2. Her name is Kanala

" Sesuatu yang tidak berguna itu sampah!"

Kanala R

Tampak pelataran SMA Angkasa dipenuhi oleh murid yang tergesa. Jika bukan karena jumlahnya lebih dari satu, maka pasti akan dikira orang gila. Bagaimana tidak? Rambut yang harus dikuncir sesuai jumlah tanggal lahir menggunakan pita merah putih, kaus kaki beda warna, topi yang terbuat dari mangkuk plastik, name tag lebar yang menutupi dada dari kardus ukuran tertentu lengkap dengan tali rafia dipilin, ditambah tas yang berasal dari karung berisi sumbu kompor, tiga botol madu merk tertentu dan minyak kayu putih. Ohhh, dan jangan lupakan kalung permen ketinggalan zaman berjumlah delapan itu!

Raya mengawasi anak-anak baru itu membuat barisan dengan tergesa sesuai dengan panitia pembimbing. Bibirnya mengatup. Jelas sekali ia bukan orang yang akan mentolerir sebuah ketidakdisiplinan disini. Matanya terbang kesana kemari mencari-cari sebuah kesalahan.

Saat itu, sosok siswi berseragam putih biru melangkah tenang ke lapangan. Tidak ada apapun di tubuhnya kecuali name tag dan tas punggung yang kempes. Semua aktivitas terhenti melihat pemandangan menakjubkan itu. Bagi anak baru, tidak mentaati peraturan panitia adalah ketakutan terbesar.

Raya mengangkat alis menyadari langkah arogan cewek berkuncir kuda dengan rambut sepinggang itu. Cewek itu berhenti di depannya dan membungkuk.

" Maaf, saya terlambat." Katanya tanpa takut. Seluruh siswi baru mengerjap mengagumi keberaniannya menghadapi Raya, sang ketua panitia yang mempunyai aura hitam di sekitarnya.

" Kamu sengaja terlambat?" Tanya Raya mengontrol diri. Dia merasa gadis di depannya ini memandang rendah kegiatan MOS. Ia membaca sekilas name tag anak itu. Kanala Radhinnabil.

" Tadi bisnya bocor." Jawab Nala tanpa tahu nada sarkatis Raya. Ia justru membalas tatapan melotot Raya dengan tenang.

" Itu bukan alasan kamu untuk bermalas-malasan. Kamu bisa langsung cari kendaraan lain." Raya memulai. Teman-teman sesama panitianya terkekeh kecil. Ini dia!

" Makanya saya disini, kak Raya." Jawab Nala seakan-akan Raya tidak perlu bertanya lagi. Ia bahkan berani menyapa Raya seolah menyapa teman lama.

Tentu saja, Raya terperangah.

Atin, yang merasa situasi mulai memanas menengahi. Ia yang bertugas membimbing pleton kelas Raya menghadapi anak itu.

" Kemarin panitia bilang suruh apa?" Desis Atin.

" Suruh banyak." Jawab Nala membuat beberapa panitia menahan tawa. Dahi Atin berkedut.

" Kamu punya telinga? Kamu lahir tanggal brapa?" Tanyanya lagi dengan wajah mulai padam.

" Satu." Jawab Nala semakin mempermalukan Atin karena Nala memang berkuncir kuda saat ini. Sialan!

" Kamu nggak nyatet? Mana mangkuknya? Mana kalungnya? Mana tas karungnya?" Tanya Raya lagi mengambil alih, " Kamu mau pamer di depan teman-teman yang lain kalau tasmu baru dan bagus, iya? Kaus kaki juga? Nggak kuat beli?"

Oke. Nala sudah mencoba sopan. Tapi sepertinya kakak kelas ini semakin melunjak.

Ia tersenyum mengejek.

" Barang nggak ada gunanya ngapain dibeli?" Tanya Raya balik. " Saya punya tas yang lebih bagus daripada karung, dan saya juga udah punya kaus kaki jadi nggak perlu beli."

" Dek, disini kamu harus belajar tertib. Anak baru satu hari masuk aja udah bantah! Nggak bisa menghargai senior! Nggak sopan!" Salak Raya kehilangan kesabaran. Dia tidak bisa membiarkan satu rumput liar mengganggu tanaman padinya.

" Siapa yang nggak sopan? Siapa yang nggak menghargai senior? Sekarang tolong jelasin darimana logikanya barang-barang yang nggak relevan kayak gitu bisa bikin kita lebih mengenal sekolah? Setahu saya sekolah kita itu terhormat, bukan penadah barang sampah kayak gini!" Sanggah Nala dengan berani.

" CUKUP!"

Sebagian besar peserta terkesiap oleh kalimat lancang dari Nala. Namun Nala hanya bergeming menatap Raya dengan tenang. Wajah Raya sudah merah padam. Ia melangkah mendekati Nala.

" Itu sudah ketentuan dari hari pertama." Desis Raya bergetar.

" Saya tahu. Tapi bukan berarti saya akan setuju membeli barang-barang nggak berguna ini." Celetuk Nala. " Barang-barang yang dengan sengaja bisa dibeli di koperasi sekolah seperti permen kuno dan stocking tipis gitu? Jelas sekali cuma buat ngisi kas OSIS."

Raya mengepalkan tangannya. Berani-beraninya dia...bisa-bisanya...

" Saya buat name tag ini karena saya tahu kegunaannya. Tapi untuk yang lain kayak tas karung, itu kemahalan. Masa karung beras harganya lima puluh ribu?" Nala mendengus melirik tas karung di punggung salah satu siswa.

" BERDIRI!" Bentak Raya. " Berdiri menghadap matahari sampai saya bilang berhenti!"

Nala bersedekap, " Nggak mau. Saya tidak mengerti kesalahan saya."

" KANALA!" Raung Raya kehabisan kesabaran. Beberapa panitia berkumpul menenangkannya. Sedangkan bisik-bisik sudah melanda di gerombolan anak-anak baru itu. Mereka menatap Nala dengan kagum. Ada yang menilainya gila, ada yang berandai punya nyali sepertinya.

" Ray, biar dia sama gue."

Dewa yang sejak tadi hanya melihat dari sudut terpencil akhirnya merasa perlu untuk menengahi. Dia kenal Raya, dan dia tidak ingin masalah itu berlarut-larut.

Seketika, bisik-bisik di antara murid baru berhenti saat melihat Dewa mendekat. Seluruh mata polos itu terhipnotis. Bukan hanya kenyataan karena Dewa berhidung mancung atau semacamnya, tapi karena kisah tentang Dewa yang sudah melegenda. Dewa, benar-benar 'Dewa' di SMA Angkasa. Sebagian dari mereka bahkan masuk SMA Angkasa karena tertarik dengan prestasi Dewa. Meskipun hampir semuanya tidak pernah melihat Dewa langsung, namun gaungnya sampai terlebih dahulu dan menginspirasi mereka. Sekarang setelah manusia yang mereka idolakan akhirnya terang-terangan menampakkan diri, mereka tidak bisa berbuat apapun selain terpaku.

Pemuda dengan tinggi 185 cm itu menatap Nala tanpa ekspresi. Nala mengurai tangannya dan mengangguk kecil sebagai salam hormat, sama sekali tidak terpengaruh kenyataan bahwa seluruh anak sekarang memandang iri padanya.

" Tapi De, dia..."

Dewa menatap tajam Raya. " Dia sama gue."

Raya mengatupkan bibir. Ia merasa malu kredibilitasnya jatuh di depan murid juniornya dan Dewa justru membela si anak baru itu! Hmph!

Namun Dewa tidak segera beranjak. Ia mengedarkan pandangan di barisan murid baru yang tersihir olehnya.

" Saya Dewangga Abirama, Panitia Kedisiplinan. Silahkan buat satu kesalahan saja dan kalian akan berakhir seperti dia."

Dewa mengatakannya dengan tenang sembari mengedikkan dagunya pada Nala, namun matanya menatap dengan tajam. Seluruh anak menelan ludah. Cara Dewa mengatakannya sudah cukup membuat mereka gemetar.

" Kamu ikut saya." Perintah Dewa pada Nala. Dewa melirik sekilas pada Raya sebelum berbalik dengan satu tangan diselipkan di dalam saku, berharap bahwa Raya tidak perlu membuat dirinya malu lebih jauh. Ia mendengar langkah tergesa gadis itu di belakangnya.

" Mau kemana?" Nala bertanya. Namun Dewa mengabaikannya. Cowok itu terus berjalan menyusuri lorong-lorong yang masih asing bagi Nala. Nala bahkan harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah cepat dan lebar Dewa.

Mereka akhirnya tiba di perpustakaan. Dewa masuk lebih dulu dan duduk di salah satu bangku.

" Duduk!" Perintah Dewa tanpa menoleh. Nala memutar bola mata. Namun ia menuruti Dewa dan duduk di hadapan laki-laki itu.

Dewa menatapnya tanpa ekspresi untuk beberapa saat, kemudian bertanya, " Kenapa nggak bawa barang-barang yang disuruh panitia?" Tanyanya dengan suaranya yang dalam.

Nala balas menatapnya. Kurang jelaskah?

" Barang-barang itu nggak ada gunanya. Saya tidak mau menghamburkan uang orangtua saya demi barang yang harganya nggak masuk akal." Jawab Nala tanpa takut. Dewa menghela nafas. Tentu saja ia sangat setuju dengan Nala. Gadis itu mempunyai pikiran yang sama dengannya. Dia tidak pernah menyukai sistem MOS yang mengharuskan membawa barang-barang tidak berguna seperti ini. Tapi ia harus menyelamatkan muka Raya, paling tidak.

Dewa berjalan di rak-rak buku dan mengilang di sana. Meninggalkan Nala yang terbengong. Dia dihukum, kan?

Sesaat kemudian Dewa keluar sambil membawa satu buku tebal dan membukanya di depan Nala pada halaman tertentu. Nala mengerjap menatap halaman penuh angka dan garis itu.

" Kerjakan satu sampai tiga puluh dalam waktu setengah jam." Celetuk Dewa enteng.

Nala mengerjap dua kali. " Hah?"

"Kalau satu salah, maka tugas kamu membuat resensi satu buku." Jelas Dewa sembari mengeluarkan buku kecil dari sakunya.

Nala mengerjap. Sepertinya ada yang salah disini. Dia.Tidak.Tertib, Ingat?

" Nggak ada hukuman fisik?" Tanya Nala coba-coba.

" Kamu bukan kuli." Dewa menjawab tanpa mengangkat kepalanya.

" Nggak ada lari keliling lapangan? Bikin tugas nggak masuk akal?" Tanya Nala lagi.

" Dua puluh tujuh menit lagi." Celetuk Dewa masih menunduk.

Nala langsung menutup mulutnya. Ingin sekali ia menjitak kepala dengan rambut lebat itu agar mengeluarkan nada apapun selain datar mirip tripleks. Gadis itu membalik-balik halamannya, kemudian keningnya berkerut.

" Ini soal kelas satu SMA." Gerutu Nala. " Gimana saya bisa ngerjainnya?"

" Kamu bisa belajar." Sahut Dewa tenang, " Itu gunanya buku di depan kamu."

Nala memutar bola matanya. Kemudian menyadari sesuatu yang kurang.

" Kak, saya nggak ada kertas sama pulpen."

Dewa menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari buku itu, " Lima menit ke koperasi kecuali kamu mau bersih-bersih perpustakaan. Saya yakin itu juga berguna."

Hidung Nala mengembang. Dasar! Senior tetap saja senior!

**

" Salah...salah...salah...salah!!" Kata Dewa mencoret jawaban demi jawaban Nala yang diserahkan padanya kurang dari sepuluh menit. Dewa menatap Nala yang tampak santai membaca majalah Horizon.

" Kamu nggak ada niat serius? Semua jawaban sudah ada di buku kalau kamu mau belajar." Celetuk Dewa tidak habis pikir dengan kelakuan anak ini. Dan sekarang, Nala mendongakkan kepalanya dari majalah, tampak terusik. Ia menatap Dewa seolah Dewa mengganggunya di tengah sesuatu yang penting.

Menjengkelkan. Dewa menghembuskan nafas untuk menenangkan diri.

" Kan saya bilang itu soal kelas satu SMA. Sehari jadi kelas satu aja belum!" Protes Nala membuat dahi Dewa berdenyut.

" Semuanya bisa dipelajari kalau kamu mau. Dan saya nggak mungkin kasih soal diluar kemampuan kamu. Kerjakan lagi!" Perintah Dewa.

Nala mendengus. Gadis itu menutup majalahnya dengan keras.

" Saya kira kak Dewa itu beda sama kak Raya, ternyata sama ya, sama-sama menindas! Mana saya bisa mengerjakan ini?!" Protes Nala dengan kekeraskepalaan yang nyata.

" Kamu bisa kalau saya bilang bisa. Semua yang kamu perlukan ada di buku itu." Kata Dewa tegas.

" Memangnya kakak cenayang? Kenapa bukan soal SMP aja? Itu le..."

" Tiga puluh menit dari sekarang. Saya nggak butuh jawaban kamu. Saya butuh proses. Kalau masih tidak mau, kamu bisa disini seharian. Saya nggak keberatan." Dewa menatap Nala dengan tenang. Sedangkan Nala menahan kejengkelannya hingga warna mukanya berubah.

" Nggak bisa gitu dong, kak, saya ada kepentingan juga!" Hebat, anak itu masih bisa memprotes di bawah tatapan Dewa yang tajam.

" Kalau begitu cepet dikerjakan. Saya masih punya seratus cara buat menahan kamu disini kalau masih protes."

Wajah Nala menekuk dalam. Kentara sekali gadis itu tidak bisa membantah lagi. Dengan kasar ia menarik pulpen dan kertas, kemudian mulai membolak-balik buku dengan gerutuan yang jelas.

**

Dewa mengerutkan dahi. Anak itu tidak teliti atau bagaimana sih? Bagaimana bisa perkalian saja dia salah? Meskipun langkah yang dijabarkan benar, tidak ada satupun soal yang benar-benar dijawab dengan sempurna.

" Kerjakan lagi. Kali ini yang teliti!" Perintah Dewa mengembalikan jawaban Nala. Nala menepuk dahinya keras-keras.

" Katanya proses yang penting?" Tanyanya tidak terima. Dewa baru saja akan membalas ketika sesuatu dalam pertanyaan Nala mengusiknya.

Ia menatap Nala beberapa saat, kemudian bersedekap.

" Kamu sengaja." Celetuk Dewa mengawasi ekspresi Nala. Gadis itu mengerjap sebelum memasang wajah polos.

" Y...ya mana mungkin sengaja! Ngapain juga?" Kelitnya memalingkan wajah.

" Kamu gagap." Hujam Dewa lagi.

" Nggak!"

Dewa mencondongkan tubuhnya menatap gadis itu lekat-lekat. " Saya hanya menoleransi kesalahan yang nggak disengaja. Kerjakan lagi. Kali ini dengan seluruh kemampuan kamu." Dewa mengerling jam dinding. " Dalam sepuluh menit."

" Hah? Kok sepuluh menit?" Pekik Nala.

Dewa hanya mengangguk. Ia menarik kertas yang penuh dengan jawaban Nala ke hadapannya.

" Kerjakan lagi, di kertas yang berbeda. Tanpa kesalahan, atau hukuman tetap diterapkan."

" Sadis!" Seru Nala mengacungkan telunjuk pada Dewa yang memasang wajah dedatar papan talenan. Dewa mengetuk jari telunjuk Nala yang teracung itu dengan kertas jawaban yang sudah ia gulung.

" Mulai!" Katanya tenang.

" Ish!!" Nala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bibirnya mengerucut. Ia mendelik pada Dewa yang sudah kembali fokus pada apa yang dibacanya. Nala menjulurkan lidah sekejap sebelum menghadapi soal untuk ketiga kalinya.

Sepuluh menit kemudian...

" Ini!" Nala menyerahkan kertasnya pada Dewa. Dewa menerimanya dan mulai mengoreksinya. Wajah pemuda itu tenggelam dalam kertas folio Nala yang penuh dengan coretan tangan anak itu.

" Salah dua. Kerjakan lagi!" Kata Dewa mengembalikannya pada Nala. Nala membelalak.

" Tapi itu nggak disengaja! Beneran!" Bela gadis itu. Kali ini ia benar-benar tidak tahu.

" Saya tahu. Tapi hanya dua. Sia-sia kalau tidak benar semua, kan?" Tanya Dewa balik dengan alis terangkat. Ya Tuhan, Nala ingin sekali mencolok kedua mata legam yang menyebalkan itu. Nala mendengus keras sebelum kembali menunduk.

Dewa mengamati Nala. Gadis itu tetap menyimak bukunya dengan serius meskipun raut sebal tidak meninggalkan wajahnya. Tanpa sadar Dewa tertawa kecil. Gadis yang keras kepala.

Hanya butuh lima menit bagi Nala untuk membetulkan jawaban. Dewa hanya perlu satu menit untuk mengatakan bahwa jawabannya benar. Nala bernafas lega.

Dewa menatapnya sejenak, " Besok kamu tetap tidak mau mengikuti peraturan?"

Nala tersenyum mengejek, " Nggak mau. Mending saya nggak masuk sekalian."

Dewa mengangguk-angguk, " Kalau begitu kamu langsung ketemu saya. Nggak perlu adu mulut sama Raya."

" Kalau saya tetep nggak mau, gimana?" Tantang Nala bersedekap.

" Saya seret kamu dari rumah kesini."

Nala membelalakkan mata.

"Sekarang kembali ke barisan. Bilang kalau hukuman kamu sudah selesai."

Nala segera bangkit dan membungkuk hormat. Walau bagaimanapun, Dewa masihlah seniornya.

" Terima kasih, kak Dewa." Kata Nala sebelum keluar ruangan. Dewa sudah memperkirakannya. Aktivitas setelah ini hanyalah memperkenalkan ruangan sekolah. Tidak ada lagi yang bisa dilanggar gadis itu.

**

" Kalau yang lain ikut-ikutan gimana?"

Raya menumpahkan kekesalannya saat mereka mengadakan rapat evaluasi sore itu. Raya masih saja kesal melihat Dewa memberi hukuman dan bisa diatasi dengan mudah oleh Nala. Sedangkan pemuda itu justru duduk anteng dengan kedua tangan bersedekap, mengamatinya yang panas dan mondar mandir di ruangan seperti setrika.

" Lo harus menghargai keputusan panitia, De! Jangan main seenaknya gitu! Lo itu di bagian kedisiplinan! Be responsible kenapa? Susah apa? Kalau semua siswa yang nglunjak lo kasih hukuman enteng begitu jangan kaget kalau besok kita punya adek kelas yang pinter kurang ajar sama kita!"

Raya melemparkan kedua tangannya ke udara, kemudian berkacak pinggang dan melotot pada Dewa. Nafasnya terengah.

" Udahlah Ray, lagian kamu sendiri yang milih Dewa. Lo tahu gaya dia kayak apa, kan?" Ujar Fajri menengahi. Dia yang berdiri di belakang Dewa menepuk pelan bahu Dewa.

" Gue yang milih? Yang maksa gue itu kalian!!" Seru Raya menatap tajam Fajri, kemudian kembali ke Dewa. " Hukuman itu satu-satunya cara yang bisa mengontrol kelakuan!! Agar mereka jera! Agar otak mereka tahu kalau sopan santun kepada yang lebih tua itu penting! Agar mereka paham mematuhi peraturan itu mutlak!!"

" Ray, berhenti berprinsip kayak gitu." Celetuk Dewa tenang. Namun Raya terlalu dikuasai emosi.

" Apa? Lalu apa? Prinsip gue salah, gitu? Lo mau adek kelas kita berakhir jadi anak nggak berguna macam Reno cs yang kerjaannya bolos sama ngrokok di belakang sekolah? Lo itu sadar dong De, efek jera itu perlu!" Raya berbalik menatap Dewa dan melotot, " DEWANGGA ABIRAMA!! GUE BARU NGOMONG SAMA LO!!"

Dewa mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah Raya. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sang ketua di depannya ini sepertinya sulit untuk disurutkan amarahnya. Dewa mengantongi ponselnya dan beranjak.

" Mau kemana? Gue belum selesai!" Raya mencegah langkah Dewa yang berjalan ke pintu.

" Apanya yang belum selesai? Gue perlu jemput adek gue." Ujar Dewa dingin.

Raya bersedekap, " Janji sama gue lo bakalan ngasih hukuman yang membuat mereka jera!"

Dewa menatap Raya sejenak, kemudian mendengus dan berjalan melewatinya. Namun Raya menahan tasnya dengan keras kepala. Dewa mengeraskan pandangannya. Dia tidak bisa membuang waktu disini sementara adiknya sangat membutuhkannya!

" Lo kenal gue." Dewa berkata dingin, "Kalau lo merasa tinggi karena mereka takut sama lo itu namanya bukan penghormatan, tapi tirani. Terusin aja, dan mereka nggak akan peduli walau lo sekarat sampai mati."

BLAMMM

Dewa membanting pintu dengan keras.

" DEWA!!" Teriak Raya mencak-mencak. Sementara anggota panitia yang lain memilih untuk bungkam dan bertatapan satu sama lain. Bukan tanpa alasan sebagian besar dari mereka memilih Dewa untuk menggantikan Rudi. Hanya Dewa yang bisa mengimbangi kekejaman Raya disini.

**

Dewa memarkirkan sepeda motornya dengan asal dan berlari ke dalam sekolah Dilla. Wajahnya pucat.

" Mas Dewa?" Tanya Satpam mengerutkan kening saat melihat Dewa. Ia mengenal Dewa, tentu saja. Mengingat Dewa adalah alumnus SMP ini.

" Pak Jarot." Sapa Dewa. " Saya jemput Dilla."

" Oh! Iya iya, tadi mbak Dilla kecelakaan waktu olahraga." Satpam mengangguk-angguk paham sembari membuka gerbang. Sementara pikiran Dewa bertambah kalut mendengar penjelasan satpam.

Dewa segera masuk ke SMP yang merupakan almamaternya, sehingga dengan mudah ia menemukan ruangan UKS dimana Dilla sedang berbaring di dalamnya.

" Dewa!" Seru Bu Lastri terkejut sekaligus senang melihat mantan muridnya. Dewa tersenyum dan mencium tangan gurunya secepat kilat, kemudian mendekati Dilla yang sudah terduduk di kasur. Dilla menatap kakaknya yang panik dan memutar bola mata.

Dewa mengamati telapak kaki kanan Dilla yang terbebat perban dengan rapi. Rahangnya mengeras saat menyadari noda merah gelap memenuhi celana olahraga Dilla, beberapa tercetak jelas di kausnya. Dari situ saja, Dewa bisa memperkirakan seberapa parah luka adiknya. " Ke rumah sakit, sekarang!"

" Nggak perlu. Tadi udah dibersihin Bu Lastri." Jawab Dilla singkat. Kakaknya ini selalu overreacted! Ia melotot pada satu-satunya siswa selain Dilla yang berada di situ.

" Lo ngapain telfon Bang Dewa sih?" Tanya Dilla.

Fara agaknya tersadar dari kekuatan pesona Dewa, kemudian ia melotot balik, " Eh Udil, emangnya bisa pulang sendirian?"

Gadis berambut sebahu itu mendengus. Tentu saja dia tidak akan kuat mengayuh sepeda setelah kakinya tertancap pecahan kaca saat latihan turun tebing tadi. Tapi dia tidak ingin Dewa cemas, itu saja.

Dewa menghembuskan nafas lega melihat Dilla beradu mulut dengan Fara, sahabatnya. Ia duduk untuk menetralkan jantungnya yang sedari tadi berolahraga karena panik.

Ketika mendapat pesan bahwa Dilla kecelakaan, nyawa Dewa seakan tercabut. Seluruh pikiran mengerikan berputar di kepalanya. Tidak ada yang lebih penting baginya selain keluarganya. Jika nyawa seseorang itu satu, nyawa Dewa seakan terbagi menjadi tiga. Untuk ibunya, Dilla dan Dafa.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top