19. Matematika dan Dafa

"I need a shield when it comes to you."

Perkataan Nala bahwa dirinya akan membuat Angkasa tidak bisa mengeluarkannya sepertinya bukan ancaman kosong. Mikaila geram sekali saat melihat nama Nala berada di daftar istimewa murid-murid pada pengumuman hasil Ujian Semester Satu. Ia menatap nyalang deretan nilai seratus yang ditutup angka satu sebagai pernyataan akan peringkat paralel kelas satu.

" Damn!"

Mikaila menoleh hanya untuk menemukan wajah Vanya yang merah padam. Ia menoleh tajam ke arah Mikaila.

" Katanya mau ngeluarin Nala! Mana buktinya? Ternyata omongan lo tentang kekuasaan di Angkasa cuma omong kosong, ya?" Hujamnya sadis pada sepupunya itu. Mikaila semakin melotot.

" Lo kalo ngomong NGACA! Lo yang cacat disini, ngapain nyalahin gue! Lo yang katanya pinter sejagat, kalah sama berandal satu itu! Memalukan!" Balas Mikaila tidak terima.

" Dia itu nyontek! Ya pastilah nilainya sempurna semua!" Vanya menyipit. " Lo yang harusnya punya kekuasaan cari bukti kalau dia nyontek. Omongan aja lo besar-besarin. Berapa peringkat lo? Cih!!"

Mikaila mengambil satu langkah untuk mendekat pada Vanya. Jika gadis itu bukan sepupunya, sudah ia tarik rambutnya dari tadi! Mereka berdua berpandangan sengit, sama sekali tidak sadar jika para murid yang lain memilih mundur daripada terseret masalah yang sudah diketahui satu sekolah itu.

" Lo yang nggak kompeten." Desis Mikaila tepat di depan muka Vanya, " Nggak peduli si berandal itu nyontek apa nggak, kalau lo pinter, lo bisa dapet nilai sempurna dengan mudah. Hmph! Ternyata omongan si preman bener juga, ya? Lo nggak sepinter yang lo bangga-banggain."

" Ck! Berisik banget pagi-pagi."

Mereka berdua menoleh. Nala menatap keduanya dengan malas. Otomatis, Mikaila dan Vanya menatap ke sekitar.

" Dewa udah ke kelas." Jawab Nala. " Minggir! Ganggu yang lain tau nggak?"

Mikaila geram setengah mati, " Lo?"

" Apa?" Sahut Nala tenang. " Mau adu mulut lagi? Nggak capek kalian berdua?"

Mereka berdua menatap Nala dengan pandangan siap membunuh. Namun Nala hanya menatap mereka dengan ketenangan yang nyata. Dengan mendengus bersamaan, keduanya pergi ke arah yang berbeda. Seketika itu juga bisik-bisik menyeruak. Nala tidak memperdulikannya. Dirinya maju dan membaca hasil ujian, kemudian senyum merekah di wajahnya.

" Oh, jadi ini yang bikin ribut!"

Nala menoleh dan mendapati Raya bersedekap sembari menatap ke arah yang sama dengannya. Nala mengangkat alis.

" Nggak nyangka kamu ahli nyontek, ya?"

Senyum terhapus dari wajah Nala. Ia menatap Raya dengan dingin.

" Gue nggak pernah nyontek!" Desis Nala. Raya hanya mengangkat bahunya.

" Oke. Lo bener. Gue emang gampang banget nemuin nama lo." Katanya menatap ke daftar lagi, " Meskipun lo harusnya nggak perlu repot-repot nyontek sana sini sih cuma buat gue kalah kayak gini."

Raya menoleh pada Nala, " Dewa mungkin bisa kamu bodohi. Tapi gue nggak. Bagi gue, lo akan terus jadi anak pembawa masalah."

Sialan!

Umpatan itu terkunci rapat-rapat di dalam mulut Nala. Ia menatap Raya yang melangkah pergi dengan kepuasan di wajahnya. Nala mengerjap. Ternyata efek benci bisa membutakan.

**

" Kanala, Vanya dan Zio. Berdasarkan seleksi sekolah, kalian akan mewakili sekolah untuk Olimpiade Matematika tingkat kabupaten. Persiapkan diri kalian dengan baik!" Ucap bu Vanesha, guru pembimbing mereka yang memakai kacamata supertebal demi merangkap mata tajam berkilatnya. Setiap melihatnya, Nala seolah melihat profesor Mcgonagall. Keriput dan galaknya pun sama.

Berbeda dengan Vanya yang syok setengah mati, Nala justru bertukar senyum secara diam-diam dengan Dewa yang berdiri menjulang di belakang tubuh mungil sang guru.

" Sama lo?" Ucap Vanya tidak percaya ketika Bu Vanesha dan Dewa keluar untuk mendiskusikan sesuatu. " Sama lo?"

Nala memutar bola matanya dengan malas, " Satu kali lagi dan kak Zio bakal nyanyi buat lo."

Zio yang duduk di bangku belakang mereka melirik sekilas, kemudian membuang muka. Seluruh manusia di SMA Angkasa tahu jika Zio adalah salah satu jenius yang dinginnya mirip freezer kulkas skala paling tinggi.

" Lo?? Mimpi apa gue semalem Ya Tuhan!" Seru Vanya mengabaikan Nala, " Kita bakal hancur di menit pertama!"

" Astaga Van! Segitunya lo nggak percaya sama gue!" Tukas Nala melotot. " Cukup disini lo sangsi. Gue lolos seleksi dan gue partner lo, lo harus terima itu!"

Vanya menatap Nala dengan bengis, " Gue ambil ancang-ancang karena lo bakal ngancurin gue sama kak Zio."

" Dengerin gue deh, Van." Kata Nala memijat pelipisnya, " Stop, oke? Sekarang kita itu tim! Kita ngerjain semuanya bareng-bareng. Buang ego lo. Buang harga diri lo! Kalau lo terus egois dan nggak percaya gue, itu artinya lo yang ngancurin kita mulai dari sekarang!"

Vanya menutup mulutnya. Namun matanya masih melotot pada Nala.

" Ck!" Decaknya kemudian, " Dari awal saat gue tahu lo ikut seleksi dan ada Dewa yang jadi pembimbing, gue takut bakal kejadian kayak gini."

Nala mengepalkan tangan kuat-kuat untuk menahan dirinya, " Kak Dewa nggak ada hubungannya sama kepilih nggaknya gue. Berhenti melempar kesalahan ke orang lain. Lo terlihat nggak kompeten dan menyedihkan kalau ngelakuin itu, ngerti nggak?"

" Tapi bisa aja emang..."

" Kalian emang berpotensi ngancurin kita dari sekarang."

Suara dingin bagai jarum es menghujam mereka saat Zio berbicara. Ia menatap tajam pada keduanya tanpa senyum.

" Gue nggak peduli kepilihnya Nala hasil nyontek atau hasil KKN. Dan gue nggak peduli dengan kenyataan kalau lo siswa pinter di antara kelas satu, Van. Yang gue peduliin adalah sekarang kita tim dan kita harus berjuang bareng-bareng." Kata Zio dengan suara rendah. " Kalau kita gagal, nggak ada yang tanya siapa yang bikin kita gagal. Yang ada semua bakal ngecap kita bertiga nggak kompeten. Dan kalau kita berhasil, nggak akan ada yang tanya siapa yang paling unggul. Yang ada semua bakal ngecap kalau delegasi OSN Matematika dari SMA Angkasa yang paling unggul. Nggak ada lo, lo atau gue. Yang ada tim dari SMA Angkasa. Paham lo?"

Mereka berdua hanya terperangah saat Zio menarik tas ranselnya dan berjalan melewati mereka. Sesampainya di depan mereka, Zio berbalik. Ia memandang kedua cewek itu dengan dingin.

" Kalau kalian memutuskan buat ribut terus, mending nggak usah diterusin aja. Kita udah pasti hancur."

Zio menahan pandangannya sejenak, kemudian berbalik dan keluar dari kelas. Kedua gadis itu mengerjap sebelum saling pandang.

" Eh...Kak Zio bisa ngomong ternyata." Celetuk Nala masih terkejut. Vanya mendengus.

" BODO!" Serunya menarik tasnya dengan kasar dan keluar kelas. Setelah beberapa saat terpaku, Nala memutuskan keluar kelas.

Sepanjang lorong, ia masih memikirkan akan Vanya yang menyangsikannya. Kalau begitu ia hanya harus membuktikan padanya kalau dia juga bisa. Benar kata Zio. Mereka tim. Ada kalanya mereka harus bergantung satu sama lain. Nala merasakan aliran darahnya berdesir. Sebuah efek gugup dan semangat yang familiar karena kompetisi. Ia terkekeh geli. Sudah sejak lama ia tidak merasakannya.

**

Nala lagi-lagi tercenung. Kalimat Dewa tadi malam saat mereka menghabiskan waktu mengobrol di telfon terngiang.

" Besok siap-siap jam tujuh. Pakai pakaian yang santai saja."

" Hm? Ngapain? Ada apa?"

" Aku jemput kamu."

Nala ingat dirinya harus mengerjap beberapa kali demi informasi asing ini.

" KENCAN??"

" Iya, Nala sayang."

Dan kata 'sayang' itu yang mempunyai efek luar biasa bagi seorang Nala. Dia menghabiskan waktu lebih lama untuk bersiap hanya karena kata itu terus-terusan terlintas di benaknya, membuatnya bengong beberapa menit.

Nala menggelengkan kepala, mengusir kata itu dari kepalanya untuk beberapa kali. Ia sudah siap dengan blus biru santai berlengan pendek yang dipadu dengan celana kaus panjang hingga mata kaki. Nala menguncir rambutnya menjadi satu di belakang, dengan sengaja meloloskan beberapa anak rambut di keningnya. Ia meraih tas kecil bepergiannya dan keluar dengan tergesa. Ia menyambar flatshoes berwarna biru senada sebelum akhirnya keluar dan mengunci pintu.

" LALA!"

Nala terkejut dan menoleh ke arah gerbang. Tampak Dewa yang sepertinya baru saja menutup gerbang. Tapi dia tidak sendiri. Dafa berlari ke arahnya. Jaket parasut berwarna kuning terlihat menggembung lucu di tubuhnya.

Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Nala melihat tubuh mungil itu berlari ke arahnya dengan berbinar. Nala berjongkok dan Dafa melompat di pelukannya.

" Halo sayang." Sapa Nala ceria saat ia kembali berdiri. Dafa menggumamkan sesuatu di telinga Nala, sesuatu yang sama sekali tidak dipahami Nala tapi gadis itu tetap tertawa karena Dafa mengoceh riang.

" Cuma Dafa yang dipeluk?" Suara Dewa akhirnya menyadarkan Nala. Nala menoleh, dan ia langsung menyesalinya. Dewa memakai kaus putih yang dibalut kemeja flanel warna biru tua yang sengaja tidak dikancingkan. Lengan kemejanya dilipat hingga siku. Jam tangan hitam melingkar di tangan kirinya. Nala harus mencengkram Dafa kuat-kuat agar tidak pingsan karena Dewa yang terlihat begitu menyilaukan.

" Nggak papa kita ajak Dafa?" Tanya Dewa saat sampai di depan Nala. Nala menggeleng, masih tidak mampu bicara. Dewa tersenyum, senyum yang semakin menambah kadar ketampanannya menjadi level super maksimal.

" Jadi, tumben sekali pergi." Kekeh Nala setelah membiasakan diri dengan keberadaan Dewa. Nala menunggu Dewa menutup dan mengunci gerbang karena Dafa yang masih menempel padanya.

" Hadiah." Jawab Dewa mendekati mobil hitam yang familier bagi Nala. " Aku pinjam Leon."

Nala mengerutkan kening, " Hadiah? Terus ini motornya kemana? Rusak lagi?" Tanyanya cemas saat Dewa membukakan pintu di samping kursi kemudi untuknya.

" Karena Nala sudah berusaha." Jawabnya enteng, " Nggak. Kita bawa Dafa. Lebih aman kalau pakai mobil."

Nala mengangguk. Tidak heran jika alasan Dewa adalah Dafa. Dewa memutari mobil dan duduk di samping kursi kemudi. Nala harus mengalihkan pandangan dari itu. Bisa-bisa dia mimisan melihat Dewa yang duduk gagah dibalik kemudi.

" Kenapa nggak ngajak ibu sama Dilla?" Tanya Nala beberapa saat kemudian.

" Ibu libur dagang, pilih istirahat di rumah. Dilla belajar." Jawab Dewa tenang dengan pandangan lurus ke depan. Ia mengemudi dengan penuh kehati-hatian. Dua orang yang disayanginya sedang berada dalam tanggung jawabnya.

" Oh iya. SMP sebentar lagi ujian, ya." Kata Nala mengingat sesuatu. " Kak Dewa juga harusnya belajar, gimana sih?"

Dewa nyengir dengan fokus masih ke depan, " Belajar itu tentang kualitas, bukan kuantitas. Aku yakin kamu paham itu."

Nala mendengus meskipun tidak menampik itu.

" Kamu cantik." Kata Dewa menoleh ketika mereka berada di lampu merah. Wajah Nala langsung memerah. Tapi ia tersenyum dan menatap pada Dewa.

" Sudah cocok buat kak Dewa?" tanyanya. Dewa menaikkan satu ujung bibirnya.

" Kamu selalu cocok buatku, Nala." Jawab Dewa lembut. Kali ini, Nala menenggelamkan dirinya di jaket Dafa. Dewa terkekeh pelan sebelum menjalankan mobilnya.

" Lala antik." Celetuk Dafa menempelkan tangan mungilnya di pipi Nala.

" Hmmm...Dafa juga ganteng. Hari ini kita kencan!" Kata Nala riang pada Dafa yang berdiri di pangkuannya.

" Dapa anteng." Katanya asal, kemudian menempelkan wajah dan telapak tangannya di kaca pintu mobil. Nala membelai rambutnya dengan lembut, sesekali memeluknya untuk mereguk aroma bayi yang menyegarkan.

Semuanya tidak luput dari perhatian Dewa. Ia menatap Nala dengan sayang. Dulu baginya, hanya ada Ibu, Dilla dan Dafa. Sekarang, ia meminta pada Tuhan agar diberi kekuatan menjaga gadisnya juga. Dewa tidak akan sanggup kehilangannya.

**

" Sapi, kebau, jelapah, halimau..."

" Singa." Kata Dewa membetulkan.

" Singa." Tiru Dafa yang sedang duduk di pundak lebar Dewa. Tinggi Dewa yang semena-mena memudahkan anak itu melihat lebih jelas.

" Ikannya ana?" Tanya Dafa celingukan.

" Ah iya, kita belum lihat-lihat ikan! Ayuk kesana!" Celetuk Nala antusias.

" Sini. Nanti hilang." Kata Dewa sembari meraih jemari Nala, menuntunnya dengan lembut di kerumunan pengunjung. Entah berapa kali Nala harus menyembunyikan diri karena Dewa. Laki-laki itu menahan Dafa di pundaknya dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain menggandengnya erat-erat.

Setelah beberapa saat berputar-putar melihat hewan yang diinginkan Dafa, akhirnya mereka beristirahat di salah satu cottage yang tersedia. Nala menyodorkan sebotol susu yang sengaja dibawa Dewa untuk Dafa. Dafa menerimanya sembari menatap kagum ke kandang penuh dengan burung merak.

" Untung aku nggak salah konsum. Kak Dewa nggak bilang kita mau ke kebun binatang, soalnya." Katanya.

Dewa yang menahan Dafa dengan kedua tangannya menoleh.

" Maaf ya, aku nggak tanya kamu dulu pingin kencan dimana." Kata Dewa merasa bersalah.

Nala menggeleng, " Dimanapun asal sama kak Dewa aku udah seneng." Jawab Nala jujur. Menghabiskan waktu dimanapun asal bersama Dewa cukup membuat Nala bahagia.

" Kamu tahu kenapa aku bawa Dafa?" Tanya Dewa tiba-tiba bertanya. Nala mengerutkan kening dan menggeleng. Dewa tersenyum sebelum menatap ke kandang merak.

" Karena aku harus nahan diri dari meluk kamu terus-terusan." Jawab Dewa. " Dan Dafa suka kebun binatang."

Nala nyengir. " Iya. Untung kamu bawa Dafa."

" Kak Dewa?" Panggil Nala beberapa saat kemudian.

" Hm?"

" Kak Dewa tahu kalau kak Raya suka sama kak Dewa?" Tanyanya lagi. Ia tidak tahu mengapa ia menanyakannya. Ia hanya ingin mengetahui jawaban Dewa.

" Tahu." Jawab Dewa. Nala mengangkat kepalanya.

" Darimana?" Tanyanya pada Dewa. Dewa menoleh padanya.

" Sikap." Jawabnya. " Seseorang nggak harus bilang dulu untuk membuat orang lain tahu."

Nala memutar bola matanya, " Itu namanya kepedean. Terus kak Dewa diem aja, gitu?"

" Raya belum pernah bilang langsung." Jawab Dewa enteng, " Urusan seperti ini, disimpan dalam hati itu bukan pilihan. Keburu diambil orang lain baru kerasa."

" Oh, jadi dulu kalau nggak ada aku kak Dewa sama kak Raya?" Tanya Nala merengut. Dewa terkekeh.

" Darimananya kamu nyimpulin itu sih?" Ucapnya geli, " Aku belum pernah suka sama cewek. Kamu yang pertama. Kalaupun Raya bilang sebelum aku ketemu kamu, aku tetap jawab nggak bisa sama dia."

Nala mengurai wajahnya yang tertekuk, teringat perkataan senada dari Dilla.

" Kenapa suka aku?" Tanya Nala lirih. Ia sengaja tidak menatap Dewa.

" Karena itu Nala." Jawab Dewa lembut, " Ketika seseorang bersama orang lain dan merasa lengkap, maka saat itu pula dia jatuh cinta. Dan itu yang aku rasain setiap aku sama kamu."

Nala yang merasa hatinya melumer berusaha menguatkan diri.

" Aduh aduh, kak Dewa ternyata pinter ngegombal, ya? Ati-ati lho, didenger Dafa!" Sindir Nala hanya untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Ia tidak menampik pernyataan Dewa, karena Nala merasakan hal yang sama.

Dewa tertawa. Ia mencondongkan tubuhnya hingga mendekati wajah Nala. " Gombal itu sebuah kejujuran yang dikatakan orang yang sedang jatuh cinta, makanya terdengar puitis."

Nala mendengus. Ia meraup wajah Dewa dan mendorongnya menjauh. Laki-laki itu tertawa keras. Hingga membuat Dafa menoleh.

" Pak, foto sekeluarga hanya lima puluh ribu. Momennya langka, lho. Bapak ibu masih muda gini. Masih cantik dan ganteng. Adeknya juga manis sekali."

Tiba-tiba, seorang juru foto melewati mereka dan mulai mempromosikan diri. Dewa dan Nala saling lirik, kemudian terkekeh.

" Nggak papa ya. Kita kan juga belum punya foto berdua." Kata Dewa beranjak. Nala mengangguk meskipun wajahnya sudah mirip kepiting rebus. Dia tidak bisa menghilangkan panggilan bapak dan ibu dari juru foto tadi. Bagaimana bisa mereka dikira sudah menikah? Wajahnya kan masih imut-imut gini!!

Mereka berpose dengan Nala menggendong Dafa dan tangan Dewa merangkul pundak Nala. Nala berdoa semoga wajahnya yang merah padam tetap putih mulus di foto nanti. Sang juru foto memberikan hasilnya pada Dewa dan berlalu setelah mengucapkan terima kasih.

" Hmm...cocok." Celetuk Dewa menyerahkan hasilnya pada Nala. Mereka kembali duduk di cottage karena Dafa yang sudah tidak sabar memandangi merak putih yang sedang melebarkan ekornya.

Nala mendongak menyipit pada Dewa yang melongok lewat bahunya. Laki-laki itu tersenyum kecil sebelum menunduk untuk mengecup singkat pipi Nala. Ia menatap lekat-lekat manik coklat yang terkejut itu.

" Untung bawa Dafa." Kata Dewa sungguh-sungguh.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top