12. Mulai Berjuang

" Bukan untuknya. Tapi untuk meyakinkanku bahwa aku pantas berkata dia milikku."

" Nggak ada kelas hari ini?"

Dewa bertanya ketika mereka berhenti di lampu merah.

" Hmm..mmm..." Nala menggeleng singkat. Dia sudah terlalu nyaman menyandarkan pipinya ke punggung Dewa sambil menghirup aroma laki-laki itu. Didengarnya Dewa tertawa kecil. Dewa meraih tangan Nala yang melingkari perutnya, mengeratkannya. Sesaat kemudian, lampu berganti menjadi hijau.

" Kenapa kerja?" Tanya Nala tidak bisa menahan pertanyaan itu lebih lama lagi.

" Biar dapet uang."

Nala berdecak.

" Dimana?"

" Disana."

" Kak Dewa! Nggak adil! Kak Dewa tahu kalau aku ngajar, masa aku nggak tahu kak Dewa kerja dimana?" Protes gadis itu. Dewa terkekeh singkat.

" Di minimarket. Nggak tiap hari kok."

Suara Dewa terlalu lembut saat mengatakannya.

Nala bukan orang bodoh. Ia tahu bagaimana keadaan keluarga Dewa dari kenyataan bahwa Dewa adalah murid beasiswa. Sekarang setelah tahu bagaimana kehidupan pemuda itu, Nala semakin mengagumi Dewa. Tanpa sadar ia mengeratkan pelukannya, ingin lebih merasakan kehangatan laki-laki yang memaksakan memakai jaketnya, lagi.

Dewa menurunkan Nala tepat di depan rumahnya. Nala menunduk, memainkan jemarinya yang tertaut. Ia membiarkan Dewa merapikan rambutnya. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin menyudahi kebersamaan ini.

" Aku berangkat dulu, ya." Pamit Dewa. Nala mengangkat wajahnya untuk memandangi sepasang mata teduh itu. Nala mengangguk sambil menggigiti bibir bagian dalamnya.

" Kak!"

Entah apa yang merasuki Nala. Yang ia tahu, tangannya melayang untuk menahan jaket laki-laki itu. Dewa menghentikan motornya. Nala terpekik dan segera menarik tangannya.

" Ah! Ma...maaf, itu aku..."

Kata-kata gagu Nala terpotong karena Dewa menarik Nala mendekat dan melingkarkan satu lengannya di pinggang gadis itu.

" Aku juga kangen kamu." Bisik Dewa lembut di telinga Nala. Nala semakin sesak ketika Dewa menarik pinggangnya mendekat.

" Nanti aku telfon." Kata Dewa lagi. Ia menyempatkan diri menghirup dalam-dalam aroma yang sudah dirindukannya sebelum melepas Nala. Dewa menikmati wajah manis Nala yang tengah merona.

" Nggak perlu...itu..." Nala bingung bagaimana mengatakannya. " M...mahal..."

Tanpa diduga, Dewa tertawa. Gadisnya ini benar-benar penuh pengertian.

" Kamu udah jadi alasan aku semangat kerja. Masa nggak mau ditelfon?"

" Bukan gitu!" Sergah Nala. " T...tapi..."

" Aku telfon." Kata Dewa tegas. Nala menelan ludah, tahu bahwa apapun yang dikatakannya tidak akan didengar laki-laki itu. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk. Dewa mengusap pelan pipi Nala.

" Berangkat dulu, ya."

Nala mengangguk lagi sembari meremas tali tas selempangnya erat-erat.

" Hati-hati."

Dewa mengizinkan dirinya memandangi Nala yang sedang gugup itu sebentar, kemudian ia melajukan motornya.

Nala mengawasi Dewa hingga sosoknya hilang di tikungan. Setelahnya, ia ambruk di depan pintu pagar sambil mencengkram dadanya erat-erat.

Ini tidak mungkin. Jangan bilang dia mulai menyukai Dewa!

**

Nala berguling-guling di kasur sambil mendekap sebuah foto dimana ada ia dan Radit di dalamnya. Ia merasa dadanya sesak oleh rasa bahagia sejak tadi sore. Ia bahkan berteriak tidak jelas sampai membuat Bi Inah cemas.

Ia mengeluarkan fotonya dari dekapan, menatap sepasang mata yang pernah menjadi sauhnya. Nala membelai sosok beku itu dengan ujung telunjuknya.

" Radit, jangan marah ya..." Celetuk Nala. Nala cekikikan sendiri, kemudian berguling telentang dan mengangkat foto ke atas, menghalangi cahaya lampu.

" Masa aku dibilang IQ jongkok? Ganjen?! Kurang ajar banget nggak sih?" Dengus Nala. " Nggak ngaca padahal pas itu ada kaca segede gajah, Dit! Yang pakai seragam SD itu dia, bukan aku. Dan aku dipitnah!! Jahatnya! Kalau kamu ada, kamu ngapain dia? Ngunci di toilet semalaman kayak dulu, ya?"

Nala terkekeh mengingat tindakan kalap kakak kembarnya itu.

Nala menghembuskan nafas. Ia mengamati sosok itu untuk kesekian kalinya, berusaha mengobati rindu yang dia tahu tidak akan pernah terobati.

" Radit, kamu udah kenal Dewa, kan? Dia pernah kesini pas aku sakit, Dit. Sumpah! Aku nggak ngundang dia, kok!" Kata Nala mengangkat jemarinya membentuk huruf V. " Dia itu pinter banget. Banyak orang bilang aku nggak pantes buat dia gara-gara nilaiku bentuknya anak ayam semua."

Nala berguling, kali ini tengkurap. " Tapi Dewa tetep ngeyel sama aku, Dit. Nyebelin, kan? Dan parahnya, masa aku ngrasa bersalah? Kan bukan salahku juga dong, ya?"

Nala mendengus mengingat banyak orang menyalahkannya.

" Jadi, boleh nggak kalau aku memantaskan diri?" Tanya Nala akhirnya berhasil mengeluarkan kalimat yang mengganggunya sejak tadi. Ia menatap Radit lekat-lekat, " Boleh nggak aku berjuang buat Dewa?"

Nala mengelus wajah Radit dengan ibu jarinya. Matanya memanas, " Bantu aku ya, Arkaan Radhitya Halid. Aku lupa gimana caranya berjuang. Aku lupa caranya buat orang lain bahagia, karena orang yang pingin aku bahagiakan udah nggak ada. Kamu udah pasti bahagia sama mama kan, Dit?"

Sebutir air mata mengalir di pipi mulus itu. Nala menekan foto Radit, berusaha menanggung rindu yang meluap. " Kamu curang. Kenapa cuma kamu yang tinggal sama mama? Hm?"

Drrtt...drrrtt...drrtt...

Mata Nala beralih pada ponsel yang menggelitik sikunya. Matanya melebar saat membaca tulisan di layar.

Dewa is calling...

NO WAY!!!

Nala membelalak tidak percaya. Ia hanya terpaku dengan mulut terperangah. Nggak mungkin, eh...salah baca...pasti gara-gara efek air mata...

Mata Nala mengerjap ketika sambungan terputus. Ada rasa kecewa menggelayar di perutnya. Nala meraih ponselnya, hendak mengecek histori panggilan ketika ponselnya menyala lagi dengan tulisan yang sama. Nala harus menahan diri kuat-kuat untuk tidak melemparnya.

" Huh huh huh!!" Nala menetralkan nafasnya dan menggeser tombol hijau di layar. Ia menempelkan ponsel ke telinganya sembari menggigiti bibir. Jantungnya berdebar kencang.

Hening.

" Halo?" Suara yang dirindukan membelai telinganya.

Nala memejamkan mata. Jantung sialannya melompat-lompat ceria.

" H...halo..." Balas Nala. Ia bisa mendengar Dewa terkekeh.

" Kenapa? Nggak percaya aku telfon?"

Nala harus menelan ludah karena kerongkongannya mendadak terasa kering. " Ng...y...ya habis baru telfon sekarang..." Katanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh.

" Kamu udah tidur?" Tanya Dewa. Nala menggeleng kuat-kuat.

" Nggak kok, belum!"

" Hmm..." Gumam Dewa. Ia yakin sekali cowok itu sedang mengulum senyum, " Baru apa?"

Nala mengerling foto yang tadi. " Guling-guling di kasur sama Radit."

Dewa tertawa. " Belum mau tidur?"

" Umm...bentar lagi. Kak Dewa belum tidur?"

" Bentar lagi."

Nala menunduk, memainkan sprei. " Pulang kerja jam berapa?"

Dewa terdiam sejenak sebelum menjawab, " Jam delapan. Aku bantu ibu dulu, jadi baru bisa telfon jam segini."

Nala tersenyum menyadari nada bersalah laki-laki itu. " Nggak papa. Aku ditelfon aja udah seneng."

Detik berikutnya, ia tersadar bahwa kata-katanya terlalu...argh!!!! Nala menenggelamkan wajah ke bantal saat didengarnya Dewa tertawa. Jahat!!

" Kalau gitu aku bakalan telfon kamu terus tiap malem. Siap-siap aja." Balas Dewa.

Kan, mati lo, La!! Mati!!

" Ck!! Kak Dewa ih!"

" Kenapa? Hm?"

" Nggak! Kak Dewa nyebelin!"

Dewa tertawa lagi. Nala tidak bisa menahan cengirannya. Belum apa-apa, ia sudah merindukan laki-laki itu.

" Tidur!" Perintahnya lembut, " Udah malem. Besok aku jemput."

Nala menggigiti ujung bantalnya karena bahagia yang membuncah di dada.

" Hmm...kak Dewa juga tidur, gih!"

" Hmm..."

Hening. Namun Nala menyukai keheningan ini. Keheningan yang hanya terisi oleh mereka berdua. Semalaman suntuk pun Nala rela berada dalam posisi seperti ini.

" Selamat tidur, Nala." Ucap Dewa menyadarkan Nala.

" Selamat tidur juga, kak Dewa." Balas Nala.

Nala menunggu. Ia tidak mau memutuskan kontak lebih dulu. Ia tidak rela. Nala merebahkan dirinya dengan ponsel masih menempel di telinganya.

" Jangan dimatikan."

" Eh?"

" Jangan dimatikan. Aku temani kamu dari sini. Sana tidur."

Bagaimana Nala tidak merasa bersalah jika laki-laki itu memperlakukan dirinya dengan manis seperti ini?

" Jangan! Nanti kak Dewa tidur jam berapa, dong? Ck!" Seru Nala mendengar ide konyol Dewa. Meskipun ia tidak menampik bahwa ia menginginkan itu, tapi ia harus menghentikan tindakan konyol yang bisa Dewa lakukan untuknya.

" Kenapa? Kamu nggak mau aku temani?"

" Mau banget. Tapi aku nggak mau kak Dewa kurang tidur terus besok lupa jemput aku." Celetuk Nala. Dewa tertawa singkat.

" Ya sudah. Sana tidur."

" Hmm...daaa kak Dewa."

" Daaa Kanala."

Aaaaaastaga! Bolehkah Nala berteriak sambil guling-guling??

" Aku matikan ya?" Tanya Nala.

" Hmm..."

Nala memejamkan mata dan menekankan jemarinya dengan kasar ke tombol merah, memutus hubungan mereka. Nala menangkup ponselnya dengan kedua tangan dan meringkuk.

Dia bisa saja egois dengan menerima tawaran Dewa dan dia yakin Dewa pun akan mengabulkannya. Tapi, dia tidak mau laki-laki itu harus bersusah payah lebih dari yang sudah dia lakukan untuknya.

**

" Mata lo! Mata! Mata!" Celetuk Dewa menarik dagu Leon agar mengarah ke depan lagi. Dewa mendengus dan melanjutkan makan.

" Gila! Cantik, bro!" Leon kembali menoleh dengan bandel. Dewa harus menahan mangkuk soto ini agar tidak melayang ke wajah Leon.

" Yang lo liat itu pacar gue, Le. Hadap sini atau gue siram soto, lo!"

Ancaman Dewa rupanya berhasil membuat Leon menoleh. Cowok itu mencibir.

" Noh siram soto sama semuanya! Mereka pada liatin Nala kayak serigala lapar!" Serunya tidak terima. " Cuma liatin keindahan Tuhan, elah! Bagi-bagi rejeki, kek! Pelit amat lo, De!"

" Pacar gue bukan buat dibagi, setan!" Dewa menendang kursi Leon, membuatnya hampir terjengkang.

" Eh kunyuk!" Seru Leon menyeimbangkan kembali tubuhnya. Ia memutar bola mata, sekilas menoleh pada gadis yang menyedot perhatian satu kantin sebelum kembali menoleh pada pemilik gadis itu.

" Karungin sana! Bawa pulang disimpen di kolong!" Sergah Leon kesal. Dewa mengabaikannya. Cowok itu hanya menunduk setia menyantap soto.

" Udah sampai mana?" Pertanyaan Leon membuat Dewa mendongak. Leon memutar bola mata melihat kebingungan Dewa.

" Lo sama Nala!" Serunya gemas, " Berhenti bilang lo nggak suka sama dia. Itu jidat udah ada tulisan 'Nala' gede-gede, De."

Dewa hanya mendengus. Leon menertawakannya.

" Kan gue bilang, ati-ati sama lubang sendiri! Bego sih lo!" Hujat Leon. " Lo sendiri udah keseret sama permainan lo. Jangan main-main. Sakit lo kalo main-main!"

Dewa menghentikan gerakan tangannya. Ia mengangkat wajah ke arah Leon, kemudian ke arah Nala yang juga tengah menyantap makanannya bersama temannya. Dewa tahu namanya Lila. Nala cukup sering menceritakannya.

Penampilan gadis itu yang membuatnya menjadi perhatian. Gadis itu mengganti cepolannya dengan sebuah kuncir kuda yang manis. Membiarkan rambut halusnya terjatuh gemulai hingga ke pinggang. Belum lagi poni yang tersila hingga ke telinga. Padahal hanya perubahan kecil tanpa make-up. Wajahnya masih polos seperti biasa. Namun hal itu justru membuatnya lebih cantik lagi. Dewa harus menahan diri untuk tidak memeluknya ketika ia menjemput Nala tadi pagi.

Mata Nala mendadak menangkap tatapannya. Gadis itu terkejut kecil, kemudian cepat-cepat menunduk dengan rona merah yang mulai muncul di pipinya. Manis sekali.

" Gila lo senyum-senyum sendiri! Ck!" Tangan Leon melambai di depan mata Dewa, menyadarkannya. Dewa menunduk meskipun senyuman masih terulas di wajahnya.

" Gue nggak main-main."

**

Nala menghentikan aktivitas menulisnya. Ia menoleh kesal pada Lila.

" Apa?" Tanyanya.

Lila masih bertumpu pada tangannya di atas meja, memandanginya dengan senyum yang tidak pernah pudar sedari tadi. Gadis berponi itu menggeleng.

" Lo nantangin Kai, ya?" Tanya Lila tidak mau repot-repot bersikap hormat.

Nala mengerutkan kening, " Maksudnya?"

Bukannya menjawab, Lila justru meraih rambut Nala, " Jadi rapi gini. Mana Nala si ratu cepol?"

Nala terkekeh, " Oh itu. Pingin ganti penampilan aja, sih. Lagipula gue nggak minat jadi cetar kayak dia."

Lila menegakkan diri. " Tau nggak efek buat sekolah ini? Mata mereka nggak lepas dari lo, La. Pingin gue colok satu-satu deh." Ia mengedarkan pandangan dan melotot pada siapa saja yang mencuri pandang pada Nala. Nala mengabaikannya.

" Pinjem catetan matik dong. Punya gue masih banyak yang belum lengkap ini!"

Demi mendengar itu, Lila mencengkram jantungnya. Ia menunjuk Nala dengan beringas, " Lo siapa!! Ha? Ngaku??"

Nala menepis tangan Lila. " Cepetan! Masih ada lima menit sebelum ulangan matik!"

Bibir bawah Lila bergetar. Ia mengangat tangannya dan menengadah, " Ya Tuhan, bangunkanlah hamba dari mimpi mengerikan ini! Aduh!!"

Nala mencubit pipi Lila, " Isss..."

Lila meninggalkan wajah konyolnya, kemudian nyengir lebar, " Lo diapain kak Dewa sih sampai tobat kayak gini?"

Nala tidak menjawab. Gadis itu mulai menyalin bab untuk melengkapi catatan miliknya sendiri.

Karena mulai saat ini, ia ingin bersungguh-sungguh. Ia merubah penampilan menjadi lebih rapi dan menyimak pelajaran. Ia menjadi seorang Nala sebelum Radit meninggal. Setelah bertahun menjadi orang yang bukan dirinya, kini ia memutuskan untuk kembali karena Dewa.

Karena kini Nala mempunyai alasan untuk menjadi lebih baik. Karena ia tidak ingin ada orang lain yang mencela Dewa lewat dirinya.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top