21. Satu Bulan Sialan
" I miss you, need you, love you this much till it hurts me."
Dewa sedang melayani pembeli di warungnya ketika sebuah mobil sport datang dan menyedot perhatian semua orang. Dewa berjanji akan menjitak kepala Leon yang keluar lengkap dengan kaca mata hitam dan tas laptop yang dijinjingnya dengan angkuh.
" Hai bro!" Seru Leon saat dilihatnya Dewa berdiri di ambang pintu dengan tampang siap menggamparnya. Leon malah nyengir.
" Ck! Gue datang bukannya dipeluk malah dipelototin. Nasib!" Keluh Leon masuk dan duduk di salah satu meja kosong yang jauh dari pengunjung. Ia melepaskan kaca mata hitamnya tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapnya.
Dewa datang dengan satu buah jus sirsak di tangannya, minuman kesukaan Leon. Tanpa babibu, Leon menyeruput dengan rakus.
" Astaga! Lo tau aja gue haus. Seharian ngomong di depan orang tua itu nggak enak banget, beneran!" kata Leon. Dewa masih menatapnya tanpa ekspresi.
" Jadi ngapain lo kesini terus nakut-nakutin pelanggan gue dengan berlagak teroris?" Tanya Dewa kemudian. Leon menaikkan alis.
" Nggak ada teroris seganteng gue." Kata Leon serius membuat Dewa beranjak pergi. Dia tidak punya waktu meladeni sahabat konyolnya satu ini. Namun Leon menahan Dewa.
" Weits, tunggu bro. Gue kesini mau nganter berkas yang lo minta." Kata Leon meninggalkan sikap main-mainnya. Ia mengeluarkan sebuah map merah muda dari dalam tas laptopnya, membuat Dewa kembali duduk di hadapan Leon.
" Satu hal yang perlu gue sampein ke lo. Gila." Cetus Leon menatap tajam Dewa. " Lo harusnya hati-hati soal macarin anak orang, bego!"
Perkataan Leon membuat Dewa mencengkram erat map itu. " Itu cuma dugaan."
Leon menggeleng, " Lo tau benar itu bukan dugaan. Lo sedang memecahkan teka-teki, De. Dan apa yang gue bawa itu keping terakhir dari teka-teki yang lo susun."
Leon menghirup nafas banyak-banyak.
" Gue nggak nyangka anak perempuan dari Alexander Halid selama ini ada di depan mata gue. Gue bener-bener nggak nyangka." Celetuknya. " Lo ati-ati ya De. Keluarga berkuasa seperti keluarga Halid itu susah. Gue ngomong ini biar lo punya ancang-ancang. Gue pernah ketemu sama Alexander Halid beberapa kali dan dia pribadi yang sulit. Lo nggak pernah tahu apa yang ada di otaknya. Jenius sih, nurun ke yang satu itu, tapi sulit."
Leon mengamati Dewa yang membaca berkas itu dengan mata yang makin menggelap.
" Lo tetep mau lanjut sama Nala?" Tanya Leon kemudian.
Dewa mengangguk. " Ini nggak ada hubungannya sama hubungan gue sama Nala."
"Setelah baca itu, gue jadi tahu alasan Nala jadi kayak gitu. Gue nggak bisa nyalahin dia." Leon menatap Dewa, merasa puas dengan jawaban Dewa. "Gue selalu ada buat lo, De. Kalau ada perlu apapun, lo bilang sama gue."
Untuk pertama kalinya sejak bertemu Leon hari ini, Dewa tersenyum samar.
" Makasih." Katanya tulus. Leon menatap Dewa beberapa saat seolah sedang berpikir. Kemudian, ia menghembuskan nafas dan menarik satu lagi map plastik dari tas laptopnya.
" Ini." Katanya menyerahkan map itu di depan Dewa yang mengerutkan kening. " Isinya bukan buat diumbar dan pastikan tetap seperti itu."
Dewa semakin tidak mengerti. " Maksud lo apa?"
Leon memejamkan matanya sejenak sebelum membalas tatapan Dewa. " Baca aja. Gue memutuskan ngasih lo semua, semua informasi tentang Alexander Halid sampai rela jadi maling berkas papa gue sendiri. Gue percaya lo bisa gunain dengan bijak."
Leon menumpukan sikunya ke meja dan menatap Dewa lekat-lekat. Meskipun sangsi, namun Dewa meraihnya juga.
" Udah berapa hari nggak ketemu Nala?"
" Satu bulan."
" SHIT!!"
PLAKK!!
" Ngomong kasar gue banting lo!" Desis Dewa. " Ini tempat sumber rejeki gue, bego!"
Leon meringis sembari mengusap sisi kepalanya yang berdenyut. Gamparan Dewa seperti serudukan seekor gajah baginya. " Iya iya sori. Duh, efek sakau sebulan jadi labil lo ya. Ck! Kalau gue amnesia gimana? Setan lo!"
" Nggak bakalan." Kata Dewa kalem. " Gue belum bisa ninggalin warung."
" Ibu lo gimana keadaannya?"
Seketika wajah Dewa mengeruh. " Progresnya memburuk. Dokter nyaranin ibu pindah ke desa. Atau ke tempat yang lingkungannya lebih seger."
Leon yang pernah mengunjungi ibu Dewa sekali tentu memahami kesulitan sahabatnya ini.
" Udah daftar mau kemana?" Tanya Leon memelankan suaranya. Dewa menggeleng.
" Gue belum bisa fokus buat ngelanjutin kuliah, Le. Masalah gue masih banyak." Jawab Dewa menghela nafas.
Leon mengeluarkan sesuatu dari tasnya, kemudian menyerahkannya pada Dewa.
" Itu beberapa rekomendasi sekolah kedokteran yang membuka beasiswa penuh. Agak sulit menurut gue persyaratannya. Tapi buat lo, itu nggak ada artinya, gue jamin. Gue tahu seberapa besar impian lo, De. Ini cobaan. Lo kudu kuat."
Dewa tersenyum samar. " Iya, makasih."
" Nggak ada salahnya sekali-kali lo ketemu sama Nala. Besok dia maju ke provinsi. Dia pasti juga kangen banget sama lo, De. Demi kebaikan lo juga, eh. Udah kayak mayat hidup gini lo nahan kangen."
Dewa terdiam. Dia tahu betul bahwa besok delegasi SMA Angkasa maju ke provinsi. Tapi Dewa belum mempunyai kesempatan menemui Nala. Dia belum berani meninggalkan ibunya.
**
Nala keluar dari gedung bersama Vanya, Zio dan pembimbingnya. Pembimbing mereka tampak antusias mengingat performa anak didik mereka yang bisa dibilang brilian. Kali ini, Vanya benar-benar menurunkan egonya dan berusaha untuk bekerja sama dengan baik. Hal yang membuat Zio tersenyum samar hingga Nala mengira kiamat akan segera datang. Nala sendiri, tentu saja tetap melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Nala menunduk dalam-dalam. Sudah satu bulan penuh ia dan Dewa tidak pernah bertemu sapa. Yang ia tahu, ia tidak pernah menemukan Dewa di sekolah. Dewa tetap menelfonnya, tentu saja. Tapi sekali lagi, itu tidak cukup.
Ada kalanya seseorang mengobati kesedihan dengan menyibukkan diri terhadap sesuatu. Dan Nala melakukannya. Ia benar-benar menyibukkan diri dengan sekolah dan bimbingan ini. Paling tidak ketika ia bertemu Dewa nanti, ia bisa membanggakan sesuatu padanya. Paling tidak ia bisa menunjukkan bahwa ia baik-baik saja sehingga Dewa tidak perlu khawatir.
Tapi tetap saja, rindu ada batasnya.
Dan saat ini, di depan gedung pendidikan yang sedang penuh orang, Nala merasa pertahanannya runtuh. Ia berhenti dan membiarkan rombongannya melewatinya saat merasakan matanya memanas. Nala menangkupkan kedua tangannya di wajah, berusaha mengontrol emosinya. Nala menepuk-nepuk pipinya dengan pelan.
" Ayo Nala. Malu dong diliatin orang banyak. Nanti aja dirumah, di depan Radit kayak biasa. Jangan dis..."
" La, lo dijemput Dewa?"
Suara Zio menghentikan monolog Nala.
" Ha? Nggak! Gue nggak..."
Namun kata-katanya hilang setelah menyadari sosok di depan mereka yang sudah bercengkrama dengan para pembimbingnya dengan sesekali tertawa. Zio tersenyum miring, kemudian menyahut Vanya agar segera mengikuti pembimbing yang sedang menuju mobil mereka.
Nala menatap Dewa. Laki-laki itu mengawasi mobil SMA Angkasa yang menjauh. Setelahnya, ia menoleh ke arah satu-satunya delegasi yang ditinggalkan.
Seseorang, tolong lepaskan sekap yang menghimpit hidung Nala. Dia tidak bisa bernafas saat Dewa akhirnya menoleh padanya. Kakinya terasa kaku, tapi Nala memaksa mendekatinya. Dia ingin memastikan bahwa Dewa bukan ilusi otaknya yang malang.
Nala mencapai Dewa, dimana dirinya bisa menghirup aroma Dewa yang membuatnya linglung. Selama itu, mata mereka tidak pernah lepas satu sama lain. Nala mencengkram erat-erat tali tasnya.
" Hai."
Demi mendengar suara itu, sebutir air mata leleh dari pelupuk mata Nala. Aneh sekali. Padahal setiap malam suara itu selalu menyapanya. Tapi bahkan sekarang ketika Dewa mengatakannya langsung, ia seakan baru saja mendengarnya kembali setelah satu bulan ini. Dewa menghela nafas, kemudian menarik Nala mendekat dan memeluknya.
" Maaf." Katanya mengecupi puncak kepala Nala. Dewa menyandarkan dagu disana, menyembunyikannya erat-erat hingga ia bisa merasakan tubuh itu berguncang pelan.
Nala balas memeluk Dewa. Ia menangis, membiarkan seluruh kelegaan membanjirinya sekaligus mengusir rindu yang menyesakkan. Betapa manisnya rindu yang terjawab. Kelegaannya nyaris sama menyiksanya.
" Sejak kapan Kanala si berandal jadi cengeng gini, hm?" Canda Dewa pelan. Nala tergelak kecil.
" Sejak ada kak Dewa." Jawab Nala mengeratkan pelukannya. " Aku takut kak Dewa pergi. Takut sekali."
" Ngomong apa sih, segede gini masa nggak kerasa?"
" Issss...merusak momen." Kata Nala melepaskan diri. Ia mengusap air matanya dan mencubit pelan lengan Dewa. " Aku tuh kangen! Ck!"
Melihat Nala yang mencak-mencak lucu seperti ini, Dewa tertawa. Ia mengulurkan tangan untuk menyila rambut Nala ke belakang telinga.
" Aku juga kangen banget sama kamu." Katanya lembut. " Gimana tadi?"
Nala menggeleng, " Nggak masalah."
" Hmm..."
Nala mendongak untuk menatap wajah Dewa dari dekat. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh kantung mata samar.
" Kurusan." Katanya khawatir. Ia menangkupkan kedua tangannya di pipi Dewa, " Kenapa kurusan?"
" Karena nggak ketemu kamu sebulan." Jawab Dewa menikmati kehangatan dari tangan Nala. Nala mendengus kecil mendengar gombal picisan Dewa.
" Jangan sakit. Nggak ada gunanya kalau kak Dewa sakit. Ngerti?"
Dewa mengangguk tanpa melepas manik mata coklat favoritnya. Gadis itu berdecak pelan dan menyugar rambut Dewa.
" Pulang, yuk?" Ajak Nala menyadarkan Dewa.
**
Sepanjang perjalanan, Nala memeluk Dewa erat-erat. Dia tahu waktu mereka sangat terbatas. Dewa pun juga tidak mengatakan sesuatu. Hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk melepaskan rindu yang menggunung selama satu bulan ini.
Dewa mengikuti Nala sampai gadis itu melangkahi ambang pintu rumahnya. Nala menghirup nafas sejenak sebelum berputar. Ia mendongak untuk menatap manik hitam legam yang langsung menangkap tatapannya.
" Mau mampir dulu? Aku ambilin minum, ya?" Kata Nala menawari. Dewa menggeleng tanpa melepaskan pandangannya. Nala mencengkram tali tasnya erat-erat, tahu bahwa ia tidak bisa menahan Dewa lebih lama lagi.
" Mau pulang sekarang?" Tanya Nala. Dewa mengangguk dalam diam. Nala tersenyum.
" Hati-hati ya. Nanti kalau udah sampai aku dikabari." Kata Nala. Dewa mengangguk lagi. Namun laki-laki itu tidak segera berbalik. Ia terus menatap Nala dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan.
Pun Nala melakukan hal yang sama, terkunci dalam tatapan Dewa. Entah berapa lama. Saling menyelami satu sama lain. Saling berpelukan melalui pandangan. Saling berbisik rindu tanpa suara.
Hingga Dewa menutup jarak di antara mereka berdua.
Mungkin. Mungkin dalam hatinya Nala juga merindukan ini. Kemunafikannya akan waktu yang cukup hancur saat Dewa menunduk untuk menciumnya. Dewa menggiringnya, memerangkapnya di belakang daun pintu yang masih tertutup untuk menyembunyikan mereka dari dunia luar.
Dewa melepaskan ciumannya dan menatap lekat Nala yang terengah dengan pipi merona. Satu tangannya merangkak naik di punggung Nala, yang lain membimbing tangan Nala untuk berkalung di lehernya. Setelahnya, Dewa menunduk untuk mencium gadisnya lagi.
Tidak cukup. Raung batin Dewa dengan frustasi. Waktunya bersama Nala tidak akan pernah cukup. Rasa bibir Nala semakin menyiksanya. Semakin dia mencari kepuasan untuk menghentikan siksaan gila ini, semakin haus dirinya akan gadis ini. Dia gila. Dia sudah gila.
Nala sadar bahwa ciuman Dewa tidak selembut biasanya. Dewa menciumnya dengan tergesa. Tapi Nala membiarkannya. Nala berjinjit dan menekan leher Dewa mendekat, mengatakan bahwa dia pun juga merindukan hal yang sama. Hingga Nala merasa Dewa membuka paksa bibirnya, hingga Nala merasa bagaimana lidah Dewa bersapa dengan lidahnya, Nala membiarkannya. Nala tenggelam dalam kebutaan yang memabukkan.
Dewa menarik pinggang Nala untuk memperdalam ciuman. Lidahnya mengajak Nala menari, mengirimkan jutaan ledakan di ubun-ubun hingga ujung kaki Nala. Nala merasa dirinya bisa pingsan atas selaksa sensasi dari sentuhan Dewa. Tanpa sadar, ia menyelusupkan jemarinya di rambut Dewa, meremasnya demi mencegah dirinya hancur berkeping dalam kegilaan rasa ini.
Laki-laki itu melumat, memagut, melakukan apapun yang ingin dilakukannya. Hingga tepat sebelum helai terakhir nalarnya hilang, Dewa menghentikan ciumannya dengan paksa. Ia menatap gadisnya yang terengah, mengusapkan ibu jarinya di ujung bibir Nala.
" Besok lagi tampar aku, La." Celetuknya, " Aku gila kalau sama kamu."
Nala yang masih berusaha mengatur nafasnya mengangguk, " He eh, besok-besok aku tampar kak Dewa kalau berani gitu lagi."
Dewa mengangkat satu sudut bibirnya melihat gadis itu terengah dengan wajah yang merona. Dewa mengutuk dirinya sendiri, namun ia tetap tidak bisa menghentikan tangannya yang merengkuh kedua pipi Nala atau bibirnya yang mengecup lembut bibir Nala dengan singkat. Dia tidak akan pernah merasa cukup.
" Usir aku pulang." Kata Dewa menatap lekat-lekat Nala sembari mengusapkan jemarinya di pipi gadis itu. " Guyur pakai air, atau lempari pakai apapun. Aku benar-benar harus pulang."
Mendengarnya, Nala tertawa. " Nggak, nggak, aku nggak bar-bar. Udah sana pulang. Kelamaan kak Dewa disini."
Dewa tergelak. Ia merengkuh Nala dalam pelukannya, " Ya Tuhan, aku ingin sekali bawa kamu pulang." Celetuknya menciumi puncak kepala Nala dengan sayang, "Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Nggak ketemu kamu satu bulan itu kesalahan terbesarku, La."
Nala menggesekkan pipinya di dada Dewa saat ia mengangguk. " Nggak enak."
Dewa tidak membalasnya. Ia masih sibuk menciumi rambut Nala, mencium aroma shampo gadis itu.
" Kak?"
" Hm?" Sahut Dewa asal.
" Pulang!"
" Hm..."
" Kak Dewa!" Nala menaikkan suaranya untuk menyadarkan Dewa. Dewa melonggarkan pelukannya meskipun tangannya masih melingkar di pinggang Nala. Gadis itu menyipit dan menunjuk keluar.
" Pulang! Kasihan ibu dirumah sendirian." Kata Nala tegas.
Kata ibu sedikit menyadarkannya akan kondisinya saat ini.
" Ah iya." Celetuknya melepaskan tangannya. Nala menggelengkan kepalanya, geli saat Dewa gelagapan mencari kunci motornya.
" Aku pulang, ya." Ujarnya mengecup singkat puncak kepala Nala. Nala mengangguk dan menemani laki-laki itu keluar menuju motornya.
Hingga sesuatu membuatnya terpaku. Nala merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat saat melihat sebuah mobil sedan hitam berplat 413X memasuki gerbang.
" Pa...papa?" Celetuknya terguncang dengan satu tangan mencengkram jaket Dewa erat-erat.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top