(83) 8. Air Mata dan Tawa, Itulah Yang Membuat Hidup Bewarna 8
Perhatian: Jangan baca di tempat umum. Aku takut kalian jerit-jerit kayak ABG labil baru ketemu cinta pertama lewat. Hahaha.
Jaga sikap. Jangan senyum-senyum sendiri. Apalagi sampe ketawa, jangan deh. Hahaha.
*
"Farrel?"
Tentu saja Esy bingung mendapati kehadiran Farrel di depan kos sementara kala itu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Ia ingin bertanya, tapi denting ponsel mengalihkan perhatiannya.
[ Mama ]
[ Hati-hati di jalan. ]
[ Jangan lupa pakai jaket, nanti kamu masuk angin. ]
Kebingungan Esy semakin menjadi-jadi. Dari Farrel dan sekarang Dhian?
"Aku mau ajak kamu keluar."
Suara Farrel terdengar dan membuat Esy mengangkat kepala. Ia terlihat semakin bingung.
"Ya?"
"Aku mau ajak makan di luar. Seharian ini kamu sudah bantuin aku," ujar Farrel. "Aku udah pamit sama Tante."
Esy diam sejenak. Lalu barulah ia melirih dengan senyum.
"Oh, gitu."
"Kamu belum makan kan?"
Tentu saja Esy sudah makan. Namun, semua bisa dibicarakan baik-baik bila itu menyangkut ajakan Farrel.
"Belum," geleng Esy dengan senyum yang kian lebar. "Aku belum makan."
Farrel mengangguk sekali. "Ayo."
Esy bersiap dengan cepat. Mengganti baju dan memastikan jaket terpasang di tubuh. Pun ia tak lupa untuk sedikit berdandan. Setidaknya bedak dan lip tint terpasang dengan sempurna hanya dalam hitungan detik yang amat singkat.
"Yuk!"
Tiba di tempat biasa ia dan Farrel sering makan bakso, Esy diam-diam curi pandang. Mengamati ekspresi Farrel demi menebak, apakah suasana hati cowok itu masih buruk atau sebaliknya.
"Kenapa?" tanya Farrel tiba-tiba.
Farrel tentu tahu bila sedari tadi Esy kerap menatapnya. Apalagi 'diam-diam' Esy itu bukanlah 'diam-diam' dalam artian sesungguhnya.
"Ehm," deham Esy penuh irama. "Kamu udah nggak bad mood lagi?"
Sekilas, Farrel menggeleng. Esy pun membuang napas lega.
"Oh, untunglah kalau begitu. Aku pikir kamu masih bad mood."
Sebenarnya Esy ingin bertanya penyebab suasana hati Farrel yang tiba-tiba memburuk setelah sidang tadi. Namun, ia mengurungkan dengan berat hati. Tidak ingin mengambil risiko bila Farrel mendadak kembali suntuk.
Apa ada kaitannya dengan party yang dibuat Dira ya?
Esy mendengarnya dari Bella dan Mia. Menurut mereka acara itu batal. Serta keduanya mengatakan sesuatu yang membuat ia kian penasaran. Yaitu, Dira menangis di ruang sidang.
Membuang napas panjang, Esy menggeleng sejenak. Ia mengenyahkan hal tersebut dari pikirannya dan menikmati makan malam yang kedua itu dengan santai.
Esy dan Farrel sudah di jalan pulang satu jam kemudian. Kerap berbicara topik ringan selama perjalanan, Farrel lantas berkata.
"Kita mampir bentar."
Baru saja memasuki gang kos Esy sejauh lima meter, motor Farrel berbelok. Alih-alih langsung mengantar Esy pulang, ternyata cowok itu memutuskan untuk berhenti sejenak.
Ada satu taman warga yang menjadi tempat pemberhentian Esy dan Farrel. Tentunya tidak dalam keadaan sepi, alih-alih sebaliknya. Di pukul sembilan ada banyak beberapa warga atau mahasiswa yang duduk di sana.
Esy dan Farrel memilih untuk duduk di satu tempat yang kosong. Kebetulan sedikit terpisah lantaran posisinya yang berada di sudut dengan satu pohon mangga rimbun.
"Kamu tau nggak? Katanya di pohon ini ada Kuntilanak loh. Makanya jarang ada yang mau duduk di sini," kata Esy sedikit bergidik ketika Farrel mengajaknya duduk di sana.
Farrel melihat sejenak ke atas. Hanya ada gelap dan daun-daun yang bergemerisik samar. Ia mendengkus geli.
"Kamu nggak tau? Itu cuma gosip cowok-cowok biar nggak ada yang berani ambil buah mangganya."
Esy melongo. "Yang benar?"
Tidak menjawab, Farrel hanya mengedikkan bahu sekilas. Esy mendeham dan melirik cowok itu dengan sorot penasaran.
"Kamu habis sidang ..."
Suara Esy yang beraura misterius membuat Farrel berpaling.
"... kelihatan agak beda."
"Masa?"
Esy mengangguk. "Apa ada kaitannya dengan sidang? Ehm pertanyaannya pada susah ya?"
"Nggak terlalu susah, tapi aku memang gugup," jawab Farrel.
"Ah," lirih Esy penuh irama. "Tadi itu sebenarnya aku tungguin kamu nyanyi lagu kebangsaan, tapi kamu nggak nyanyi apa-apa. Kamu ingat kan? Kak Sella disuruh nyanyi Selendang Sutra pas sidang kemaren."
"Sebagai gantinya Pak Nathan cuma nanya pencipta lagu Indonesia Raya," ujar Farrel.
"Wah! Aku jadi takut. Kita-kira ntar pas aku sidang bakal disuruh ngapain ya?" tanya Esy seraya membuang napas.
Mungkin terkesan berlebihan, tapi Esy sudah merasa gemetaran juga kalau membayangkan sidang skripsinya. Bukan rahasia umum, ia sudah mendengar kabar dari mulut ke mulut bahwa terkadang dosen memberikan pertanyaan di luar topik.
Contohnya, Sella disuruh menyanyikan lagi Selendang Sutra. Di lain waktu, Abid malah harus membacakan teks Proklamasi. Sekarang Esy ketar-ketir. Bagaimana kalau dirinya disuruh membacakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945?
"Salah satu poin penilaian skripsi adalah cinta tanah air."
Esy mengerjap. "Cinta tanah air?"
"Iya," angguk Farrel. "Jadi kamu nanti persiapkan saja semua yang kira-kira bisa ditanyakan dosen."
Berulang kali, Esy mengangguk. Ia akan mengingat hal itu dengan baik di dalam benak walau terasa mengerikan.
Semuanya? Semuanya itu mencangkup apa saja? Apa aku harus buka buku sejarah? Gimana kalau aku ditanya silsilah Bung Karno? Ya ampun.
Memikirkan hal itu di benaknya, Esy tak tau bahwa sedari ada Farrel yang kerap menatapnya. Duduk tepat di sebelah cewek itu, untuk beberapa saat lamanya mata Farrel tak berkedip sama sekali.
"Kayaknya bakal banyak yang harus aku pelajari nanti," ujar Esy seraya membuang napas hingga tanpa sengaja ia menoleh dan mendapati Farrel menatapnya. Ia mengerutkan dahi. "Kenapa?"
Farrel menggeleng kecil. "Nggak apa-apa."
Mengembalikan tatapannya ke depan, Farrel melihat orang tua yang memanggil anak-anak mereka. Hari semakin malam, sudah waktunya untuk pulang.
"Kamu ..."
Farrel mengerjap saat mendengar suara Esy.
"... khawatir sama sidang aku nanti ya?"
Tidak menjawab dengan kata-kata, Farrel hanya menggeleng sekali. Ia tampak mengulum senyum.
"Oh ya?" tanya Esy tak percaya. "Karena di mata aku sekarang kamu kayak lagi khawatir sama sidang aku yang ... entah bakal terjadi kapan."
"Kamu pasti bisa melalui sidang kamu nanti dengan lancar. Sama seperti kamu melalui apa pun selama ini," ujar Farrel.
Mendengarkan perkataan itu, Esy tersenyum sendu. Ia menunduk dan melihat pada kaki.
"Ehm apa iya ya? Sejujurnya aku rada ragu sih."
"Ragu?"
Esy mengangguk. "Selama ini kan ada kamu di dekat aku. Sementara sebentar lagi kamu bakal pergi."
Ucapan Esy membuat Farrel tertegun. Hening pun tercipta. Farrel tidak membalas kata-kata Esy, melainkan hanya bisa berpaling dan melihat padanya kembali.
"Esy."
Esy menghirup udara sedalam mungkin. Demi memberikan kekuatan agar ia bisa mengangkat kembali wajahnya dan balas menatap Farrel. Ia tersenyum, lantas mengatakan sesuatu yang nyaris ia lupakan sepanjang hari itu.
"Farrel," lirih Esy lembut. "Selamat ya."
Farrel bergeming.
"Selamat karena sudah lulus. Selamat dengan gelar baru. Dan selamat meraih cita-cita kamu."
Itu bukan sekadar ucapan selamat biasa. Ada ketulusan, harapan, dan doa yang tersirat di sana. Farrel bisa merasakannya. Ia bisa merasakannya dengan amat jelas.
Farrel mengangguk. "Iya."
"Dan kamu ..."
Esy meneguk ludah. Berusaha untuk bertahan. Mengingat rasa bahagia yang sedang ia rasakan ketimbang meladeni ketakutan yang mendadak saja muncul di benaknya.
"... juga doakan aku. Biar aku bisa kuliah dengan lancar. Biar bisa tamat secepatnya."
Kembali, Farrel mengangguk. "Tentu saja. Aku pasti bakal doakan kamu, Sy."
"Makasih," ucap Esy sembari membuang napas. "Seenggaknya aku harus nge-charge persediaan batre aku sebelum kamu pergi ntar."
"Esy."
Menggigit bibir, Esy memalingkan wajah. Apa yang baru saja ia katakan tadi tidak masuk dalam rencananya. Lidahnya berucap begitu saja. Sungguh! Hanya Esy dan Tuhan yang tahu bagaimana ia berusaha agar tidak menyinggung apa pun soal kepergian Farrel.
Esy buru-buru menenangkan diri. Kembali berpaling dan menatap Farrel dengan senyuman.
"Nggak usah dipikir. Yang penting kamu harus fokus sama persiapan kamu ya?"
Farrel tidak menjawab pertanyaan Esy. Pun sekadar mengangguk tidak pula ia lakukan.
"Farrel?"
Akhirnya, Farrel mengangguk. "Iya. Aku bakal fokus dengan persiapan aku. Kamu nggak perlu khawatir."
"Syukurlah. Aku jadi lega dengarnya."
Percayalah. Tidak selega itu.
Di satu sisi, Esy memang bahagia. Oh, Tuhan. Dia benar-benar bahagia. Untuk kelulusan Farrel, untuk prestasinya, dan bahkan untuk kemungkinan masa depan yang bisa diraihnya.
Esy amat bahagia. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada sekelumit perih yang mendadak hadir. Mengoyak hati Esy dan memberikan nyeri yang tak pernah ia kira.
"Esy."
Farrel tertegun. Esy pasti tak menyadarinya, tapi Farrel bisa melihatnya. Dan ketika Esy sadar maka semua sudah terlambat.
Sebutir air mata jatuh di pipi Esy. Bahkan ia tak mengira bahwa ia akan menangis sampai bulir itu sudah menetes dari matanya.
"Astaga."
Esy buru-buru mengusap air matanya. Ia berusaha tersenyum seraya menggeleng.
"I-ini ...."
Tenggorokan Esy tercekat. Ia nyaris tidak bisa bicara.
"I-ini ... karena aku kelewat bahagia, Rel. Kamu tau kan? I-itu loh. Kalau kita kelewat bahagia, biasanya kita juga nangis."
Esy kembali mengusap air matanya yang kembali jatuh di pipi. Sekali. Dua kali. Namun, mengapa basahnya tidak berhenti juga?
Akhirnya Esy menyerah. Ia tidak bisa berpura-pura untuk benar-benar bahagia ketika yang terjadi adalah sebaliknya. Kebahagiaan yang tengah ia rasa beriringan dengan kenyataan yang tidak ia suka.
"A-aku nggak tau, Rel," ujar Esy terbata. "Aku nggak tau gimana aku ntar kalau nggak ada kamu."
Sampai di sana, tangis Esy benar-benar pecah. Pundaknya berguncang dalam isak yang berusaha merobohkan kekuatan Esy.
"Selama ini kamu selalu ada di dekat aku, Rel. Kamu selalu temenin aku. Walau kamu bilang kamu nggak mau, tapi kamu selalu ada. D-dan sebentar lagi, kamu benar-benar pergi."
Mata Esy terpejam kuat. Menampilkan kilas masa lalu yang tak akan pernah ia lupakan sedari dulu. Bahkan ketika Farrel mengatakan dirinya tak suka, tapi ia tidak pernah menolak keberadaan Esy. Sebaliknya, Farrel pun tetap ada di dekatnya.
Esy bersyukur untuk yang Farrel peroleh. Namun, ia tidak bisa membohongi diri dan perasaannya. Bahwa ia tidak suka dengan perpisahan.
"Aku nggak mau jauh dari kamu, Rel."
"Jadi kamu mau aku tetap di sini?"
Tangis Esy terjeda seketika. Pertanyaan itu membuat Esy mengangkat wajah dan menatap Farrel lekat.
Air mata Esy berhenti mengalir. Tubuhnya menegang dengan rasa tak enak dan ia menggeleng.
"Nggak, Rel, nggak," jawab Esy cepat. Lalu ia sadar dengan apa yang ia ucapkan dan buru-buru meralat. "Aku memang mau kamu tetap di dekat aku, tapi nggak gitu. K-kamu harus tetap lanjut. Kamu harus tetap ambil S2. H-harus. "
Esy langsung mengusap semua air mata di wajah. Rasanya memang sesak, jangan ditanya. Seolah ada tangan yang mencekik tenggorokan dan membuat ia susah bernapas.
Namun, tidak. Esy tidak ingin Farrel keliru memaknai perkataannya.
"Aku memang nggak mau jauh dari kamu, tapi nggak gitu. Kamu harus tetap lanjut. Kamu harus tetap meraih cita-cita kamu."
Farrel diam. Hanya bisa membisu ketika Esy kembali berkata.
"Aku ingin kamu terus melangkah demi masa depan kamu."
Farrel masih diam. Dan itu mendorong Esy untuk bertanya.
"Ya?"
Esy menunggu hingga detik berganti menjadi menit. Namun, apakah Esy sadar bahwa sedari tadi Farrel pun memiliki kesulitannya sendiri? Bahwa cowok itu pun terasa amat sengsara ketika memaksa diri untuk bersuara?
"B-bagaimana kalau sebaliknya, Sy?"
Suara itu terdengar seperti bukan suara Farrel. Seumur hidup, Esy tidak pernah mendengar cicit itu terlontar dari Farrel.
"Maksud kamu?"
Farrel merasakannya. Entah berasal dari mana, tapi getir itu sudah ada. Membuat pahit semua indra perasa. Menghadirkan kesan sesak yang amat menyiksa.
"Bagaimana kalau justru aku yang ragu untuk pergi?"
Ragu tidak pernah ada di dalam kamus kehidupan Farrel. Cowok itu selalu yakin dengan apa yang ia pilih. Esy tahu betul hal tersebut.
Esy menggeleng. "Jangan."
Sejujurnya, Farrel pun tidak ingin ragu. Bahkan sampai pagi tadi ia masih begitu yakin untuk melanjutkan kuliahnya.
Rencana itu sudah disusun matang oleh Farrel. Selepas tamat ia akan fokus melancarkan bahasa Inggris. Pun akan mulai kursus bahasa Korea.
Farrel sudah bertekad. Ia benar-benar akan memasukkan lamaran beasiswa LPDP dan memastikan proposalnya mendapatkan hati dosen di sana.
Tuhan tahu dengan jelas bahwa Farrel sudah bertekad. Namun, Tuhan pula yang tahu bagaimana tekad itu tergerogoti oleh keraguan. Dikit demi sedikit, tatkala Farrel menatap Esy maka keraguan itu semakin mewabah.
"Selama ini aku selalu bertanya-tanya apa rasanya hidup tanpa kamu yang selalu ikutin aku ke mana-mana, Sy," lirih Farrel. "Itu adalah salah satu hal yang ingin aku rasakan, tapi ..." Ia menggeleng. "... sekarang aku pikir sebaliknya."
Dulu, Farrel pernah mengusahakan banyak upaya agar Esy tidak bisa mengikuti dirinya. Ia pun nekat masuk Pertanian. Namun, siapa yang mengira bahwa cewek itu tetap menyusulnya?
Sekarang, aneh. Farrel tahu bahwa kali ini keinginannya benar-benar terkabul. Lantas?
"Kalau aku pergi," kata Farrel. "Kita bakal benar-benar nggak ketemu kan?"
Esy mengangguk. "Tapi, bukan berarti kamu harus mengorbankan cita-cita kamu, Rel."
Tidak, tentu saja tidak. Esy tidak akan membiarkan Farrel mundur hanya karena keegoisannya semata.
"Aku nggak pernah menyerah sama tujuan aku, Rel. Nggak pernah. Dan itu karena kamu. Jadi aku mohon, kamu juga jangan menyerah ya? Kamu harus terus menggapai cita-cita kamu."
Bila ini terjadi pada masa lalu, mungkin saja Farrel akan mensyukurinya. Lantaran ia mendapatkan kesempatan untuk terbebas dari Esy.
Namun, bisa saja tidak. Sekarang Farrel justru menanyakan hal lain. Apa memang ia akan tetap mensyukurinya ketika dulu pun ia memiliki keraguan bahwa Esy tetap bisa menyusulnya?
Mungkin Farrel dulu memang ingin menjauhi Esy. Mungkin juga sebaliknya. Lantaran ia tahu bagaimana tekad Esy akan selalu membuatnya berhasil menyusul dirinya.
"Kamu serius?" tanya Farrel seraya menatap tanpa kedip. "Terakhir kali aku tanya, Sy. Kamu benar-benar mau aku pergi?"
Bila ego Esy yang menjawab, tentu saja ia akan mengatakan keberatannya. Namun, ini adalah Esy dengan ketulusannya yang lantas mengangguk.
"Aku mau kamu pergi, Rel."
Setidaknya Esy bisa membuang napas panjang setelah mengatakan itu. Memang terasa sulit, tapi Esy tidak ingin dirinya membuat Farrel ragu.
"Aku memang nggak mau pisah sama kamu, Rel. Kan kamu tau, aku suka sama kamu. Dari dulu, aku sayang sama kamu. Tapi, mana mungkin aku minta kamu nggak pergi?"
Bagi Esy, Farrel memang dunianya. Farrel adalah segalanya. Pusat rotasi dan gravitasi yang membuat ia berputar untuk terus melesat.
Farrel adalah seorang cowok yang membuat Esy bahagia dalam rasa cinta. Yang orang-orang bilang cinta monyet, tapi Esy melihat bagaimana hidupnya sangat menyenangkan karena rasa itu.
"Baiklah."
Esy tersenyum tatkala melihat Farrel mengangguk.
"Kalau memang itu yang kamu mau, aku bakal tetap pergi," lanjut Farrel dengan yakin. Tak ada sedikit pun getar yang menyiratkan keraguan di sana. "Aku bakal persiapkan semuanya. Aku akan berusaha agar aku benar-benar bisa lanjut S2 di sana."
Senyum di wajah Esy kian melebar. Perasaan dan matanya menghangat, tapi tak apa. Setetes, dua tetes atau tiga tetes air mata tidak jadi masalah bila dibandingkan dengan kebahagiaan yang ia rasakan.
Esy akan melihat Farrel pergi. Melepaskan Farrel yang siap menyongsong masa depannya. Untuk itu, Esy benar-benar bahagia.
"Tapi, aku mau tanya sesuatu."
Esy membiarkan setetes air mata mengalir dan terjatuh di dagu. "Apa?"
Meneguk ludah, Farrel berusaha menyingkirkan semua getir yang masih tertahan di sana. Sorot matanya melembut dan nyaris membuat Esy tak bisa bernapas karenanya.
"Kamu butuh waktu berapa lama?"
Esy mengerjap. "Berapa lama?"
"Iya," angguk Farrel. "Kamu butuh waktu berapa lama untuk nyusul aku?"
Udara tertahan di dada Esy. Tubuhnya membeku. Menegang seketika dengan dugaan bahwa kala itu bumi berhenti berputar.
"F-Farrel."
"Selama ini kamu selalu bisa nyusul aku kan? Selama ini kamu selalu bisa ikuti aku ke mana pun aku pergi kan?"
Tangan Esy naik. Buru-buru membekap mulut ketika isaknya terancam akan pecah.
"Berapa lama?"
Kembali bertanya, wajah Farrel tampak putus asa. Sesuatu yang tak pernah Esy lihat sebelumnya.
"Setahun? Setahun setengah? Dua tahun?"
Isakan Esy teredam. Air matanya mengalir semakin menjadi-jadi. Membuat kabur wajah Farrel dalam pandangannya.
"Kamu bakal nyusul aku kan? Iya kan?"
Esy tidak bisa menjawab. Ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun ketika Farrel kembali mendesak dalam tanya yang serupa.
"Iya kan?"
Akhirnya, hanya satu anggukan yang bisa Esy berikan. Ia mengangguk. Terus mengangguk dalam uraian air mata yang kian menderas.
*
bersambung ....
Gimana? Pada senang kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top