13. Demi Lila

" Missunderstanding is dreadful."

Nala menatap Candra, sang ketua kelas dengan gemas. Pasalnya sedari tadi ia melotot menatap lembar ulangan Nala tanpa ada niat menyerahkannya pada sang pemilik.

" Candra Mahendra!!" Panggil Nala keras. Candra terperanjat. Cowok berkacamata itu menyerahkannya pada Nala.

" Minum apa lo La sampai bisa dapet seratus?!" Seru Candra takjub. " Kemarin aja, lo jadi satu-satunya yang dapet nilai seratus di ulangan matik, La! Vanya aja Cuma dapet 95! Lo pasti pake jampi-jampi kan? Masa mendadak dapet seratus di semua mapel?"

Nala tidak tersinggung. Ia justru terkekeh. Ia menjejalkan kertas itu dengan asal ke tasnya, " Lo kudu nemuin bunga warna biru di sumur yang namanya berawalan dari huruf R, Dra. Terus ya, lo bakar itu pake kemenyan yang ada di belakang rumah lo. Habis itu lo kudu minum itu dengan posisi kepala di bawah. Manjur itu!"

Candra terperangah saat Nala melewatinya dengan terburu-buru. " Tapi belakang rumah gue nggak ada pohon kemenyan!"

" Ya tanem dulu, lah!" Balas Nala tertawa.

" Eh, mau kemana lo?" Tanya Lila, di sela tawanya melihat kebingungan Candra.

" Biasa. Daaaa Lila!"

" Astaga! Sifat kabur lo itu yang bikin gue nggak percaya kalo lo pinter, setan!!" Teriaknya ketika rambut panjang Nala menghilang di pintu kelas.

Teriakan Lila berdengung di telinga Nala kala gadis itu berlari menuju parkiran. Disana, ia menemukan Dewa sudah siap di atas motornya seperti biasa. Nala nyengir lebar. Tidak. Dia tidak akan meninggalkan anak-anak kampung. Dia bisa sempurna di semua mata pelajaran dengan mudah tanpa meninggalkan mereka.

" Ada apa?" Tanya Dewa saat Nala sudah siap di belakangnya. Nala menggeleng. Ia melingkarkan lengannya di perut Dewa.

" Ayuk berangkat!" Perintah Nala ceria. Dewa terkekeh melihat keceriaan gadis itu.

Dewa punya dugaan apa yang membuat gadis itu begitu bahagia. Tentu saja, ia selalu memonitor nilai Nala melalui laporan kepala sekolah. Tapi dia membiarkan saja Nala tidak memberitahunya. Dewa membawa mereka menuju kampung untuk kesekian kalinya. Jika ada satu yang membuat Nala nyaman saat berkendara dengan Dewa adalah Dewa selalu berhati-hati dan penuh perhitungan.

Mereka sampai bersamaan dengan Reno cs yang turun dari bis.

" Reno!" Sapa Nala ceria. Tidak sadar betapa Dewa sudah bertransformasi menjadi manusia serigala. Reno menyeringai pada Nala dan melirik dingin ke arah Dewa. Cowok bertindik itu menyisipkan tangannya di saku dan menuruni jalan sempit itu terlebih dulu, mengabaikan Dewa dan Nala.

Dewa meraih tangan Nala dan menggandengnya sepanjang jalan. Nala melirik Dewa. Ia ingin sekali bertanya apa gerangan yang membuat Dewa sebegitu bencinya pada Reno. Ketidaksukaan Dewa pada Reno sudah melebihi batas wajar. Namun tentu saja, ia tidak bisa menanyakannya.

" Nanti pulang sama siapa?" Tanya Dewa begitu mereka sudah sampai di tempat yang dinaungi terpal itu. Dewa sudah terbiasa disini. Ia bahkan sudah berkenalan dengan Qatar dan pengajar yang lain.

" Biasa. Mbak Tari." Jawab Nala mengacu pada pengajar yang lain. Dewa mengangguk lega. Ia dulu sempat berpikir untuk menjemput Nala jika Nala harus pulang baik bis bersama Reno. Tapi kemudian ia ketahui Nala selalu pulang dengan Tari yang mempunyai arah yang sama dengannya.

" Aku balik dulu." Pamit Dewa pada Nala. Nala mengangguk.

" Makasih. Hati-hati, ya."

Dewa mengangguk. Ia berbalik pergi, mengacuhkan Reno cs yang sudah dikerubungi anak-anak untuk minta diajari.

Tidak ada yang bisa merubah masa lalu.

**

Nala mengerutkan kening setelah menerima penjelasan bahwa ponsel Lila tidak aktif. Lima menit lagi pelajaran dimulai. Setahu dia, yang hobi bolos itu dia, bukan Lila. Meskipun mulut anak itu penuh dengan cabai, tapi Lila jauh lebih kalem bila dibandingkan dirinya.

Nala hampir tidak pernah berpisah dari Lila saat di sekolah. Dari satu kelas teman mereka, hanya Lila yang tahan menghadapi kelakuan Nala. Maka ketika Lila mendadak menghilang seperti ini Nala bingung mencarinya dimana. Nala mengangkat bahu. Ia hendak melanjutkan catatannya ketika ponselnya bergetar.

Nala membukanya, kemudian matanya melebar. Ia beranjak dan berlari keluar seperti orang kesetanan.

" Pengecut!" Geramnya. Nala berlari ke arah bangunan tua yang beberapa waktu belakangan ini tidak lagi dijamahnya. Nala mencapai belakang bangunan yang penuh dengan ilalang. Darahnya mendidih melihat pemandangan di depannya.

Lila dengan wajah pucat pasi, tergencet di dinding tembok dengan tangan Mikaila. Mereka tidak sendiri. Ada Vanya disana, sang murid kelas satu yang bersinar dan selalu menempati juara umum. Mereka bertiga menoleh terkejut.

" Mau apa lo sama Lila?" Teriak Nala habis kesabaran melihat tangan Mikaila di leher Lila. Mikaila menyeringai senang. Ia justru menggencet Lila lebih keras hingga anak itu tersedak. Melihatnya, Nala menerjang. Namun Vanya menghalangi.

" Mumpung lo disini, sekarang lo ngaku demi Lila!" Kata Vanya penuh ancaman. Nala mengerutkan kening. Ia memang tidak terlalu mengenal Vanya mengingat kelas mereka berbeda. Ia hanya tahu Vanya adalah orang yang tenang meskipun sedikit sombong dengan segala prestasinya. Nala mengibaskan tangan Vanya dari tangannya.

" Apa maksud lo?" Desis Nala. Vanya tersenyum menang.

" Lo nyontek dari siapa sampai bisa dapet nilai seratus? Ha?" Serunya sambil melotot. " Lo, si anak dengan peringkat paling akhir bisa-bisanya ngalahin gue! Ngaku! Atau Lila sekarat!"

" Ngomong lo! Atau anak ini menderita!" Sambung Mikaila. Kentara sekali ia puas melihat Nala kalah kali ini. Ia masih tidak terima dipermalukan beberapa waktu lalu.

" Nala nggak nyontek! Dia dapetin itu pakai usahanya sendiri! Uhuk!" Lila meringis.

" Diem lo!" Hujam Mikaila.

Nala masih memandangi Vanya. " Iya. Lo diem aja, La." Kata Nala. Karena dia, Lila jadi terkena getahnya.

" Lepasin Lila. Nanti gue kasih tau." Kata Nala kalem.

" Cih!" Vanya mencibir, " Lo kira gue bakal percaya sama berandal kayak lo?"

" Lepasin Lila, gue kasih tau." Kata Nala tegas. Ia menatap tajam pada Vanya. " Gue nggak akan buka mulut kalau Lila terluka sedikit aja."

Ia beralih pada Mikaila, " Lo! Lepasin tangan busuk lo dari temen gue!"

" Lo!" Geram Mikaila membelalak. Namun Nala balas menatapnya dengan tajam. Tangannya terkepal.

" Lila terluka, lo mati di tangan gue. Lo juga, Van. Gue nggak akan cuma ngehancurin nama baik lo! Gue bakal bikin lo jadi cewek paling bodoh disini! Lo tahu gue nggak keberatan main kotor." Desis Nala dingin. Mikaila yang sudah merasakan ancaman Nala, meneguk ludah.

" Lepasin aja, udah!" Kata Vanya yang agak merinding. Ia tidak menampik Nala akan menggunakan segala cara demi mewujudkan ancamannya. Bayangan Vanya akan Nala yang meminta bantuan Reno untuk menghancurkannya cukup membuatnya bergidik. Mikaila mendengus keras dan melepaskan Lila. Membuat anak itu tersungkur sembari memegang lehernya yang memerah.

" Lila!" Nala menghampiri Lila yang terbatuk-batuk. " Lila! Lo nggak papa? Leher lo luka, nggak? Sini gue lihat!"

Nala mengabaikan Lila yang menggeleng keras. Ia memeriksa tubuh sahabatnya itu dari atas sampai bawah. Tidak ada apapun kecuali tanda merah di leher Lila. Melihatnya membuat kemarahan Nala sampai di ubun-ubun. Ia berdiri dan menempatkan Lila di antara dirinya dengan tembok.

" Pengecut!" Sembur Nala. " Urusan lo sama gue! Ngapain lo bawa Lila? Pengecut emang!"

Tangan Vanya melayang, namun segera di halau Nala dengan mudah, " Kenapa? Ha? Lo takut jadi cewek bego, iya?"

Nala melempar tangan Vanya dengan kasar. Gadis itu terkejut dengan Nala. Sedangkan Mikaila menonton dengan penuh perhitungan dari samping. Ia tidak mau gegabah lagi untuk menghadapi Nala.

" Lo nggak mungkin bisa pinter dadakan! Lo siswa paling bego, yang hobi bolos, yang pilih seneng-seneng sama cowok brengsek macam Reno, ngalahin gue? Hmph!" Vanya menatapnya dengan seringai. " Apa mungkin Dewa yang bantu lo, iya? Iya gunain pengaruhnya biar guru-guru ngasih nilai yang bagus? Oh gue ngerti! Dewa pasti nyuri soal buat lo, kan?"

PLAK!

" Hati-hati kalau ngomong, ya!" Desis Nala bergetar. Tangannya menuntut kekerasan lagi, namun ia menahannya kuat-kuat. Vanya terperangah sekaligus kesakitan.

" LO EMANG RENDAHAN!" Raungnya murka. " NGGAK TAU MALU SOK-SOKAN JADI PACARNYA KAK DEWA! SOK-SOKAN MAU CANTIK SEGALA! SOK-SOKAN MAU PINTER SEGALA! NGGAK CAPEK NYONTEK LO?"

" DIEM!" Teriak Nala mengalahkan teriakan Vanya. Matanya sudah penuh bercak kehitaman pertanda level kemarahannya sudah tidak mampu dibendung lagi. Nala menggigit kuat-kuat bibir bagian dalamnya sampai berdarah demi meredakan amarahnya.

" Lo pinter, kan? Gunain otak lo buat mikir!" Sentak Nala. " Ngapain lo keancem sama gue kalau lo emang pinter? Nggak peduli gue nyontek apa nggak, lo yang pinter harusnya bisa dapet nilai bagus tanpa harus kepengaruh sama gue!" Nala berusaha menyadarkan Vanya menggunakan akal sehatnya. Namun sepertinya sia-sia. Gadis itu justru menggeram dan menjambak rambut Nala.

" Pinter ngomong emang lo!" Geramnya. Nala menghembuskan nafas keras. Ia sudah mencoba bersabar. Dengan gerakan terlatih, Nala memutar dan melepaskan diri. Ia mendorong keras Vanya menjauh darinya.

" Gue udah nyoba ngomong baik-baik sama lo!" Nala berbicara dengan Vanya yang meringis, " Lo ngapain kemakan lidah iblisnya Mikaila? Mikir dong, Van!"

" Jangan didengerin, Vanya. Mana mungkin siswa yang hobi bolos bisa pinter?" Celetuk Mikaila melemparkan api.

Vanya tersenyum mengejek, " Dia bener. Lo itu hobi bolos. Lo yang selalu masuk kelas remidi jadi pinter? Bah!"

Nala menghela nafas. Ia benar-benar kehilangan akal. " Gue nggak nyontek! Gue usaha!"

" Cih! Bego lo kalau ngira gue percaya!"

Nala menggeram, " Gue nggak pernah nyontek. Gue nggak pernah ngelakuin hal rendahan kayak gitu."

" Orang udah ngelakuin sama Dewa. Ngapain lo ngeles?" Dengus Vanya.

Tangan Nala berkedut menuntut. Detik berikutnya, jemarinya sudah melingkar di pergelangan tangan Vanya, memuntirnya.

" Cabut omongan lo tentang Dewa!" Desis Nala murka. Ia tidak peduli bahwa ia sedang mengerahkan seluruh tenaganya saat ini. Ia akan dengan senang hati mematahkan lengan orang yang berani menjelekkan Dewa di depannya.

" La!" Seru Lila lemah menarik-narik rok Nala. " La,stop! La!"

Namun Nala mengabaikannya. Telinganya berdengung. Matanya hanya terpancang pada Vanya yang berteriak kesakitan, " Sekali lagi lo ngomong macem-macem tentang Dewa, gu..."

DUAKK

Tangan Nala terlepas saat sebuah balok kayu terayun keras mengenainya. Seketika itu rasa nyeri luar biasa langsung menguasai lengannya. Nala menoleh hanya untuk melihat Mikaila mengayunkan balok kayu lagi, kali ini ke arah kepalanya.

Sebuah bayangan menerjangnya. Membuatnya tersungkur dan terperangkap. Alhasil, kayu itu mendarat dengan keras di punggung penyelamat Nala. Nala berteriak hendak melepaskan diri, namun ia ditahan kuat-kuat di tanah.

" Lengan lo luka!"

" Nggak! Lepasin! Lila! Lila!!" Teriak Nala panik.

Ethan melirik gadis yang terkejut di dinding, " Ver, anter Lila ke UKS, gih!"

Vero mengangguk. Tanpa banyak kata ia membopong tubuh mungil itu ditemani Gantar. Lila hampir saja pingsan karena menyadari salah satu berandal sekolah sedang membopongnya.

Ethan melangkahkan kaki mendekati Mikaila yang ketakutan. Dengan tenang cowok itu merebut balok kayu dari tangan Mikaila dan membuangnya ke tepi.

" Jalang!" Serunya nanar ke arah Nala, " Nggak cukup lo sama Dewa?"

Ethan meraup kedua pipi Mikaila dengan satu tangan, memaksanya menghadap ke depan, " Gue punya ratusan video tentang kelakuan lo tadi, Kai. Pergi, atau gue pastiin siang ini seisi sekolah tahu kelakuan lo sama anak itu." Ethan mengerling pada Vanya yang sudah pias bagai mayat.

Mikaila menepis tangan Ethan frustasi. " Apa sih yang kalian lihat dari Nala? Cewek bego jelek kayak dia lo bela-belain! Stres lo pada!"

" Kai. Pergi sebelum lo gue lempar lewat pagar!" Ancam Jefri. Mikaila mendengus. Ia pergi dengan tatapan membara ke arah Nala yang masih ditahan Reno ke tanah.

" Ren...sesek gue..." Katanya berusaha mengangkat tubuh Reno yang berkali lipat berat tubuhnya.

" Ck! Makanya jangan sok-sokan!" Ejeknya setengah meringis. Gebukan di punggungnya juga bukan hal sepele.

" Lo yang sok-sokan. Mana cob..."

Kata-kata Nala terpotong saat Reno tiba-tiba beralih dengan kasar.

" KAK DEWA!!" Pekik Nala. Dewa menahan tubuh Reno di tanah dan menonjok wajahnya berulang kali. Cowok itu terlalap dalam kemarahannya. Dengan wajah memerah dan rahang mengatup keras-keras, Dewa menonjok wajah Reno tanpa jeda. Nala berusaha menarik Dewa. Namun sia-sia.

" De, cukup! Lepas!!" Seru Leon juga berusaha meraih Dewa. Hidung Reno mulai berdarah.

" BERHENTI...BERHENTI!" Teriak Nala menarik rambutnya sendiri. Dilihatnya sosok Dewa yang kalut dan Reno yang terlihat pasrah tanpa melawan.

Ethan dan Jefri juga berusaha menghentikan Dewa. Anak itu seperti kesetanan. Reno mengangkat tangan.

" Biar...UGH!!" Serunya ketika Dewa menghantamnya lebih keras.

" DEWA! CUKUP!! LO NGGAK MIKIR NALA, HAH??"

Nama Nala rupanya berhasil menembus kesadaran laki-laki itu. Dewa berhenti dengan mata terpancang murka pada Reno yang sudah tidak karuan. Ethan, Leon dan Jefri segera menariknya menyingkir dari atas tubuh Reno.

Nala menangkup mulutnya tidak percaya. Wajah Reno sudah tidak berbentuk. Reno bahkan hampir tidak sadar.

Dewa bangkit. Kedua tangannya terkepal. Wajahnya penuh sirat amarah. Matanya menusuk Nala dalam-dalam.

" Kamu memang nggak pernah dengar omonganku." Ucapnya dingin. Dewa berbalik dan pergi dengan menendang rak kayu lapuk yang menghalangi jalannya hingga membentur tembok dan hancur.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top