10. Bukan Pilihan

"I have another way to say I Love You without a word. Hugging you, for example."

Pagi itu, Nala dan Dewa dihadang oleh segerombolan siswa di depan papan pengumuman. Sekolah sudah menempelkan nilai ujian tengah semester mereka. Leon menyeruak dari kerumunan. Wajahnya merekah saat mendapati Dewa tidak jauh darinya.

" Hai Kanala. Gue Leon. Belahan jiwa pacar kamu." Sapa Leon sumringah menatap wajah polos Nala.

" Kak Dewa bukan pacarku." Celetuk Nala membuat Dewa meliriknya dengan kesal. Sedangkan Leon yang menyadari tatapan Dewa berusaha menahan tawa. Sekalinya jatuh cinta, sahabatnya itu langsung ditolak! Ada perempuan yang tidak menginginkan Dewa, ini perlu masuk rekor MURI!

" Biarin aja. Dia gila." Tukas Dewa hendak melewatinya. Dewa dan Nala tidak menggubris papan pengumuman itu dengan alasan yang berbeda. Dewa tidak suka berdesakan. Ia bisa melihatnya nanti. Jika Nala, gadis itu tahu nilainya sudah pasti hancur jadi tidak ada gunanya dilihat lagi.

" Eits, tunggu!" Hadang Leon merentangkan kedua tangannya. " Selamat ya. Aman!" Kekeh Leon. Ia mengulurkan gulungan yang sedari tadi dipegangnya.

" Itu dari kepala sekolah buat lo." Jelas Leon melihat Dewa membuka gulungannya. Leon menoleh ke arah Nala, " Dijagain ya otaknya, biar nggak sableng gara-gara terlalu cinta kamu."

Dewa menatap tajam ke arah Leon. Namun Leon malah terbahak. Ia menepuk-nepuk bahu Dewa dan melangkah pergi.

Nala mengabaikan tatapan berpasang mata ketika dirinya mengikuti Dewa yang sudah mulai melangkah.

" Itu apa?" Tanya Nala ingin tahu karena Dewa kembali membaca gulungan tadi dengan serius. Tatapan Dewa beralih ke arah Nala. Ia menutup gulungan itu dan memberikannya pada gadisnya.

" Pengumuman penerimaan proposal penelitian beasiswa kementrian pendidikan." Jawab Dewa membantu Nala. Nala membaca kertas itu dengan sungguh-sungguh, kemudian mengembalikannya pada Dewa. Ada secercah rasa bangga di dadanya yang membuatnya bingung.

" Selamat ya." Ucapnya tulus. Dewa tersenyum samar. Ia mengacak pelan puncak kepala gadis itu sebelum berbelok ke arah koridor yang berbeda. Keduanya tidak pernah menyadari bahwa adegan sederhana itu menyulut api kecemburuan bagi banyak orang.

**

" KANALA!"

Gelegar bagai petir di siang bolong itu berasal dari sentakan sang guru kimia. Kesadaran Nala tersentil. Gadis itu mengerjapkan matanya. Ia sedikit mengerang ketika lehernya terasa kaku.

" Dududuuhh!!" Rintih Nala memijit belakang lehernya. " Ibu jangan mendadak kalau bangunin. Nanti kalau saya jantungan ada yang sedih."

Seluruh siwa terkekeh pelan. Namun sang guru kimia hanya menatapnya dengan tajam. Bibirnya yang dilapisi listik merah terang terkatup membentuk garis tipis. Jelas sekali wanita itu sedang berusaha menahan emosinya.

" Saya rasa Dewa sudah rabun." Katanya dingin. " Sana cuci muka. Kamu seperti tidak mandi seharian!"

Raut malas lenyap dari wajah Nala ketika merasa dadanya sakit. Ia menatap sang guru dengan pandangan sengit. Dengan kasar ia mendorong kursi mundur dan nyelonong keluar kelas.

Nala mengigiti bibirnya. Bagaimana bisa Dewa yang disalahkan karena ulahnya? Nala mendengus. Nala berjalan menyusuri koridor, kemudian terhenti pada papan pengumuman yang sepi. Baru kali ini Nala sukarela mengecek nilai yang didapatnya ketika ujian. Nala menyusuri nilainya. Ia tidak terkejut.

Tangannya kemudian menyusur pada lembar kelas tiga. Kemudian terhenti pada nama Dewangga Abirama. Ia menggerakkan telunjuknya mendatar melewati nilai-nilai sempurna itu, ke arah kolom terakhir yang menunjukkan peringkat paralel dan menemukan angka satu disana.

Dia tahu Dewa adalah salah satu kebanggaan sekolah. Namun menyaksikannya sendiri seperti ini membuat Nala mengerti komentar gurunya tadi. Matanya beralih pada deretan nilai miliknya. Mendadak perutnya terasa tidak nyaman. Dia dan Dewa, mereka begitu berbeda.

Sepanjang perjalanannya ke toilet, pikiran Nala tidak pernah meninggalkan hal itu. Jelas-jelas Nala adalah kebalikan dari keseluruhan diri Dewa. Apa yang membuat Dewa begitu ngotot mengakui Nala pacarnya? Dewa bahkan rela meninggalkan kelas seharian hanya demi menjaganya. Mengingatnya saja membuat pipi Nala panas.

Dan mengapa pula dirinya harus peduli?! Dengusnya tiba-tiba. Ia menutup pintu dengan keras. Dia tidak meminta Dewa menjadi pacarnya. Dia tidak meminta perhatian Dewa. Dia tidak meminta Dewa merawatnya. Lalu salahnya dimana? Mengapa ia harus terganggu dengan komentar orang-orang tentangnya?

BRAK!!

" KELUAR LO!"

" He?" Nala terperangah saat pintu bilik toiletnya digedor dengan keras hingga bergetar.

" GUE TAHU LO DI DALAM! KELUAR LO, CEWEK GANJEN!!"

Nala mengerutkan kening. Ia membuka pintu bilik dan merasa seragamnya langsung ditarik keluar. Orang yang menyeretnya melempar tubuh Nala hingga membentur wastafel di dinding terlapisi kaca super lebar itu. Tangan Nala mencengkram tepi wastafel di belakangnya, menyeimbangkan tubuhnya. Ia mencari fokus, kemudian mendengus saat mengenali Mikaila dan empat cewek di belakangnya. Mereka memasang ekspresi yang sama seperti singa yang kelaparan.

Nala berdecak malas, " Mau apa lagi, sih?"

Mendengarnya, Mikaila menggeram. Ia melangkah mendekati Nala hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.

" Gue ingetin, Bitch! Lo itu nggak pantes buat Dewa! Jadi tau diri dan jangan deket-deket Dewa!" Desis Mikaila. Nala mengangkat alis. Sepertinya mulut kakak kelas tersayangnya ini perlu dicuci. Tangan Nala mendorong Mikaila dengan cepat.

Mikaila memekik hilang keseimbangan, namun berhasil ditahan cewek di belakangnya. Mereka semua terbelalak, tidak menyangka Nala berani dengan mereka.

" Dicuci mulutnya." Balas Nala dingin. Ia beranjak hendak meninggalkan drama tidak bermutu ini saat rambutnya ditarik mendadak. Nala meringis. Kulit kepalanya terasa pedas.

" Gue kira udah saatnya lo dikasih pelajaran biar sopan sama orang yang harusnya lo hormati." Bisik Mikaila berbahaya di telinga Nala. Ck! Nala benar-benar diuji kesabarannya! Gadis itu mundur, dengan segaja menabrakkan dirinya kepada Mikaila dan menyikut perutnya. Segera setelah cengkraman di rambutnya mengendur, Nala meraih tangan Mikaila dan membaliknya hingga Mikaila berseru kesakitan. Nala mendorongnya.

" Berhenti main-main sama gue!" Desis Nala. Dia berusaha mengendalikan diri. Kemampuannya bukan hanya sekedar mengajari tentang cara menggebuk orang, tapi tentang pengendalian diri.

Mikaila dan yang lainnya terkejut, namun itu hanya menaikkan level kemarahannya sekarang setelah Nala membuatnya malu.

" Lo emang beneran kurang ajar, Bitch! Kita udah berusaha halus sama lo! Vi, tahan!" Kali ini cewek lain berbicara dengan geram. Tiga orang maju bersamaan dan mencekal kedua tangan Nala. Tentu saja itu tidak mudah, tapi mereka berhasil walaupun harus merasakan jotosan Nala. Nala menggertakkan gigi merutuki toilet yang tidak mempunyai cukup ruang.

Mikaila menyeringai bagai iblis. Nala berusaha melepaskan diri, namun kedua tangannya ditahan kuat-kuat. Mikaila mendekat. Nala mengangkat kakinya, namun dengan cepat kakinya pun di tahan.

" Lo bukan lawan gue, Bitch!" Kata Mikaila dengan penekanan. Matanya menunjukkan kepuasan. Ia mengulurkan tangan, menyusurkan kuku runcingnya di pipi mulus Nala.

" Apa sih yang Dewa lihat dari lo?" Desisnya menggores sedikit kulit disana, membuat Nala meringis.

Tangannya kemudian melingkar di belakang leher Nala, bermain-main disana sebelum menyibak dan menarik rambut Nala. Membuat gadis itu mendongak hingga lehernya berbunyi.

" Lo itu jelek, kumal, rendahan." Kata Mikaila menikmati ekspresi kesakitan Nala, " Otak nggak punya, malu nggak punya, cuma punya mulut kotor doang! Dilihat dari manapun, lo nggak pantes jadi ceweknya Dewa. Lo itu tolol! IQ jongkok! Pantes aja lo cocok main sama Reno!"

Di sela rasa sakitnya, Nala masih sanggup mengagumi Mikaila yang bisa mengeluarkan cacian sedemikian panjangnya.

Mikaila mendekat hingga nafasnya menerpa leher Nala. " Jadi gue ingetin sekali lagi. Lo jauh-jauh dari Dewa. Lo nggak berguna. Dewa bodo banget bisa kena pelet orang rendahan kayak lo!"

" Heh!" Seru Nala tersenyum mengejek pada langit-langit toilet.

Mikaila menekan leher Nala dengan tangan yang satunya, membuat Nala tersedak. Sepertinya Nala benar-benar sudah membangkitkan iblis.

" Duh duh Kai! Lepas! Bisa mati beneran itu!" Cewek yang menahan tangan Nala memperingatkan. Mikaila mengabaikannya. Senyuman mengejek dari Nala membuatnya naik pitam.

" Gue bisa aja bunuh lo disini! Sekarang!" Desis Mikaila. " Lo. Jauh-jauh. Dari. Dewa! NGERTI!"

Mikaila semakin mempererat tekanannya. Nala berusaha menghirup udara yang semakin menipis. Dia tidak mau mati konyol disini. Nala menarik kedua tangannya, membuat si penarik merapatkan dirinya demi menahan tangan Nala. Kemudian dengan cepat, Nala mengepalkan tangan dan meninju apapun yang bisa ditinjunya.

" Hegh!"

" Argh!"

Tangan Nala terlepas. Keduanya membungkuk bersamaan. Nala menjambak rambut kedua orang yang mencekal kakinya, menyatukannya di tangan kiri dan menariknya ke atas.

Nala melakukannya hanya dalam hitungan detik sehingga Mikaila tidak siap untuk itu. Maka ia hanya bisa meraih rambut Nala. Namun Nala justru menangkap lengan Mikaila dan memuntirnya hingga gadis itu berputar.

" Lepasin gue!" Desisnya kesakitan.

" Cih!" Desis Nala mengejek. Ia mengabaikan pekikan dua orang yang rambutnya ia cengkram. Ia tidak punya belas kasihan pada orang yang telah menyiksanya.

"Dewa bakal nyesel udah milih lo! Dia bakal sadar lo cewek nggak berguna!" Raung Mikaila semakin meringis. "Gue bisa ngeluarin lo dengan mudah dari Angkasa, Bitch! Asal lo tau, sekolah ini punya keluarga gue!! Biar lo jauh dari Dewa. Biar lo sekalian mati aja!"

Nala harus memuji kemampuan memaki cewek itu. Namun Nala semakin menekan tangan Mikaila ke punggungnya, membuat gadis berambut curly menggantung itu semakin memekik.

" Lo nggak akan bisa ngeluarin gue dari Angkasa." Desis Nala tepat di telinga Mikaila. " Lo akan menyaksikan gimana Angkasa memuji nama gue."

Nala mendorong Mikaila dan melepaskan rambut yang lain. Tangannya memegang kenop toilet. Namun demikian, ia memandang gerombolan berantakan itu dengan dingin.

" Kalian boleh ngancem anak-anak yang lain termasuk kak Raya. Tapi jangan bermimpi ancaman itu berhasil buat gue."

Nala membuang muka dan keluar dari toilet yang terasa begitu menyesakkan.

Dari semua hal yang dikatakan Mikaila, sesuatu tentang Dewa lah yang paling membuatnya marah. Nala menatap kertas-kertas yang menempel di papan pengumuman itu. Sekarang, angka-angka itu bagai menari di depan wajahnya, mengejeknya. Deretan sempurna nilai-nilai atas nama Dewangga Abirama.

**

" Mau kemana?"

Raya menghadangnya lengkap dengan tangan bersedekap dan pandangan tajam.

" Keluar sebentar." Jawab Dewa singkat berusaha melewatinya. Namun Raya bergeser. Dewa menghela nafas. Ia harus buru-buru sebelum Nala memutuskan kabur lagi bersama Reno.

" Kenapa sih Ray? Habis istirahat aja."

Raya menatapnya semakin tajam.

" Udah cukup lo keluyuran, De. Berhenti ngelakuin hal nggak berguna yang bikin lo susah. Itu cuma ngerugiin lo sendiri!"

Dewa akhirnya membalas tatapan Raya. " Gue nggak merasa rugi." Desisnya dingin.

Raya berdecak, " Ck! Lo lupa? Harusnya lo konsen sama penelitian kita! Lo nggak bisa main-main, De. Dan sekarang lo buang-buang waktu cuma buat ngantar anak itu bolos! Astaga! Mikir!!"

" Ray?" Leon mendekati mereka dan mengingatkan. Sedangkan Dewa mengeraskan pandangannya.

" Lo santai aja. Penelitian kita nggak bakal kenapa-napa." Kata Dewa meskipun suaranya mulai bergetar. " Dan berhenti ngomong jelek tentang Nala. Dia pacar gue, Ray!"

Raya mengerjap. Dadanya serasa tercubit. Ia mengeraskan pandangan demi menahan matanya yang memanas, " Lo itu ya De! Gue udah ngingetin lo! Dia cuma bawa pengaruh buruk buat lo! Jangan nyesel kalau pada akhirnya banyak yang ngomongin lo karena cewek nggak kompeten kayak Nala! Jangan ngeluh kalau pada akhirnya lo ikutan kayak dia!"

" RAYA!"

Raya langsung menutup mulutnya. Tanpa sadar air matanya menetes. Ia menatap Dewa dengan terluka.

" Kapan sih lo sadar? Nala nggak pantes buat lo!" Raya berbalik sebelum air matanya mengalir deras.

Dewa memejamkan mata menenangkan diri. Ia tidak bermaksud membentak Raya. Tapi perkataannya sudah keterlaluan. Untung saja kelas sudah kosong. Paling tidak, Raya tidak merasa dipermalukan di depan orang banyak.

Leon menepuk pundaknya. " Seharusnya bisa lebih santai, sob."

Dewa menghirup nafas dalam-dalam, " Dia udah kelewatan. Gue nggak mau denger apapun tentang cewek gue, paham!"

" Tapi apa yang diomongin Raya itu bener. Lo sampai nganter dia segala. Lo masih harus konsen sama beasiswa, De."

Dewa menatap Leon tajam, " Lo mending jangan ikut-ikutan. Dua-duanya penting buat gue. Gue nggak akan ngelepasin salah satunya hanya demi yang lain!.

Leon mengangguk seraya mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Walau bagaimanapun, menyangsikan kemampuan seorang Dewa adalah kesalahan besar. Dewa mendengus keras dan menyambar helmnya. Dalam hati berdoa semoga Nala belum berangkat.

Langkah Dewa terhenti di ambang pintu ketika mendapati Nala berdiri di luar kelasnya, bersandar pada tembok. Gadis itu menoleh.

" Hai..." Sapa gadis itu dengan ketenangan yang tidak wajar. Raut wajah Nala membuat Dewa justru tidak tenang. Ia yakin Nala mendengar percakapan tadi. Saat itu Leon keluar.

" Oh..." Serunya saat melihat Nala. Leon menepuk pundak Dewa yang masih terpancang pada Nala. Kemudian melangkah meninggalkan mereka berdua.

Dewa menatap Nala yang membalas tatapannya.

" Kenapa masih disini? Nanti terlambat." Tanya Dewa pelan.

" Aku cuma mau bilang, kelas siang hari ini dibatalkan. Jadi kak Dewa nggak perlu ngantar." Gadis itu menatap Dewa sejenak, kemudian menghirup nafas dalam-dalam, " Jangan ngantar aku lagi, kak. Aku bisa berangkat sendiri."

Dewa mengetatkan rahangnya. Benar kan?

" Kenapa? Kamu takut aku keganggu?"

Nala terdiam. Itu cukup menjawab pertanyaan Dewa.

" Berhenti mikir macem-macem. Aku lebih dari mampu ngurus urusanku dan menjaga kamu sekaligus." Tepis Dewa dingin.

Pandangan Nala mengeras, " Omong kosong! Berhenti sekarang, kak. Omongan kak Raya itu bener!"

" Raya nggak tahu apa-apa." Dewa menimpali. Nala menghentakkan kakinya.

" Kak, tapi..."

Dewa menariknya. Menyembunyikan mereka berdua di balik pintu. Mata Nala melebar. Tubuhnya menegang saat disadarinya lengan Dewa melingkar di punggungnya.

" Jangan La, tolong! Ninggalin kamu justru bikin aku nggak tenang."

Nala masih sibuk meredakan jantungnya yang melompat ceria. Aroma segar tubuh Dewa menyeruak di sekitarnya. Membuat seluruh ototnya mati rasa.

" Kak, lepas!" Celetuk Nala susah payah. Ia berusaha mendorong tubuh Dewa.

Namun Dewa menggelengkan kepalanya yang berada di pundak Nala. " Nggak mau."

Nala berhenti melepaskan diri. Ia membiarkan Dewa memeluknya. " Aku nggak akan membuat mengajar sebagai sebuah pilihan. Mereka udah jadi tanggung jawabku. Kak Dewa tahu itu, kan?"

" Hmm..." Ujar Dewa. Ia menyusupkan kepalanya di rambut Nala yang lembut, menghirup banyak-banyak aroma sampo gadis itu. Dewa harus menahan diri di tengah gelayar asing yang mengancam nalarnya.

" Aku antar kamu ke kampung. Nggak ada penolakan." Bisik Dewa tidak ingin melepaskan diri. Ia bisa mendengar gadis itu menghembuskan nafas kalah. Dewa tersenyum.

" Iya. Tapi janji penelitian harus berhasil, ya?" Sahut Nala khawatir.

" Hmm..." Gumam Dewa berlama-lama di leher gadis itu.

" Kak!" Seru Nala. Dewa memejamkan mata memutus apapun yang perlahan menarik lepas akalnya. Ia melepaskan Nala. Wajah mungil itu merona, nyaris membuat Dewa memeluknya lagi.

" Apa?" Tukas Dewa geli melihat rambut gadis itu awut-awutan. Ia merapikannya dan menyila ke belakang telinga.

" Pokoknya kak Dewa nggak boleh sampai turun peringkat! Kak Dewa harus tetep jadi juara satu! Harus tetep dapet nilai seratus di setiap ulangan! Harus berhasil di penelitiannya!" Ucap Nala menyipit. Dewa mengangkat alis.

" Kamu nggak perlu khawatir." Kata Dewa meyakinkan gadisnya.

" Ck! Gimana nggak khawatir, coba? Kak Dewa cengengesan gitu!" Sungut Nala kesal. " Aku tahu kemampuan kak Dewa. Tapi jangan sampai kak Dewa kewalahan, itu aja. Aku nggak akan pernah ninggalin anak-anak kampung, kak. Berhenti ngikutin aja kenapa, sih? Ribet banget!"

Dewa tidak segera menjawab. Laki-laki itu menjumput seleret rambut yang terlepas dari cepolan Nala dan terjulur hingga ke pundaknya. Dewa menggenggamnya, membiarkan rambut panjang itu perlahan terlepas menyusuri jemarinya. Ia menatap Nala lekat-lekat.

" Kamu juga bukan pilihan, Kanala. Kamu tanggung jawabku."

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top