23. Menolak menjauh
"Sesuatu yang mengganjal di hati adalah sebuah kesalahan."
" Kita pindah ke rumah kakek sekarang."
Dewa menatap ibunya yang terbaring lemas dengan kecemasan yang nyata. Dilla tadi mengiriminya pesan bahwa ibunya tiba-tiba terjatuh lemas di dapur.
Rani menatap anak sulungnya dengan sayang.
" Nggak papa. Ibu udah sembuh. Tadi cuma kurang hati-hati saja."
" Bu!" Seru Dewa tidak setuju. Namun senyuman ibunya membungkam Dewa.
" Nggak papa. Lagian rejeki kita disini. Pindah itu sesuatu yang berat buat ibu." Kata Rani. Dilla yang berdiri di samping Dewa menunduk dalam-dalam.
" Kenapa sedih sih? Ibu cuma kecapekan. Nggak papa. Sebentar lagi ibu sembuh." Kata Rani menenangkan kedua anaknya. " Dewa, kapan pengumuman kelulusan kamu?"
" Masih satu bulan lagi bu." Kata Dewa lembut sambil menarik selimut hingga ke dagu Rani. Rani tersenyum bangga. Kemudian ia beralih pada Dilla.
" Kalau Dilla?"
Dilla mengusap wajahnya cepat-cepat. " Lancar bu. Nggak perlu dipikirkan. Kak Dewa sama Dilla kan selalu juara satu."
Rani terkekeh. " Iya. Anak ibu pintar-pintar semua. Sudah sana belajar lagi." Katanya menepuk-nepuk Dafa yang sudah terlelap di sampingnya.
Dewa menggeleng. Ia meletakkan dagunya di dipan kayu di dekat tangan ibunya.
" Aku temani ibu." Katanya.
" Aku juga. Aku mau belajar disini." Sergah Dilla.
**
Pekerjaan di warung sangat menuntut waktu Dewa. Dia harus berangkat subuh-subuh untuk pulang pukul tiga sore. Kemudian melanjutkan ke pasar untuk membeli bahan-bahan baru yang harus diracik malam harinya sampai jam sepuluh malam. Dia benar-benar tidak mengizinkan Rani sedikitpun menyentuh pekerjaannya. Dewa sudah memutuskan bahwa dia akan mengambil alih tanggung jawab warung agar ibunya bisa beristirahat.
Di sela kesibukannya, ia juga harus membimbing Dilla yang terkadang masih perlu bantuannya. Juga Dafa yang kadang bermanja padanya. Dewa berusaha mencukupi apapun yang diperlukan adiknya, sadar bahwa mereka berdua masih sangat perlu perhatiannya.
Dan ketika penat menggelayutinya, bertemu dengan Nala adalah obat terbaik. Dewa akan menyempatkan diri ke sekolah setiap tiga atau empat hari hanya untuk menemui gadisnya atau jika ada keperluan di sekolah yang sangat jarang. Mereka akan menghabiskan waktu hingga malam di alun-alun kota. Memakan takoyaki atau sekadar bercerita tidak penting. Tapi itu semua berarti bagi mereka sehingga Dewa tidak akan mengeluh.
Dari sana Dewa tahu bahwa Alexander Halid masih di Indonesia. Kata Nala, ayahnya mengawasi pembangunan apartemen di sini. Nala juga bilang bahwa dia tidak sekalipun bertemu ayahnya sejak pertemuan yang dulu. Gadis itu seolah tidak peduli. Terkadang Dewa ingin sekali menemui Alexander Halid dan meninju wajahnya keras-keras akibat kebodohan yang masih dipeliharanya hingga kini.
**
Dewa menunggu di depan ruang kepala sekolah dengan beribu pikiran berkecamuk di kepalanya. Dirinya tidak bisa tenang mengingat saat ini Nala dan yang lain sedang berada di dalam.
" Lolos!"
Nala berseru girang ketika keluar dari ruang kepala sekolah dan menemukan Dewa disana. Zio dan Vanya melewatinya setelah mengangguk singat.
" Kita lolos, kak Dewa. Lolos!" Serunya masih memainkan tangan Dewa dengan manja. Namun untuk kali ini, Dewa kesulitan menggerakkan otot mulutnya.
"Ketika pengumuman provinsi dikeluarkan, saya ingin kamu menyiapkan berkas-berkas Adilla untuk masuk ke Angkasa."
Kata-kata Kepala Sekolah beberapa bulan lalu terngiang jelas di telinganya. Lagi-lagi, hentakan rasa bersalah menyerangnya. Kepala Sekolah sudah tahu seberapa besar potensi Nala.
Dewa memaksakan diri menarik ujung-ujung bibirnya. Ia mengusap puncak kepala Nala.
" Selamat ya. Kamu sama siapa?" Tanya Dewa yang tahu betul bahwa wakil ke provinsi hanya dua orang.
" Aku sama kak Zio." Kata Nala.
" Hmm...bagus. Zio punya kalkulator super cepat di kepalanya." Komentar Dewa. Nala nyengir lebar.
" Oh...ternyata nggak aku aja yang kepikiran kayak gitu." Sahutnya terkekeh. " Kak Dewa juga dipanggil Pak Amir?"
Dewa mengangguk singkat.
" Ya sudah sih. Sana masuk. Aku juga mau ke kelas." Kata Nala tersenyum ceria. Dewa tidak bisa tidak tersenyum kalau Nala sudah ceria seperti itu. Gadis itu tidak pernah bisa menyembunyikan isi hatinya. Sebuah bahaya dan kekuatan di saat yang sama.
Dewa menenangkan diri sebentar, kemudian melangkah masuk.
" Saya ingin membatalkan perjanjian tentang Kanala." Ucap Dewa tanpa basa-basi. Ia sudah memikirkan ini. Sesuatu yang mengganjal di hati adalah sebuah kesalahan.
Pak Amir mengerutkan kening saat mendengar pernyataan Dewa.
" Saya bukan orang yang akan menarik lagi apa yang telah saya tawarkan." Ucap Pak Amir. Ia berdiri, kemudian berjalan ke susunan dokumen-dokumen di belakangnya sembari menyilakan tangan di belakang tubuh. Ia membelakangi Dewa.
" Kamu tahu berapa potensi pendaftar beasiswa untuk tahun ini?" Ucapnya tanpa menoleh.
" Lima ribu." Jawabnya karena Dewa tidak kunjung menjawab. " Dan Adilla hanyalah satu dari sekian banyak kandidat yang bisa memenangkannya."
Ia berputar, menatap lekat-lekat pada Dewa. " Saya sangat ingin Adilla masuk ke sekolah ini dibanding siapapun. Memiliki murid seperti Adilla adalah kebanggaan bagi SMA Angkasa. Disini, dia mempunyai banyak akses beasiswa dan juga masa depan cerah. Saya ingin memastikannya dengan usaha saya sendiri. Jadi ini bukan semata-mata tentang perjanjian kita. Ini tentang saya yang bersikukuh memastikan Adilla ada di sekolah ini."
Dewa terdiam dengan tangan terkepal.
" Saya tahu Adilla akan dengan mudah melewati tes masuk. Tapi saya mengira jika dia gagal mendapatkan beasiswa, itu akan menjadi halangan baginya. Saya sama sekali tidak meragukan kemampuannya. Tapi satu diantara lima ribu dengan semuanya mempunyai otak sebrilian dia, kamu sendiri tahu peluangnya."
Pak Amir membalas tatapan tajam dari anak didiknya.
" Kamu ingin perjanjiannya batal, maka saya batalkan!" Katanya meraih lembar perjanjian dan mencoret tanda tangan mereka berdua. Semua itu terjadi tidak lebih dari beberapa detik hingga Dewa terpaku. Pak Amir kembali menatap Dewa seakan tidak ada yang pernah terjadi.
"Tapi tentang berkas-berkas Adilla, saya masih akan meminta kamu mengumpulkannya. Saya akan pastikan biaya bukan halangan bagi Adilla untuk belajar di SMA ini. Cukup kamu saja yang bekerja keras, Dewangga."
Kata-kata Kepala Sekolah sekali lagi mengoyak harga dirinya. Tentangnya yang tidak akan bisa mengubah kenyataan karena bagaimanapun, dia sudah berhasil membuat Nala sampai lolos provinsi. Dibatalkan atau tidaknya sekarang tidak berarti apapun.
Namun dia mengangguk juga. Paling tidak, dia tidak akan mengorbankan peluang adiknya untuk mempunyai jalan yang lebih baik darinya.
" Bagus sekali." Ucap Pak Amir lega. " Tolong panggilkan Raya kemari. Saya masih perlu membicarakan beasiswa DIPA miliknya."
Dewa mengangguk lagi. Ia pamit dari hadapan kepala sekolah dengan pandangan terus menatap ke bawah.
Pak Amir menghela nafas. Ia mengamati lembaran kertas yang mengawali segalanya. Bukannya dia tidak tahu apa yang membuat Dewa tiba-tiba ingin membatalkan perjanjian itu. Dia tahu apa yang terjadi antara Dewa dan Nala. Dan dia tahu seberapa kuatnya pengaruh Dewa bagi Nala sehingga muridnya itu bisa berubah. Mengambil pulpen boxinya, beliau menambahkan sesuatu di buku agendanya agar tidak lupa untuk membuat surat pernyataan resmi tentang pembatalan perjanjian mereka.
Namun sebagai orang yang memikul tanggung jawab akan SMA Angkasa, dia harus memastikan SMA Angkasa selalu menjadi yang terbaik. Dia tidak akan membiarkan satu pun peluang siswa potensial seperti Adilla tidak dimiliki oleh SMA Angkasa.
Ketakutan membuatnya egois.
" Anda memanggil saya?"
Pak Amir meletakkan dokumen itu ketika mendengar suara Raya.
" Ah Raya, saya ada informasi untukmu." Kata beliau beranjak untuk memilah dokumen di rak belakangnya.
Sedangkan Raya, ia sama sekali tidak mendengarkan. Ia terlalu teralihkan pada tulisan bagian atas sebuah kertas yang berada di atas meja sang kepala sekolah. Sambil mengawasi sang kepala sekolah, Raya menyusupkan tangannya pada salah satu duplikat dokumen yang asli.
**
Dewa menatap sosok tua itu dengan wajah datar.
" Tuan Alexander menunggu anda." Kata Joey setelah menegapkan diri.
Dewa menatap mobil sedan hitam itu sejenak, kemudian masuk. Dia tahu cepat atau lambat ayah Nala akan memintanya bertemu. Seperti kata Leon.
Setelah perjalanan sekitar setengah jam, mereka memasuki area hotel yang dikenal Dewa sebagai hotel berbintang lima. Rupanya hotel ini milik Halid Corp. Joey memintanya mengikutinya. Mereka menaiki lift hingga lantai paling atas sebelum Joey membuka lift dan membiarkan Dewa keluar lebih dulu. Setelahnya, ia menuntun Dewa pada sebuah ruangan. Sampai sana, Joey menepi, pertanda Dewa dipersilahkan masuk sendiri.
" Masuk." Sambut suara tegas itu setelah Dewa mengetuk pintunya.
Dewa mematuhinya. Ia memasuki ruangan serba mewah dengan perabotan mahal. Namun bukan vas langka dari China di sudut ruangan yang menarik perhatiannya, bukan pula ornamen dinding khusus dari Jepang itu. Namun sosok Alexander Halid yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan tangan masih menari. Entah menulis apa.
Ia membiarkan Dewa berdiri lama di depannya sebelum akhirnya Alex melepas kacamatanya dan menatap Dewa. Dalam hati, ia mengagumi pembawaan diri Dewa. Ia mengakui laki-laki itu menarik. Bukan tentang wajahnya yang rupawan atau tubuh gagahnya, dia mempunyai tatapan tajam dan tegas yang mencerminkan kepribadiannya. Sejak awal dia berjabatan tangan dengannya, ia tahu sosok itu tidak takut akan keberadaannya dan kekuasaan yang selalu mengekornya di belakang.
Alex mengamati Dewa dari atas hingga ke bawah dengan jemari tertaut. Untuk mendapatkan informasi tentang kehidupan Dewa tentu saja mudah baginya. Dari sana, dia tahu bahwa beban remaja itu tidak biasa. Tapi disinilah dia, berdiri tegap menghadap Alex tanpa gentar sedikitpun. Sebuah mental yang luar biasa. Dia harus mengingatkan diri agar bisa mengajari Fabian bersikap seperti ini.
" Silahkan duduk." Alex mengedik pada kursi di depannya. Dewa mematuhinya.
Dewa terdiam, menunggu Alex membuka suara.
" Jauhi Kanala."
Kalimat itu meluncur dengan tegas, membuat Dewa mengeraskan rahangnya meskipun masih bisa membalas tatapan Alex dengan tenang.
" Dan mengapa saya harus melakukannya?"
" Karena kamu tidak pantas untuk anak saya."
Dewa menatapnya sejenak.
" Saya tidak mengira anda masih menjadikan perbedaan latar belakang sebagai alasannya." Kata Dewa tanpa nada menghakimi. Bagaimanapun, dia menghormati ayah Nala. " Kalau itu yang anda khawatirkan, anda tidak perlu khawatir. Saya akan bekerja keras untuk memenuhi syarat anda. Jadi anda tidak perlu menyuruh saya menjauhi Nala lagi."
Mengagumkan bagaimana Dewa mengatakannya dengan penuh tekad. Namun Alex justru menghirup nafas dalam-dalam.
" Saya rasa, dengan kondisimu yang sekarang, akan sulit mencapainya." Kata Alex. " Saya tidak meremehkan kemampuanmu. Saya tahu kamu mampu. Tapi tidak sekarang. Dan saya tidak mau anak saya menunggu tanpa akhir yang jelas. Sebutlah ini naluri seorang ayah yang ingin menjaga kehidupan putrinya."
Tajam, memang. Dan dalam. Bahkan sedikit menyentil pendirian Dewa. Tapi dia bertahan. Kekhawatiran itu bisa ia atasi dengan baik.
" Saya berterima kasih padamu yang sudah menjadi motivasi terbesar Nala. Membuatnya kembali bersekolah dengan baik. Tapi untuk melanjutkan hubungan kalian, saya tidak bisa mengizinkannya. Saya tidak bisa mengizinkan Nala menunggu kamu untuk sukses entah berapa tahun ke depan. Itu bisa menghambat masa depannya. Kamu hanya akan menjadi halangan bagi Nala untuk jalan yang akan saya berikan padanya. Nala adalah putri keluarga Halid. Ada banyak beban di pundaknya, termasuk masa depan perusahaan kami."
Kini, Dewa tahu seberapa besar jarak perbedaan strata sosial mereka berdua. Alex tiba-tiba berdiri. Ia menyilangkan tangannya di belakang dan menatap Dewa lekat-lekat.
" Pahamilah ini. Bagi kamu, saya terlihat tidak menyetujui karena alasan strata sosial. Tapi kamu harus tahu mengapa saya melarangnya. Saya tidak meragukan kamu. Tapi untuk sekarang, saat ini, detik ini, kamu tidak akan bisa mengimbangi Nala yang sudah melangkah lebih jauh di depan kamu. Kamu boleh kembali lagi setelah membuktikan dirimu pantas bagi Nala. Tapi untuk sekarang, saya ingin yang terbaik bagi Nala."
Alex menyentuh ringan bahu Dewa yang terpaku.
" Saya hanya seorang ayah yang menginginkan yang terbaik bagi putrinya." Ucapnya. " Saya yakin semua orang tua akan seperti itu. Suatu hubungan bukan hanya tentang perasaan. Suatu saat, tanggung jawab kamu bertambah bukan hanya sebagai laki-laki. Tapi sebagai suami, sebagai ayah. Sebagai kepala keluarga. Jika nanti suatu saat kamu berhasil membuktikan bahwa kamu bisa bertanggungjawab atas semua itu, saya akan dengan senang hati menerima kamu, Dewa."
Alex kembali di tempat duduknya. Ia membuka laci mejanya dan meletakkan sebuah dokumen di depan Dewa.
" Saya dengar kamu ingin menjadi dokter. Itu adalah rekomendasi sekolah kedokteran yang menyediakan beasiswa. Beberapa di luar negeri. Saya tidak ragu kamu bisa meraihnya mengingat kemampuan kamu."
Dewa menelan ludah. Ia memejamkan matanya untuk meredakan ketakutan yang mulai menjalar di tubuhnya.
" Saya tidak meragukan perasaan kamu. Saya bisa menilai ketulusanmu bagi Nala. Dan Nala juga sayang padamu. Tapi kalian masih muda, dan hati anak muda sering kali terbolak balik. Kamu dan Nala mempunyai tujuan yang berbeda. Sebuah achievement yang harus kamu penuhi terlebih dahulu. Katakanlah, kamu mempunyai tanggung jawab pada keluargamu. Nala juga mempunyai tanggung jawab pada keluarga Halid. Jangan bilang pada saya kamu bisa menjaga keduanya sekaligus, Dewa. Kapasitas kamu tidak memungkinkan. Kamu tidak bisa membagi fokus. Dan saya tidak mau Nala akhirnya hanya mementingkan kamu tanpa memikirkan masa depannya."
Dewa teringat bagaimana Nala mengatakan bahwa Dewa adalah alasan berubahnya Nala. Kata-kata Alex benar. Suatu saat jika Dewa terjatuh ke dalam lubang tanpa jalan keluar, Nala mungkin akan mengikutinya kesana.
**
" Dewa!"
Dewa yang pikirannya penuh dengan perkataan Alex berhenti saat mendengar suara yang familier.
" Leon, lo ngapain disini?" Tanya Dewa mengerutkan kening. Leon bergegas mendatanginya dengan tampang khawatir setengah mati.
" Gue denger lo dipanggil sama Pak Alex, jadi gue kesini. Lo kenapa? Lo diapain?" Tanya Leon dengan suara rendah saat mereka melewati lobi.
Dewa terdiam sejenak sebelum melanjutkan, " Gue disuruh menjauhi Nala."
" Damn! Bener kan? Ayahnya Nala mesti bertindak cepat!" Leon mengusap wajahnya dengan kasar. " Dan lo gimana De? Jangan bilang lo takut karena gertakannya dia!"
Dewa yang merekam seluruh kalimat Alex dalam otaknya menggeleng, " Itu bukan gertakan, Le. Dia ngasih opini yang rasional sama gue."
Leon terperangah. " Astaga! Lo dicuci otak sama dia! Jadi lo mau jauhin Nala gara-gara itu?"
Dewa menghembuskan nafas dan menghadapi sahabatnya lekat-lekat. " Gue cuma bilang itu bukan gertakan. Apa yang beliau bilang sama gue itu masuk akal. Tapi bukan berarti gue mau jauhin Nala. Gue akan membuktikan sama dia kalau gue bisa menjaga Nala sekaligus. Gue akan pastikan gue bisa menjadi sosok yang pantas buat Nala."
Leon menatap Dewa sejenak, kemudian menghembuskan nafas lega. " Astaga, gue kira..."
" Jangan ngeremehin apa yang pernah gue bilang." Kata Dewa tajam. Ia tidak suka orang lain meragukan dirinya.
Leon menggeleng. Ia menepuk pundak Dewa.
" Ibu lo masuk rumah sakit, De. Tadi Dilla nelfon gue soalnya lo nggak ngangkat telfonnya."
**
Dari layar 24 inchi itu, seorang Alexander Halid mengamati dua sosok remaja yang sedang berada di lobi hotel.
" Hmm...kamu memang pantas dikagumi, Dewangga Abirama." Ucapnya tulus.
Ada secercah nada bangga membayangkan mempunyai menantu secakap dirinya. Tapi harapannya segera ditepis kenyataan bahwa pikirannya terlalu jauh. Anak ini masih muda. Masih belum tahu apa-apa tentang dunia. Ketika banyak masalah yang menghimpitnya, seseorang akan dipaksa menentukan prioritas dan melepaskan yang lain. Alex menautkan jemarinya. Dia bukan orang jahat yang akan menggunakan cara kotor untuk memisahkan anaknya. Dia hanya ingin mereka berdua belajar dari kenyataan yang ada.
Alex mengingat kata-kata Dewa sebelum anak itu keluar dari ruangannya.
" Anda orang yang bijaksana, pak Alex. Dan saya menghormati permintaan anda. Tapi saya akan membuktikan pada anda bahwa saya bisa memenuhi keinginan anda tanpa harus membuat Nala menunggu. Dan satu lagi. Tolong berkata jujur pada Nala. Dia terluka karena selama ini anda membohonginya."
Cukup mengejutkan bagaimana Dewa mengetahui rahasianya. Tapi mengingat seorang Aditama menjadi temannya, mungkin itu bukan hal yang sulit.
*TBC*
Mumpung ada kuota, hohoho
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top