(84) 8. Air Mata dan Tawa, Itulah Yang Membuat Hidup Bewarna 9

Farrel memandang bergantian pada mereka yang mengantar kepergiannya. Ia tersenyum. Tampak baik-baik saja ketika Linda dan Esy sudah berurai air mata.

"Aku pergi, Ma. Doakan aku," ujar Farrel.

Linda mengangguk. Sudah tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Beruntung ada sang suami yang kuat walau harus berpisah dengan anak sematawayang yang mereka miliki.

"Jaga diri baik-baik. Belajar yang rajin. Kami semua pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu."

Farrel merasa lega. Ia membuang napas dan tatap matanya berpindah pada Esy.

Hanya tersenyum. Farrel tidak mengatakan apa-apa pada Esy hingga tiba waktunya untuk mereka benar-benar berpisah.

Farrel beranjak. Melangkah meninggalkan keluarga dan juga Esy. Dengan tanda pengenal dan paspor di satu tangan, ia melewati bagian pemeriksaan.

Terakhir kali, Farrel menyempatkan diri menoleh ke belakang. Melihat sekali lagi sebelum akhirnya ia benar-benar melangkah masuk.

Farrel terus berjalan ke depan. Menuju pada titik selanjutnya yang akan menjadi bagian dari masa depannya.

Itu pagi yang cerah. Matahari bersinar dengan terang benderang. Seolah sedang memberikan energi positif untuk Farrel. Modal penting baginya dalam menggapai masa depan.

*

Hari pertama tanpa ada Farrel menjadi hal yang berat bagi Esy. Ia tidak ingin serakah, tapi waktu sekitar 10 bulan tidak akan pernah cukup untuknya.

Farrel memang tidak langsung pergi setelah tamat. Setidaknya ia menghabiskan waktu untuk mendaftar beasiswa dan ke universitas yang dituju.

Namun, memang. Waktu itu amat sebentar bagi Esy yang akhirnya harus menerima kenyataan bahwa sekarang dirinya sendiri.

Bukan hanya Farrel yang meninggalkannya. Alih-alih satu persatu temannya pun demikian. Bella sudah lulus Desember lalu sementara Mia sekarang sedang persiapan untuk sidang. Lalu Esy?

Sedikit beruntung, Esy tidak terlalu terlambat. Setidaknya ketika semester lalu ia mengambil mata kuliah Penyajian Ilmiah, Zidan langsung memberikan solusi untuknya.

"Jadikan kuliah PI semester ini untuk ajang kamu benar-benar menyusun draf proposal penelitian. Setelah nilai PI keluar maka kamu bisa langsung memulai penelitian."

"Saya maunya juga begitu, Pak. Cuma saya belum ada bayangan ingin penelitian apa. Mungkin Bapak ada masukan untuk saya?"

Kala itu Zidan tidak langsung menjawab pertanyaan Esy. Alih-alih melihat sang mahasiswi dengan sorot yang tak mampu diartikan.

"Sebenarnya saja ada proyek. Apa kamu mau mengerjakannya?"

Esy melongo. "B-Bapak menawari saya penelitian, Pak?"

"Kalau kamu berminat," kata Zidan. "Komoditi padi sawah dengan rancangan split plot."

Oh, Tuhan. Farrel pun tahu mengenai hal tersebut lantaran ia belum pergi. Tak perlu ditanya, tentu saja ia kaget.

"Padi? Di sawah? Pakai split plot? K-kamu yakin, Sy? Nanti kamu mau kerjain sama siapa? Aku nggak bisa bantu."

Esy hanya tersenyum. "Tenang. Aku sudah kuat kok. Lagi pula ... split plot itu menantang sih. Kira-kira interaksinya gimana ya? Kira-kira kedua faktor saling mempengaruhi nggak? Menarik kan?"

"Kamu serius?" tanya Farrel seraya menatap Esy.

Esy mengangguk penuh yakin. "Iya. Demi cita-cita aku, jangankan sawah. Disuruh tumpangsari sawah dan ikan lele pun bakal aku lakukan."

Akhirnya Farrel menyerah. Ia tidak berusaha untuk membujuk Esy lagi lantaran tahu dengan pasti bagaimana sifatnya. Ia hanya bisa berdoa agar Esy bisa menjalani penelitiannya dengan lancar.

Namun, lagi-lagi Esy sedikit beruntung. Berkat ia yang pernah menjadi asisten dosen untuk praktikum Biologi, ada beberapa junior yang membantu. Terlebih lagi karena Esy memang terkenal mudah akrab dengan orang lain. Jadi mengerjakan sawah sekitar 100 meter persegi tidak menjadi soal baginya.

"Tapi, Mbak. Kok bisa Mbak sampai ambil Statistika empat kali? Mbak nggak kepikiran buat pindah kuliah?"

Esy tergelak ketika mereka beristirahat siang itu. "Pernah sih mau pindah, tapi aku tetap bertahan. Ehm kalian itu harus tau kalau nggak semua bisa didapatkan dengan mudah. Biar apa? Biar kalian tau artinya berjuang. Jadi rasanya ada manis-manis gitu."

"Bener-bener. Makanya kalau aku mau nyerah kuliah, aku jadi ingat Mbak terus. Semangat pantang menyerahnya memang top."

"Pak Zidan sering loh ngomongin Mbak di kelas kalau lagi ngajar."

"Oh ya?" tanya Esy dengan mata antusias. "Ngomong apa?"

"Beliau bilang gini. Kalian ini, baru dikasih soal begini sudah mengeluh. Kalian tau Esy Handayani? Dia saja sampai ambil Statistika 4 kali. Masuk kelas Rancob 4 kali dalam seminggu. Setiap selesai kuliah langsung ke Perpustakaan. Dan dia nggak pernah mengeluh."

Pipi Esy bersemu. "Begitu? Bapak ngomong gitu?"

"Iya, Mbak. Makanya semester besok ajari kami Rancob, Mbak."

Esy melotot. "A-apa? Ajari Rancob?"

Enam orang mahasiwa yang terdiri empat cowok dan dua cewek itu kompak mengangguk.

"Lihat ini. Pak Zidan aja suruh Mbak kerjain split plot."

"Padahal nggak banyak kan mahasiswa yang penelitiannya split plot?"

"Wah! Mbak memang keren."

"Katanya nggak banyak mahasiswa yang ditawari penelitian sama Pak Zidan. Beliau itu orangnya selektif dan jarang ada mahasiswa yang mau dibimbing beliau. Namanya juga dosen killer. Mana ada mahasiswa yang mau penelitian sama dosen begitu?"

Esy tertawa. Wajah juniornya ketika membicarakan Zidan membuat perutnya terasa geli.

"Sama," imbuh Esy. "Bapak memang nakutin sih. Walau beliau PA aku, tetap saja nggak kasihan pas kasih aku nilai D."

"Terus kalau gitu, kenapa Mbak mau penelitian sama Bapak?"

"Ehm."

Esy mendeham dengan penuh irama. Sesaat matanya melihat pada langit nun jauh di sana. Bewarna biru dan amat cerah.

"Kenapa ya? Mungkin karena aku pernah dengar omongan orang dulu," lanjut Esy seraya tersenyum. "Emas ada di tempat yang tak terjamah manusia."

Para junior saling memandang satu sama lain. Tak yakin bila ada 'emas' di balik nama Zidan. Namun, bagi Esy memang demikian.

"Demi cita-cita aku, jangankan Pak Zidan. Bahkan Bu Emi pun aku hadapi."

Lantaran memang itulah yang terjadi. Tak cukup dengan Zidan sebagai dosen pembimbing utama, ada Emi sebagai dosen pembimbing pendamping. Pun untuk dosen penguji, ada dosen lainnya yang lumayan ditakuti mahasiswa pula.

"Draf skripsi kamu sudah saya periksa dan nggak ada perbaikan yang signifikan. Hanya redaksional saja. Ada satu dua typo yang harus kamu perbaiki."

Esy menerima draf skripsi yang diberikan Zidan. "Jadi apa saya bisa langsung daftar buat seminar hasil, Pak?"

"Bisa. Kamu temui Bu Emi, Bu Diana, dan juga Pak Teguh. Segera hubungi saya bila jadwalnya sudah ketemu."

"Baik, Pak."

Semula Esy berniat untuk segera berpamitan pada Zidan. Ia ingin segera menemui Emi yang kebetulan tadi ia lihat ada di ruang Tata Usaha Jurusan. Namun, Zidan justru bertanya padanya.

"Setelah tamat nanti, apa rencana kamu?"

"Rencana saya, Pak? Ehm ... mungkin saya ingin lanjut S2."

Dahi Zidan mengerut dengan sorot tak yakin. "Kamu mau menyusul Farrel?"

Berusaha untuk tidak tersipu pun rasanya percuma. Lihat? Jangankan mahasiswa, bahkan dosen pun tahu soal hubungan Esy dan Farrel.

"Bisa dibilang begitu, Pak," jawab Esy pelan. "Cuma bukan dia jadi-jadinya alasan saya buat lanjut S2."

"Oh ya?"

"Saya ..."

Semburat merah di pipi Esy menghilang. Tergantikan oleh ekspresi penuh tekad.

"... juga punya cita-cita yang mau saya capai. Dan kebetulan Farrel juga begitu, Pak."

Zidan mengangguk seraya menahan ringisan. Ia tidak ingin memperpanjang percakapan yang melibatkan perasaan cinta remaja dewasa.

"Saya nggak ada hubungannya dengan cita-cita kamu dan Farrel," ujar Zidan cepat. "Saya hanya ingin memastikan bahwa sepertinya semester depan kamu masih akan ada di sini."

Bila melihat dari kapan kemungkinan Esy akan seminar hasil dan sidang, sepertinya ia memang akan menghabiskan satu semester lagi di kampus. Lebih tepatnya adalah semester ganjil yang terakhir.

"Sepertinya, Pak," angguk Esy. "Kenapa, Pak?"

Zidan membuang napas sekilas. "Sepertinya saya kekurangan asdos untuk Rancob semester depan. Nilai Rancob mahasiswa semester kemaren nggak terlalu memuaskan. Memang ada yang dapat A, tapi saya kurang sreg. Dia bukan tipikal mahasiswa yang aktif. Jadi bagaimana? Kamu bisa bantu saya?"

Beberapa saat, Esy hanya bisa melongo. Dalam benaknya, ia bertanya satu hal.

Bagaimana bisa mahasiswa yang ngambil Statistika sampai 4 kali justru diminta jadi asdos Rancob?

"Saya nggak mau mengatakan ini, tapi kamu langganan jadi asdos Biologi kan?"

Esy mengerjap dan melirih singkat. Membenarkan perkataan itu.

"Iya, Pak. Cuma kalau Bapak memberikan saya kesempatan untuk jadi asdos Rancob maka saya akan memastikan mengatur jadwal dengan baik."

"Terima kasih."

*

Pagi yang kesekian kalinya tanpa ada Farrel. Esy cukup berpuas diri dengan satu pesan yang ia dapatkan.

[ Farrel-ku ]

[ Semangat, Sy. ]

[ Berdoa dan tenang. ]

[ Mudah-mudahan semua bakal lancar. ]

Esy sudah menyiapkan semuanya dengan lengkap. Pun sudah mempersiapkan pula dirinya dengan sebaik mungkin. Ia sudah menghubungi demi meminta doa dari Dhian, Nadiem, dan Bara. Ah, tak lupa dengan Cecilia Ananda, pacar sang kakak yang sebentar lagi sah menjadi kakak iparnya.

Tepat pukul delapan, Esy menarik napas dalam-dalam. Ia menatap bergantian pada empat orang dosen yang sudah duduk tepat di hadapannya. Lalu Teguh bersuara.

"Selamat pagi, Esy. Kamu sehat dan siap? Kalau iya, kita akan memulai sidang hari ini."

Esy menguatkan diri. Mengangguk dan menjawab.

"Siap, Pak."

Kata 'siap' bukan hanya sekadar kata-kata belaka. Esy membuktikannya melalui setiap jawaban yang ia berikan. Setiap pertanyaan dari dosen, ia jawab dengan lancar dan tenang.

Pun ketika menjawab, Esy dengan penuh percaya diri menatap dosen. Memberikan keyakinan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan baginya.

"Sekarang saya ingin bertanya topik di luar penelitian kamu," ujar Zidan setelah hampir 150 menit berlalu.

Esy menahan napas di dada. Ia langsung teringat perkataan Farrel.

Ini pasti pertanyaan soal kebangsaan. Ya Tuhan, semoga nggak ditanya yang aneh-aneh.

"Siapa Ibu Negara pertama?" tanya Zidan. "Dengan kata lain, wanita yang menjahit bendera pusaka merah putih."

Langsung saja Esy membuang napas lega. Dalam hati ia berkata.

Bapak nanya siapa Ibu Negara pertama ke orang Bengkulu? Makasih banyak, Pak.

Senyum yang sempat terjeda di wajah Esy, mengembang kembali.

"Beliau adalah Ibu Fatmawati, Pak."

Zidan mengangguk singkat. Ia lantas melihat pada rekannya dan mendapati persetujuan yang serupa.

Dosen sudah memastikan tak ada lagi yang ingin ditanyakan. Esy pun disuruh keluar dari ruang sidang sementara dosen mendiskusikan hasil sidang Esy.

Lima belas menit menunggu di luar, Esy merasa dirinya gemetaran. Keringat memercik di dahi dan yang ada di pikiran Esy kala itu hanya satu. Yaitu, selesai sidang ia akan langsung makan.

Tubuh Esy rasanya lemas. Tenaganya seolah tersedot oleh pertanyaan-pertanyaan selama sidang. Dan ketika ia dipersilahkan masuk kembali, ia pikir akan segera pingsan.

"Esy," ucap Zidan seraya membuang napas panjang. "Kami sudah berdiskusi mengenai nilai kamu. Apa kamu sudah siap dengan hasilnya? Bagus atau buruk, apa kamu siap?"

Esy mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. "Siap, Pak."

"Bagus, tapi ada satu hal yang ingin saya tanyakan sebelum saya memberi tau hasil sidang kamu."

Zidan menaruh berkas penilaian di atas meja. Kedua tangannya naik dan tampak santai ketika lanjut bersuara.

"Apa rencana kamu setelah tamat ini? Kamu sungguh ingin lanjut S2?"

Pertanyaan Zidan menarik respon dari dosen lain. Tampak antusias hingga Diana turut bertanya.

"Kamu ingin lanjut di mana? Sudah ada kampus tujuan?"

Esy tersenyum seraya mengangguk. "Saya rencananya ingin lanjut kuliah ke Seoul National University."

Mata Teguh menyipit. "Pasti karena di sana ada Farrel kan?"

Esy tidak menampik, tapi ia menambahkan di sela-sela tawa Teguh dan Diana.

"Memang, Pak. Cuma bukan karena itu saja. Kebetulan saya juga bisa meraih cita-cita saya dengan lanjut di sana."

"Banyak kampus lain, tapi kamu pilih di sana karena ada Farrel kan?" tanya Teguh lagi. Sepertinya hari pertama OSPEK benar-benar membekas di benak sang dosen.

Untuk itu, Esy tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya mengulum senyum, tepat ketika akhirnya Emi pun turut bersuara.

"Boleh saya tau? Apa cita-cita kamu?"

Esy mengerjap. Sedetik, ia menatap pada Emi. Lantas ia menjawab.

"Cita-cita saya ...."

Tatapan mata Esy berpindah. Pada Zidan yang tampak mengerutkan dahi ketika mendengar jawaban Esy.

"Cita-cita saya nggak masuk akal ya, Pak?" tanya Esy geli. "Sebenarnya saya juga nggak tau apa saya bisa meraih cita-cita saya, tapi ... saya mau mencobanya dulu."

Zidan mendeham. Ia buru-buru menggeleng.

"Nggak ada cita-cita yang nggak masuk akal. Semua cita-cita itu masuk akal dengan catatan bahwa perjuangannya masuk akal."

Sedikit, Zidan memperbaiki posisi duduknya. Dengan arah lurus yang tepat tertuju pada Esy, ia lanjut bicara.

"Kalau kamu mengatakan cita-cita kamu di hari pertama kamu OSPEK maka bisa dipastikan saya adalah orang pertama yang akan menertawai kamu."

Perkataan Zidan membuat semua yang ada di sana tertawa. Bahkan Emi yang jarang tersenyum pun tampak terkekeh samar.

"Sayangnya kamu mengatakan itu sekarang. Setelah saya jadi pembimbing kamu hampir enam tahun," lanjut Zidan. "Jadi bisa dipastikan bahwa saya adalah orang pertama yang percaya kalau kamu pasti bisa meraih cita-cita kamu."

"Benar, Pak?" tanya Esy.

Zidan mengangguk. "Asal semangat kamu terus terjaga seperti ini, kamu pasti bisa. Kalau kamu nanti drop, ingat saja. Bahwa kamu pernah ngambil Statistika empat kali dan berakhir jadi asdos Rancob."

Tentu saja. Itu adalah satu dari rangkaian kehidupan yang tak akan pernah Esy lupakan. Satu perjalanan yang pernah membuatnya menangis, tapi sekarang justru seolah memberi validasi untuknya. Bahwa tak ada yang tak mungkin. Selama ia berusaha tanpa kenal kata menyerah, semua bisa saja terjadi.

Untuk itu, Esy hanya bisa bersyukur. Ia menangis dalam kebahagiaan yang tak pernah terkira. Ia lulus dengan nilai yang memuaskan.

Esy pikir hari itu adalah mimpi. Namun, kenyataan bahwa sang ibu akan segera bertolak demi merayakan kebahagiaan itu memberi bukti. Semua nyata.

Sempat ingin menyerah. Sempat ingin mundur. Bisa dikatakan Esy memilih kemungkinan yang sangat kecil ketika bertahan. Namun, sekarang Esy berulang kali mengucapkan syukur.

Esy memeluk tubuhnya sendiri. Ia tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan.

"Kamu hebat, Sy. Makasih. Makasih karena selama ini selalu kuat. Tapi, ini belum berakhir. Kita bakal berjuang lagi."

Esy menikmati sejenak waktunya untuk beristirahat. Ia liburan dengan keluarga. Bersenang-senang. Namun, ia tidak lupa dengan rencananya.

Memanfaatkan waktu yang ada, Esy pun kursus bahasa Inggris. Ia belajar dengan giat dan di sela-sela itu, ia pun mencoba untuk belajar bahasa Korea. Untungnya, Esy punya rekan belajar bahasa Korea yang handal.

"Annyeong, Oppa."

Tak hanya menyapa, Esy pun memberikan satu lambaian. Berikut dengan senyum manis tatkala wajah Farrel memenuhi layar ponselnya.

"Jangan panggil aku begitu, Sy," geleng Farrel seraya meraba tengkuk. "Rasanya nggak cocok."

Esy tertawa. "Biasanya gitu kan? Cewek-cewek manggil cowok mereka dengan sebutan Oppa."

Refleks, Farrel membeku. Butuh dua detik untuknya mendeham.

"G-gimana persiapan kamu?"

Tawa Esy berubah senyum. Jelas ia tahu kalau Farrel merasa canggung karena keusilannya.

"Lancar. Aku sudah selesai buat proposal penelitian. Besok baru mau aku kasih ke Bu Fatma," jawab Esy.

"Syukurlah kalau begitu. Jadi sekarang kamu sibuk apa?"

"Sibuk perlancar speaking dan belajar bahasa Korea. Aku masih sedikit bingung sama hurufnya, tapi mudah-mudahan aku bisa."

Farrel mengangguk. Ia tak perlu khawatir dengan tekad dan kerja keras Esy. Cewek yang terlihat feminin dan menggemaskan, tapi anehnya punya semangat yang tak kira-kira.

"Cuma ya itu. Aku butuh teman buat latihan," ujar Esy tanpa tedeng aling-aling. "Kamu mau bantuin aku?"

Sebenarnya bukan kali pertama Farrel menjadi teman latihan Esy. Di beberapa kesempatan, mereka kerap menghabiskan waktu demi melancarkan bahasa Korea.

"Boleh."

Esy tampak semangat. Ia mendeham dan memperbaiki sejenak duduknya. Lantas ia bertanya.

"Oppa, ramyeon meokgo gallae?"

Hening sesaat. Lalu tawa Esy pecah ketika dilihatnya ekspresi Farrel berubah. Esy buru-buru menutup mulut.

"Wah!" kesiap Esy. "Kamu tau artinya, Rel?"

Warna merah dengan cepat menguasai wajah Farrel. "Aku udah setahun lebih di sini, Sy. Gimana mungkin aku nggak tau satu dua hal budaya di sini?"

Esy masih tergelak sementara Farrel melototkan mata.

"Kamu jangan yang aneh-aneh."

"Aku cuma main-main saja. Aku pikir kamu nggak tau," kilah Esy geli. "Aku lupa sih kalau kamu udah lama di sana."

"Sekali lagi kamu ngomong aneh-aneh begitu, lihat saja. Aku nggak bakal jemput kamu di bandara."

Esy melongo. "Astaga. Kamu ngancamnya gitu amat. Ntar kalau aku tersesat dan tak tau arah jalan pulang gimana?"

"Biar saja. Biar kamu tau rasa."

Sikap Farrel membuat Esy lupa akan tujuannya semula. Yang ingin belajar, eh malah jadi ingin mengusilinya.

"Ntar kalau aku tersesat, terus malah ketemu In Guk Oppa gimana? Kan kamu yang rugi."

Dahi Farrel mengerut. "In Guk?"

"Iya," angguk Esy mengulum senyum. "Terus aku malah jalan-jalan deh sama In Guk Oppa. Ah, senengnya."

"B-bentar, Sy. Ehm siapa In Guk?"

Sempat mengkhayal bila dirinya benar-benar tersesat dan bertemu dengan Seo In Guk, Esy tak siap dengan pertanyaan polos yang Farrel lontarkan. Alhasil tawa Esy pun meledak lagi. Sementara Farrel? Ia hanya melongo bingung.

"Esy," panggil Farrel lagi. "In Guk siapa?"

Susah payah Esy mencoba untuk menghentikan tawa. "Aku pikir setahun udah lama, ternyata belum terlalu lama ya?"

"Esy," geram Farrel.

Esy semakin terbahak-bahak. Membuat Farrel kembali berkata.

"Oke. Aku beneran nggak bakal jemput kamu di bandara."

Tawa Esy semakin menjadi-jadi. Ia sama sekali tidak gentar dengan ancaman Farrel. Lantaran ia tahu pasti bahwa itu hanya gertakan belaka.

Farrel tidak mungkin setega itu. Bahkan bisa dikatakan ialah orang yang paling bersemangat untuk melihat kedatangan Esy di Negara Gingseng.

Nyaris dua tahun setengah lamanya—walau memang mereka masih bertemu bila Farrel pulang liburan, akhirnya mereka berjumpa lagi dalam suasana yang berbeda. Tepatnya sebelum musim mulai menggugurkan dedaunan.

Di sini, ada sepasang anak manusia yang kembali bersama. Dengan tekad dan perasaan yang terus tumbuh. Mekar dan berbunga tanpa peduli waktu yang terus berputar.

"Akhirnya," lirih Farrel menatap Esy. "Kamu datang juga."

Esy tersenyum. "Makasih sudah mau nunggu."

Bukan hanya menunggu kedatangan Esy di bandara, tapi lebih dari itu. Normalnya pendidikan master selesai dalam waktu dua tahun. Namun, Farrel tidak keberatan sama sekali bila harus melanjutkan doktornya pula.

Itu adalah penantian yang sepadan. Amat setimpal untuk dilalui. Bukan hanya bagi Farrel. Alih-alih Esy pun demikian.

Pada akhirnya, jarak dan waktu bukan hal yang menakutkan bagi keduanya. Lantaran mereka yakin. Satu hari nanti, mereka pasti akan bersama lagi.

*

bersambung ....

Sebenarnya besok cerita ini mau aku tamatkan, tapi karena peraturan lomba maka tamatnya aku undur. Jadinya cerita ini bakal tamat di tanggal 30 November dan besok, libur. Hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top