20. Seratus Tahun
" Dilatasi waktu terjadi saat aku rindu kamu. Hei Einstein, apa kamu sedang rindu seseorang saat memikirkan teori relativitas?"
Nala sudah siap dengan sebuah headset di telinga dan buku catatan kecil di tangannya. Hari ini adalah hari seleksi tingkat Kabupaten. Dia tidak akan membiarkan Vanya punya alasan untuk menjelek-jelekkan Dewa lagi. Dia akan bekerjasama dengan baik. Dia tahu meskipun sudah melewati beberapa kali bimbingan, Vanya masih belum mempercayainya.
Saat itu, nada lagunya terganggu oleh sebuah panggilan masuk.
Dewa is calling...
Nala mengerutkan kening. Bukannya Dewa sedang di perjalanan untuk menjemputnya seperti biasa? Nala segera mengangkatnya saat pikiran mengerikan mulai berkelebat.
" Kak Dewa? Ada apa?" tanya Nala cemas.
" Nala, maaf aku nggak bisa antar kamu. Ibu sakit." Kata Dewa. Nala menangkap secercah nada khawatir disana.
"Sakit? Sakit apa?" tanya Nala semakin cemas. Namun Dewa menenangannya.
" Jangan khawatir. Cuma kecapekan saja. Kamu naik bis sendiri gimana?" Tanya Dewa. Nala langsung mengangguk.
" Iya nggak papa." Ia mengecek jam tangannya. Masih ada waktu.
" Semoga berhasil, Kanala. Aku percaya kamu bisa." Kata Dewa lembut. Nala mau tidak mau tersenyum.
" Iya, makasih kak. Tunggu kabar baiknya saja." Nala berusaha mencairkan keresahan dalam suara Dewa. Cukup berhasil karena Dewa tertawa pelan, " Aku berangkat dulu. Bisnya mau sampai. Daaa kak Dewa."
" Daaa Kanala. Aku sayang kamu."
Tuutt...tuutt...tutt...
Nala berhenti mendadak saat mendengarnya. Ia menelan ludah.
" Aku juga sayang kak Dewa."
Kata Nala pada sambungan yang terputus.
**
" Awas lo kalau ngawur!" Vanya memelototinya sembari berdesis, " Awas lo kalo ngawur!"
Nala jengah karena Vanya sudah menyebutkannya beratus-ratus kali. Ia yang bersandar di dinding, mengambil satu langkah menjauhi Vanya sembari fokus pada catatan kecilnya.
Saat ini, mereka sudah sampai di tempat akan diadakannya seleksi tingkat kabupaten. Ketiga guru pendamping sibuk bercengkrama dengan yang lain untuk mempersiapkan anak didiknya. Zio duduk di sebuah bangku abu-abu panjang, juga menunduk membaca kumpulan materi bimbingan mereka. Nala bersandar pada dinding dengan headset di telinganya. Yang tidak Nala mengerti adalah Vanya dan kata-kata pesimisnya. Nala sudah tidak menggubrisnya. Lelah.
Terdengar pengumuman yang mengatakan bahwa seluruh peserta dimohon untuk bersiap. Mereka bertiga digiring masuk ke dalam sebuah ruangan. Saat itu Vanya menahan tangan Nala.
" Lo. Jangan. Bertingkah. Bego!" Ancam Vanya dengan wajah pasi. Nala menatapnya dengan wajah malas, kemudian melepaskan diri dari cengraman Vanya terlalu mudah.
Beberapa jam kemudian, seluruh peserta keluar dengan berbagai macam pikiran di otaknya. Namun Zio tidak bisa menahannya lama-lama di dalam hati. Cowok es itu meledak di parkiran ketika guru pembimbing mereka belum nampak.
" Siapa yang ngancurin momen? HAH?" Sentaknya pada Vanya yang hampir menangis. Zio melotot padanya. " Ngapain lo sok-sokkan menghalangi Nala jawab soal? Tingkah lo itu nggak pantes, tau nggak?"
" Tapi gue cuma nggak mau dia salah jawab soal, kak! Siapa tahu dia ngawur!"
Zio mengusap wajahnya dengan kasar. " Tapi nyatanya Nala bisa jawab, Van. Dia bisa jawab lebih banyak dari lo, dan jawabannya benar semua! Bagi gue, lo yang bego disini! Lo yang terlalu nggak percaya sama teman satu tim lo yang bikin kita hancur! Kalau saja Nala nggak cepet bertindak di sesi terakhir, gue yakin kita nggak bakal lolos!"
" Ta...tapi!"
" Tapi apa? Lo mau bilang apa lagi tentang Nala?" Tanya Zio sedingin es. Dia benar-benar tidak mengerti alur pikiran gadis ini. Dia lebih mementingkan mengawasi Nala daripada berkonsentrasi pada pertanyaannya. Alhasil, fokusnya pun terpecah.
Vanya menghentakkan kakinya dengan kesal. Ia menunjuk Nala yang sedari tadi diam dan bersandar di kap mobil. Seperti Zio, dia juga sebal setengah mati pada Vanya. Namun ia memilih diam.
" Tapi dia nggak mungkin bisa! Dia jawab bener itu pasti cuma kebetulan, kak!"
Zio memejamkan matanya erat-erat sebelum membukanya lagi.
" Gue bisa lihat jelas kualitas Nala. Dia bisa berpikir cepat. Dia tenang. Dia punya kualitas yang gue butuhin sebagai partner. Kalau karena suatu keajaiban kita berhasil lolos –dan itu pasti karena Nala-, gue akan minta pembimbing buat gantiin lo. Gue lebih respect sama partner yang berusaha sekuat tenaga daripada partner yang terlalu sibuk ngurusi anggota yang lain." Kata Zio dingin.
Vanya tertunduk. Ia menangis. Ia kesal pada Zio. Dia kesal pada semuanya.
" Pembimbing." Kata Nala memperingatkan saat tiga sosok pembimbing mereka mendekati mobil. Zio menggeser tubuh Vanya dengan kasar agar tidak menutupi pintu mobil, kemudian membukanya dan menutup dengan keras. Nala sendiri masuk ke mobil melalui sisi yang lain. Ia terlalu malas berurusan dengan Vanya.
**
" Kak Dewa, dimana? Kenapa rumahnya kosong?" Tanya Nala sembari menatap daun pintu cokelat yang tak kunjung membuka meskipun Nala sudah mengetuknya berulang kali.
" Kamu ke rumah? Ngapain?"
" Aku pingin jenguk tante." Jawab Nala jujur. " Kak Dewa dimana?"
Dewa terdiam sejenak. " Kita ada di rumah sakit."
Nala melebarkan matanya, " Rumah sakit mana? Aku kesana sekarang, ya?"
" Nala, nggak perlu. Kamu..."
" Kak Dewa." Panggil Nala. " Aku pingin jenguk tante. Boleh, kan?"
Ia bisa mendengar Dewa membuang nafasnya lelah, " Ya sudah. Hati-hati ya. Rumah sakit pusat. Kamu tahu?"
" Hmm...aku kesana sekarang."
Nala mematikan ponselnya, kemudian kembali ke halte bis dengan tergesa meskipun ia harus berjalan cukup jauh.
**
Nala mendapati Dewa di depan rumah sakit. Ia berlari ke arah pemuda yang menggunakan kaos hitam itu. Wajahnya terlihat lelah. Namun ia tetap menyunggingkan senyum.
" Gimana tadi?"
Kekhawatiran Nala berganti cepat dengan kekesalan akibat teringat kelakuan Vanya.
" Semoga aja masih ada kans buat kita. Vanya bener-bener perusak." Geram Nala tidak mampu menahan emosinya lagi. Dewa membelai rambutnya lembut, menyurutkan emosi Nala. Ia membimbing Nala melewati lorong.
" Sakit apa?" Tanya Nala kemudian.
" Kata dokter, paru-parunya bermasalah karena terlalu sering menghirup embun. Juga karena kecapekan. Ibu sudah nggak boleh kerja berat lagi." Jawab Dewa. Nala menoleh. Ia bisa mendengar nada berat laki-laki itu. Nala melingkarkan lengan ke lengan Dewa, memberinya ketenangan.
Mereka sampai di sebuah bangsal kelas tiga. Ia langsung melihat Dilla yang sedang menyuapi Dafa di kursi panjang di depan kamar. Melihatnya, Nala tak kuasa. Ia segera mendekati Dafa dan memeluknya erat.
" Lala?" Panggilnya.
" Iya sayang. Kamu makan apa?" Tanya Nala mengambil alih nasi bungkus dari tangan Dilla agar gadis itu bisa makan untuk dirinya sendiri. Dafa menunjuk ikan di dekat nasi.
" Ikan." Jawab Dafa dengan suaranya yang lucu. Nala tersenyum sembari menyuapi mulut mungil Dafa.
" Kak Nala katanya baru seleksi OSN, ya? Gimana tadi?" Tanya Dilla yang segera menyuapkan nasi ke mulutnya. Gadis itu masih memakai seragam yang kelewat familier bagi Nala. Terlihat sekali ia baru saja pulang sekolah.
" Doakan saja sukses. Kalau nggak aku perlu ngasih pelajaran sama satu orang." Celetuk Nala. Dilla memandangnya bingung, namun kemudian memutuskan itu bukan urusannya sehingga ia kembali makan. Saat itu, Dewa keluar dari kamar rawat.
" Tidur." Jawab Dewa saat Dilla dan Nala menatapnya. Dewa duduk di belakang Nala, menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu sebelum menghembuskan nafas panjang. Nala menepuk-nepuk kepalanya dengan lembut.
" Makasih udah kesini. Maaf, aku nggak bisa jemput." Kata Dewa masih bersandar dengan mata terpejam. Ia sedang membiarkan dirinya beristirahat di tempat paling nyaman sedunia.
" Hmm..." Nala terdiam. Ia menyuapkan satu sendok lagi pada Dafa yang bermain-main dengan kantung plastik. " Besok nggak usah jemput lagi."
Dewa terlalu lelah untuk berdebat. Ia hanya menggelengkan kepala.
" Cuma selama ibu di rumah sakit, aku nggak bisa jemput kamu." Jawabnya.
Nala menghela nafas. " Kak Dewa, kondisi ibu harus dijaga. Aku tebak habis ini kak Dewa sibuk di warung, kan? Kak Dewa nggak boleh ngebiarin ibu sendirian. Kak Dewa harus jaga ibu. Aku nggak papa. Nggak perlu ngantar lagi, nggak perlu antar ke kampung juga. Aku bisa."
Dilla segera pamit menjauh ketika Dewa tiba-tiba melingkarkan lengannya di perut Nala dari belakang. Ia menempelkan dahi di pundak Nala. Nala menelan ludah, menahan dirinya untuk tidak menangis saat menyadari pundaknya terasa basah.
Nala terdiam dengan terus menyuapi Dafa yang tidak tahu apa-apa. Ia membiarkan Dewa menumpahkan segala bebannya disini, seperti ini. Dia akan menjadi sauh bagi Dewa saat ini, seperti Dewa yang selama ini menjadi sauhnya, tempat teraman baginya. Tak pernah terlintas di benak Nala untuk mengecap Dewa sebagai laki-laki cengeng. Ini tangisan seorang anak atas kondisi ibunya. Ini tangisan seorang kakak atas keadaan adik-adiknya. Ini tangisan seorang laki-laki dengan tanggung jawab di pundaknya. Ini tangisan seorang laki-laki yang mengambil banyak beban untuk melindungi orang-orang yang dikasihinya.
Dewa menyembunyikan wajahnya di lekukan leher gadis itu, mencari kedamaian atas teror yang menghantuinya sejak semalam. Ketika mendapati ibunya sesak nafas sampai pucat, rasanya Dewa seperti ditelan bumi. Melihat ibunya berbaring lemah di rumah sakit membuatnya ketakutan setengah mati. Tidak. Dia tidak bisa, dia tidak mau, dia belum siap kehilangan lagi. Namun sepanik dan setakut apapun dirinya, Dewa menyembunyikannya dengan baik di depan adik-adiknya. Mereka tidak perlu tahu ketakutannya. Mereka butuh Dewa sebagai kekuatan disini.
Namun ketika melihat Nala, topeng itu luntur. Di depan gadisnya, Dewa justru merasa seperti anak kecil. Dewa menghirup dalam-dalam aroma Nala yang sangat dihafalnya, berusaha meredam ketakutan-ketakutannya.
Nala menepuk lengan Dewa yang melingkar di perutnya. " It's okay. It's okay. Tante nggak papa. Tante perempuan yang kuat." Dendang Nala.
Dewa terdiam sejenak sebelum mengeratkan pelukannya, berterima kasih atas segala kelembutan dan pengertian yang gadis itu berikan.
Nala membiarkan Dewa memeluknya. Ia mengusap wajah Dafa yang belepotan karena makan. Anak itu beberapa kali menguap dan bersandar di punggung kursi.
" Dafa ngantuk?" Tanya Nala meraup Dafa ke pangkuannya. Dafa mengangguk sambil menguap lagi. Dafa berputar dan menyandarkan kepala di lengan Nala dengan tangan melingkari lengan Dewa yang terlihat sangat besar dibanding lengannya yang kecil. Tubuh mungil itu meringkuk nyaman.
Tanpa mengangkat kepala, Dewa mengurai pelukannya hanya untuk meraup Dafa. Bahkan dari belakang Nala, Dewa masih bisa meraih Dafa dalam pelukannya.
" Biarkan seperti ini sebentar saja." Pinta Dewa terpejam di pundak Nala.
" Hmm..." Jawab Nala lembut. Ia membelai ringan lengan Dewa dengan satu tangannya yang bebas.
Saat itu, Dilla kembali dengan wajah yang lebih segar. Ternyata dia tadi cuci muka. Ketika melihat Nala yang diapit oleh kedua saudaranya, gadis itu mendengus dan bersedekap.
" Aku dimana?" Tanyanya tidak terima. Nala dan Dewa terkekeh bersamaan.
" Kamu jaga ibu. Abang istirahat sebentar." Kata Dewa mengeratkan pelukannya tanpa berniat mengangkat wajah.
Dilla memutar bola mata, namun saat membuka pintu bangsal, ia mengangkat satu sudut bibirnya.
**
Lima hari sudah ibu Dewa dirawat di rumah sakit. Hari keenam, ia diperbolehkan pulang dengan catatan tidak diperbolehkan bekerja berat. Nala menjenguknya dua kali.
Sejak itu pula, Dewa tidak lagi menjemputnya ataupun mengantar ke kampung. Di sekolah pun, Nala jarang sekali bertemu Dewa karena dia dan Raya sibuk dengan penelitiannya yang hampir memasuki tahap akhir. Satu-satunya yang diharapkan Nala menjawab rindunya adalah telfon malam hari. Itupun terpangkas banyak karena Dewa sekarang harus mempersiapkan dagangan seorang diri.
Dia tahu rindu itu menyakitkan. Tapi pengetahuannya sama sekali tidak membantu mengurangi rasa sakitnya. Mendengar suaranya saja tidak cukup. Nala ingin melihatnya dari dekat dan memeluknya. Nala rindu suara Dewa. Nala rindu tatapan teduh Dewa. Nala rindu tawa laki-laki itu. Tapi dia tahu dia tidak boleh egois. Ia sudah memutuskan untuk mendukung Dewa, dan disinilah dia. Tidak mengganggu Dewa sementara laki-laki itu mempunyai banyak urusan untuk diselesaikan.
Bahkan ketika tiba saatnya kelas tiga menjalani Ujian Nasional, Nala sama sekali tidak mendapat kesempatan mengucapkan 'semoga berhasil' kecuali lewat telfon.
Pada hari pertama Ujian Nasional bagi kelas tiga, barulah terjadi sesuatu yang seru dan cukup menghibur Nala. Dirinya, Vanya dan Zio dipanggil untuk menghadap Pak Amir, sang kepala sekolah.
" Selamat karena kalian lolos ke tingkat provinsi." Kata Pak Amir dengan bangga. Sementara ketiga muridnya berdiri berbaris di depan mejanya.
Zio menghembuskan nafas lega, sedangkan Nala tersenyum senang. Vanya hanya menunduk dalam-dalam dari tadi.
Pak Amir memandangi mereka satu-satu, kemudian berhenti pada Nala. " Mereka khususnya, kagum padamu, Kanala."
Nala tentu saja mengerutkan kening.
" Mereka cukup mengagumi kemampuanmu yang mampu memecahkan soal dengan efisiensi dan efektivitas yang tepat. Saya tahu, saya percaya bahwa kamu bisa." Ujar Pak Amir menatapnya lekat-lekat tanpa senyum meninggalkan bibirnya. Vanya semakin menunduk.
" Itu berkat kak Zio dan Vanya juga, pak." Jawab Nala tulus. Dia tidak akan berani mengklaim keberhasilannya adalah karena dirinya seorang, karena mereka satu tim. Pak Amir tersenyum lebar.
" Ya sudah. Silahkan bertemu dengan pembimbing. Kalian akan mulai bimbingan lagi. Tapi jangan lupa belajar untuk Ujian Tengah Semester. Kalian paham? Oh dan satu lagi, Dewangga tidak akan menjadi pembimbing kalian lagi. Dia sudah harus fokus pada ujian nasional."
Mendengarnya, tubuh Nala menegang. Seakan satu lagi tali yang menghubungkannya dengan Dewa diputus paksa. Ia sedikit kecewa. Tapi ia berjanji akan berjuang disini. Dia tidak akan mengecewakan Dewa.
Mereka keluar ruangan dan Zio tidak membuang waktu untuk melancarkan serangannya.
" Masih kurang percaya?" Sindirnya dingin pada Vanya yang sedari tadi terdiam. " Kalau lo masih pingin berbuat ulah, gue ganti lo sekarang!"
Vanya menggeleng kuat-kuat. " Nggak. Aku percaya Nala bisa."
Zio mendengus tidak percaya. Tapi ia membiarkan saja Vanya mengangkat wajahnya dan menghadapi Nala dengan seribu rasa malu di wajahnya.
" La, maafin gue. Gue rasa lo emang pantes jadi wakil." Kata Vanya menelan pahit-pahit harga dirinya. Walau bagaimanapun, seluruh bukti sudah menunjukkan bahwa Nala mampu.
Nala mengamati Vanya beberapa saat. " Iya gue maafin. Kita bertiga wakilnya. Gue nggak akan bisa tanpa kak Zio dan lo, Van."
Vanya tersenyum samar, kemudian mengangguk. Zio mendesah lega. Dia juga tidak ingin mengganti Vanya. Dia tahu kemampuan anak itu. Hanya saja jika terpaksa, dia bisa bertindak lebih jauh.
" Selamat atas keberhasilannya."
Tubuh Nala menegang saat suara itu berada tepat di belakangnya. Vanya dan Zio menatap titik yang sama, kemudian mengangguk.
Nala belum sempat berputar ketika dirasakan pergelangan tangannya digenggam erat.
" Belum mau bimbingan kan? Gue pinjem anak ini bentar."
Zio dan Vanya menggeleng bebarengan. Nala masih sempat melihat ketidakrelaan Vanya ketika Dewa menggandengnya dengan paksa. Namun Nala segera mengalihkan pandangan pada punggung tegap itu.
" Kak Dewa? Kenapa?" tanya Nala ikut panik.
Dewa tidak menjawabnya. Mereka memasuki salah satu kelas yang kosong. Dewa menutup pintunya sebelum menghadapi Nala. Wajahnya sarat akan kekhawatiran. Ia memerangkap Nala diantara dinding dan dirinya, merentangkan tangannya ke kanan dan kiri Nala sembari menatapnya lekat-lekat.
" Tadi kepala sekolah bilang apa saja?" Tanyanya dengan tergesa.
" Eh? Cuma kasih tahu kalau kita lolos ke provinsi. Memangnya apa lagi?" Tanya Nala ikut bingung. Dewa menatapnya tajam.
" Ada apa, sih?" Tanya Nala tidak sabar. Mendengar itu, Dewa menundukkan kepala dan menghembuskan nafas lega.
" Kenapa? Ada apa?" Tanya Nala lagi. Dewa tidak menjawab. Ia menarik Nala dalam pelukannya.
" Selamat ya." Katanya di atas kepala Nala. Nala ingin sekali bertanya, namun kehangatan ini segera mengikis semuanya. Nala menenggelamkan wajahnya di dada Dewa, menghirup aromanya banyak-banyak.
" Aku kangen. Ibu gimana?"
" Hmm...aku juga." Jawab Dewa lembut. " Ibu baik."
Nala terdiam dengan pipi masih menempel di dada Dewa. " Tadi gimana ujiannya? Sukses kan?"
" Hmm..." Dewa mengeratkan pelukannya. " Berapa lama aku nggak ketemu kamu? Kenapa rasanya lama sekali?"
Nala memejamkan matanya. " Seratus tahun."
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top