(66) 7. Biasakan Dan Akhirnya Menjadi Kebiasaan 3

"Farrel mau seminar proposal, itu artinya dia bakal tamat bentar lagi kan?"

Ucapan Radit kala itu berputar lagi di benak Esy. Menghadirkan ketakutan yang sempat ia singkirkan, tapi sekarang hadir lagi.

Tidak. Esy bukannya tidak senang dengan pencapaian Farrel. Sungguh! Beberapa saat yang lalu, ia adalah gadis paling bahagia di dunia ini. Dan alasan kebahagiaannya adalah seminar proposal Farrel berlangsung dengan sukses.

Farrel mendapati tepuk tangan meriah dari semua mahasiswa. Ia pun dipuji oleh semua dosen. Untuk itu, hanya Tuhan dan Esy yang tahu betapa bahagia dirinya. Namun, pemandangan itu berhasil menampar Esy.

Lagi-lagi, tidak. Esy bukan sekadar cemburu pada Dira. Pada kenyataannya Esy tahu Farrel lebih mendahulukannya untuk beberapa kesempatan.

Esy bisa merasakan kepedulian Farrel, satu hal yang membuat dirinya tetap bertahan hingga sekarang. Esy bisa merasakan bentuk perhatian Farrel, satu hal yang membuat dirinya tetap berharap hingga sekarang.

Namun, ada kenyataan yang membuat mengguncang dunia Esy. Bahwa dirinya benar-benar tidak sebanding dengan Farrel.

Menyaksikan percakapan Farrel dan Dira tadi sungguh membuat rasa rendah dirinya muncul lagi. Memperlihatkan fakta bahwa ia dan Farrel benar-benar bagai langit dan bumi.

B-bagaimana mungkin Farrel yang cakep, pintar, dan baik hati mau sama kamu, Sy?

Esy sudah berhasil mengubur pertanyaan semacam itu sejak dulu. Dimulai dari Esy mengenal perbedaan nyata di antara mereka, ia menenggelamkan rasa rendah diri itu. Namun, tak urung juga pikiran negatif tersebut memunculkan diri kembali.

"Esy."

Satu suara membuat Esy refleks menghentikan langkah kaki. Berniat untuk segera keluar dari Gedung Jurusan melalui pintu belakang, ia tak mengira bahwa akan bertemu dengan Nathan di lorong.

Nathan mengerutkan dahi. Di balik lensa kacamatanya, ia menatap khawatir pada Esy.

"Kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit?"

Esy buru-buru menggeleng. Mengerjap, mencoba untuk mengusir panas di matanya. Pun berusaha tersenyum walau sembari menahan perih di dada.

"Nggak, Pak. Saya sehat," jawab Esy.

Nathan sedikit ragu, tapi akhirnya ia mengangguk. "Baguslah kalau begitu," ujarnya. "Sebenarnya saya ada yang mau ditanyakan sama kamu."

"Apa, Pak?"

"Semester ini apa kamu sudah mulai penelitian? Soalnya ada dua jadwal praktikum Biologi yang belum dapat asdos. Selasa dan Rabu, semuanya di jam sepuluh," ujar Nathan. "Kalau kamu nggak keberatan, mungkin bisa bantu saya? Dosen pembimbingnya ..." Ia tampak mengingat. "... Bu Vanessa dan Bu Emi."

Entah mengapa, pikiran negatif Esy langsung menghilang saat mendengar kedua nama dosen itu. Tak ingin, tapi benaknya berbisik.

Ya Tuhan. Yang satu malaikat, yang satu lagi ... juga malaikat sih. T-tapi, malaikat penyabut nyawa.

Nathan menunggu jawaban Esy. "Bagaimana?"

"O-oh, bentar, Pak," ujar Esy. "Biar saya lihat jadwal saya sebentar."

Sebenarnya di semester tujuh itu, Esy tidak ada kuliah lagi. Terlebih ia dan teman-teman seangkatan sudah melakukan kuliah kerja nyata di KAS kemarin. Jadi praktis Esy hanya mengambil satu mata kuliah kali ini, mengingat ia sudah banyak mengambil mata kuliah ke atas dari sebelumnya.

Namun, satu-satunya mata kuliah yang Esy ambil adalah mata kuliah yang dianggapnya berbahaya. Yaitu, Rancangan Percobaan.

Esy mengecek semua kelas Rancangan Percobaan. Lalu ia mengangguk.

"Sepertinya bisa, Pak."

"Baguslah," ujar Nathan lega. "Kalau begitu langsung tulis nama kamu di dalam."

Esy mengangguk. "Baik, Pak."

Menunggu hingga Nathan berlalu dari sana, semula Esy berniat untuk langsung menuju ruang administrasi laboratorium. Namun, lagi-lagi ada yang memanggilnya. Kali ini berasal dari suara yang selalu sukses membuat Esy menahan napas.

"Esy!"

Esy menggigit bibir. Ia sedang tak ingin bertemu Farrel. Ia sedang tak bisa bersikap seperti biasa.

"Y-ya?"

Menyahut panggilan Farrel, Esy mengerjap. Berusaha untuk tidak melihat pada cowok itu ketika ia dan Dira menghampirinya.

"Kamu kenapa?" tanya Farrel.

Kaku, Esy menggeleng dan masih berusaha menghindari mata Farrel. "Nggak kenapa-napa. Tadi Pak Nathan minta aku jadi asdos Biologi. Ehm ini aku baru mau ke dalam buat tulis nama."

Dahi Farrel mengerut. Agaknya ia tak percaya dengan apa yang Esy katakan, tapi ia tidak akan mendesak. Terlebih karena Esy pun mengalihkan pembicaraan.

"Ehm gimana di TU? Udah beres semua?" tanya Esy sambil melirik Dira yang masih bertahan di sana. Tentunya makin membuat perasaan Esy tak keruan.

"Udah kok. Makanya tadi aku tunggui kamu di TU, tapi kamu nggak datang-datang. Ternyata sedang ngobrol sama Pak Nathan."

Esy diam, tidak mengomentari kesimpulan Farrel sementara otaknya terus berputar. Bagaimana caranya agar ia bisa melarikan diri-lagi-dari situasi tak mengenakkan itu?

"Soalnya aku mau ngajak kamu pergi sore ini, Sy."

Pikiran Esy buyar seketika. Melupakan niatnya yang ingin menghindari tatapan Farrel, nyatanya sekarang malah ia yang menatap cowok itu.

"Ya?" kesiap Esy. "P-pergi?"

Farrel mengangguk. "Aku tadi sama Dira udah diskusi buat mulai persiapkan alat-alat dan bahan buat penelitian," ujarnya. "Jadi aku pikir mending kita bagi tugas biar cepat, Ra."

"B-bagi tugas?" tanya Dira terbata.

"Iya. Kamu urus izin segala macam sama Bu Dotti. Untuk urusan sama Kak Ryan, biar aku yang urus. Rasanya agak nggak sopan kalau aku hubungi dia lewat chat sementara kita yang butuh."

"Jadi kamu mau ke rumah Kak Ryan?" tanya Dira lagi.

"Tadi sempat ketemu sama Kak Abid," kata Farrel. "Katanya Kak Ryan sekarang lagi lemburan di depotnya. Dia bahas semacam ... persiapan buat libur panjang apa ya?"

Farrel tak yakin juga dengan apa yang dikatakan oleh Abid padanya tadi. Namun, ada satu yang pasti.

"Kak Abid bilang aku harus buru-buru temui Kak Ryan. Soalnya dia mau pergi dalam waktu dekat dan baliknya bakal lama gitu."

Dira manggut-manggut. "M-mungkin Kak Ryan udah dapat panggilan kerja."

"Mungkin. Jadi ...," lanjut Farrel seraya menarik napas sekilas. "... biar aku yang urus bagian sama Kak Ryan. Sore ini aku dan Esy ke sana."

Dira tampak gelagapan. Namun, Esy pun juga demikian.

"A-aku?" tanya Esy seraya menunjuk hidungnya.

"Kamu kan dekat sama Kak Abid dan Kak Ryan. Siapa tau kalau ada kamu, Kak Ryan jadi mudah luluh."

Esy mengerucutkan bibir. "Kak Ryan nggak gitu orangnya. Walau dia agak aneh, tapi dia baik sama siapa aja."

"Ck. Udah deh. Sekarang kamu buruan tulis nama kamu di dalam, aku tunggu di parkiran."

Tuntas mengatakan itu, Farrel langsung beranjak menuju parkiran. Meninggalkan Esy dan Dira yang sontak merasa canggung satu sama lain.

"Ehm," deham Esy salah tingkah. "Aku ke dalam, Ra."

Dira hanya mengangguk samar sementara Esy sontak memejamkan mata dramatis tepat ketika ia memutar tubuh.

Farrel apa-apaan sih? Kenapa buat aku jadi canggung begini di depan Dira?

Esy membuang napas. Mengucapkan permisi dengan sopan, ia langsung menemui Dotti untuk menulis namanya di jadwal praktikum Biologi sebagai asisten dosen. Setelahnya ia langsung menuju parkiran.

Farrel bangkit dari atas motor. Menyerahkan helm pada Esy, ia bertanya.

"Kamu pasti capek ya bantu aku ngurus seminar?"

Esy yang semula akan mengenakan helm, tertegun. Buru-buru menggeleng.

"Nggak kok," jawab Esy cepat. "Nggak capek sama sekali. Malah ... aku senang bisa bantuin kamu."

Menyebalkan, tapi Esy kembali merasa sesak di dadanya. Ia buru-buru menunduk. Memejamkan mata dan berusaha agar air matanya tak jatuh.

"Ck."

Farrel berdecak samar. Ia mengambil alih helm dan berniat untuk mengenakannya, tapi suara Esy membuat ia bergeming.

"A-apa aku nggak pantas untuk kamu, Rel? Apa karena aku nggak pintar? Makanya kamu nggak pernah suka sama aku selama ini?"

Farrel membuang napas. Ia lihat bagaimana Esy mengangkat satu tangan demi menutupi kedua matanya.

"Apa usaha aku ngejar-ngejar kamu selama ini nggak buat kamu luluh?"

Sekali, Farrel meneguk ludah. Kesadarannya telah kembali dan ia beranjak. Mengenakan helm di kepala Esy.

"Nggak usah ngejar-ngejar aku, Sy," bisik Farrel. "Cukup kamu kejar cita-cita kamu saja."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top