(7) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 2
"Farrel!"
Esy melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan ketika para mahasiswa baru dan senior melihat padanya, ia tetap berlari. Menuju pada seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Farrel orangnya.
Itu adalah hari keempat OSPEK. Waktu yang lebih dari cukup untuk semua orang mengetahui satu kebiasaan yang melibatkan dua mahasiswa baru tersebut. Bahwa Esy akan selalu memanfaatkan waktu sedikit apa pun itu untuk menghampiri Farrel. Sementara itu Farrel pun akan selalu memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun itu untuk menghindari Esy.
Namun, terlambat. Ketika Farrel baru ingin bangkit dari duduknya dan bermaksud untuk pindah, Esy sudah tiba. Duduk tepat di hadapannya dan menahan tangan cowok itu.
Esy tersenyum lebar seperti biasanya. "Kita makan bareng."
Tidak ada indikasi penawaran atau permisi dari perkataan Esy. Sama seperti biasa. Dan akhirnya sama seperti biasa pula Farrel hanya bisa membuang napas panjang.
Sepertinya harapan Farrel untuk bisa beristirahat dengan tenang di siang itu adalah sesuatu yang muluk. Bahkan ketika mayoritas para mahasiswa baru terlihat lelah karena harus berkeliling kampus, Esy terlihat masih penuh semangat. Saking semangatnya ia pun tak segan membuka makan siang Farrel. Layaknya ia yang tengah membantu cowok itu, Esy berkata.
"Ayo, makan. Biar kamu nggak lesu lagi."
Farrel memilih untuk tidak mendebat. Langsung memulai makan siangnya. Bukan karena ia merasa tersentuh dengan perhatian Esy. Bukan sama sekali. Alih-alih karena ia tidak ingin menarik lebih banyak perhatian dari orang-orang.
"Wah!"
Sepertinya perhatian orang-orang sudah terlanjur tertarik. Itu dibuktikan dengan kehadiran beberapa orang senior yang langsung turut duduk di dekat Esy dan Farrel.
"Edelweis dan Flamboyan ini selalu bareng ya?"
"Bener kalian nggak pacaran?"
Farrel mengangkat wajah. Mendapati bahwa ada Abid dan teman-temannya yang sudah mengelilingi mereka. Bukan hanya Sella dan Indri, tapi ada juga Ozy, Mona, dan Farhan. Mereka persis seperti kumpulan power rangers yang tengah menghadapi alien.
Namun, Farrel berani bersumpah. Dirinya bukanlah alien. Entah kalau Esy. Dengan sifatnya itu mungkin bisa jadi ia adalah alien.
"Kalau aku perhatiin kalian ini selalu bareng. Ke mana-mana selalu sama-sama. Ehm ... aku jadi nggak yakin kalau kalian cuma tetanggaan."
"Bener. Aku sama tetangga aku nggak pernah gitu. Bahkan aku sampe nggak tau siapa aja tetangga aku."
Suara tawa pecah. Mereka kompak meledek Ozy.
"Parah!"
Ozy cengar-cengir. Mengabaikan ledekan yang tertuju padanya, ia kembali bersuara.
"Jadi ... gimana? Kalian nggak mau jujur kalau kalian pacaran?"
Farrel melirik pada Esy. Cewek itu tampak mengulum senyum. Berbeda dengan dirinya yang merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Esy justru terlihat santai saja. Sama sekali tidak terganggu sedikit pun dengan tudingan yang sudah mereka dapatkan selama empat hari itu.
"Kami memang nggak pacaran, Kak," jawab Esy kemudian. "Kami berani sumpah deh."
Mona mengerutkan dahi. Tampak tak percaya. "Kalau nggak pacaran ... kenapa kalian bareng terus? Lihat ini. Kamu sampe nyamperin Flamboyan buat makan bareng."
Perkataan Mona membuat Esy tersenyum malu-malu. Tapi, ia justru seperti tanpa malu ketika menjawab pertanyaan itu dengan jujur.
"Sebenarnya aku suka Flamboyan. Tapi, aku ditolak."
Wajah Farrel memerah seketika. Bertepatan dengan kesiap kompak yang meledak di sana.
"Wah!"
"Cuma ... ya aku masih suka deketin dia. Makanya aku selalu ikutin dia ke mana-mana. Bahkan sama temen SMA dulu aku dijuluki Permen Karet Farrel. Karena aku terus ikutin dia kayak permen karet yang nempel di sepatu."
Menuntaskan penjelasannya, Esy tak lupa melebarkan senyumnya. Hingga membuat sepasang matanya nyaris menghilang. Tak peduli bagaimana wajah Farrel yang sudah amat mengelam.
"J-jadi kamu ditolak?" tanya Sella. "Flamboyan nolak kamu?"
Esy mengangguk. "Udah lama sih, Kak, ditolaknya. Ehm ... pas perpisahan SMP."
Farrel memejamkan mata dengan dramatis. Ia tidak ingin melihat kenyataan. Terlebih lagi dengan rasa panas dan kaku di wajahnya, sepertinya ia tidak bisa bertahan lagi.
Farrel dengan cepat menuntaskan makan siangnya. Membuat suasana cair di meja itu berubah. Tergantikan oleh longoan dengan sorot menggoda.
"Eh? Flamboyan, kamu mau ke mana?" tanya Indri.
Asal, Farrel pun beralasan. "Mendadak sakit perut. Aku permisi, Kak."
Tuntas mengatakan itu, Farrel pun dengan segera bergegas. Beranjak dan tampak langsung menuju ke toilet. Mengabaikan semuanya. Termasuk dengan kekhawatiran Esy.
"Rel! Kamu sakit perut? Rel!"
Esy bangkit dari duduknya. Melihat Farrel yang tak lama menghilang dari pandangannya, ia jelas terlihat khawatir.
"Biasanya Farrel minum obat apa ya kalau diare?" tanya Esy pada dirinya sendiri. "Apa aku tanyain Tante aja ya?"
Sepertinya hanya Esy yang panik. Itu terbukti dari kekehan samar yang tak mampu ditahan oleh para senior itu. Membuat Esy kebingungan melihat pada mereka.
"Ya ampun, Edelweis! Kamu nggak ngeuh?"
Esy mengerjap. Tapi, belum lagi ia sempat menjawab pertanyaan Mona, tukasan Abid pun langsung menyusul.
"Flamboyan itu nggak sakit perut. Dia cuma mau kabur aja dari sini."
"Kabur?"
Esy meresapi satu kata itu. Dan ia membutuhkan waktu setidaknya tiga detik untuk memahami maksud Abid. Pada akhirnya ia hanya bisa meringis.
"Oh."
Melirih singkat, Esy pun memilih duduk kembali. Di wajahnya terlihat kelegaan.
"Untunglah. Ternyata Farrel nggak sakit perut," ujar Esy lagi. "Padahal aku udah khawatir."
Kelegaan Esy dan ekspresi syukur di wajahnya membuat para senior itu kompak melongo. Kekehan yang sempat terdengar, menghilang seketika. Tergantikan mimik tak percaya.
"Edelweis."
Para senior dengan cepat mengambil posisi. Kali ini benar-benar mengelilingi Esy. Dengan tubuh yang sedikit mencondong padanya, Esy bisa melihat ada yang berbeda dari cara senior-senior itu menatapnya.
Mata Esy mengerjap berulang kali. Ditatap sedemikian rupa membuat ia jengah pula.
"A-apa, Kak?"
Yang pertama bersuara adalah Sella.
"Flamboyan sering kayak gini sama kamu?"
Esy tidak mengerti maksud pertanyaan itu. "Maksud Kakak?"
"Cuekin kamu," terang Mona. "Ngindarin kamu."
"Ah, itu ...," lirih Esy cengar-cengir. Ia mengangguk. "Memang Farrel sering gitu. Kalau aku dekatin dan kebetulan dia lagi bete', biasanya sih dia memang bakal kabur."
"Dan untuk itu kamu masih suka dia?"
Esy beralih pada Indri. Tanpa ragu, ia kembali mengangguk. "Iya, Kak. Mau gimana lagi? Aku udah suka banget sama dia."
Sella, Indri, dan Mona saling bertukar pandang. Tampak sorot prihatin dari mata mereka. Sepertinya mereka merasa sedih dengan kenyataan itu.
"Miris nggak sih?" tanya Indri dengan suara lirih. "Masa udah ditolak, tapi masih ngejar-ngejar?"
Sella dan Mona kompak mengangguk.
"Apa kamu nggak merasa malu?"
Esy merenungkan pertanyaan Mona. Tapi, ia menggeleng.
"Buat apa aku malu, Kak? Aku udah sering memalukan di depan Farrel. Waktu aku dimarah Mama, kadang itu di depan Farrel. Waktu aku dikejar anjing, juga di depan Farrel. Waktu aku disetrap guru, juga di depan Farrel."
Penjelasan Esy membuat seniornya itu kompak melirih lagi. Tampak maklum seraya angguk-angguk.
"Kan? Aku jadinya udah nggak punya malu lagi di depan Farrel."
Untuk kesimpulan tersebut, Esy tidak mendapatkan tanggapan apa pun lagi dari seniornya. Mereka hanya membuang napas panjang dan tampak maklum.
"Aku doakan semoga kamu berhasil meluluhkan hati Flamboyan."
Kali ini adalah Abid yang berbicara. Sekilas, ia tampak berdecak.
"Sekeras apa pun cowok ... masih ada kemungkinan buat luluh."
Itu jelas adalah dukungan yang benar-benar Esy butuhkan. Matanya tampak berbinar-binar.
"Makasih, Kak," ucap Esy. "Makasih banget untuk dukungannya, Kak. Aku nggak bakal melupakan kebaikan Kakak."
Kebahagiaan Esy untuk dukungan yang ia dapatkan berbanding terbalik dengan sikap teman-teman Abid. Mereka justru melihat cowok itu dengan tatapan curiga.
"Tumben kamu sok bijak gitu, Bid. Aneh. Malah buat aku merinding gini," ujar Farhan seraya mengusap tekuknya.
Abid mencibir. "Aku tuh memang dasarnya bijak kok. Kalian aja yang nggak beruntung melihat kebijksanaan aku."
Mereka pun tertawa mendengar perkataan penuh rasa percaya diri Abid. Hingga Sella menyeletuk.
"By the way, Bid. Aku perhatiin berapa hari ini kamu jadi duda ya? Istri kamu ke mana?"
Bola mata Esy membesar. "Istri? Kakak udah nikah?"
"Semprul!" tukas Abid pada Sella. Ia lantas beralih pada Esy. "Belum. Aku masih singel."
"Edelweis, jangan percaya. Dia udah nikah. Nama istrinya Ryan. Itu kalau siang. Tapi, kalau malam jadi Ryanti," celetuk Ozy seraya tertawa.
Esy paham. Dan ia turut tertawa bersama dengan seniornya itu.
"Istri apaan sih?" gerutu Abid. Tapi, ia tidak tersinggung sama sekali. Alih-alih ia justru menjelaskan. "Ryan lagi sibuk. Pagi tadi dia ada wawancara beasiswa. Dia udah ngebet mau buka depot bunga."
Indri mengangguk. "Oh, Ryan lagi sibuk. Pantas sih. Kalau ada Ryan kan nggak mungkin kamu gabung di sini."
"Ya anggap aja cari suasana baru. Sebelum aku sumpek lagi ngadepin dia."
"Parah!" tukas Farhan. "Istri sendiri dibilangin gitu. Hati-hati loh. Ntar beasiswanya cair, kamu nggak ditraktir dia."
"Wah! Kamu bener juga."
Interaksi yang mengalir apa adanya itu membuat Esy tidak henti-hentinya tertawa. Bahkan tidak jarang pula ia ikut bergabung dalam gurauan seniornya itu. Membuat beberapa pasang mata yang berada di sana sesekali melihat ke meja mereka. Terlebih lagi mata para mahasiswa baru yang tampak merasa aneh.
Bagaimana mungkin seorang mahasiswa baru bisa dengan cepat akrab dengan para senior? Bahkan bersendau gurau layaknya mereka telah berteman lama?
Dan di antara mahasiswa baru yang berpikir demikian, ada Farrel yang turut merasa aneh. Cowok itu berdiri di seberang sana. Sedikit bersembunyi, tapi matanya lekat melihat pada Esy.
Farrel membuang napas panjang. Hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Esy yang tertawa-tawa dengan amat santai bersama para senior.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top