(76) 8. Air Mata dan Tawa, Itulah Yang Membuat Hidup Bewarna 1

Farrel menghentikan laju motor di depan gedung Perpustakaan. Esy turun dan tampak kesusahan ketika harus membawa dua tas penuh berisi buku yang ia pinjam selama ini.

"Kamu beneran nggak butuh bantuan aku?" tanya Farrel seraya turun pula dari motor.

Esy menggeleng. "Nggak. Kan katanya kamu hari ini mau bimbingan sama Pak Nathan. Buruan pergi sana."

Memang, itulah tujuan Farrel ke kampus. Penelitiannya sudah akan selesai. Hanya tinggal sebentar lagi sehingga ia akan lebih sering bertemu dengan Fatma dan juga Nathan demi konsultasi.

Sementara Esy? Oh, cewek itu ada kepentingan lain untuk ke kampus. Seperti sekarang ia berniat untuk mengembalikan beberapa buku yang sempat ia pinjam selama satu semester ini. Didominasi oleh buku-buku Rancangan Percobaan, setidaknya ada sembil buku berukuran tebal yang harus ia kembalikan.

"Ya udah kalau gitu," kata Farrel kembali menaiki motornya. "Nanti kamu chat kalau sudah, biar aku jemput."

Esy mengangguk seraya tersenyum ketika menyadari kedua tangannya yang penuh tidak mengizinkannya untuk melambai.

Setelah Farrel benar-benar menghilang dari pandangan, barulah Esy beranjak. Dengan susah payah ia membawa buku-buku tersebut ke staf Perpustakaan.

"Permisi, Bu," sapa Esy sopan. "Mau balikin buku."

Staf Perpustakaan memutar kursi yang ia duduki. "Kartu anggotanya mana?"

Esy menyerahkan kartu anggota. Membiarkan staf untuk mengeceknya terlebih dahulu. Tak lama kemudian stempel pengembalian sudah tercetak di kartu anggotanya.

"Makasih banyak, Bu. Saya permisi."

Sejurus kemudian Esy beranjak dari sana. Ia menarik napas dalam-dalam dan melihat pada tangga yang biasa ia naiki demi menuju lantai empat.

"Kok rasanya aneh ya? Datang ke sini, tapi nggak baca buku?"

Esy mengerjap. Berpikir cepat dan lantas ia tersenyum.

"Farrel pasti lama kan bimbingannya?" tanya Esy pada dirinya sendiri. "Kalau begitu ... aku ke atas dulu ah."

Esy segera menaruh tas di loker. Mengeluarkan kartu tanda mahasiswa dan segera menaiki tangga. Sesampainya di lantai empat, ia tersenyum lebar. Aroma di sana memang terasa khas dan sudah amat familier di indranya.

Memilih satu buku secara acak, Esy lantas duduk di satu meja kosong. Saat itu suasana Perpustakaan lebih sepi ketimbang biasanya lantaran masa perkuliahan yang sudah selesai.

Hening, sunyi, dan tenteram. Entah sejak kapan Esy menyukai suasana seperti itu. Dengan buku yang membuka, waktu berjalan pun seolah tak terasa olehnya.

Ting!

Satu denting halus membuyarkan fokus Esy. Berasal dari ponselnya yang menandakan ada satu pesan masuk.

Sempat menduga bahwa itu adalah Farrel, ternyata adalah pesan dari Mia yang masuk. Dengan dahi berkerut, ia membaca.

[ Mia Agrotek ]

[ Gila, Sy! Kamu tau? ]

[ Ternyata calon suami Bu Vanessa itu Kak Ryan! ]

Ponsel seketika jatuh dari tangan Esy. Untung sekali mendaratnya di buku yang sedang ia baca.

Esy menutup mulutnya yang menganga. Mata cewek itu melotot, amat syok.

"A-apa?"

Tidak. Esy tidak bisa membaca dengan tenang lagi. Ia perlu detail mengenai informasi tersebut. Alhasil ia segera membalas pesan Mia dengan tangan gemetaran.

[ Mia Agrotek ]

[ Sumpeh lo? ]

[ Sekarang kamu ada di mana? ]

[ Aku ke sana sekarang. ]

Belum mendapat jawaban Mia, tapi Esy sudah bergegas. Ia segera menaruh kembali buku ke rak semula.

Tatkala Esy tiba di lantai dasar Perpustakaan, pesan dari Mia masuk. Esy bergegas mengambil tas di loker dan tak membalas lagi pesan Mia. Alih-alih ia langsung keluar dan berlari menuju Gedung Jurusan.

Kedatangan Esy disambut oleh kehebohan para mahasiswa. Bukan satu, dua, atau tiga mahasiswa. Melainkan semua mahasiswa yang kebetulan berada di Gedung Jurusan merasakan syok yang serupa. Dengan selembar undangan yang ada di tangan, mereka nyaris akan mengalami sakit jantung massal.

"B-Bentar deh. Bu Vanessa, maha dewi titisan bidadari bakal nikah dengan Kak Ryan?"

"Tunggu. Ini benar-benar Kak Ryan?"

"Ya ampun! Lihat ini namanya!"

"Rizki Adryan Wicaksana."

"D-dan lihat foto pre-wed ini, astaga!"

"Aku mendadak mules."

Langkah Esy berhenti. Ia melongok demi melihat pada kartu undangan yang dilihat oleh para mahasiswa. Lalu tiba-tiba ada yang menyambar tangannya.

"Sy!"

Esy berpaling. Melihat pada Bella dan Mia yang wajahnya sama memucat.

"Lihat ini!" acung Bella tepat di depan wajah Esy.

Esy menahan napas. Membaca dengan cepat dua nama yang tertera di undangan dan dengan waktu cepat, wajahnya pun turut memucat seperti temannya.

"I-ini Kak Ryan beneran?"

Bella dan Mia tak menjawab. Alih-alih Mia membuka undangan tersebut. Menunjuk pada satu foto yang membuat Esy berpikir bahwa nyawanya telah melayang.

Ada Ryan dan Vanessa. Berada dalam satu bingkai yang sama. Dengan pose berjauhan, nyatanya senyum Ryan ketika melihat Vanessa yang menunduk tersipu berhasil membuat perut Esy bergejolak.

"Y-ya Tuhan," lirih Esy memeluk perut. "B-bagaimana mungkin dosen idola satu kampus malah nikah sama mahasiswa yang ... yang ... yang ...."

Aduh! Esy tidak tahu harus bagaimana menggambarkan Ryan.

"Ya ... aku tau Kak Ryan pinter dan cakep, tapi ...."

Bella meringis. "Kamu benar."

"Percayalah, Sy," ujar Mia kemudian. "Kayaknya satu kampus yang dapat undangan hari ini pada syok semua."

Rasanya syok saja tidak akan cukup mewakili perasaan Esy kala itu. Ia lebih dari syok dan benar-benar tidak mengira.

"Pantas saja Kak Ryan kelihatan sibuk banget di depot. Ternyata bukan karena ada panggilan kerja, tapi ...."

Angin berembus membuat Esy bergidik. Rasanya seperti ada Kuntilanak yang meniup tengkuknya.

Esy menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menenangkan diri, tapi kenyataan berkata lain. Entah dari mana asalnya, mendadak satu seruan kembali terdengar.

"Nilai Rancob keluar! Buruan cek portal!"

Fenomena aneh mengenai pernikahan Vanessa dengan Ryan di benak Esy langsung tergeser. Pucat di wajahnya terjeda oleh ketakutan yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang.

"Sy."

Esy mengerjap. Ia melihat bergantian pada Bella dan Mia. Agaknya kedua temannya itu sama mengerti ketakutan Esy.

Menarik udara sedalam mungkin, Esy meraih ponsel. Rasa dingin menjalari tubuh dan membuat ia seakan tak bisa merasai apa-apa.

Esy membuka portal akademik. Menggigit bibir bawah, ia lalu menekan laman nilai dan buru-buru memejamkan mata.

Laman nilai terbuka. Bella dan Mia beranjak. Mengapit Esy di kedua sisi. Mereka melihat satu-satunya huruf yang ada di sana.

"Sy," lirih Bella seraya menepuk lembut pundak Esy.

Esy belum sanggup melihatnya. "L-lulus nggak, Bel?"

"K-kamu nggak mau lihat?" tanya Mia sembari meneguk ludah. "Ayo, lihat."

Remasan Mia di pundaknya membuat Esy makin kuat menggigit bibit bawah. Ia menahan napas dan perlahan mulai membuka mata.

Dikit demi sedikit. Pelan-pelan. Mata Esy terbuka kecil dan retinanya segera mencari fokus di sana.

Esy melongo. Kedua matanya telah membuka sempurna dan ia pikir saat itu bukanlah berita pernikahan Vanessa dan Ryan yang benar-benar mengguncang. Alih-alih adalah nilai Rancangan Percobaan.

Setetes air mata Esy jatuh. Ia mengerjap. Berusaha mengusir kabut yang mendadak menghalangi pandangannya.

Esy tidak ingin menangis. Tidak dulu. Setidaknya sampai ia yakin dengan huruf A yang ia lihat.

"Selamat, Sy!" seru Mia. "Selamat."

Ketika mahasiswa sibuk dengan undangan pernikahan Vanessa dan Ryan, di lain pihak ada mahasiswa yang heboh berkat nilai Rancangan Percobaan. Alhasil seruan kebahagiaan Esy, Bella, dan Mia menarik perhatian mereka.

"Yeee!"

"Kamu hebat, Sy. Kamu hebat!"

Tak ubahnya seperti Teletubbies yang kekurangan satu anggota, mereka berpelukan. Ketiganya meluapkan kebahagiaan tanpa menghiraukan keadaan sekitar.

Tatkala pelukan ketiganya terurai, Esy membuang napas dengan wajah berseri-seri. Menggelikan, tapi kala itu ada satu pemikiran yang melintas di benaknya.

Hal penting ketiga dan kedua sudah dapat, sekarang tinggal hal penting pertama.

Merujuk pada perkataan Esy tempo hari bahwa ada tiga hal penting yang ia pedulikan saat ini. Di antaranya adalah calon suami Vanessa dan Rancangan Percobaan.

Esy mengatakan satu dua hal pada Bella dan Mia. Kedua temannya sontak tersenyum menggoda. Namun, tak urung mereka mengangguk.

Beranjak dari sana, Esy segera menuju ruang Nathan. Ia akan menunggu Farrel di lorong.

Oh, Tuhan. Esy sudah tak sabar ingin berbagi kebahagiaan itu pada Farrel.

Esy duduk di lorong dengan perasaan menggebu. Sesekali matanya melihat ke ruangan Nathan.

Daun pintu bergerak. Esy seketika berdiri tatkala ia melihat Farrel keluar dari ruangan Nathan.

Esy tak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadi ia segera beranjak dan menghampiri Farrel.

"Farrel."

Berhenti tepat di depan Farrel, Esy yang tak bisa menunggu lagi segera meluapkan perasaannya.

"Kamu tau? Ternyata calon suami Bu Vanessa itu Kak Ryan. Astaga. Kamu pasti nggak percaya kan?"

Farrel bergeming sementara Esy lanjut bicara dengan penuh semangat.

"Tapi, aku punya kabar yang lebih penting lagi. Ehm ... kamu tau nilai Rancob aku apa?"

Farrel masih bergeming.

"Aku dapat A, Rel!" seru Esy dengan senyum lebar di wajahnya. "Aku dapat A."

Luapan kebahagiaan itu benar-benar membuncah di dada Esy. Nyaris membuat ia memekik saking senangnya. Namun, tunggu. Ada yang aneh di sini.

Senyum dan kebahagiaan Esy terjeda. Itu adalah ketika ia menyadari sikap Farrel yang tak biasanya.

Farrel masih bergeming. Ia tetap diam bahkan untuk kebahagiaan yang Esy rasakan.

"Farrel," lirih Esy pelan. Ia melihat wajah Farrel dan menyadari ada yang berbeda di sana. "K-kamu kenapa?"

Farrel mengerjap. Menatap Esy dengan sorot yang tak bisa cewek itu artikan.

"Esy."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top