22. Alexander Halid dan Masa Lalu
" Twins always carrying a half of other's life, that's why they're amazingly connected."
Dewa mendengar dengan jelas kata-kata Nala. Ia menoleh pada Nala dan mendapati wajahnya mengeras sarat ketidaksukaan. Kemudian berganti memandang sebuah mobil sedan yang kini berada depan mereka.
Seseorang keluar dari sisi kemudi. Satu lagi keluar dari sisi yang lain, tepat di depan mereka. Seorang pria berbadan tegap dengan rahang yang tegas. Matanya setajam elang, seakan tidak ada satu hal pun yang luput dari perhatiannya. Aura intimidasi begitu terasa, menjadikan udara di sekitarnya sedikit berbeda. Sosok yang hanya pernah Dewa lihat di foto keluarga di rumah Nala. Alexander Halid.
" Kanala." Ucapnya. Suaranya dalam dan pelan, namun penuh kekuatan seperti gendang yang ditabuh.
Nala merapatkan rahang. Ia mengabaikan Alex dan menoleh pada Dewa yang tidak repot-repot disapa ayahnya.
" Kak, pulang gih. Nanti kesorean."
Namun Dewa bergeming. Ia sedari tadi menatap Alex yang bahkan tidak menganggapnya ada. Hingga Dewa mengangkat tangannya.
" Senang bertemu anda, pak Alexander Halid." Kata Dewa tanpa rasa takut. Alex menatapnya untuk pertama kali, menatap uluran tangan Dewa. Nala mengepalkan tangannya kuat-kuat. Namun kekhawatirannya tidak beralasan karena Alex menyambut uluran tangan Dewa. Kedua laki-laki gagah dengan tinggi yang hampir sama itu bersalaman singkat.
" Kak Dewa, pulang sana!" Kata Nala setengah memaksa. Ia tidak akan melibatkan Dewa dalam urusan pribadinya dengan sang ayah. Dari cara Alex menatap Dewa, wajar rasanya jika ia perlu menjauhkan Dewa dari Alex.
Dewa akhirnya menoleh pada Nala dan tersenyum kecil. " Iya. Aku pulang dulu."
Tidak ada yang bicara ketika Dewa menuntun motornya dan keluar dari gerbang. Setelah memastikan Dewa tidak terlihat, Nala memutar tubuhnya dengan malas dan masuk ke dalam rumah.
" Siapa tadi? Kekasihmu?" Tanya Alex kaku saat dirinya memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya selama dua tahun. Nala mengabaikannya.
" Nona Kanala." Joey, supir ayahnya yang seluruh kumisnya sudah memutih membungkuk pada Nala dari belakang Alex. Nala tersenyum tipis.
" Paman Joey." Balas Nala mengangguk singkat. Ia balas menatap ayahnya yang duduk di sofa dengan dingin. " Jadi, kenapa papa tumben kemari?"
" Jaga nada bicaramu, nak. Tidak ada yang mencegah papa untuk pulang." Kata Alex dengan ketenangan yang nyata.
Nala mendengus meremehkan, " Pulang? Sejak kapan papa menganggap ini rumah? Bukannya rumah papa ada di Perancis, di tempat Julianne ada? Kenapa repot-repot pulang segala?"
" Kanala, berhenti bicara seperti itu." Kata ayahnya. Nala menggeram. Ia menyahut sweaternya di punggung sofa dan berjalan melewati Alex. Alex menahan lengan Nala, yang langsung disentakkan Nala.
" Mau kemana kamu?" Tanya Alex tajam.
" Kemanapun selain berada satu tempat dengan papa." Jawab Nala singkat.
" Kanala, cukup! Mau sampai kapan kamu bersikap kekanakan seperti ini?" Ucap papanya menaikkan suaranya. Mendengarnya, Nala semakin menatapnya dengan dingin.
" Sampai papa menangis darah mengiba permintaan maaf dari mama." Desis Nala membalas ayahnya, " Apa ini? Mengapa papa berlagak lupa seperti ini? Nala tidak lupa, pa. Nala tidak pernah lupa bagaimana papa meninggalkan kita untuk orang lain. Nala tidak akan pernah lupa rasanya tidak punya papa."
" Bersikaplah dewasa, Kanala! Belajar menerima apapun yang terjadi denganmu! Mau sampai kapan kamu keras kepala tinggal sendirian disini? Mamamu sudah meninggal!"
" DAN ITU KARENA PAPA!" Teriak Nala meledak. " Seandainya papa tidak sibuk disana. Seandainya papa mau mendengarkan Nala dan Radit, mama tidak perlu meninggal! Nala lebih baik tinggal disini daripada serumah dengan wanita tidak tahu malu yang merebut tempat mama."
Tangan Alex mengepal, namun ia menahan diri. Walau bagaimanapun, Nala adalah putrinya. Dan dia memang bersalah meninggalkan Nala disini selama ini.
" Papa minta maaf. Sekarang, papa minta kamu ikut papa ke Perancis. Disana kita bisa memulai semuanya bersama. Tidak baik perempuan tinggal sendirian." Ucap papanya dengan lancar.
Namun Nala tertawa. Sudut matanya basah. " Minta maaf? Papa, dimana papa ketika Radit memohon papa untuk pulang? Dimana papa ketika Radit terkena demam berdarah hingga sekarat satu minggu di rumah sakit? Dimana papa ketika Nala merindukan papa? Papa bahkan menolak semua panggilan dari Nala. Nala memang belajar menerima. Menerima kenyataan bahwa Nala tidak lagi mempunyai seorang papa. Lalu sekarang papa beritikad baik seperti ini? Kenapa? Apa Julianne sekarat? Apa Fabian mati?"
PLAKK!
" Kamu memang tidak pernah berubah dari dulu, Kanala Halid!!" Geram Alex dengan mata menggelap.
Nala menoleh ke depan kembali. Tamparan papanya tidak keras, tapi cukup membekas di pipi dan hatinya. Ia menatap ayahnya dengan berani meskipun air mata menetes di pipinya.
" Papa yang membuat Nala seperti ini! Jadi terima saja buah dari kelakuan papa. Sejak papa memutuskan untuk menikahi Julianne, Saat itu juga papa kehilangan Nala dan Radit." Desis Nala. Ia menyambar sweaternya yang terjatuh dan berlari keluar.
Tidak. Dia tidak sudi berada satu tempat dengan orang yang dibencinya. Sampai di gerbang, sebuah tangan menyambar lengan Nala sampai gadis itu memekik keras.
" K...kak Dewa! Kenapa masih disini?" Nala terkejut karena Dewa berdiri tepat di samping gerbang. Laki-laki itu terdiam sembari menghapus air mata Nala. Mata Dewa berkilat saat Nala meringis karena Dewa menyentuh ringan ruam merah di pipi Nala.
" Mau pergi?" Tawarnya. Nala mengangguk. Tangisnya meledak saat ia membenamkan diri dalam-dalam ke pelukan Dewa.
Tempatnya pulang adalah Dewa.
**
Dewa berjalan ke arah Nala yang menunggunya di salah satu bangku alun-alun kota yang ternaungi pohon rindang. Ia duduk di samping Nala, meraih dagu gadis itu agar lebih mudah baginya mengamati bekas merah di pipi Nala. Tanpa kata, Dewa menekankan es batu yang sudah terbalut sapu tangan disana.
" Dududuhh..." Nala berjengit saat rasa perih menerpanya, " Es batu dapat dimana?"
" Penjual es dawet disana." Jawab Dewa yang masih telaten mengompres pipi Nala. Ia melihat sekilas wajah Nala. Raut gadis itu masih sedih. Sesekali, ia berjengit. Perkataan Leon tentang Alexander Halid memang tidak salah. Mengingat bagaimana seorang ayah tega menampar anak gadisnya sendiri sudah membuat Dewa naik pitam.
Tangan Nala bergerak untuk menyahut es batu, " Kak Dewa pulang sana. Udah malem ini. Makasih, ya." Kata Nala pelan. Gadis itu dengan sengaja menghindari pandangan Dewa. Dewa menepis tangan Nala yang berusaha merebut es batu dari tangannya, menahannya di pangkuan Dewa.
Melihatnya, air mata Nala menetes. Ia tidak mampu lagi menahan isakannya.
Dewa membiarkannya. Kesempatan untuk menangis adalah apa yang dibutuhkan Nala saat ini. Dengan sabar ia menekan lembut es di wajah Nala.
" Maaf. Maaf kak Dewa harus tahu kayak apa papaku." Isak Nala. Dewa terdiam. Kenyataannya, dia sudah lama tahu. Nala menatap Dewa dengan mata cantiknya yang basah.
" Apapun yang dibilang papa nanti, jangan pergi." Pinta Nala mencengkram erat-erat celana Dewa. Dewa mencondongkan kepala untuk mengecup dahi Nala.
" Aku nggak akan pergi dari kamu. Aku nggak bisa pergi dari kamu." Jawab Dewa memandang Nala dengan sayang. Ia menahan sisi wajah Nala yang tidak terluka, mengusapnya lembut.
Nala hendak memeluk Dewa, namun Dewa menahannya sembari tertawa pelan.
" Nanti." Katanya. " Pipimu masih perlu dikompres."
" Isss..." Cibir Nala. Ia mendongak untuk menatap Dewa. Dewa menoleh padanya, mengangkat alis.
" Ada apa?" Tanyanya. Nala menggeleng.
" Kak Dewa nggak minat tanya-tanya tentang aku?" Tanya Nala. " Aku nyembunyiin identitasku lho."
Dewa menelengkan kepala sejenak, kemudian menggeleng. " Kamu akan cerita kalau kamu mau cerita."
Nala menatapnya, menimbang-nimbang. Sepertinya sudah saatnya ia benar-benar membuka diri pada Dewa. Tidak adil juga karena ia sudah mengetahui keluarga Dewa. Nala berdehem.
" Papaku nikah lagi waktu umurku dua belas tahun. Waktu itu, aku sama Radit kelas enam SD." Kata Nala memulai. Dewa menyimak sembari membalik es batunya di pipi Nala.
" Tanpa bicara sama kita, tanpa bilang apapun, tiba-tiba papa udah nikah sama orang Perancis keturunan Indonesia, namanya Julianne." Nala menarik nafas berat saat luka lama yang masih berdarah itu tertoreh lagi.
" Dari dulu, papa selalu mementingkan pekerjaan. Kita jarang ketemu sama papa. Papa pulang tiga bulan sekali itu keajaiban. Aku sama Radit maklum. Mama selalu bilang papa kerja buat kita, dan aku paham. Aku terima. Tapi ketika aku dengar papa menikah lagi, rasanya seolah aku nggak ngerti lagi aku harus memakluminya dengan cara apa. Dan mama yang kelihatan tenang-tenang saja membuatku makin benci papa."
" Kenapa?" Suara Nala bergetar. " Kenapa papa tega? Papa berselingkuh di belakang mama hampir sejak awal pernikahan mereka, sampai Julianne punya anak satu tahun lebih muda daripada aku. Aku nggak habis pikir, apa kurangnya mama? Mama itu perempuan paling baik yang pernah aku tahu. Saking baiknya dia membiarkan papa berselingkuh dan menikah dengan wanita selingkuhannya. Aku nggak ngerti, aku nggak paham."
Dewa menyila rambut Nala yang tertiup angin.
" Aku ingat, waktu kelulusan papa pulang ke Indonesia. Aku pikir dia pulang karena ingin memberi selamat sama kita karena lulus dengan peringkat memuaskan. Tapi ternyata nggak. Tanpa bertanya apapun tentang kami, papa meminta mama ikut ke Perancis. Dan mama mematuhinya. Sore hari kelulusan kita, mama pergi ke Perancis. Ninggalin aku sama Radit sendirian disini."
Air mata Nala meleleh lagi ketika mengingat saudara kembarnya.
" Awalnya kita kacau. Awalnya, ada banyak pembantu dan sopir yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tapi tetap saja, kita merasa ada yang kurang. Hingga pada akhirnya Radit menyuruh semuanya pergi dari rumah. Dia bilang sama papa kalau kita bukan anak pembantu. Kalau papa dan mama nggak bersedia menemani kita di rumah, nggak ada yang boleh menggantikannya. Dalam kemarahannya, Radit benar-benar membuat kita berdua hidup sendiri. Saling bergantung hanya satu sama lain."
Nala mengusap pipinya.
" Tapi aku nggak mengeluh. Hidup berdua sama Radit jauh lebih menyenangkan daripada hidup dengan banyak pembantu di rumah. Kita belajar berdiri sendiri. Kita belanja bahan makanan bersama. Aku bagian memasak, bersih-bersih rumah, sedangkan Radit bagian mencuci, setrika dan cuci motor. Bagiku, hanya Radit yang paling penting. Bagi Radit, cuma aku yang paling penting. Kita merasa nggak bisa tanpa yang lain. Pernah satu kali, Radit mengunci cewek yang jahat sama aku di toilet seharian. Sampai paginya itu cewek lemas. Buatku, Radit segalanya. Dia ayah, ibu, saudara dan teman. Nggak terbersit pacaran atau apapun, karena masing-masing adalah yang terpenting bagi yang lain. Kerinduan akan orang tua perlahan menghilang. Kebutuhan akan kasih sayang mereka perlahan sirna. Hidup kami sempurna saat itu."
Nala tertawa sedih.
" Tapi harusnya aku tahu kalau Tuhan nggak pernah membiarkan manusia berada pada keadaan yang sama."
" Waktu penerimaan Rapor kelas dua semester satu, mama pulang. Belakangan kita tahu kalau mama pergi dari Perancis diam-diam. Maka ketika papa tahu, papa marah luar biasa. Dia sampai mengirim pengawal ke Indonesia demi memaksa mama pulang. Tentu saja mama patuh. Tapi Mama bersikeras diantar oleh Radit. Dan di jalan menuju bandara, mereka kecelakaan."
Tubuh Nala kembali bergetar mengingat hari naas itu. Bagaimana ia merasa darah surut dari tubuhnya ketika salah satu pengawal ayahnya mengabari Nala tentang mama dan Radit yang sekarat karena kecelakaan. Ia merasa dunianya runtuh.
" Waktu itu aku fokus POPNAS, jadi aku nggak ikut." Ujarnya menyesal, " Seandainya aku ikut, aku pasti ikut mati kan? Aku nggak harus sendirian disini. Aku nggak harus tersiksa gara-gara ditinggal Radit. Aku..."
Dewa merengkuh Nala. " Jangan diteruskan." Ucapnya merinding. Nala terisak saat menyadari ucapannya pasti menakuti Dewa. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Dewa.
" Tapi kak Dewa, aku benar-benar berharap aku ikut mati saat itu." Katanya dengan suara teredam.
Memori akan satu hari paling mengerikan dalam hidupnya memenuhi kepala Nala. Radit yang terbaring di rumah sakit dengan banyak mesin penopang hidupnya. Tubuh yang berdarah dan patah disana sini. Nala ingat betapa ia memohon pada Tuhan agar menukar tempat mereka. Ia ingat bagaimana nafasnya hilang setiap mendengar derak mengerikan dalam setiap tarikan nafas Radit yang terbaring koma. Dan suara kematian dari monitor itu. Dengung panjang dan stagnan yang meremat jantungnya, mencabut nyawanya.
Nala menggelengkan kepala keras-keras mengusir memori buruk itu. Tubuhnya gemetar.
" Aku kehilangan Radit tiba-tiba hanya lima menit setelah mama dinyatakan meninggal. Aku kehilangan duniaku. Aku hancur. Aku nggak punya alasan disini lagi. Bahkan setelah pemakaman mama, papa kembali ke Perancis tanpa bilang apapun sama aku."
Nala merapatkan pelukannya ketika sesak melanda dadanya tanpa ampun. Disini, ditempat paling aman ini, Nala menumpahkan segala emosinya. Ia menangis sejadi-jadinya. Mengapa Tuhan tega sekali padanya? Seakan seluruh nafas Nala direnggut perlahan karena kehilangan satu persatu orang yang dicintainya.
Dewa memejamkan mata. Ia hanya menumpukan dagunya di puncak kepala gadis itu sembari menyembunyikan sosoknya dari pandangan ingin tahu orang lain di antara rengkuhan lengan. Ia menunggu Nala dengan sabar hingga isakan hebat gadis itu perlahan reda menjadi segukan.
" Waktu itu aku mulai bolos sekolah." Kata Nala dengan suara serak. "Aku kehilangan tujuan hidup saat itu. Aku sering jalan tanpa tujuan kesana kemari, masih menggunakan seragam sekolah. Aku tahu Radit pasti kecewa sama aku, tapi aku nggak bisa, aku nggak tahan rasa sakitnya. Sampai suatu saat aku ketemu mas Qatar dan beliau minta aku ngajar anak-anak kampung. Meskipun sakit, meskipun rasanya susah sekali, tapi aku berusaha bangkit. Sampai mas Qatar membuatku punya tujuan yang baru, yaitu mengajar anak-anak kampung."
Nala menyandarkan pipi kepalanya di dada Dewa, tidak berniat beranjak dari kehangatan itu.
" Jadi sekarang kak Dewa paham kan kenapa aku nggak bisa ninggalin mereka? Mereka salah satu tujuan hidupku. Mereka menyelamatkan aku dari kegilaan karena kehilangan Radit."
Dewa mengeratkan pelukannya, membuat Nala memejamkan mata karena kenyamanan tidak terhingga.
" Kalau begitu aku tujuan hidupmu yang lain." Kata Dewa di atas kepala Nala, " Sama seperti aku menjadikanmu tujuan hidupku. Aku adalah tujuan hidupmu."
Nala mengangguk tanpa membuka matanya. " Kamu memang tujuan hidupku. Jadi jangan pernah pergi."
" Hmm..." Kata Dewa yang juga memejamkan mata. Ia meresapi kehangatan dari tubuh Nala. Ia membiarkan dirinya memeluk Nala untuk waktu yang lama. Ia ingin gadis itu tahu bahwa dia bisa bergantung pada Dewa kapanpun Nala membutuhkannya. Sudah cukup waktu yang dihabiskan Nala dalam kesendiriannya. Untung saja, untung saja Nala bukan gadis bodoh yang akan mengambil jalan pintas untuk menuntaskan masalahnya. Dewa merasa Tuhan senang sekali bermain dengan Nala.
" Nona."
Dewa dan Nala terkejut hingga pelukannya terurai saat mendengar suara halus di belakang mereka.
" Paman Joey!" Seru Nala terkejut setengah mati saat menemukan sosok jangkung yang berdiri temaram di belakang mereka. Sosok yang dipanggil paman Joey itu membungkuk singkat pada Dewa sebelum menegakkan diri kembali. Wajahnya tersenyum ramah.
" Sudah malam. Sudah waktunya nona pulang." Kata beliau.
" Nggak mau!" Tolak Nala langsung.
" Tuan menginap di hotel. Saya ditugaskan untuk mengantar nona pulang." Kata Joey tanpa terpengaruh nada keras Nala. Nala menggembungkan pipinya, sama sekali tidak menyukai ide untuk pulang. Ia menghadap Dewa dan mencengkram erat jaketnya.
Dewa tersenyum kecil. Ia memeriksa luka Nala yang samar karena tidak membengkak. Dewa merapikan rambut Nala dan menghapus jejak air mata di pipi gadis itu.
" Pulang. Aku juga mau pulang." Kata Dewa.
Nala menatapnya dengan wajah cemberut. " Tapi aku nggak tahu kapan ketemu lagi sama kak Dewa."
Dewa tertawa kecil. Gadisnya ini menggemaskan sekali. Ia mengusap puncak kepala Nala. " Secepatnya."
Mendengarnya, mau tidak mau Nala merasa lega. Ia mengangguk. Gadis itu tidak melepaskan Dewa hingga sampai di mobilnya. Setelahnya, Nala berjinjit untuk mencium pipi Dewa sebelum membuka pintu di samping Joey yang berubah menjadi patung beberapa saat. Oke. Dewa harus membenamkan tangannya dalam-dalam ke dalam saku untuk mencegah dirinya menarik Nala dan melakukan hal-hal diluar batas lagi.
Ia mengawasi mobil itu hingga hilang di dalam kegelapan sebelum bisa bernafas lagi. Tangan kanannya yang masih di dalam saku tanpa sengaja menyentuh ponselnya. Ia jadi ingat bahwa ia belum memeriksa ponselnya seharian.
Dewa iseng memeriksa ponselnya, dan sebuah pesan membuat jantungnya berhenti mendadak.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top