
Anak-anak lain yang melihatnya berbisik-bisik, beberapa dari mereka memberi selamat yang dibalas Dewa dengan anggukan dan senyum yang ramah.
Lila menyenggolnya keras-keras karena Nala terpaku di depan kelas.
" Udah kesana, elah. Pakai acara kaget segala." Sindir Lila membuat Nala tersadar. Karena suara Lila pula Dewa menoleh dan menyadari Nala sudah di depan kelas.
Lila nyengir lebar.
" Selamat ya kak Dewa. Jadi juara umum dan lulusan terbaik nasional. Aduh, bangganya yang jadi pacar!" Lila menyeringai pada Nala yang melotot padanya.
" Iya iya gue pergi. Daaaaa..." Katanya tergelak sebelum berlari dan menghilang di ujung lorong.
Dewa bangkit dan mendekati Nala yang masih bergeming. Dewa sudah melepas jubah wisudanya. Ia memakai kemeja putih dan celana hitam. Seharusnya Nala menertawainya karena dia berpakaian mirip sales-sales yang sering ia temui di pusat perbelanjaan. Tapi mana ada sales yang begitu keren hanya karena menggulung lengan kemejanya hingga menyentuh siku dan memperlihatkan otot-otot itu? Mana ada sales yang begitu gagah hanya dengan jam tangan hitam yang melingkar di tangannya? Mana ada sales yang aromanya begitu menyegarkan seperti ini? Dan yang penting, mana ada sales yang setampan ini?
Tuk.
" Duh!" Seru Nala meringis.
Dewa mengetukkan gulungan tabung yang berisi piagam dan keterangan lulusnya ke dahi Nala.
" Melamun apa? Hm?" Tanya Dewa.
Namun Nala tidak menjawab. Senyum lebar terbit di wajah cantik itu.
" Selamat ya kak Dewa." Ucap Nala tulus. Dewa ikut tersenyum. Melihat dan mendengar suara gadis itu sedikit membayar kerinduannya karena akhir-akhir ini tidak bisa menemuinya.
" Makasih." Balas Dewa menyila rambut Nala ke belakang telinga. " Hari ini ada bimbingan?"
Nala menggeleng.
" Bagus." Katanya meraih tangan Nala. " Aku minta hadiah dari kamu."
Nala mengerutkan kening, namun Dewa hanya nyengir. Ia menuntun Nala ke depan sekolah tempat dimana motornya berada. Disana, sudah ada dua helm.
" Mau kemana?" Tanya Nala saat Dewa memakaikan jaketnya pada Nala. Dewa menaikkan restleting hingga menyentuh dagu Nala sebelum memberikan helm padanya. Dewa mengulum senyum saat dilihatnya Nala yang lucu sekali karena tenggelam dalam jaketnya yang super kebesaran dibanding tubuh gadis itu.
" Cuma jalan-jalan aja." Jawab Dewa yang disambut senyuman gembira Nala. Nala segera memakai helmnya dan naik di belakang Dewa, melingkarkan lengan erat-erat di perut Dewa.
**
Mata Nala berbinar melihat deburan ombak yang terhampar di depannya. Tanpa melepas jaket Dewa, gadis itu berlari mendekati bibir pantai. Dia tidak menyangka Dewa akan mengajaknya kemari. Sudah lama sekali ia tidak pernah ke pantai.
Dewa menggaet hoodie-nya, membawa Nala menjauh dari bibir pantai. " Jangan deket-deket."
Nala menoleh dan hanya nyengir pada Dewa, tidak bisa melukiskan kegembiraannya dengan kata-kata.
" Tunggu sini. Aku sewa tikar dulu. Kamu mau es kelapa muda?" tanya Dewa yang segera diangguki Nala. Dewa meninggalkan Nala di sebatang pohon palem pantai, membiarkan Nala duduk di salah satu batangnya yang panjang dan mendatar.
Nala memandangi Dewa yang sedang membawa tikar ke arahnya. Dia tidak akan pernah merasa biasa dengan kejutan dari laki-laki itu. Nala menyambutnya dan membantu Dewa merentangkan tikar di bawah naungan pohon. Untung saja matahari sudah selesai menjemur kepala sehingga panasnya tidak terlalu menyengat. Nala melepaskan jaket Dewa dan duduk di sebelah Dewa yang sudah menekuk lututnya dan melingkarkan tangannya dengan santai di sekelilingnya.
" Nggak boleh berenang." Celetuk Dewa memperingatkan. Nala menggeleng. Ia meniru posisi Dewa hingga siku tangan kirinya bergesekan dengan lengan kanan Dewa.
" Aku nggak niat berenang. Aku disini aja sama kak Dewa." Kata Nala menyandarkan kepalanya di pundak Dewa. Dewa balas menyandarkan kepalanya di kepala Nala, menggesek-geseknya pelan sampai Nala merasa geli.
" Gimana rencana ke depan?" Tanya Nala beberapa saat kemudian. Matanya memandangi horizon nun jauh disana.
Dewa terdiam beberapa saat, memikirkan kata-kata yang tepat.
" Baru apply yang jalur beasiswa. Belum ada pengumuman." Jawabnya beberapa saat kemudian.
" Hmm...kesemuanya kedokteran?"
Dewa mengangguk.
" Ah...calon dokter yang ganteng. Pasti pasiennya banyak. Cantik-cantik pula. Gimana ini?" Goda Nala. Kemudian ia tercenung. " Apa aku ikut jadi dokter aja ya?"
Dewa melirik pada Nala yang terkekeh. " Jangan bilang kamu ikut-ikutan."
Nala memperkeras tawanya. " Kan asik kalau kita berdua dokter, bisa satu tempat kerja. Tapi nggak. Dokter bukan panggilan jiwaku."
Nala mengerucutkan bibir. " Aku udah pikir-pikir, gimana kalau aku jadi guru aja? Kayaknya aku bakal menikmati."
Dewa menoleh menatap raut wajah Nala dari samping. " Guru ya? Nggak masalah. Kamu memang cocok jadi guru. Asal muridnya nggak diajak bolos aja."
Nala nyengir. " Lihat aja nanti."
Dewa tersenyum samar melihat keceriaan di wajah Nala. " Dengan semua potensi yang kamu punya, aku yakin kamu bisa jadi apa aja yang kamu mau."
Nala menaikkan alisnya tinggi-tinggi sembari menatap Dewa, " Ini, apa? Muji diri sendiri apa gimana?"
Dewa tertawa pelan. " Aku ngomongin kamu, sayang."
" Y...ya habisnya kak Dewa kayak ngomongin diri sendiri gitu. Masuk kedokteran kayak beli krupuk aja." Gerutu Nala menyembunyikan kegugupannya.
Dewa menahan tawanya, tahu bahwa gadis itu akan semakin salah tingkah jika ia berani menggodanya lebih jauh.
Nala menerawang ke depan, menatap garis pertemuan pantai dengan sang langit. " Kalau memang begitu, berarti harusnya aku bisa terus sama kamu. Karena dari semua hal, cuma itu yang aku mau."
Dewa menoleh cepat mendengar Nala yang bicara tanpa memandangnya. Beberapa anak rambut berkibaran di wajahnya, membuatnya tampak cantik sekali. Dewa meraih jaketnya yang terlipat di belakang Nala, menghamparkannya hingga menutupi kepala mereka bedua.
" Eh? Kenapa? Ngapain?" Tanya Nala bingung meraba jaket yang kini menaungi mereka berdua.
" Biar nggak keganggu angin." Jawab Dewa. Nala menoleh menatapnya.
" Oh...aku pik..."
Nala menghentikan perkataannya ketika Dewa menunduk dan mencium bibir gadis itu.
" Juga, biar nggak ada orang yang lihat."
**
" Hmm...iya nggak papa. Kamu bawa bahannya ke rumah aja." Kata Dewa membalas panggilan salah satu pegawainya. Dewa menutup ponselnya dan meneruskan berjalan ke rumah yang masih tertutup.
" Aku pulang." Sapa Dewa membuka pintunya yang tidak terkunci.
Saat itu, Dilla menyambanginya dengan cepat dan langkah menghentak.
Dewa meletakkan sepatunya di rak sepatu dan berdiri tegak di hadapan adiknya. Perasaannya waspada karena saat ini Dilla menampakkan wajah murka. Seluruh wajahnya merah padam. Ia mendelik pada Dewa. Di tangannya tercengkram sebuah kertas. Dewa mengerutkan kening.
" Kenapa dek?"
Sepertinya gadis itu kesulitan membuka mulut. Ia berbicara dengan gigi geraham yang terkatup.
" Jelasin." Desis Dilla dengan suara bergetar.
Tanpa melepaskan tatapan pada kakaknya, Dilla mengulurkan kertas yang ia pegang erat-erat. Dewa menerimanya. Sedetik kemudian, seluruh wajahnya menegang.
" Kamu dapet ini darimana?" Tanya Dewa.
Sebuah kilat berkelebat di mata Dilla. Jika pandangannya adalah pisau, Dewa bisa terkoyak saking tajamnya Dilla menatapnya.
" Jadi itu bener?" Mata Dilla melebar tidak percaya, " Semua yang ada di perjanjian itu bener?"
" Ini..."
Dewa menghentikan kata-katanya saat sebuah panggilan dari bibinya di desa muncul di layar ponselnya. Seluruh pikiran Dewa langsung teralihkan.
" Iya bi, kenapa?" Tanyanya menekan kecemasan yang berlebih dalam suaranya.
" Rani pingsan lagi, Wa. Emang biasa batuk darah ya? Ini di rumah sakit tadi diantar tetangga. Kamu kesini kapan?"
Laki-laki itu mencengkram erat ponsel yang masih menempel di telinganya. Tubuhnya bagai tersiram air dingin. Tanpa menjawab, Dewa langsung mematikan sambungan dan berbalik arah ke luar rumah. Namun baru beberapa langkah, ia berbalik dan menghadapi adiknya.
" Ibu masuk rumah sakit. Kita kesana sekarang."
Dapat ia lihat dengan jelas Dilla terkejut. Tapi kemarahan masih menguasainya.
" Aku naik bis." Jawabnya dingin. " Aku perlu berpikir sebenarnya abangku itu seperti apa."
Dewa mengawasi Dilla yang menghilang di kamarnya. Ia mencengkram kertas di tangannya erat-erat.
Sekarang Dilla tahu seberapa brengsek dirinya.
Dewa mengangkat ponselnya ketika benda itu bergetar lagi.
Nala is calling...
Saat itu, Dilla keluar dari kamarnya lengkap dengan jaket dan sebuah tas. Gadis itu melewati Dewa begitu saja tanpa kata. Tanpa melihat pada ponselnya lagi, Dewa mengantonginya dan keluar rumah untuk menuju ke rumah sakit.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top