16. Peringatan

" Devil or Angel, which one are you?"

Dewa baru saja keluar dari kamar mandi ketika didapatinya Nala sudah sibuk di dapur. Gadis itu juga sudah mandi. Rambutnya yang lembab terurai hingga ke pinggang. Sebuah bandana merah muda terpasang di kepalanya, menyugar rambut gadis itu sehingga wajah cantiknya terlihat jelas.

" Ngapain?" Dewa melongok melalui bahu gadis itu.

" Astaga!! Kaget aku!" Seru Nala berputar. Ia mengangkat alis, kemudian tersenyum lebar.

" Pas, kan?" Tanya Nala ceria mengacu pada kaus hitam yang menempel di tubuh Dewa. " Padahal dulu Radit kelonggaran kalau pakai ini. Aku inget ini, soalnya ini pilihanku. Nggak ngecek ukurannya waktu itu. Jadi ya..." Nala mengangkat bahu. Ia mendorong Dewa agar duduk di meja makan yang memang dekat dengan dapur. Kemudian ia menuangkan susu coklat ke dalam gelas.

" Ini." Nala menyodorkan gelas itu pada Dewa, " Udah lewat jam makan siang. Aku panasin dulu. Nanti kita makan sama-sama."

Dewa mengamati gadis yang sibuk di dapur itu dan menyambanginya. Gerakan gadis itu kelewat luwes untuk ukuran remaja yang tinggal di rumah mewah dan memiliki pembantu. Dewa membantu gadis itu menyiapkan piring.

" Cuma manasin. Santai aja, aku masaknya baru tadi pagi kok." Jelas Nala yang melangkah ke meja dengan beberapa camilan di tangannya. Wajahnya terlihat bahagia.

" Radit sama aku itu hobi nyemil. Jadi kita selalu punya camilan." Kata Nala terkekeh. " Astaga! Aku seneng banget akhirnya nggak harus ngabisin ini sendirian lagi! Kayak orang depresi aja nyemil sendirian di dapur, kan?"

Kata-kata Nala semakin menyakinkan Dewa bahwa gadis itu kesepian.

" Kamu masak sendiri? Kan ada Bi Inah, katanya." Tanya Dewa ingin tahu. Nala yang sedang menuang sayur ke mangkuk mengangguk.

" Itu juga Radit." Kata Nala membawanya ke meja makan. " Radit nggak suka ada pembantu. Dia bilang, kita itu masih punya orang tua, nggak semestinya diurusi pembantu. Padahal papa maksa, tapi Radit tetep aja keras kepala. Bilangnya mending dia kabur aja, gitu. Makanya Bi Inah cuma sebentar di rumah. Radit bilang dia lebih suka makan masakanku daripada pembantu. Padahal dulu aku nggak bisa masak. Radit aja sampai diare beberapa kali."

Nala tergelak mengingat masa-masa itu. Mereka duduk berhadapan dengan sepiring makan siang di depan mereka.

" Radit bilang kita harus mandiri." Kata Nala setelah menelan suapannya yang pertama. " Makanya dia minta kita beda sekolah. Hampir semua pekerjaan rumah dibagi kita berdua. Mulai dari nyiram bunga, nyuci, masak, nyapu, ngepel, semuanya. Dan itu kebawa sampai sekarang."

Nala mengaduk nasinya agar bercampur dengan kuah. " Dibanding kembaran, dia lebih pantes dibilang ayah. Cerewetnya ngalahin Bi Inah yang kejatuhan cicak pas nonton Ranveer Ishani."

Dewa tidak tahu harus merespon bagaimana. Nala menceritakan kisah yang seharusnya sedih dengan nada biasa saja, seolah hal itu tidak mengganggunya sama sekali.

" Enak." Kata Dewa jujur. Nala mengangkat muka hanya untuk mendapati piring Dewa sudah bersih.

" Heh! Udah habis?" Cowok memang cepat kalau makan, dia lupa! " Nambah sana! Tadi aku masak agak banyak."

Dewa menggeleng. Ia justru bersandar ke punggung kursi. Sejujurnya, ada satu yang mengusiknya sejak tadi. Namun dia tidak bisa menanyakannya pada Nala. Ia menikmati melihat Nala yang makan sembari menceritakan apapun tentang Radit. Dewa tidak keberatan. Ia selalu suka antusiasme Nala yang seperti tidak ada habisnya.

Nala menyerah untuk menggeser Dewa dari wastafel. Padahal Nala sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi cowok itu bergeming dan tetap mencuci piring mereka dengan santai seolah tenaga Nala hanyalah imut-imut. Dewa harus menahan tawanya saat gadis itu mencubiti pinggangnya dengan kesal.

" Kak Dewa nggak perlu nganter aku ke kampung lagi." Kata Nala saat mereka berdua beralih ke ruang tengah. Dewa menolehkan kepalanya dari televisi. Rahangnya mengatup keras. Namun sebelum Dewa sempat membuka mulut, Nala menutup mulut Dewa dengan telapak tangannya.

" Aku belum selesai ngomong." Kata Nala lirih. Gadis itu menggigiti bibirnya beberapa saat, terlihat gamang. Dewa menatapnya, kemudian menurunkan tangan Nala.

" Kenapa? Kamu malu dianter pakai motor tua, ya?" Tanya Dewa menelisik.

Mata Nala melebar. " Aku nggak pernah mempermasalahkan hal kayak gitu ya, kak Dewa! Basi amat alasannya!!"

Dewa tidak bisa menahan kekehannya. Ia tahu Nala bukan gadis seperti itu.

" Lalu? Kenapa masih pingin pergi sama Reno?"

Nala memutar matanya dengan malas, " Kak Dewa ah, dengerin aku dulu. Nih ya aku bilang, mulai besok aku ngajar kelas sore."

Dewa menaikkan alis, " Kenapa ganti?"

Nala memalingkan wajahnya dan bersedekap. Terlihat sekali salah tingkah, " Entah!"

Dewa nyengir. Ia membelai puncak kepala gadis itu, " Kalau gitu kamu nggak ada alasan bolos lagi."

" Bodo! Ck! Senyum aja terus biar dikira orang gila!" Nala menyahut bantal di sampingnya dan menangkupkannya ke wajah Dewa, membuat tawa laki-laki itu teredam.

**

Dewa merapikan anak rambut Nala yang sedikit berantakan karena memakai helm.

Dewa meloloskan rambut panjang Nala dari leher sweater biru laut miliknya. Hari ini, Nala hanya mengurai rambutnya dengan sebuah japit hitam masing-masing di atas telinga. Cukup membuat Dewa nyaris kelepasan.

" Yuk!" Ajak Nala setelah selesai membuka sweaternya meskipun masih dibiarkan menempel di tubuhnya.

" Nanti istirahat ke perpus, ya?" Ajak Nala saat mereka menyusuri koridor. Dewa berjalan di sampingnya dengan kedua tangan berada di dalam saku.

" Hmm..." Jawabnya. Rahangnya mengetat. Dirinya sedang menahan diri untuk tidak menonjok siapapun yang menatap Nala dengan kurang ajar. Bahkan beberapa terlambat untuk menyembunyikan wajah terperangahnya. Gadis di sebelahnya benar-benar ujian bagi Dewa. Sedangkan si gadis sama sekali tidak sadar dan malah terus mengoceh tentang ulangan harian yang akan diadakan hari ini.

Saat itu Leon berlari ke arah mereka dengan ransel masih di punggung. Leon sampai di depan Dewa, tapi wajahnya melongo ke arah Nala membuat gadis itu kebingungan.

Dewa meraih rahang Leon ke arahnya dan menatapnya tajam. Leon nyengir lebar setengah menggoda.

" Iya iya kacamata kuda." Ujar Leon menempatkan telapak tangannya di kanan dan kiri matanya, menutupi pandangannya ke arah Nala. Leon melayangkan senyum mengejek.

" Kenapa?" Tanya Dewa mengabaikan ejekan Leon.

" Dipanggil kepsek. Disuruh kesana sekarang."

Leon menanggalkan wajah jenakanya. Ia menatap Dewa, mengerti bahwa saat ini rasa sesak tengah menyiksa Dewa. Dewa menelan ludah, kemudian mengangguk.

" Ya udah, aku duluan aja." Nala memahami. Nala menjulurkan lidah singkat pada Dewa, kemudian menatap Leon. " Daaaa kak Leon!"

Dewa berlama-lama menatap punggung ramping Nala yang terbingkai rambut indah gadis itu.

" Cantik."

Suara Leon menyadarkan Dewa. Ia menoleh dan mendapati Leon juga tengah mengamati Nala. Dewa menggeram dan sekali lagi meraih rahang Leon.

Leon menatap pasrah ke arah Dewa. " Lo terus-terusan romantis gitu sama gue, dikira homo sama Nala lo!"

Dewa mendengus dan mulai melangkah.

" Reno udah keluar dari rumah sakit. Tulang hidungnya cuma retak, untungnya." Kata Leon yang mengiringi langkah Dewa. Dewa tidak menanggapi. Tapi dia tahu Dewa lega.

" Tentang ini, nggak ada yang ngelarang lo buat lanjut setelah perjanjian selesai." Kata Leon menambah rasa bersalah di dada Dewa. " Dari apa yang gue lihat, lo juga kayaknya nggak bisa berhenti, sih."

Leon terkekeh. " Gue nggak ngerti ya, De. Cewek cantik gitu lo anggurin. Peluk kek, cium kek!"

Leon menoleh pada Dewa yang tetap bungkam. Matanya melebar, " Kunyuk setan!! Lo...udah?"

Dewa mengalihkan pandangannya, " Apasih Le, masih pagi jangan ribut!"

Namun Leon masih menatap Dewa tidak percaya, " Astaga! Gue kira lo nggak mempan, De! Selama ini Mikaila ngegoda lo pakai cara laknat aja lo nggak peduli! Padahal ya, Nala nggak ada apa-apanya dibanding bodi Mik-ADUH!!!"

Dewa menggeplak Leon dan menatapnya tajam. " Jangan pernah ngomongin Nala dengan cara kayak gitu." Desisnya penuh ancaman.

Leon menggeram seraya mengusap belakang kepalanya. "Awas lo kalo kebablasan! Peluk, oke. Cium nggak papalah. Selain itu, no!"

Dewa jengah. Ia meraup wajah Leon dengan satu tangan dan mendorongnya jauh-jauh.

" Ck!" Leon melepaskan diri, " Gue kasih tau soalnya lo nggak punya pengalaman, De. Sebagai sahabat, gue ada tanggung jawab ngasih kamu edukasi. Lo harus tahu nafsu cowok itu mengerikan!"

Dewa menghembuskan nafas dan akhirnya berputar menghadap Leon. " Lo lebih mengerikan. Udah sampai ini. Sana balik kelas!"

Namun Leon sepertinya masih tidak rela, " Elah De, gue beneran ini ngomongnya!"

" Le, stop! Gue juga ngerti batas. Gue nggak sebego itu!" Tukas Dewa memotong kata-kata Leon. Leon menghentikan rocosannya dan menatap Dewa lekat-lekat. Kemudian ia menepuk dahi Dewa dengan telapak tangannya.

" Beneran lo! Awas lo!"

" Iya, ck!"

Leon menatap Dewa lekat-lekat sebelum menyeringai, " Akhirnya masa remaja lo komplit. Ikut seneng gue."

" Sialan!"

Leon terkekeh. Ia meninju bahu Dewa sebelum berbalik dan pergi menjauh.

Dewa berbalik untuk menghadapi sang kepala sekolah. Dia tidak siap dengan apa yang mungkin dikatakan beliau. Entah sejak kapan sesuatu yang berhubungan dengan kepala sekolah membuatnya takut seperti ini.

Pak Amir tersenyum tulus. Bagi Dewa, senyum itu menyiksanya.

" Selamat atas keberhasilan penelitian kamu. Saya bangga sekali." Jawab Pak Amir dengan kebahagiaan yang nyata. " Tahap akhir masih beberapa bulan lagi, kan?"

Dewa mengangguk, berusaha memberi respon selayaknya.

" Selamat juga atas keberhasilan kamu membimbing Kanala. Dia semakin menunjukkan potensinya." Kata Pak Amir menggoreskan pisau di dada Dewa.

" Saya tidak berbuat apa-apa." Kata Dewa berusaha membela diri. Berusaha memperingan rasa bersalah itu, " Saya bahkan tidak pernah menekannya untuk belajar."

" Mungkin. Tapi itu tetap tidak menghapus kenyataan bahwa keberadaanmulah yang membuat Nala berubah."

Lo tetap jebak dia, brengsek banget! Bagi Dewa, itu arti kata-kata Pak Amir.

" Saya percaya dia akan lebih bersinar nantinya. Anak itu sangat luar biasa. Bimbingan kamu masih sangat diperlukan." Lanjut Pak Amir tidak menyadari bahwa Dewa telah teriris menjadi serpihan kecil. " Menurutmu, dia sudah siap untuk ikut pelatihan olimpiade?"

Dewa menyembunyikan rasa gelisahnya dan mengangguk. Dia tidak pernah meragukan kemampuan Nala.

Pak Amir tidak bisa menyembunyikan kepuasannya. " Pastikan Kanala mengikuti latihan dengan optimal. Ketika pengumuman provinsi dikeluarkan, saya ingin kamu menyiapkan berkas-berkas Adilla untuk masuk ke Angkasa."

Seakan belum cukup jatuh, kata-kata Pak Amir seperti melempari Dewa dengan tangga. Pria tua itu mengingatkannya akar dari segala hal rumit ini.

Adilla Anastasya. Adiknya. Tanggungjawabnya.

Dewa mengangguk dengan susah payah. Sesuatu yang salah terjadi disini. Hal itu bercokol di dalam diri Dewa, mengganggunya setengah mati.

**

Tapi tetap saja, video tentang Nala mampu membuatnya emosi dan terhibur di saat yang sama.

" Apa sih? Ketawa sendiri di pojokan perpus gini!" Nala datang dan duduk di kursi di depan Dewa. Dewa beralih menatap Nala yang sudah menenteng beberapa buku. Masih saja tidak percaya bahwa gadisnya bisa sangat beringas.

Dewa memberikan ponselnya pada Nala agar gadis itu bisa melihat sendiri. Nala terbelalak.

" Ini dapat darimana?!" Pekiknya. Benar. Itu adalah video tentang Mikaila dan Vanya yang menculik Lila beberapa waktu lalu. Tidak tanggung-tanggung, video itu diambil beberapa menit sebelum Nala datang hingga Mikaila yang mengayunkan kayu tanpa sepengetahuan Nala. Setelahnya, hanya ada rerumputan.

" Dari Leon. Leon dapat dari Reno." Kata Dewa mengamati lengan Nala. Ruamnya sudah menghilang. Dewa menghembuskan nafas lega.

Nala mengangguk dengan mata masih terpancang pada dirinya yang terlihat mengerikan. Orang yang memberitahunya tentang Lila adalah Reno. Tentu saja, dengan Reno yang nongkrong di balik tembok itu, mereka pasti mendengar hiruk pikuk yang ditimbulkan Mikaila dan Vanya. Dia hanya tidak menyangka cowok gila itu justru merekamnya.

"Kurang kerjaan amat. Udah jangan diliatin. Nanti kak Dewa jadi malu punya cewek kayak aku."

Nala menyembunyikan ponsel Dewa ke saku sweaternya. Dewa hanya tertawa melihat tingkah lucu gadisnya.

" Hmm...kabar baiknya, aku nggak malu sama sekali." Jawab Dewa masih dengan kegelian yang tersisa. Gadisnya benar-benar sesuatu. Nala yang jengah akhirnya mengulurkan kedua tangannya. Ia menangkupkannya di pipi Dewa agar laki-laki itu berhenti menertawainya.

" Diem, oke?" Katanya tegas.

Dewa terdiam menatap wajah cantik Nala. Gadis itu punya mata yang jernih. Dewa selalu suka mata Nala. Mata itu tidak pernah ragu, selalu menatapnya dengan sepenuh hati. Pandangannya seakan menembus inti diri Dewa. Belum lagi tangan mungil yang menangkupnya dengan hangat. Seolah seluruh jiwa Dewa berada dalam genggamannya.

Melihat Dewa terdiam, Nala melepaskannya. Ia kemudian mulai membuka-buka bukunya dengan serius. " Ini. Aku perlu bantuan disini."

Dewa mengalihkan pandangannya pada soal yang ditunjuk Nala. Dewa mengambil alih bukunya dan membacanya dengan serius.

Kali ini, giliran Nala yang tersihir. Dewa yang sedang serius seperti ini membuat kadar ketampanannya naik berkali lipat. Sorot matanya tajam saat berusaha menelaah soal. Dari awal dia bertemu laki-laki ini, ketenangan Dewa lah yang membuatnya tidak bisa berkutik.

Dewa mengembalikan jawaban Nala, membuat Nala tersadar. " Ini. Kamu cuma bingung rumusnya."

Nala mengerjap mengamati coretan Dewa. " Ohh!!!" Serunya saat mendapat ilham. Ia menggelengkan kepala, tidak percaya dirinya bisa seceroboh itu. Dewa menatapnya dengan geli, teringat ketika ia menghukum gadis itu disini. Rasanya sudah lama sekali.

" Kenapa tiba-tiba kamu jadi rajin gini?" Tanya Dewa saat Nala meregangkan jemarinya setelah mengerjakan beberapa soal dengan kecepatan super.

" Hm?" Nala menoleh pada Dewa. " Mungkin udah saatnya aku serius."

Dewa menaikkan satu sudut bibirnya. " Baguslah. Aku nggak mau kalau alasan kamu berubah itu aku."

Nala mengerjap. Nyatanya, itu memang alasannya. Ia mengerutkan kening menatap Dewa.

" Kenapa? Kak Dewa nggak suka aku dapet nilai bagus?"

Dewa menatap Nala beberapa saat, kemudian mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut pipi gadis itu.

" Aku suka. Suka banget. Tapi motivasi kamu belum cukup kalau cuma aku."

Nala memutar bola matanya. Radit sudah tidak ada. Ayahnya? Hmph!

" Lakukan sesuatu buat diri kamu sendiri. Pikirkan masa depan kamu. Dorong batas-batas kemampuan kamu demi cita-cita kamu."

Nala terdiam. Cita-cita? Dia tidak punya.

" Aku nggak punya cita-cita." Celetuk Nala kemudian, " Aku nggak ngerti aku pingin jadi apa."

Dewa tersenyum.

" Bukan gitu caranya nanya. Tapi 'Aku suka apa?' gitu."

Nala menatap manik legam Dewa.

" Cita-cita kak Dewa apa?"

Dewa yang tidak menyangka akan ditanya balik terdiam sesaat sebelum menjawab, " Dokter."

Nala nyengir.

" Kalau gitu aku jadi perawatnya."

" Nala!" Dewa memperingatkan bahwa ia sedang serius. Nala terkekeh.

" Iya iya...ishh..."

Namun Nala tetap saja tidak menemukan jawabannya. Saat ini, seluruh alasan dirinya berjuang adalah laki-laki di depannya.

" Jangan menjadikan aku alasan kamu menjadi lebih baik, Kanala." Ujar Dewa lembut. Tapi bagi Nala, itu cukup menamparnya. Nala menurunkan tangan Dewa.

" Kenapa? Aku nggak mau kak Dewa dijelek-jelekkan karena aku."

" Alasan kamu terlalu dangkal." Kata Dewa dengan kelembutan yang sama. " Suatu saat ketika kamu kecewa sama aku, aku nggak mau kamu terpuruk lagi. Hidup kamu terlalu berharga untuk disia-siakan."

Kali ini Nala tidak bisa menahan kekesalannya. " Kak Dewa ngomong apa sih?"

" Aku cuma bilang, aku nggak mau kamu jadi buta tanpa tahu bahwa dia gadis yang luar biasa."

" Dan kenapa aku harus jadi buta? Kak Dewa mau pergi, ya?" Tiba-tiba dada Nala terasa sesak.

Dewa menggeleng. Mana mungkin dia bisa pergi dari gadisnya. Dia meraih jemari Nala untuk menenangkannya." Nggak, bukan gitu. Katakanlah, suatu saat aku meninggal..."

" Kak Dewa! Berhenti ngomong ngawur!!" Sentak Nala berdiri. Kata-kata Dewa menakutinya. Seluruh tubuhnya gemetar.

Namun Dewa justru tersenyum samar. Ia menggenggam tangan Nala kuat-kuat. " Aku nggak berniat pergi dari kamu. Aku cuma kasih kamu pengertian. Jangan berhenti hanya karena aku nggak ada. Aku nggak rela kamu terpuruk."

Nala menatap Dewa dalam diam. Air matanya menetes. Dewa menghela nafas. Kata-katanya pasti menakuti Nala.

" Sini!" Ia menarik Nala agar gadis itu memutari meja dan berhenti di depannya. Nala menunduk memandangnya masih dengan air mata yang kian menetes. Dewa menangkup wajah Nala dengan kedua tangannya, sekaligus menyapukan ibu jarinya untuk menghapus air mata Nala.

" Kenapa nangis? Aku nggak kemana-mana." Katanya tegas pada sepasang mata cantik itu.

" Kalau gitu kenapa ngomong macem-macem?" Protesnya di tengah isakan kecil, " Aku nggak suka kak Dewa ngomong gitu."

" Iya, maaf." Kata Dewa tidak kuasa melihat raut sedih itu. Dewa menyapukan tangannya di tengkuk Nala, menarik gadis itu mendekat untuk mencuri kecupan singkat di bibir ranumnya.

Dewa menarik kedua lengan Nala untuk melingkari lehernya, kemudian ia merengkuh gadis itu dalam pelukannya." Jangan nangis lagi. Maaf."

" Jahat. Kak Dewa jahat." Isak Nala menenggelamkan wajah di lekukan leher Dewa. Entah mengapa kata-kata Dewa membuatnya ketakutan setengah mati. " Aku nggak punya siapa-siapa disini. Jangan pergi."

Dewa mengeratkan pelukannya, " Iya, aku nggak pergi."

Tidak. Dewa benar-benar tidak ingin pergi dari Nala. Yang dia takutkan adalah sebaliknya.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top