1. Dewangga Abirama
"Masalah adalah bukti bahwa kita hidup, bernyawa dan berusaha menjadi lebih baik."
Keheningan perpustakaan sudah menjadi oase bagi cowok yang duduk di tempat duduk paling ujung di ruangan itu. Tempat yang jarang dihinggapi siswa karena tertutupi oleh satu buah rak besar buku-buku setara kalkulus. Tapi bagi Dewa, tempat itu hanya berarti ketenangan. Matanya terfokus pada buku di hadapannya, tangan kanannya sibuk mencorat-coret kertas yang sengaja ia bawa. Ia sedang berusaha memecahkan soal yang sedari tadi mengusiknya.
"Eh, rupanya disini!" Suara melengking di belakang Dewa membuatnya menoleh.
"Hei! Sori ganggu."
Raya, ketua OSIS yang jabatannya akan segera berakhir di tahun ini menarik kursi di depan Dewa dan duduk disana. Dewa mengerutkan kening.
"Kenapa?"
Gadis berambut panjang nan lurus itu harus mengalihkan perhatiannya dari sepasang alis tebal jika mau berkonsentrasi.
"Dewa, gue butuh bantuan lo gantiin Rudi jadi panitia MOS minggu depan. Dia masih harus di rumah sakit seminggu. Mau ya? Lo kan mantan seksi kedisiplinan."
Raya menatap Dewa dengan campuran cemas dan penuh pengharapan. Meminta tolong pada Dewa ketika hampir satu tahun laki-laki itu tidak terlibat dalam kinerja OSIS terasa salah, tapi hanya Dewa yang bisa menggantikan Rudi, dia tahu itu.
"Gue nggak pernah ikut rapat, Ray."
"Nggak perlu. Semuanya udah beres. Kata Rudi lo tinggal terima jadi aja."
Wajah Dewa mengeras.
"Lo ngerti gue nggak suka konsep yang aneh-aneh, kan?"
Raya terdiam. Satu tahun bekerja bersama Dewa membuatnya mengerti betul sifat Dewa. Itu juga salah satu hal yang membuat Dewa menolak bergabung dengan OSIS di tahun kedua. Ia menggigiti bibir bagian dalamnya dengan cemas.
"Iya gue ngerti. Tapi ini kasus khusus, nggak ada yang nyangka Rudi bakal kecelakaan, kan? Dan konsepnya udah mateng dan..." Raya menghirup nafas dalam-dalam, " dan please, cuma lo yang dipercaya anak-anak gantiin Rudi. Waktunya mepet. Tolongin gue dong!"
Dewa menatap Raya yang sepertinya cemas setengah mati. Wajah gadis itu sangat gelisah. Akhirnya dewa melepaskan nafasnya.
"Kapan rapat lagi?"
Kegelisahan Raya berganti dengan mata yang berbinar. Senyum lebar terbit disana.
"Beneran? Lo mau?" Raya memastikan.
"Hmm," jawab Dewa singkat sembari meneruskan gerakan tangannya untuk menyelesaikan rumus di kertas.
"Nanti sore. Duh, makasih banget!! Lo emang the best!" seru Raya lega luar biasa. " Gue perlu bilang sama yang lain biar nggak ada miscom. Sekali lagi makasih ya."
Raya bangkit dengan hati yang seribu kali lebih ringan. Gadis itu masih mendendangkan rasa terima kasihnya berkali-kali pada Dewa.
Dewa hanya diam tanpa membiarkan dirinya memikirkan satu masalah lagi. Dia tidak bisa menolak karena bagaimanapun, Raya adalah temannya.
**
Dewa mengerutkan kening saat Leon menyodorkan sebuah kertas di mejanya.
"Ini apa?" tanyanya pada sahabatnya. Leon yang duduk di sampingnya mendengus.
"Fans lo yang ngebet kenalan," jawab Leon disambut tatapan tajam dari Dewa.
"Elah, gue nggak bercanda." Leon melambaikan kertas dengan dua puluhan daftar nama yang diikuti nomor telfon di belakangnya.
"Tiap hari mereka ribut mulu, tanya 'bisa minta nomer telfonnya bang Dewa nggak?' Bang Dewa ulang tahunnya kapan?' Bang Dewa udah punya cewek belum?'!"
Leon memandang Dewa dengan gemas. "Sekali-kali bales kenapa? Susah di gue kan jadinya!"
Dewa meraup kertas tadi dan meremasnya menjadi buntalan, kemudian melemparkannya ke keranjang sampah dan berhasil masuk dengan mulus. "Kalau gitu nggak perlu dibales."
Leon yang masih tercengang ke arah keranjang sampah menggelengkan kepala. "Lo boleh jitak gue, seriusan. Lo nggak homo, kan?"
Dewa benar-benar menjitak Leon, membuat anak itu memekik.
"Lagipula dari awal lo yang cari masalah. Pakai kasih ID line ke mereka segala," celetuk Dewa menarik sebuah buku dari dalam tasnya. Leon berdecak.
"Gue itu mau nolongin lo, Dewa. Lo sahabat gue, dan gue miris lihat lo nggak pernah pacaran. Masa muda kamu akan terbuang, sayang!"
Dewa melotot pada Leon mendengar kalimat horor tersebut.
Leon tertawa, kemudian mengatupkan bibirnya ketika melihat Dewa yang sudah serius dengan buku di tangannya. Leon melirik apa gerangan yang membuat Dewa begitu tertarik pada buku tebal nan lusuh itu, detik berikutnya mata Leon berkunang-kunang. Ia segera menjauhkan kepalanya.
"Lo baca Kalkulus kaya baca Naruto, De? Nggak kelainan?"
Dewa meneruskan membaca buku di depannya dengan sekali-kali membuat catatan dengan tangan kanannya. "Apply beasiswa bentar lagi, Le."
Cengiran konyol di wajah Leon menghilang. Dia lupa. Beasiswa dibuka setiap tahun sekali. Beasiswa yang diperuntukkan bagi siswa kurang mampu namun berprestasi.
Wajar jika Dewa tidak memperdulikan fans-fansnya yang menggila di luar sana. Sahabatnya ini mempunyai hal lain yang lebih penting untuk dikhawatirkan. Leon menepuk pundak Dewa.
"Nomer telfon lo aman sama gue, tenang aja," katanya enteng. "Walaupun gue harus tidur jam satu pagi gara-gara ponsel gue berisik, tapi gue rela."
Dewa meliriknya sekilas, kemudian tertawa kecil. "Thanks."
**
"ABAAAAANG!"
Seorang anak laki-laki yang baru berusia tiga tahun berlari ke pintu depan saat didengarnya suara Dewa.
Balita itu begitu berbinar melihat Dewa yang masih mengenakan seragam putih abu-abu lengkap dengan tas ransel coklat di punggungnya. Begitu jarak terkikis, ia melompat untuk ditangkap sempurna oleh Dewa.
"Kak Dilla malah!" adu Dafa, si bocah tadi.
Dewa langsung terkekeh. Ia menggendong adiknya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menenteng sepatu yang baru saja ia lepas sebelum masuk.
"Kamu ngapain lagi sama Dafa, dek?" tanya Dewa tanpa penghakiman pada adik perempuannya yang sedang belajar di bangku yang menempel pada dinding. Dilla mendengus tidak terima.
"Kan, aku lagi yang kena salah. Dafa itu tadi main lempar-lemparan batu. Kalau kena kaca gimana?" tukas Dilla menatap tajam Dafa yang mengkeret di gendongan Dewa.
Dewa semakin tertawa. Aduh, kedua adiknya ini memang hobi mengocok perutnya.
"Besok lagi nggak boleh main batu. Kalau kena orang bisa sakit," kata Dewa memberitahu Dafa dengan lembut. Ia mengajukan telapak tangannya. "Tos!"
Dafa mengerjap sekali, kemudian menepukkan telapak tangan mungilnya di tangan Dewa.
"Iya," jawab Dafa menurut dengan suaranya yang imut.
"Giliran sama Bang Dewa aja nurut!" gerutu Dilla dengan bibir mengerucut.
"Ngasih tahu itu beda sama ngasih perintah, dek. Dafa masih kecil," kata Dewa menurunkan Dafa untuk duduk di karpet di depan televisi.
Dewa menaruh sepatunya di rak dan mendekati Dilla, adik perempuannya yang sedang duduk di kelas tiga SMP. Dilihatnya Dilla sedang berkutat dengan pelajaran fisika.
"Bisa?" tanya Dewa mengamati soal-soal Dilla. Dilla mengangguk.
"Bang, besok Abang ada jadwal kerja?" tanya Dilla menatap Dewa.
"Iya. Kenapa?"
"Yahh..." seru gadis itu kecewa. "Aku ada perlu beli buku. Nggak bisa nganter, ya?"
Dewa tersenyum samar dan membelai ringan puncak kepala Dilla.
"Bisa. Besok pulang kerja abang antar."
Senyum terbit di wajah Dilla.
"Oke!" serunya senang. Dewa terkekeh kemudian beranjak dari sana ke arah dapur.
Disana, ia menemukan ibunya yang sedang berkutat memotong-motong ayam dengan sebilah pisau potong yang selalu membuat Dewa miris jika melihat.
" Eh, udah pulang?" tanya ibu begitu melihat anak sulungnya muncul di pintu.
Ia bergegas mencuci tangannya. Dewa mengangguk. Ia mendekati ibunya dan mencium tangannya, sama sekali tidak terpengaruh oleh fakta bahwa tangan itu berbau amis. Bagi Dewa, itu surga.
"Dewa aja yang potong, Bu," kata Dewa.
"Ck, kamu itu udah kelas tiga, udah harus belajar yang rajin. Nggak perlu bantu ibu sampai malam," celetuk ibunya mengkhawatirkan Dewa.
"Nggak ada gunanya belajar kalau ibu kesusahan. Taruh ayamnya, nanti Dewa yang potong," kata Dewa tegas sebelum berbalik menuju kamarnya.
Rani, ibunya, hanya bisa bersungut menatap sosok anaknya yang menjulang tinggi. Sejak dulu anak itu mewarisi watak keras kepala dari mendiang suaminya. Tapi tetap saja, senyum bangga tersungging di bibirnya.
*TBC*
Sore nan sepi -,-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top