(63) 6. Tak Apa Tertatih, Asal Jangan Berhenti 7
Farrel memarkirkan motornya sembarang di halaman kos Esy. Melepas helm dan langsung menuju pada kamar cewek itu. Ia menggedor.
"Sy?"
Bahkan dari luar, Farrel bisa mendengar tangis Esy. Oh, Tuhan. Bahkan hari belum menginjak pukul tujuh dan Esy sudah mengawalinya dengan amat menyedihkan.
Pintu kos terbuka. Menampilkan Esy yang masih mengenakan piyama. Ia memegang ponsel dan air mata membasahi pipinya.
"F-Farrel."
Esy menggigit bibir bawah. Berusaha untuk menahan tangis, tapi air matanya semakin tumpah.
"Statistika aku, Rel," ujar Esy seraya mengangkat tangan. Menunjukkan ponsel pada Farrel. "Dapat A."
Pada saat itu, Farrel tidak tahu apa yang membuat ia membeku. Entah nilai Statistika Esy atau senyum yang kemudian muncul di balik air matanya.
"I-ini beneran A kan?" tanya Esy sesegukan. "A-aku pikir aku salah lihat. Tapi, ini beneran A kan?"
Farrel mengambil alih ponsel Esy. Hanya butuh sedetik untuknya mengangguk. Ia tersenyum pula.
"Iya. Ini A, Sy. Statistika kamu dapat A," ujar Farrel.
Tangis Esy semakin pecah. Ia terduduk di lantai dan menutup wajah dengan kedua tangan. Mau tak mau membuat Farrel turun pula.
"Ini Pak Zidan beneran atau nge-prank aku, Rel? Gimana kalau Pak Zidan keliru masukin nilai?"
Farrel meragukan hal itu. Sebagai dosen yang keahliannya berkutat di data dan angka, keliru adalah hal yang mustahil Zidan lakukan.
"A-aku harus ketemu sama Bapak, Rel," ujar Esy kemudian. Ia mengusap air matanya. "Aku harus nanya langsung sama Bapak."
Alhasil Esy pun mengirim pesan pada Zidan. Berharap agar sang dosen ada waktu untuk ditemui.
[ Pak Zidan PA ]
[ Selamat pagi, Pak. ]
[ Maaf mengganggu waktu paginya. ]
[ Saya Esy Handayani dengan NIM A1A018020.]
[ Apakah Bapak ada waktu luang hari ini? ]
[ Bila ada, saya ingin bimbingan. ]
[ Atas waktu dan perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. ]
Esy menunggu sejenak. Hingga balasan dari Zidan membuat ia segera bangkit. Ia berseru.
"Aku mandi dulu, Rel," ujar Esy seraya mendorong Farrel agar keluar dari kosnya. "Abis ini kita ke kampus."
Tuntas mengatakan itu, Esy segera masuk tanpa lupa menutup pintu. Meninggalkan Farrel yang tersenyum lebar dan ia baru menyadari sesuatu.
Y-ya Tuhan. Aku juga belum mandi.
Tepat jam delapan, Esy dan Farrel sudah berada di Gedung Jurusan. Sementara Farrel duduk di lorong dan menunggu Nathan, Esy menemui Zidan.
"Jadi apa yang ingin diskusikan dengan saya hari ini?" tanya Zidan membuka percakapan pagi itu.
Esy meremas kedua tangannya di atas pangkuan. Tampak takut, tapi ia memberanikan diri.
"S-saya mau bertanya soal Statistik saya, Pak."
Zidan mengerutkan dahi. "Ada apa dengan Statistika? Nilai sudah keluar di portal kan?"
"S-sudah, Pak," angguk Esy. "Cuma ... saya mau memastikan. Apa itu benar nilai saya?"
"Kalau bukan nilai kamu, lantas nilai siapa?" tanya balik Zidan. "Tentu saja itu nilai kamu."
Esy mengerjap. Mata terasa panas.
"J-jadi itu benar-benar nilai saya, Pak?"
Zidan mengangguk."
"S-saya nggak berharap dapat A, Pak," ujar Esy terbata. "Saya cuma berharap lulus saja."
Zidan manggut-manggut. Ia mendorong mundur kursi kerjanya dan membuka satu laci di meja. Menarik satu amplop bewarna cokelat yang berisi lembar jawaban nilai Statistika.
Dari banyak lembar jawaban di sana, Zidan menarik lembar jawaban Esy. Memberikan pada cewek itu.
"Ini hasil UAS kamu."
Esy menerima lembar ujian dengan tangan bergetar. Ia melihat angka di sana dan panas di matanya berubah menjadi tetesan air.
Zidan berdecak samar. Meraih kotak tisu di sisi meja dan memberikannya pada Esy. Tak ingin, tapi Zidan nyaris sudah menghitung sebanyak apa Esy keluar dari ruangannya dengan berurai air mata.
"T-terima kasih banyak, Pak," ujar Esy sambil menarik dua lembar tisu dan mengusap air matanya cepat.
Zidan hanya mengangguk.
"Apa boleh saya foto sebentar lembar ujian saya, Pak?"
Dahi Zidan mengerut. "Foto?"
"Iya, Pak," jawab Esy menggigit bibir. "Mau saya jadikan kenang-kenangan."
Zidan kembali berdecak. "Ambil saja. Kamu bawa pulang lembar ujian kamu."
"Serius, Pak? Boleh?"
"Iya. Semua lembar jawaban sudah saya scan dan saya jadikan arsip," jelas Zidan. "Jadi saya sudah nggak membutuhkannya lagi."
Di balik air matanya yang terus menderas, Esy tersenyum dengan amat lebar. Menyisihkan sejenak lembar jawaban itu, ucapan terima kasih tidak putus-putusnya diucapkan Esy.
"Sekali lagi terima kasih, Pak. Akhirnya Statistika saya bisa lulus."
"Jangan terima kasih ke saya. Mengajar dan memberi nilai adalah kewajiban saya," kata Zidan datar. "Berterimakasihlah pada diri kamu sendiri."
Air mata Esy berhenti mengalir. Kali ini ia tersenyum dengan penuh rasa bahagia.
"Tentu, Pak."
Keluar dari ruangan Zidan tidak pernah menjadi hal yang seringan ini untuk Esy. Seumur menjadi mahasiswa bimbingan akademik Zidan, kerap kali Esy keluar dengan perasaan tak menentu. Alhasil tak perlu ditanya sebahagia apa Esy saat ini.
"Farrel," panggil Esy seraya memamerkan hasil ujiannya. "Aku bisa dapat 90."
Farrel bangkit. Melihat sekilas pada lembar ujian Esy dan tersenyum.
"Selamat, Sy. Kamu pantas dapat nilai setinggi itu," puji Farrel.
Bila ditanya, Esy pikir ia tidak pantas. Namun, Esy pun tidak bisa mengabaikan rasa bahagia yang ia rasakan. Tak tanggung-tanggung. Bertempat di parkiran belakang Gedung Jurusan, Esy segera menghubungi Dhian dan juga Bara—delapan bulan terakhir ini ia sudah bekerja.
Alhasil bukan hanya Esy yang lantas berurai air mata. Alih-alih Dhian di seberang sana pun mengalami hal yang serupa. Bara pun andaikan tidak dalam keadaan bekerja, sepertinya akan menangis pula.
Melihat pemandangan itu, samar Farrel tersenyum. Ia diam saja. Tidak turut bergabung dalam percakapan emosional itu. Namun, jangan ditanya. Sebelas dua belas, ia merasakan yang sama.
*
Esy benar-benar menjadikan lembar ujian Statistikanya sebagai kenang-kenangan yang tak terlupakan. Ia membeli satu map dokumen khusus untuk menyimpan hasil ujian tengah dan akhir semesternya.
Setiap malam Esy akan memandang nilai itu dan ia akan berkata pada dirinya sendiri.
"Kamu hebat, Sy. Kamu hebat. Jadi kita bakal berjuang lagi!"
Esy tidak akan abai. Setelah Statistika lulus, itu artinya ada Rancangan Percobaan yang menunggu. Tentunya, ini adalah mata kuliah yang lagi-lagi menjadi momok.
"Semoga aku bisa lulus dalam sekali percobaan saja," ujar Esy. "Aku nggak mau sampe ngulang empat kali lagi."
Membaca doa hingga tak ubahnya seperti dukun yang merapal mantra, Esy menatap Gedung Kuliah. Perkuliahan semester tujuh akan segera dimulai. Esy akan menghadapinya dengan sekuat tenaga.
"Oke."
Suara Farrel terdengar. Esy berpaling dan mendapati cowok itu memundurkan motor.
"Ntar kalau sudah keluar," ujar Farrel. "Kamu chat aja. Abis aku bimbingan dengan Pak Nathan dan Bu Vanessa buat persiapan seminar proposal, aku langsung ke sini."
Esy mengangguk. Ia melambaikan tangan demi melepas kepergian Farrel.
"Farrel bakal berjuang dengan seminar proposal," ujar Esy tersenyum lebar. "Dan aku akan berjuang dengan Rancangan Percobaan."
Bertekad besar dan tidak ingin kecolongan, Esy sudah menyusun rencana yang serupa. Alhasil ia memeriksa portal akademik selagi menunggu Zidan masuk.
"Semoga saja Bapak nggak bosan karena lagi-lagi harus melihat muka aku empat kali dalam seminggu."
*
bersambung ....
Btw. Aku dapat masukan, katanya ubah saja judul cerita ini jadi: Statistika!
Hahaha. Esy yang ambil Statistika empat kali, eh malah pembaca yang waswas. Tapi, ya namanya juga problematika kuliah. Aku pernah ambil mata kuliah yang sama sampe lima kali. Saat dapat A, baru berhenti. Padahal itu bukan prasyarat kayak Esy dan Statistika ini. Cuma gemes aja gitu. Hahahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top