18. Kamu bagiku

" Memaafkan adalah awal dari penyembuhan. Kemarahan yang membutakan jangan dibiarkan. Kadang kita kehilangan yang berharga tanpa disadari karenanya."

Sepertinya SMA Angkasa tidak pernah kehilangan kejutan.

Seperti sekarang, seluruh anak merasa kehilangan kemampuan bicara saat melihat mereka berjalan menyusuri lorong dengan tas ransel di punggung seperti siswa lainnya. Tidak ada rambut berwarna yang menyentuh kerah, tidak ada tindik di telinga, tidak ada kaus kumal yang keluar dari ikat pinggang, tidak ada sepatu tanpa kaus kaki, dan gelang rantai yang mengerikan diganti dengan jam tangan yang melingkar dengan gagahnya.

Aura ketakutan itu masih ada. Dia tahu mereka tidak bisa menerima mereka dalam sekejap. Semua butuh proses. Tapi Reno sudah menyiapkan diri untuk menerima segala bentuk penolakan. Dia sudah bertekad untuk berubah. Sudah saatnya berhenti bermain-main.

Semua siswa membeku, tak terkecuali Dewa dan Nala yang baru saja datang dan bertemu dengan mereka di koridor.

Rahang Dewa langsung mengeras. Sedangkan Nala membelalakkan mata tidak percaya. Reno tersenyum kecil dan menatap Dewa dengan dingin. Dewa meraih lengan Nala dan melewati mereka dengan acuh. Nala tidak bisa menyembunyikan senyumannya, tapi dia tidak mungkin menyambangi mereka. Tanpa sepengetahuan Dewa, gadis itu mengangkat jempol di balik punggungnya.

Kelima orang yang baru saja insyaf itu nyengir.

Dewa mengantar gadis itu hingga ke kelasnya. Namun bukannya melepaskan, Nala justru merapatkan tautan jemari Dewa di tangannya. Gadis itu mendongak untuk menatap wajah sempurna dengan mata teduh itu.

" Memaafkan itu awal dari penyembuhan." Celetuk Nala. " Kemarahan yang membutakan itu jangan dibiarkan. Kadang kita kehilangan yang berharga tanpa disadari karena itu."

Kelebatan kilat terlihat di mata Dewa. Bibirnya terkatup membentuk garis tipis.

" Aku nggak mau kak Dewa menyesal." Kata Nala menatap Dewa lekat-lekat. " Kak Dewa orang yang kuat. Cukup kuat untuk mengalahkan ego."

Dewa menatap Nala tanpa ekspresi beberapa saat. Kemudian berkata pelan, " Aura persuasif kamu itu kuat, ya?"

Nala terkekeh. " Nggak ngaca, nih?"

Melihat gadis itu tertawa, senyum Dewa terbit. Ia melepaskan tautan tangan mereka dan mengusap pelan rambut Nala.

" Akan aku coba." Katanya membuat Nala berbinar. Ia membalas lambaian singkat gadis itu sebelum berbalik.

Dia sudah berulang kali mencoba memaafkan. Tapi setiap waktu ia mengingatnya, Dewa tidak bisa menghentikan kemarahannya pada Reno. Seandainya saja waktu itu dia tidak membawanya. Seandainya waktu itu dia memilih memberitahu Leon. Seandainya waktu itu ia tidak melepaskan pengawasan pada Reno,dan seandainya yang lain. Pada akhirnya, semua sudah terjadi dan Dewa harus memikul rasa malu dan bersalah hingga detik ini.

Bagaimana bisa ia memaafkan Reno? Ia tidak akan berani mempercayainya lagi.

Hanya saja, perkataan Nala berhasil mengganggunya.

**

" Kenapa?" Tanya Dewa.

Pasalnya, sedari tadi wajah cewek yang duduk di depannya terlihat gelisah. Nala menghembuskan nafas pelan dan meletakkan pulpennya, memutuskan untuk berterus terang pada Dewa.

" Kelihatan banget ya?" Jawab Nala. "Aku disuruh ikut olimpiade matematika."

Dewa menatap Nala. Ternyata sang kepala sekolah bergerak cepat.

" Lalu masalahnya dimana? Kamu nggak mau?"

Nala menggeleng. " Bukan masalah mau atau nggak mau. Tapi aneh aja. Setahuku seleksi tingkat sekolah itu melalui nilai rapor. Kak Dewa tahu sendiri gimana aku sebelum ini, kan?"

Dewa terdiam sebelum berbicara lagi.

" Mungkin mereka melihat dari sisi yang lain. Para guru nggak semudah itu dibohongi, Kanala. Mereka tahu murid-murid mereka yang punya potensi. Dari apa yang aku dengar, kamu wakil provinsi OSN Matematika SMP, kan?"

Mati aja sana lo, De!

Nala membasahi bawah bibirnya. " Gitu ya?"

Dewa mengamati ekspresi Nala. Gadis itu agaknya sedang menimbang-nimbang.

" Jadi?" Akhirnya, Dewa melemparkan pertanyaan maha penting itu.

Nala mengangguk. Wajahnya terlihat sedikit cerah.

" Ayo kita lihat sampai mana batasku." Kata Nala tenang. Ini tentu saja, akan menjadi sebuah tamparan keras bagi orang yang selama ini meremehkannya.

" Nggak ada libur UAS untuk peserta seleksi. Kamu nggak keberatan?"

Nala menggeleng. " Aku nggak suka hari libur. Sepi di rumah. Mending ikut bimbingan aja. Kan kak Dewa juga ikut jadi tutor, iya kan?"

Dewa mengangguk, menambah binar di mata Nala.

" Gimana rasanya waktu di tingkat nasional?" Tanya Nala ingin tahu. Sedangkan Dewa hanya mengangkat bahu.

" Biasa aja."

Nala memutar bola mata. " Kenapa kalah? Padahal tinggal sedikit lagi bisa ke Internasional lho kak?"

Dewa terkekeh. " Karena aku nggak bisa ninggal ibu, Dilla sama Dafa disini."

Nala berdecak, " Kan ngeles kan? Akui kekalahan dengan gentle, dong."

Dewa tambah tertawa. Gadisnya ini lucu sekali. Ia tidak melepaskan pandangannya pada gadis yang sedang sibuk meringkas kitab biologi milik Campbell itu. Saat ini, di perpustakaan hanya terdapat segelintir orang. Yang lain sedang di lapangan untuk melihat pertandingan basket maupun sepak bola. Namun Dewa tidak berminat. Ia lebih suka menghabiskan waktu berdua bersama Nala.

"Nanti sore ke kampung jam berapa?" Tanya Dewa kemudian.

" Jam tigaan." Jawab Nala singkat. Dirinya masih fokus pada pekerjaannya. Dewa terdiam beberapa saat.

" Reno masih ngajar disana?" tanyanya menekan rasa tidak sukanya kuat-kuat. Mendengarnya, Nala mengangkat kepala dan menggeleng.

" Nggak." Jawabnya menghela nafas seolah menyesali sesuatu. " Kata mas Qatar, Reno dan yang lain keluar dari titel pengajar. Alasannya karena mau fokus sekolah."

Nala menatap Dewa yang masih memandanginya tanpa ekspresi, seolah informasinya tidak berarti apa-apa. " Orang-orang berubah saat tahu apa yang penting bagi mereka."

Tatapan Dewa menajam, " Dan kenapa kamu ngomong begitu?"

" Karena Reno juga berubah setelah tahu apa yang penting bagi dia." Jawab Nala. " Mas Qatar itu bukan pengajar biasa. Dia justru mengajak orang-orang kayak Reno, kayak aku dulu itu, buat jadi pengajar. Dari situ mas Qatar berusaha menyadarkan kalau separah apapun kita, kita masih bisa berguna untuk orang lain kalau kita mau mencari. Aku nggak pernah menganggap keberadaanku di sekolah ini berharga. Aku merasa jauh lebih berharga waktu ngajar anak-anak. Membimbing mereka, memberitahu apa yang mereka nggak tahu."

Nala terdiam sejenak, mengizinkan dirinya menikmati wajah laki-laki di depannya.

" Secara nggak langsung, itu menumbuhkan kepercayaan diri. Membuat kita berani mencari tahu hal lain yang mungkin bisa kita lakukan. Membuat pikiran kita terbuka bahwa mendapat nilai yang baik di sekolah itu bukan hal yang paling penting. Seperti kata kak Dewa, yang terpenting adalah prosesnya. Tapi dulu aku mengabaikannya."

Dewa mengangkat alis. Nala tersenyum saat memandang Dewa dengan sayang. Ia mencondongkan tubuhnya untuk meraih rahang Dewa, mengusapnya lembut.

" Sekarang aku sadar kalau prestasi kak Dewa ini adalah hasil dari proses untuk selalu melakukan yang terbaik. Kak Dewa bukan hanya jadi siswa terbaik, tapi kakak yang baik, anak yang baik dan senior yang baik. Kak Dewa nggak akan seperti itu kalau hanya mengincar nilai. Dan aku harus bisa mengimbangi laki-laki luar biasa seperti ini."

Dewa menatap Nala beberapa saat, kemudian meraih tangan Nala yang menari di rahangnya.

" Kalau buat kamu?"

Nala yang merasa sedikit melayang akibat Dewa yang meremas lembut jemarinya berkata, " Aku takut."

Dewa mengerutkan kening. Tidak menyangka jawaban Nala.

" Takut karena kak Dewa terlalu baik untuk cewek kayak aku." Kata Nala lirih. " Takut aku nggak bisa menjadi orang yang diharapkan kak Dewa. Takut kak Dewa pergi karena aku nggak pantes buat kamu."

Dewa semakin meremat jemari Nala, memaksa Nala berhenti bicara. Ia menatap Nala lekat-lekat.

" Kamu sama sekali nggak tahu nilai dirimu, Kanala. Kamu adalah semua yang aku inginkan. Berapa kali harus aku bilang?" Katanya. Hal yang Dewa lakukan selanjutnya membuat Nala mematung. Dewa mengecup punggung tangan Nala, lembut dan lama. Ia membalik tangan mulus itu, menyusuri jemarinya menggunakan bibir dan mengecupinya satu per satu hingga membuat Nala mencengkram tepi kursinya erat-erat. Dewa menangkupkan tangan Nala di pipinya dan menahan dengan tangannya sehingga telapak tangan Nala tenggelam.

" Kamu adalah hatiku. Setelah ini, aku nggak bisa kalau tanpa kamu." Kata Dewa tegas, " Sampai kapanpun, kamu milikku. Aku nggak akan lepasin kamu."

**

DAK DAK DAK

BRAK!!

" GILAK!" Seru Leon di ambang pintu kelas.

" Aduh mak!"

" Yah tinta gue kelempar!"

" Asem, kecoret panjang banget lagi!"

" Sengaja bolos kan lo biar nggak ikut classmeeting?!"

" EH SIMBA! NGAPAIN ORANG GILA BILANG GILA?? KALAH ULAR TANGGA KAN GUE!!"

Dan beberapa gerutuan siswa lainnya yang terkejut karena kedatangan Leon. Leon melirik sinis pada mereka.

" Simba? Gue Mufasa, ya!!"

" Musafir iya!"

" Serah Leon, serah!!"

" Pada nggak liat apa ya? Reno cs insyaf! INSYAF RAH!!" Serunya mendramatisir sembari menggebrak meja Sarah di barisan paling depan. Sarah memandangnya jijik. Sebuah gumpalan kertas menimpuk kepalanya, berasal dari siswa-siswa yang duduk di belakang.

" Drama, elah!" Seru mereka sudah terbiasa dengan tingkah hiperbola Leon. Leon mencibir. Ia meninggalkan Sarah dan akhirnya menuju tempat duduknya di samping Dewa. Dewa terlihat tidak terganggu. Cowok itu duduk sambil membaca catatan kecilnya seperti biasa.

" Lo udah tau, De?" Tanya Leon ingin tahu. Dewa mengangguk singkat. Leon mengerutkan dahi.

" Setelah selama ini..." Gumam Leon tenggelam dalam pikirannya sendiri. " Nala hebat banget, ya."

Dewa setuju dengan pernyataan Leon. Ia meletakkan bukunya dan menghadapi Leon.

" Lo ngapain jam segini baru datang? Dicariin tim basket dari tadi." Kata Dewa. Leon mengangkat bahu.

" Biasa. Papa gue minta gue ikut rapat." Jawabnya malas, " Lagian ini kan classmeeting pasca UAS, elah. Kerajinan amat berangkat pagi-pagi."

Dewa mengabaikannya. Ia punya satu pertanyaan penting untuk Leon. " Ngomong-ngomong tentang itu, lo tahu keluarga Halid?" Tanya Dewa.

Leon yang sedang berpikir keras tentang Reno mendadak langsung menoleh pada Dewa.

" Emangnya kenapa?" Tanya Leon tajam. Dia tidak mengira Dewa akan menyebutkan salah satu kolega perusahaan keluarganya.

" Gue perlu tahu. Mereka bergerak di bidang apa?" Tanya Dewa menajam. Ia cukup tahu karena Leon sering bercerita padanya.

" Tumben lo tanya gitu sama gue." Leon menegakkan diri, "Siapa sih yang nggak kenal keluarga Halid? Bisnisnya sukses merajai Eropa. Mereka memegang peranan besar pada arus keuangan di sana. Mereka bergerak di bidang properti. Perhotelan, apartemen sampai real estate. Baru-baru ini mereka melebarkan sayap ke medical core, jadi kolega Aditama. Kantor pusatnya di Perancis. Padahal pemiliknya, Alexander Halid, orang Indonesia tulen."

Dewa semakin memasang telinganya. " Gimana keluarganya? Istrinya? Anaknya?"

Leon mengerutkan kening mendengar keingintahuan temannya, namun ia tetap menjawab.

" Setahu gue, putra mahkota Halid meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Bersama istrinya kalau nggak salah. Waktu itu jadi berita besar-besaran. Sempat dimuat di majalah bisnis internasional itu."

Mendengar itu, mata Dewa menggelap. Leon semakin tidak mengerti.

" Lo kenapa sih, De?"

Dewa tidak menjawab. Seluruh memori berputar di kepalanya. Ia sangat ingat nama yang tertera di bawah pigura keluarga raksasa yang tergantung di ruang tengah, juga nama nisan yang ditangisi Nala kala itu.

" Bisa tolong bawain semua informasi tentang mereka?"

*TBC*




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top