(75) 7. Biasakan Dan Akhirnya Menjadi Kebiasaan 12
[ Farrel-ku ]
[ Kamu masih belajar? ]
Esy membuang napas panjang saat membuka pesan Farrel. Masuk sekitar dua jam yang lalu dan ia baru membacanya di pukul setengah tiga pagi.
Farrel pasti sudah tidur. Demikianlah yang Esy pikir. Namun, tak urung juga ia tetap membalas.
[ Farrel-ku ]
[ Ini baru selesai. ]
[ Sekarang aku mau tidur dulu. ]
Esy segera menyambungkan ponselnya ke pengisi daya sementara ia langsung beranjak ke kamar mandi. Sekadar untuk buang air kecil dan cuci muka, setelahnya ia pun bergegas menuju tempat tidur.
Lampu sudah Esy padamkan. Menyisakan cahaya temaram yang berasal dari lampu tidur. Namun, ia tidak langsung terlelap. Alih-alih menatap langit-langit dalam keterbatasan pencahayaan yang ia miliki.
Ya Tuhan. Tolong kasihan ya? Aku udah belajar mati-matian. Aku nggak minta yang muluk-muluk. Asal Rancob bisa lulus saja ... aku udah senang.
Ibarat pertempuran maka itu adalah peperangan terakhir. Peperangan puncak yang akan menentukan semuanya. Apakah Esy akan mengulang atau tidak? Apakah Esy akan lulus atau tidak?
Alhasil tak perlu heran bila semingguan ini Esy belajar dengan begitu giat. Terlebih lagi karena semangatnya semakin berkobar saat mengingat hasil ujian tengah semesternya yang lulus. Pun demikian pula dengan hasil ujian praktikum. Ia hanya perlu berjuang sekali lagi.
Sekali lagi. Tinggal sedikit lagi.
Esy memejamkan mata. Berharap agar tidur tak seberapa itu bisa memberikan kekuatan untuknya bertempur di pukul sepuluh nanti.
*
"Kalkulator sudah. Pensil dan penghapus sudah. Ehm ... ada yang lupa nggak ya?"
Esy memeriksa tas untuk kesekian kali. Dengan penuh ketelitian dan saksama. Lalu ia mengangguk.
"Oke. Semua udah lengkap."
Bertepatan dengan itu ada satu deru motor yang tak asing lagi di telinga Esy. Ia menyempatkan diri untuk becermin dan memastikan penampilannya cukup sempurna pagi itu.
"Farrel."
Sudah ada Farrel di depan kos Esy. Bergeming di atas motor, ia tak mengatakan apa-apa sampai Esy menutup dan mengunci pintu kamarnya. Ia baru bersuara ketika Esy telah berjalan menghampirinya.
"Kamu tidur jam setengah tiga?" tanya Farrel dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Esy mendeham. "Atau mungkin jam tiga ya? Pokoknya sekitar itulah."
"Kamu sudah sarapan?"
"Sudah," angguk Esy seraya tersenyum. "Kamu tenang, Rel. Aku baik-baik saja kok."
Farrel tahu Esy baik-baik saja. Setidaknya kantung mata Esy kali ini tidak sebesar saat mereka semester dua dulu. Lebih dari itu, Farrel pun menyadari bahwa hanya satu yang bisa membuat Esy tidak baik-baik saja untuk sekarang. Yaitu, nilai akhir Rancangan Percobaan.
"Bantu doa ya, Rel? Doakan aku biar bisa tenang kerjain soal Pak Zidan nanti," ujar Esy sesampainya di depan Gedung Kuliah.
Farrel mengangguk. "Udah telepon Tante?"
"Ntar rencananya di kelas saja."
"Iya, pokoknya jangan lupa telepon Tante," kata Farrel seraya membuang napas. "Dan kamu jangan terlalu grogi. Tenang saja."
Mengangguk sekali, Esy lantas beranjak dari sana. Ia masuk ke Gedung Kuliah dan langsung menuju ke ruang ujian.
Esy memilih kursi di depan. Tepat berhadapan dengan meja dosen pengawas. Kala itu suasana ruangan masih cenderung sepi dan Esy pun memanfaatkannya untuk menghubungi Dhian.
"Ma," lirih Esy dengan suara bergetar. "Aku takut, Ma."
Di seberang sana terdengar samar tarikan napas Dhian. "Mama doakan kamu di sini, Sy. Jadi kamu nggak perlu takut ya?"
Esy tahu dirinya sudah belajar mati-matian. Namun, itu tidak cukup membuat dirinya tenang. Lihat saja. Tangannya sekarang gemetaran.
"Aku cuma mau lulus, Ma. Aku nggak berharap nilai tinggi."
"Iya, Mama tau. Kamu sudah belajar dengan rajin dan Mama doakan di sini. Mudah-mudahan semuanya lancar."
"I-iya," ujar Esy terbata.
"Kamu jangan lupa berdoa. Kerjakan dengan teliti dan kamu harus tenang," pesan Dhian.
"Iya, Ma."
Saat Esy mengatakan itu, telinganya mendengar keriuhan dari pintu. Tampak beberapa orang mahasiswa masuk terburu. Dari mereka ada yang berkata.
"Bapak datang."
"Ayo ayo! Bapak sudah datang."
Esy meneguk ludah. "Ma, sudah dulu ya? Bapaknya sudah datang."
"Iya. Semoga sukses ya, Sy. Mama selalu doakan kamu. Kamu nggak perlu khawatir."
Panggilan itu berakhir. Esy segera menonaktifkan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Ia bergegas bersiap sebelum Zidan berdiri di belakang meja.
"Selamat pagi," sapa Zidan.
"Selamat pagi, Pak."
Zidan memandang sekeliling. "Semua yang tidak berhubungan dengan ujian, silakan disimpan. Di atas meja hanya ada alat tulis dan kalkulator. Tidak ada kotak pensil ataupun catatan lainnya. Untuk setiap kecurangan akan saya beri nilai nol dan tidak ada dispensasi apa pun. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Pak."
Semua mahasiswa segera melakukan perintah Zidan. Hanya ada pena, pensil, penghapus, dan kalkulator di atas meja. Bahkan kotak pensil pun tidak diperbolehkan karena jelas Zidan hapal dengan baik kebiasaan mahasiswa nakal.
"Bila kalian ingin kertas coret-coret, kalian bisa gunakan bagian belakang lembar soal. Atau bila kurang, bilang ke saya. Setiap bentuk komunikasi dengan sesama mahasiswa selama ujian akan mendapat pengurangan lima poin."
Esy menarik napas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia sudah hapal aturan ujian Zidan. Jadi ia tak benar-benar menyimak, alih-alih ia hanya membaca doa di dalam hati.
Tenang, Sy, tenang. Semua pasti bakal baik-baik saja. Mudah-mudahan kamu bisa dapat B.
Berbekal nilai ujian tengah semester yang mendapat 85, Esy berharap nilai Rancangan Percobaannya minimal dapat B. Bukan merasa rendah diri, tapi materi setelah ujian tengah semester menjadi lebih sulit.
Alhasil tak heran bila Esy mengerjakan ujian dengan begitu perlahan. Diawali dengan menggunakan pensil, ia menjawab untuk yang pertama. Setelah semuanya selesai maka ia akan mengerjakan untuk kedua kalinya. Demi memastikan bahwa ia tidak keliru menjawab.
"Bagaimana?"
Suara Zidan terdengar dan membuat Esy mengangkat wajah. Sang dosen bertanya lagi.
"Ada yang sulit?"
Esy meringis. "Saya bahkan nggak tahu bagian mana yang sulit, Pak. Di mata saya semuanya memang sulit semua."
Zidan geleng-geleng kepala. Ia beranjak dari sana dan kembali mengitari ruangan. Dengan dibantu oleh empat orang mahasiswa, ia mengawasi ujian itu dengan teramat ketat.
"Itu yang pakai kemeja hitam, ada apa? Kalau kamu ada yang kurang mengerti, tanyakan ke saya."
Teguran Zidan membuat mahasiswa bersangkutan meneguk ludah. Buru-buru memperbaiki duduknya.
"Nggak, Pak."
Zidan kembali melangkah. "Waktu masih ada setengah jam lagi. Manfaatkan untuk mengerjakan ujian kalian. Bukan untuk tanya ke kanan ke kiri. Mereka nggak akan tau jawaban punya yang lain."
Itu karena Zidan menerapkan sistem NPM. Pada satu soal yang sama, ia akan mengosongkan satu angka. Di mana angka yang kosong itu akan diisi oleh dua digit terakhir NPM tiap mahasiswa.
Sistem itu akan meminimalisir kecurangan karena setiap mahasiswa mendapat soal yang sebenarnya berbeda. Namun, Zidan tetap saja heran. Mengapa masih ada mahasiswa yang sibuk toleh ke mana-mana?
Waktu ujian berakhir. Semua lembar soal dan jawaban telah berkumpul menjadi satu di tangan Zidan. Untuk itu, Esy lalu membuang napas panjang.
"Akhirnya," lirih Esy lesu. "Penderitaan aku berakhir."
Zidan sudah keluar dari ruangan. Berikut dengan beberapa mahasiswa pula. Menyisakan Esy dan beberapa mahasiswa lainnya yang masih duduk sekadar untuk melepas lelah sejenak.
"Ya Tuhan. Terima kasih. Terima kasih."
Esy membasahi tenggorokannya yang kerontang. Berkat rasa takut karena setiap pergerakan akan menarik curiga Zidan, alhasil Esy tidak minum selama dua jam lamanya.
"Terima kasih karena aku masih hidup ya, Tuhan."
Sekarang, Esy hanya perlu menabahkan hati. Untuk setiap hasil akhir yang akan ia dapatkan nanti, hanya satu harapannya. Yaitu, ia tidak perlu mengulang.
Cukup lulus. Lulus mepet pun tak apa.
Namun, sepertinya Esy harus menyadari sesuatu. Bahwa demikianlah takdir terkadang bekerja. Kerap memberikan kenyataan di luar keinginan.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top