(68) 7. Biasakan Dan Akhirnya Menjadi Kebiasaan 5

Farrel udah selesai belum ya buat medianya?

Pertanyaan itu menggema di benak Esy tepat ketika Vanessa menutup praktikum siang itu. Praktikan keluar dari ruang praktikum dengan tertib.

Setelahnya Vanessa dan Esy keluar pula, menuju ruangan sang dosen. Esy membawa lembar kerja praktikum mahasiswa dan menaruhnya di atas meja Vannesa.

"Makasih, Sy."

Esy mengangguk. "Sama-sama, Bu. Saya permisi."

Keluar dari ruang Vanessa, Esy segera bergegas menuju ruang laboratorium kultur jaringan. Mengingat saat itu sudah jam dua belas siang maka Esy berpikir untuk menemui Farrel. Mungkin mereka akan pergi makan. Lagi pula Farrel tentu harus istirahat juga kan?

Esy masuk ke ruang kultur jaringan. Melepas sepatu dan tas, ia tak lupa membilas tangan dengan cairan pembersih tangan.

Melewati lorong, Esy melihat ke kanan dan kiri berulang kali. Menembus kaca yang ada di pintu untuk mencari keberadaan Farrel.

Langkah kaki Esy berhenti. Ia bisa melihatnya. Farrel sedang bekerja di laminar air flow. Sedikit melongok, ia dapati Farrel tengah melakukan sub kultur.

Apa buat bahan tanamnya?

Esy menduga demikian walau bisa saja Farrel sedang mengerjakan yang lain. Alhasil ia beranjak dari sana. Tidak berniat untuk mengganggu Farrel yang tengah bekerja.

Aku ke Perpus aja deh.

Mengingatkan diri untuk tidak lupa mengirim pesan pada Farrel, Esy pun menuruni lantai dua Gedung Jurusan. Ia keluar dari pintu belakang dan memutuskan untuk lewat jalan setapak penghubungi Gedung Jurusan dan Gedung Kuliah. Dari sana ia langsung menuju ke Perpustakaan.

"Esy?"

Melewati parkiran Gedung Kuliah yang kala itu sepi mengingat perkuliahan siang telah dimulai, Esy mendapati Radit menegurnya.

"Sendirian?" tanya Radit. "Mau ke mana? Farrel mana?"

Esy tidak heran bila Radit memberondongnya dengan tiga pertanyaan sekaligus. Biasanya selalu ada Farrel bersama Esy.

"Iya. Farrel lagi di leb kultur. Jadi aku mau nunggu dia di Perpus saja."

Radit sedikit beranjak di atas motornya. Kebetulan ia memang akan pergi dari sana.

"Aku antar deh. Sekalian aku juga mau keluar."

Esy menggeleng. "Perpus udah di depan mata kok. Tanggung."

Apa yang dikatakan oleh Esy memang benar. Gedung Perpustakaan hanya tinggal menyeberang dan berjalan sekitar sepuluh meter. Rasanya justru aneh kalau ia menerima tawaran Radit.

Namun, sepertinya Radit berpikir sebaliknya. Terbukti dari ekspresi wajahnya yang berubah.

"Kamu takut nggak mau karena khawatir Farrel cemburu?" tanya Radit seraya menyipitkan mata.

"Cemburu?" balik bertanya Esy. Ia memutar bola mata dan mendengkus geli. "Farrel nggak bakal cemburu. Lagi pula aku bukannya khawatir dia cemburu. Masalahnya ..." Ia menunjuk. "... Perpus itu udah dekat. Kalau kamu mau antar aku, harusnya dari Jurusan tadi."

Radit diam sementara Esy tersenyum biasa-biasa saja setelah panjang lebar bicara.

"Atau ..."

Suara Radit terdengar perlahan dan terkesan tak yakin. Esy menelengkan wajah ke satu sisi, menunggu perkataan Radit.

"... kamu lagi hindari aku? Gara-gara yang dulu?"

Kali ini bukan hanya wajah Radit yang berubah, alih-alih Esy pula. Ia mengerjap, bingung dan tak tahu harus bicara apa.

"Kamu tau? Selama ini aku masih suka sama kamu."

Esy melongo. Ia seketika membeku dengan pengakuan yang tak terduga. Di parkiran Gedung Kuliah, tengah hari bolong, dan ia belum makan siang. Esy gelagapan.

"O-oh, i-itu ... se-sebenarnya—"

"Sesuka itu ya kamu sama Farrel?"

Gelagap Esy hilang. Tergantikan senyum dan angguk pasti. "Iya. Lebih dari yang orang pikir."

Persis seperti yang Radit renungkan belakangan ini. Ia bingung dan sangat tidak mengerti.

"Bagaimana bisa kamu sesuka itu sama Farrel? Dari dulu sampai sekarang?" tanya Radit. "Sementara dia nggak pernah pedulikan kamu?"

"Dia peduli sama aku, Dit. Dari dulu dia selalu peduli sama aku. Dan karena kepeduliannya itu kenapa aku bisa sampai suka sama dia."

Radit mungkin akan mendebat perkataan Esy, tapi cewek itu melanjutkan ucapannya dengan cepat.

"Jadi kamu nggak usah suka sama aku. Khawatirnya ntar kamu malah kehilangan orang yang juga peduli sama kamu."

Di mata Radit, itu hanyalah bentuk halus dari penolakan yang kesekian. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa memaksa Esy.

"Oke, Dit. Kalau gitu, aku ke Perpus."

Tuntas mengatakan itu, Esy beranjak. Radit hanya mengangguk sekilas melepas kepergian Esy acuh tak acuh.

Berjalan meninggalkan Radit, pandangan Esy melayang ke seberang sana. Tepatnya di satu pohon rindang yang dihiasi kursi taman. Ada beberapa cewek yang berkumpul.

Esy mengangkat tangan dan melambai. Di sana, Laura membalas lambaiannya.

Hanya butuh sepuluh menit untuk Esy duduk di perpustakaan. Menempati satu meja kosong dengan beragam buku Rancangan Percobaan, ia mulai belajar. Esy nikmati angka-angka di tabel sehingga ia lupa bahwa ia belum mengirim pesan pada Farrel.

*

"Bagaimana? Sudah?"

Farrel mengawali jawabannya dengan satu anggukan. "Sudah, Bu. Anggrek Kak Ryan sudah saya sub kultur tadi. Memang sudah penuh sih."

"Terima kasih," ujar Fatma. "Sebenarnya saya sudah mau mengerjakannya dari seminggu yang lewat, tapi kerjaan saya sedang banyak. Sekali lagi terima kasih."

"Iya, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu."

Farrel keluar dari ruang Fatma setelah bersalaman dengan dosen pembimbing akademik yang juga menjadi pembimbing pendamping skripsinya. Ia menyusuri lorong dan merogoh saku.

Esy ke mana? Praktikum sudah selesai dan dia nggak ada samperin aku ke leb. Juga nggak kirim chat.

Langkah Farrel berhenti. Berniat untuk menghubungi Esy, tapi sekelumit senyum muncul di wajahnya.

Dia pasti ada di Perpus.

Tak berpikir dua kali, Farrel langsung melajukan motor ke Perpustakaan. Setelah menaruh tas di tempat penitipan tanpa lupa membawa kartu tanda mahasiswa, ia masuk.

Farrel tidak mengecek lantai Perpustakaan satu demi satu. Alih-alih ia langsung menuju ke lantai empat. Yaitu, lantai tertinggi yang biasanya sepi.

Mahasiswa cenderung menghindari lantai empat. Lantaran tangganya yang banyak dan suasananya yang sepi, terkadang membuat takut sebagian orang.

Tepat ketika kaki Farrel menginjak lantai empat, matanya langsung menemukan Esy. Persis seperti dugaan Farrel bahwa Esy tengah belajar di sana.

Farrel tidak akan mengganggu. Bukan hanya karena tidak ingin mengganggu konsentrasi Esy yang sedang belajar, melainkan ada hal lain.

Pelan-pelan dan perlahan, Farrel melangkah. Menuju pada rak buku yang tersusun rapi. Ia bisa saja beralibi sedang menjadi materi untuk penelitian bila nanti Esy memergoki dirinya.

Farrel berhenti. Tepat di antara buku-buku yang menciptakan celah seadanya untuk Farrel. Agar ia bisa melihat wajah serius Esy tatkala fokus belajar. Agar ia bisa mengambil ponsel dan menekan simbol kamera.

Hanya butuh dua detik, lalu Farrel beranjak dan memasukkan kembali ponsel ke saku. Ia keluar dari Gedung Perpustakaan berbekal satu buku kultur jaringan yang sudah ia pinjam sebelumnya.

*

bersambung ....

Aku gemes loh. Kok kalian ga sadar kalau Farrel tuh juga suka sama Esy dan dia khawatir Esy abai dengan kehidupannya sendiri. Padahal dari awal Farrel tuh perhatian loh. Dia panik pas Esy sakit, dia langsung tutupi wajah Esy pas lagi nangis, dan banyak lagi yang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top