(65) 7. Biasakan Dan Akhirnya Menjadi Kebiasaan 2

Farrel berdiri di depan. Rapi dalam balutan kemeja putih dan celana hitam, ia menarik napas dalam-dalam. Lalu suaranya terdengar.

"Selamat pagi dan salah sejahtera untuk kita semua. Terima kasih pada moderator atas waktu yang diberikan. Terima kasih pada dosen yang berkenan hadir. Juga terima kasih untuk teman-teman yang datang di seminar proposal saya dengan judul Pengaruh Beberapa Konsentrasi 2,4 D dan BA Terhadap Pertumbuhan Stek Buku Kentang (Solanum tuberosum L.) Pada Media MS Secara In Vitro."

Menjeda sejenak ucapannya, Farrel kembali menarik napas. Ia menekan pointer di tangan dan slide powerpoint bertukar.

"Di bawah bimbingan Bapak Nathan Hadiyaksa, SP., M.Sc. dan Ibu Dr. Ir. Fatma Agustina, M.Sc. dengan dosen penguji Bapak Prof. Dr. Ir. Suwanto, M.Sc dan Ibu Vanessa Mariska, SP. M.Si."

Tampak penuh percaya diri, Farrel memulai presentasinya. Diawali dengan penjelasan latara belakang yang menjadi acuan mengapa penelitian harus dilakukan. Pembawaannya yang tenang dan pengucapannya yang jelas membuat setiap materi yang ia uraikan tersampaikan dengan baik dan tepat sasaran.

Ehm ... cakep banget.

Tidak memerhatikan materi presentasi, agaknya Esy hanya fokus melihat Farrel saja. Saat itu Esy merasa Farrel terlihat lebih tampan dari biasanya. Membuat Esy tak memedulikan yang lain. Bahkan ketika waktu terus berlalu dan presentasi Farrel sudah selesai, ia masih saja terpesona oleh cowok itu.

Esy bertepuk tangan sangat meriah ketika akhirnya seminar proposal Farrel selesai. Ia tersenyum lebar dan tampak amat bahagia. Sama persis dengan kelegaan Farrel di depan sana.

Seminar proposal ditutup oleh Fajar selaku moderator. Beberapa orang mahasiswa langsung keluar dari ruang seminar yang terletak di lantai dua Gedung Jurusan. Sementara Farrel segera bersalaman dengan dosen-dosen, Esy pun langsung bergerak.

Mengumpulkan beberapa sampah selama seminar proposal berlangsung, Esy tak henti-hentinya menatap Farrel dengan binar-binar kagum. Tak perlu ditanya. Agaknya Esy kembali jatuh cinta pada Farrel.

Lihat saja. Bahkan ketika Esy mengumpulkan kembali proposal Farrel yang tadi dibaca oleh para mahasiswa, senyumnya tak kunjung memudar. Masih mekar dan lebih mekar lagi.

"Farrel."

Nathan menyebut nama Farrel. Tepat ketika cowok itu menghampiri sang pembimbing utama.

"Seminar yang bagus," ujar Nathan memuji. "Besok kita diskusi lebih lanjut. Persiapan untuk memulai penelitian kamu."

Farrel mengangguk. "Terima kasih, Pak. Besok jam berapa?"

"Jam istirahat siang saja."

"Baik, Pak."

Beralih dari Nathan, Farrel menuju Fatma. Dosen pembimbing akademiknya yang menjadi pembimbing pendampingnya.

"Saya sudah tulis beberapa catatan untuk kamu. Segera revisi dan kirim perbaikannya ke saya, juga Jurusan. Dan jangan lupa masukan dari Pak Suwanto dan Bu Vanessa."

Farrel menerima kembali proposalnya yang sudah dicoret-coret Fatma. "Baik, Bu."

Tak berapa lama kemudian Nathan, Fatma, Suwanto, dan Vanessa keluar dari ruang seminar proposal. Menyisakan beberapa orang mahasiswa yang masih berada di sana. Selain Esy, Bella, dan Mia yang sedang merapikan ruangan, ada pula mahasiswa lain yang tetap bertahan. Sekadar menikmati camilan yang tersisa atau mendiskusikan soal proposal Farrel.

"Sy."

Mata Esy berkedip-kedip. Agaknya sekarang senyum bukan hanya ada di bibir Esy, alih-alih juga di matanya.

"Ya?"

Bella dan Mia sampai bergidik ketika mendengar suara Esy. Persis seperti suara makhluk halus yang mencoba untuk menggoda umat manusia.

"Aku mau ke TU bentar. Mau ngurus pelaporan seminar proposal dan yang lain," ujar Farrel menjelaskan. "Kamu nggak apa-apa ngurus ini?"

Esy mengangguk. "Nggak apa-apa, Rel. Kamu pergi aja, urus semuanya sampe selesai. Di sini biar aku yang urus. Aku anggap sebagai latihan."

"Latihan?"

Ups! Senyum Esy menghilang. Tergantikan oleh kerjapan mata yang kikuk dan ia salah tingkah. Menggelikan, ia canggung karena pikirannya sendiri.

"L-latihan ... buat seminar proposal juga," jawab Esy dengan terbata. Lalu ia menunjuk meja yang Farrel tempati tadi. "Aku mau coba latihan presentasi."

Fyuh! Untunglah otak Esy masih bisa diandalkan untuk situasi-situasi tak terduga.

"Oh," lirih Farrel. Ia meraih tas ransel dan menyandangnya. "Kalau gitu aku ke bawah dulu."

"Iya. Ntar aku nyusul."

Melepas kepergian Farrel seraya menahan napas di dada, Esy pikir nyawanya akan putus saat itu juga. Astaga! Akhirnya ia bisa bernapas dengan lega.

"Gila kamu ya!" celetuk Bella.

Mia terkekeh. "Kenapa? Sekarang kamu udah nggak mau jadi pacar Farrel? Maunya jadi istri langsung gitu?"

Ya ampun. Rasa panas langsung menyebar di pipi Esy. Berikut warna merah yang membuat Bella mual-mula sementara Mia makin tergelak.

"Kalian ini," gerutu Esy berusaha menahan senyum malu-malunya untuk terbit. "Ngomong apaan sih?"

Beranjak demi lanjut merapikan ruangan seminar, Esy jadi salah tingkah sendiri. Tak mau, tapi imajinasi itu langsung terbayang di benaknya. Lantas ia bertanya.

Kira-kira aku bisa nikah sama Farrel nggak ya?

Oh, Tuhan!'

Esy meremas sampah plastik dengan gemas. Tentunya Bella dan Mia melihat tingkah Esy. Keduanya kompak geleng-geleng kepala.

"Parah," komentar Bella. "Dia benar-benar sudah nggak tertolong lagi."

"Ya mau gimana lagi? Dia udah suka Farrel dari kecil. Kamu bayangin aja sudah sebanyak apa rasa suka dia sama Farrel? Pasti udah sangat bertumpuk," ujar Mia geli.

Esy tak peduli. Ia mendengar pembicaraan Bella dan Mia, tapi tidak merasa terganggu sama sekali. Ia terus bersenandung dan ketika semua sudah selesai, ia berkata pada mereka.

"Makasih banyak udah bantuin aku. Besok aku traktir ayam bakar di kantin."

Bella dan Mia tidak akan bertanya mengapa Esy tidak mentraktirnya sekarang. Keduanya jelas mengerti. Bahwa sekarang adalah waktu milik Esy dan Farrel.

Keluar dari ruang seminar, Esy melihat sekilas pada ruang praktikum yang kosong. Kala itu praktikum belum dimulai sehingga sangat wajar bila keadaan lantai dua Gedung Jurusan cenderung sepi.

Berniat untuk langsung turun, Esy dan teman-temannya melewati ruang kerja Vanessa. Dosen baru yang dari kedatangannya sampai sekarang selalu ramai dengan berita kontroversial. Bukan hanya karena kecantikan dan kepintarannya. Alih-alih kisah asmaranya.

"Eh, kalian dengar? Gosipnya Bu Vanessa bakal nikah bentar lagi sama mahasiswa sini loh."

Esy dan Bella sama-sama melihat Mia.

"Yang benar lo?"

Mia memutar bola matanya malas. "Sumpeh deh gue. Katanya sih gitu."

"Kok bisa?" tanya Bella. "Aku pikir Bu Vanessa bakal nikah sama Pak Nathan. Ehm jadi penasaran. Secakep apa mahasiswa yang bakal jadi suami beliau."

Esy berdecak. "Pasti nggak cakep. Karena—"

"Yang cakep kan cuma Farrel," potong Bella cepat.

Tanpa komando, tawa ketiganya pun pecah.

Sampai di lantai dasar, mereka berpisah. Bella dan Mia langsung pulang sementara Esy berniat untuk segera menyusul Farrel ke ruang Tata Usaha Jurusan.

Tersenyum dan bersenandung pelan, Esy tak siap mendapati pemandangan di ruang Tata Usaha Jurusan. Ada Farrel di sana, memang. Namun, ia tidak sendirian.

"Besok kita bareng aja ke ruang Pak Nathan," ujar Dira. "Sekalian ntar kita cek lab kultur. Karena Kak Ryan udah tamat dan kegiatan kultur anggreknya selesai, kita bisa pakai ruang itu. Gimana?"

Farrel mengangguk. "Kayaknya ide bagus. Kita juga bisa pakai botol kultur punya Kak Ryan dulu. Cuma kayaknya harus cepat hubungi Kak Ryan. Khawatir dia kasih ke yang lain."

Senyum di wajah Esy menghilang. Seketika tergantikan oleh satu rasa yang membuat dadanya terasa tak nyaman.

Esy menarik napas, tapi tenggorokannya bagai dicekik. Udara tak lagi terasa melegakan, alih-alih menyesakkan.

M-mereka cuma bahas soal penelitian loh. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, Sy.

Esy berusaha mempertahankan bayang imajinasi indah di benaknya tadi. Namun, gagal. Tergantikan oleh fakta rendah diri di mana ia merasa tak sebanding.

Alhasil, Esy mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Mencoba untuk mengumpulkan tenaganya yang tercerai-berai. Lalu ia melangkah.

Bukan. Esy bukan masuk ke ruang Tata Usaha Jurusan. Melainkan ia melarikan diri dari sana.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top