(62) 6. Tak Apa Tertatih, Asal Jangan Berhenti 6
Farrel nggak merasa posisi dia di hati aku sudah bergeser kan?
Terus berputar-putar di benaknya seharian ini, Esy sungguh merasa dirinya tak tenang. Ia mengirimkan pesan pada Farrel, jaga-jaga agar cowok itu tidak salah paham. Namun, balasan Farrel sama sekali tidak menenangkannya.
[ Farrel ]
[ Kenapa aku marah? Aku justru senang kalau kamu akhirnya ada cita-cita. ]
[ Itu artinya kamu punya tujuan untuk hidup kamu kan? ]
Esy menggigit bibir bawah dan memilih untuk berbaring di kasur. Seharian berkutat dengan tabel t dan tabel z membuat pinggangnya terasa nyeri.
"Farrel jujur atau lagi nyindir aku ya?" tanya Esy pada dirinya sendiri. "Ehm, tapi bukannya Farrel nggak pake sindiran ya? Langsung ngomong kan? Ehm ... ah!"
Esy melempar ponsel ke sembarang arah. Untung mendaratnya di kasur.
"Nggak tau deh. Aku nggak mau mikir soal itu."
Meremas rambut, Esy geleng-geleng kepala berulang kali. Terus bicara pada dirinya sendiri.
"Nggak usah mikirin itu. Farrel itu asli memberikan semangat biar aku bisa menggapai cita-cita aku," lirih Esy. Namun, ia tak yakin. "Dia nggak merasa kalau posisi dia di hati aku udah bergeser kan?"
Memikirkan hal itu, Esy pun buru-buru mengirim pesan lagi pada Farrel. Lantaran ia yang sudah terlalu sering mengungkapkan peraaannya maka ia enteng sekali mengetik pesan seperti ini.
[ Farrel ]
[ Aku masih suka kamu, Rel. ]
[ Sampai kapan pun posisi kamu nggak akan tergantikan atau tergeser. ]
Apa itu cukup menenangkan gundah yang sekarang Esy rasakan? Oh, tidak. Nyatanya Esy makin uring-uringan. Apalagi saat ia mengetahui Farrel tidak membalas pesannya sementara jelas-jelas ia sudah membacanya.
"Argh!" geram Esy bangkit. "Coba aku kerjain tugas Statistika tadi siang aja. Biar otak aku agak sibuk dikit."
Itulah yang Esy lakukan kemudian. Ia membuka buku Statistika dan laptop. Membaca materi dan mempelajarinya pelan-pelan, untuk yang kesekian kali dalam seminggu itu.
Perlahan, tapi pasti. Akhirnya perhatian dan fokus Esy teralihkan. Dari kegalauan memikirkan Farrel beralih pada materi Statistika. Dengan diiringi alunan musik kitaro yang lembut, ia layaknya hanyut dalam soal-soal yang Zidan berikan.
Esy memang sudah bertekad. Ia akan mengupayakan semua yang bisa ia lakukan di percobaan keempat ini. Dan hasil ujian tengah semester yang bagus tidak membuat ia lengah.
"Dulu UTS aku juga lumayan, eh ... nggak taunya aku di-prank sama UAS."
Teringat akan masa lalu yang buruk itu, Esy tidak sedikit pun mengendorkan semangat belajarnya. Alih-alih ia terus menggebu.
Tanpa sadar, hal tersebut membentuk satu kebiasaan baru untuk Esy. Bila ada waktu luang, ia akan pergi ke Perpustakaan. Ia membongkar semua buku Statistika dan mengerjakan setiap soal yang ada.
"Oke. Ini pake tabel t atau tabel z? Ehm."
Esy mengusap dagu. Lalu memainkan rambut ikal femininnya. Terkekeh samar dan mengulum senyum geli.
"Ya pasti tabel z dong. Ah! Gimana sih?"
Lucu dengan dirinya sendiri, Esy kembali belajar. Tanpa menyadari bahwa di balik rak ada sepasang mata yang turut geli melihatnya.
Itu jelas adalah Farrel. Yang dengan cepat menyadari kebiasaan baru Esy. Bila pesan dan teleponnya tidak diangkat maka penyebabnya hanya satu. Yaitu, Esy sedang berada di Perpustakaan.
Farrel menarik napas sekilas. Mengambil satu buku bertema kultur jaringan dan lalu berlalu dari sana. Tidak berniat untuk mengganggu keasyikan Esy.
*
"Sy? Kamu baik-baik saja kan?"
Menjelang ujian akhir semester Statistika pagi itu, Farrel menjemput Esy di kos. Berniat untuk mengantar Esy ke Gedung Kuliah sebelum dirinya menemui Nathan untuk bimbingan, ia mendapati Esy yang gemetaran.
"Kamu udah sarapan kan?"
Esy meneguk ludah. Mengangguk kaku. "U-udah. Aku sarapan sama nasi goreng keasinan Bu Kos."
Farrel meringis. Sungguh ia tidak ingin tahu apa pun soal nasi goreng yang selalu Esy keluhkan rasa asinnya itu.
"Baguslah," ujar Farrel. "Seenggaknya kamu udah sarapan. Jadi kita berangkat sekarang."
Esy mengangguk. Mengambil helm dan mengenakannya dengan tangan gemetaran. Pun duduk di belakang Farrel dengan gemetaran pula.
Sepanjang perjalanan, Farrel kerap melirik di spion demi melihat Esy. Perasaan Farrel merasa tidak enak. Walau Esy mengatakan dirinya sudah sarapan, tapi nyatanya bibir Esy pucat.
"Kalau kamu merasa nggak enak atau sakit," ujar Farrel setibanya mereka di Gedung Kuliah. "Lebih baik kamu izin sama Pak Zidan."
Esy menyerahkan helm pada Farrel. "Aku baik-baik saja kok. Aku cuma ... gugup."
Menarik napas dalam-dalam, Esy berharap kegugupannya bisa sedikit mereda. Setidaknya biar jantungnya tidak bertalu-talu.
"Aku grogi."
Farrel tahu pasti ketakutan yang sedang Esy lawan. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
"Kamu harus tenang. Kamu udah belajar selama ini, jadi kamu pasti bisa."
Ingatan Esy tertarik ke belakang. Ia pun pernah belajar mati-matian, tapi nyatanya tetap gagal. Bagaimana bila kali ini ia gagal lagi?
"Tinggal dikit lagi, Sy. Aku yakin kamu bisa."
"UTS aku udah dapat 72, Rel. Aku nggak muluk mau dapat B. Lulus walau dapat C aja aku udah senang," ujar Esy dengan suara bergetar.
Farrel mengangguk. "Aku tahu. Jadi kamu tenang dan percaya pada diri kamu."
Tidak akan semudah mengatakannya. Namun, Esy mencoba. Ia berusaha untuk tenang. Masuk ke dalam ruang ujian dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Esy."
Zidan berdiri di depan Esy. Memberikan lembar soal dan jawaban.
"Siap untuk ujian hari ini?"
Hanya Tuhan yang tahu persis bagaimana keadaan Esy kala itu. Bahkan Zidan pun merasa kasihan. Bukan cuma karena bibirnya yang pucat, tapi ia sungguh terlihat menyedihkan.
"S-siap, Pak," jawab Esy menerima lembar soal dan jawaban. "Saya akan berusaha sekuat mungkin."
Mungkin pertama kalinya bagi Zidan yang mendapat predikat sebagai dosen killer untuk merasa kasihan pada mahasiswa. Selama ini, ia tidak pernah merasakan hal tersebut. Bahkan bila ada mahasiswa yang sudah gagal sepuluh kali dan nilainya tetap D, maka itulah yang akan Zidan tulis di nilai akhir.
Kasihan dan pengiba, jelas bukan sifat Zidan. Pun demikian pula dengan Esy. Bila kali ini ia gagal lagi maka tak ada yang bisa Zidan lakukan. Ia akan dengan senang hati menjadikan dosen killer sebagai julukan abadinya.
Walau tak urung juga rasa kemanusiaan Zidan terketuk. Entah sadar atau tidak, ia berdoa. Berharap di dalam hati untuk kelulusan Esy.
Demikian dengan Farrel. Seumur hidup, selama ia sekolah dan kuliah, ia tidak pernah penasaran dengan nilai. Pengecualian untuk sekarang. Ironisnya, ia bukan menunggu nilainya.
Menjelang akhir semester enam, semua nilai sudah keluar. Nilai Farrel tak perlu ditanya. Pun dengan Esy, bila mengabaikan Statistika.
Tinggal satu mata kuliah itu dan Farrel berharap agar Esy lulus. Alhasil tiap pagi Farrel selalu mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Esy yang akan mengabarkan dirinya untuk nilai Statistika.
Dering ponsel mengagetkan Farrel. Ia meraih ponsel dan langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Esy?"
Memanggil nama Esy, Farrel tidak bersiap dengan apa yang telinganya dengar. Bukan balasan dari sapaannya yang ia terima. Melainkan isak tangis Esy.
"F-Farrel."
Tubuh Farrel seketika membeku. Isakan Esy terdengar nyata di telinganya. Seolah Esy sedang menangis tepat di hadapannya.
"S-Statistika aku, Rel."
Nilai Statistika keluar. Itulah yang menjadi penyebab untuk tangis Esy.
"Statistika aku—"
Farrel tidak bisa menunggu lagi. Ia langsung menyambar jaket dan kunci motor.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top