14. Truth about the Trio
" Because the past will never be erased."
Nala menggigit bibirnya saat mata memanas. Ia tidak mengerti. Yang jelas, perkataan penuh kekecewaan Dewa membuatnya terluka.
" Kejar sana..." Reno menepuk pelan lutut Nala. Nala memandangnya, kemudian menggeleng. Ia hendak meraih wajah Reno yang berdarah ketika Reno mengelak lemah.
" Kejar, La." Nala menggeleng lagi, membuat air mata berjatuhan. Sejujurnya, ia takut menghadapi kemarahan Dewa.
Leon yang memejamkan matanya sejak kepergian Dewa membuka mata dan menatap mereka berdua.
" Bawa Reno ke rumah sakit, Than. Gue curiga hidungnya patah itu." Ia merogoh sakunya dan melemparkan sesuatu, " Pakai mobil gue aja biar sekolah nggak curiga. Cepetan!"
" Aku ikut!" Nala berdiri. Namun Leon mencegahnya.
" Nggak. Gue perlu ngomong sama lo, La." Katanya. Kemudian ia menatap Reno dengan dingin. Reno terkekeh.
" Gue setuju. Cerita semuanya, Le. Biar Nala sadar seberapa brengseknya gue." Ucapnya berusaha bangkit dibantu Jefri.
" Ap...tapi..." Nala hendak mengikuti Reno dan yang lain meninggalkan area itu, namun Leon menahannya.
" Nala, kali ini tolong dengerin gue. Gue janji Reno nggak kenapa-napa. Anak itu badannya badak." Kata Leon serius. Laki-laki itu membersihkan tubuh Nala dari tanah dan dedaunan yang menempel.
" Ikut gue ke kantin." Leon menarik pelan pergelangan tangan Nala.
" Tapi kelas..."
" Ini lebih penting." Kata Leon tegas.
**
Disinilah mereka. Dengan Nala yang sudah merapikan dirinya di toilet, ia mengikuti Leon ke kantin yang sepi. Leon datang membawa dua buah es jeruk.
" Kak Dewa nggak ikut?" Tanya Nala membuka suara. Leon menggeleng.
" Dia butuh menenangkan diri. Liat lo sama Reno pasti bikin dia nggak tenang." Kata Leon mengamati wajah Nala yang pias, " Tapi gue yakin dia bakal sadar itu cuma salah paham."
Nala mengangguk cepat. " Iya. Itu salah paham! Reno nyelametin gue, Kak."
" Iya gue ngerti." Kata Leon menenangkan diri. " Tapi lo harus tahu kenapa Dewa sebegitu ngejaga lo dari Reno, La. Lo harus pahami Dewa."
Ucapan Leon berhasil memancing perhatian Nala. Leon menghirup nafas dalam-dalam.
" Dewa juga punya masa lalu kelam. Dewa, gue, Reno, kita bertiga dulu sahabatan. Dan kita berandal, seperti Reno sekarang."
Nala mengerutkan kening. Tidak. Dia tidak bisa membayangkan sosok Dewa yang nakal.
" Di antara kita bertiga, yang paling kuat itu Dewa. Dia ketua geng berandal di SMP. Bahkan SMP lain pun mengakui kehebatan Dewa. Kita sering tawuran, bolos, ngrokok dan ganggu murid yang lain. Malak jangan ditanya."
" Nggak mungkin!"
Leon tersenyum samar melihat penolakan Nala. " Dewa yang marah tadi, bukan apa-apa dibanding dulu. Dulu, Dewa yang mengamuk itu berarti kemalangan satu orang. Entah tangan retak, hidung patah, masuk UGD atau pingsan satu minggu. Dulu, kita merasa sekolah nggak ada gunanya. Tapi senakal-nakalnya kita, Dewa selalu membatasi diri. Dia nggak pernah mengizinkan ada miras ataupun narkoba beredar di lingkungan anak buahnya. Dewa bahkan nggak ngerokok disaat semua anak udah pinter kepul-kepul."
Nala ternganga.
" Ada masa-masa dimana kita bertiga merasa dunia cuma milik kita. Dewa, Reno dan gue. Kalau kita udah bareng, nggak ada yang berani ngelawan. Buat kita, kehadiran satu sama lain itu begitu penting."
Tentu saja Nala kesulitan percaya mengingat betapa bencinya Dewa pada Reno.
" Lalu kenapa sekarang kak Dewa benci sama Reno? Persahabatan nggak bisa hancur gitu aja, kak!"
" You said that." Kata Leon setuju. " Suatu hari gue pernah merasa tersisih karena Dewa lebih banyak bareng Reno. Gue pikir Dewa lebih suka sahabatan sama Reno. Sampai suatu saat Reno main di rumah gue dan nggak sengaja ngejatuhin shabu dari tasnya."
Mata Nala terbelalak lebar.
" Tapi tadi..."
" Iya gue tahu. Reno ternyata pemakai. Reno nggak sengaja kenal barang haram itu tanpa sepengetahuan kita. Dia juga nggak ngasih tahu kita dengan alasan ngelindungi gue, Dewa dan yang lainnya. Reno memendam semuanya sendiri. Tapi Dewa tahu lebih dulu ketimbang gue. Itu alasan mereka sering bareng. Dewa berusaha nolong Reno. Dan gue malah mikir bego tentang mereka."
Leon terkekeh sedih, merutuki kebodohannya di masa lalu.
" Sebelum tragedi jatuhnya shabu di rumah gue itu, Reno sebenernya udah mulai sembuh. Berkat Dewa, Reno pelan-pelan meninggalkan shabu. Meski sering sakau, tapi nggak begitu parah karena Reno juga masih tergolong baru. Juga, ada Dewa yang selalu ngasih dia dukungan. Dewa nyembunyiin keadaan Reno dari gue. Dia nggak mau Reno ngerasa kehilangan muka di depan gue."
Nala menelan ludah. Air mata menetes kembali dari pelupuk matanya. Ternyata Dewa pernah melalui masa kelam itu.
Leon memejamkan mata sesaat seolah menguatkan diri.
" Waktu itu kita bertiga ngumpul di rumah gue. Dan saat itu shabu sialan itu jatuh dari tas Reno tanpa ada yang tahu. Adik gue yang baru empat tahun yang nemuin. Dikira gula, mungkin. Dia campur di susunya dia..." Nafas Leon tercekat, sedangkan jantung Nala seakan berhenti. " Malam itu adek gue keracunan. Dia meninggal pas perjalanan ke rumah sakit."
" Astaga!" Rintih Nala. Ia menekap mulutnya.
" Tiga gram shabu masuk ke tubuh adek gue yang berumur empat tahun, La. Bayangin aja betapa tersiksanya adek gue." Leon menelan ludah, " Waktu Dewa tahu hasil pemeriksaan dokter, Dewa ngamuk sama Reno. Padahal Dewa udah percaya Reno mulai ngejauhi barang itu. Tapi Reno memang menjauhinya. Pas hari itu aja dia kepaksa bawa titipan dari bandar. Tapi dia bersumpah nggak make itu. Dia cuma bawa. Dan di hari itu juga gue baru tahu kalau Reno ternyata terlibat sama Narkoba."
Leon berusaha memenangkan diri.
" Dewa murka waktu itu. Dia ngerasa bersalah sama gue karena udah nyembunyiin kenyataan tentang Reno. Mungkin kalau gue tahu, gue bakal benci Reno dan gue nggak perlu kehilangan adek gue, gitu kata Dewa. Kalau lo lihat Dewa waktu itu, lo bakal percaya dia bisa bunuh orang. Dan lo tau apa yang terjadi setelahnya?"
Nala menggeleng. Firasatnya tiba-tiba memburuk.
" Dewa dapat telfon kalau ayahnya meninggal karena kecelakaan." Leon menatap Nala lekat-lekat.
Nala menutup mulutnya dengan kedua tangan, menggeleng. Air mata seakan tidak mau berhenti.
" Bayangin aja setelah apa yang terjadi sama kita bertiga, Dewa dipaksa menghadapi kenyataan bahwa sekarang dialah tumpuan hidup keluarganya. Satu adik perempuan yang masih SD, ibunya yang tengah mengandung dan calon adiknya yang belum lahir. Sejak itu Dewa berhenti main-main. Dewa itu dasarnya pinter. Dulu dia cuma nakal aja. Dia memperbaiki diri. Dia berubah jadi Dewa yang sekarang. Dan gue ngikuti dia. Waktu gue bilang Dewa belahan jiwa gue, gue nggak main-main, La. Dia orang yang penting di hidup gue."
Nala mengangguk, memahami perasaan Leon.
" Sampai sekarang pun, rasa bersalah Dewa sama gue masih ada. Itu alasan dia masih benci sama Reno. Dewa menyesali diri karena tidak bisa benar-benar membuat Reno berhenti sampai bikin adek gue meninggal."
" Tapi..." Nala hendak memprotes. Namun Leon memotong.
" Iya gue ngerti. Itu bukan salah Dewa. Siapapun tahu itu bukan salah dia. Tapi lo kenal Dewa, kan? Anak itu terlalu baik. Terlalu perasa. Terlalu memikirkan orang lain."
"Dia bukan orang yang bisa dipercaya dengan mudah."
Perkataan Dewa tempo hari terngiang di telinganya.
Leon menyeruput es jeruknya sebelum melanjutkan. " Jadi sekarang lo paham kenapa Dewa sebegitu nggak sukanya lihat lo sama Reno. Dia masih takut lo kenapa-napa. Dewa itu sayang sama kamu, La. Bukan hanya karena cemburu, Dewa takut karena dia nggak bisa percaya sama Reno. Jadi tolong kamu ngertiin Dewa."
Nala teringat bagaimana ketidaksukaan Dewa yang berlebihan pada Reno, juga Reno yang selalu memilih pergi saat berkonfrontasi dengan Dewa.
" Kak Dewa masih sayang sama Reno, kan?" Tanya Nala dengan mata memanas lagi. Leon tersenyum dan mengangguk.
" Seperti yang kamu bilang. Persahabatan nggak bisa hancur semudah itu, La. Tapi setelah apa yang terjadi, wajar kalau Dewa nggak bisa percaya lagi sama Reno."
Nala menghapus wajahnya yang terlihat memalukan. Sialnya, air mata tidak mau berhenti.
" Dewa itu cowok yang bertanggunjawab. Saking bertanggungjawabnya dia sampai nggak pernah mikir dirinya sendiri. Sejak ayahnya meninggal, perhatian Dewa cuma buat keluarganya. Dia bantu warung ibunya, dia cari kerja paruh waktu, dia sediakan semua kebutuhan adik-adiknya. Dia nyaris nggak ada waktu buat dirinya sendiri. Makanya waktu Dewa suka sama kamu, itu nggak main-main. Sejak dulu, baru sekarang Dewa perhatian sama cewek selain sama Dilla. Dan gue bersyukur itu lo."
Nala mengangkat wajahnya hanya untuk mendapati Leon tersenyum.
" Lo cewek yang kuat, Kanala. Mungkin itu yang bikin Dewa nyaman sama lo. Lo bisa kasih dia kekuatan." Leon mendekatkan wajahnya pada Nala dan menatap mata Nala lekat-lekat, " Apapun yang terjadi, apapun yang mungkin terjadi, jangan ninggalin Dewa. Nurut sama dia. Dia bener-bener ngejaga kamu."
Nala mengangguk kuat-kuat. Tentu saja. Betapa bodohnya dia tidak menyadari kemungkinan lain mengapa Dewa tidak menyukai Reno. Selama ini dirinyalah yang egois, mengira hanya dirinya yang bisa melihat sisi baik Reno.
" Kak Leon, apa benci Reno?" Tanya Nala kemudian.
Leon menatap Nala lama. Kemudian menjawab.
" Satu-satunya yang gue sesali adalah adek gue yang nemuin barang sialan itu. Lo bisa bilang itu takdir. Selain itu, nggak. Gue nggak dendam sama Reno. Reno sahabat gue, dan gue nggak akan ninggalin sahabat gue yang terpuruk. Hanya saja dengan kondisi Dewa yang sekarang, gue nggak mungkin bisa balik sama Reno seperti dulu."
Leon menelengkan kepala. " Gue udah lama pingin ngomong ini. Tapi lo punya nyali buat temenan sama Reno, beneran."
Nala mencebik. Entah mengapa rasa bersalahnya pada Dewa semain menjadi.
" Mungkin lo yang justru bisa ngubah Reno, La. Karena gue dan Dewa nggak mungkin lagi deket-deket Reno selama Dewa belum memaafkan Reno."
Nala menggeleng keras-keras, " Nggak. Gue nggak mau bikin kak Dewa kecewa lagi."
Leon terkekeh. " Good girl."
Nala menunduk. Begitu banyak hal baru yang ia terima hari ini. Ia masih tidak menyangka bahwa Dewa mempunyai masa lalu yang rumit seperti itu.
" Tangan lo gimana?" Tanya Leon cemas melihat lengan kanan Nala memerah.
" Oh, ini nggak papa. Dikompres juga sembuh." Kata Nala sudah terbiasa. " Aku pingin ketemu kak Dewa. Nanti pulang jam berapa?"
Leon menatap Nala. Menyadari betapa gadis di depannya ini sedang merasa sangat bersalah. Namun Leon menghela nafas dalam-dalam.
" Dewa ngurus penelitiannya. Sekarang aja dia izin bareng Raya."
Sebuah sengatan menyerang dada Nala. Panas dan menyakitkan. Ia harus menerima kenyataan bahwa Dewa memilih pergi setelah Nala mengalami hal buruk. Memilih bersama Raya, orang yang sudah menjelek-jelekkan dirinya di depan Dewa.
Nala tahu dia seharusnya tidak boleh berpikiran picik seperti itu. Tapi perasaan bahwa Dewa mengabaikannya membuat Nala takut.
**
Nala memaksakan diri untuk mengerjakan PR Biologi dan matematika malam itu. Meskipun pikirannya tidak bisa fokus, ia tahu ia harus mempertahankan nilainya. Dia tidak ingin Vanya senang dan mengira berhasil mengintimidasi Nala.
Meski begitu, matanya tidak berhenti memeriksa jam dinding. Dan ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh, Nala menutup bukunya dan berguling di kesur dengan ponsel di tangannya.
Jantungnya berdegup kencang. Dia berjanji bahwa dia akan meminta maaf pada Dewa. Dia akan terima jika cowok itu memarahinya.
Namun hingga jarum jam bergerak pada angka sebelas, nama yang ditunggu tidak kunjung muncul di layarnya. Tidak. Dewa tidak mengabaikannya. Mungkin dia sedang sibuk membantu ibunya. Atau membantu Dilla menyelesaikan soal seperti biasa. Dia harus menghentikan desakan untuk menghubungi cowok itu lebih dulu. Takut jika saja dia malah mengganggu.
Ketika jarum jam bergerak tepat pada angka dua belas, tangis Nala merebak. Nala merutuki kekeraskepalaannya. Pikiran tentang Dewa yang mengabaikannya memenuhi pikirannya, meracuni tubuhnya hingga merasa mual dan pusing. Nala meringkuk seperti bayi dengan ponsel tergenggam erat-erat. Berharap benda pipih itu akan berbunyi dan memberikannya kelegaan.
Dewa marah padanya. Dewa mengacuhkannya.
Detik itu juga Nala merasakan sakitnya kehilangan untuk kedua kalinya.
**
Nala mengerang saat kesadarannya kembali. Kepalanya pusing. Matanya bengkak dan tubuhnya menggigil akibat tidak memakai selimut di kamar berpendingin seperti ini. Nala mendorong dirinya untuk duduk. Tangannya menyenggol sesuatu dan Nala mengambilnya.
Ia menatap ponselnya dengan pikiran berkecamuk. Ia tidak siap dengan apa yang mungkin akan ditemukannya. Setelah menenangkan diri, Nala memberanikan diri mengusap layar ponselnya yang menampakkan pukul tujuh. Tapi bukan itu yang membuat jantungnya seolah berhenti.
Tidak ada pesan apapun. Tidak ada telfon dari siapapun. Mata Nala kembali memanas. Ia hampir melemparkan ponselnya ketika merasa benda itu bergetar.
Jantung Nala serasa meledak. Ia cepat-cepat membacanya, namun detik berikutnya Nala mendengus.
Lilalilaa : Lo dimana? Udah mau bel ini!
Lilalilaa : Lo harus cerita semuanya sama gue! Mati kutu gue kemarin digendong Vero!
Nala menyetel mode silent untuk menghentikan ricauan Lila. Ia tentu saja tidak akan pergi sekolah hari ini. Ia sudah merencanakannya. Nala menoleh memandang foto Radit.
" We will meet soon, my dear brother. " Ucap Nala tersenyum tipis.
*TBC*
<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top