(61) 6. Tak Apa Tertatih, Asal Jangan Berhenti 5
Farrel nyaris saja terlambat di praktikum pertama Botani. Astaga! Padahal ia adalah asisten dosen.
Namun, tidak bisa disalahkan juga sih. Lantaran hari itu teramat terik sehingga sempat mengkhawatirkan Farrel. Esy bisa saja mendadak mimisan ketika menuju ke Gedung Kuliah.
Praktikum pertama itu berjalan dengan lancara sebenarnya. Bila Farrel mengabaikan satu hal.
"Yan, kamu udah belum? Perasaan aku, dari tadi kamu itu lihatin Bu Vanessa aja deh."
Abid menggerutu di meja praktikum. Mahasiswa yang setahun di atas Farrel itu tampak menyikut Ryan.
"Udah udah," jawab Ryan cepat seraya melihat kembali pada ponsel. Ia mengulum senyum. "Cuma praktikum kayak gini aja kok lama? Sat set sat set, selesai dong."
Farrel menahan ringisan. Menggunakan ponsel selama praktikum bila tidak ada kaitannya dengan kegiatan, tentu saja adalah hal yang tidak diperbolehkan. Namun, apa yang bisa Farrel lakukan?
Ryan adalah senior Farrel. Bahkan bisa dikatakan bukan senior biasa. Ia adalah asisten dosen yang selama ini turut membimbingnya praktikum.
Farrel membuang napas. Mau tak mau, ia merutuk juga di dalam hati.
Argh! Kenapa Kak Ryan harus praktikum jam ini sih? Dan selain itu, kenapa juga Kak Ryan ngulang?
Sungguh Farrel tidak habis pikir. Terlepas dari ketidaknyamanan yang ia rasakan sekarang, ia justru memikirkan perkataan Dotti tempo hari.
Apa benar Kak Ryan sudah terobsesi belajar?
Farrel segan pada Ryan. Namun, ia khawatir apa yang ia lakukan bisa membuat junior menganggapnya tidak tegas. Apa yang harus dilakukan Farrel?
Tidak ada. Selain membuang napas panjang hingga akhirnya praktikum selesai.
"Oh ya, Farrel."
Suara Vanessa terdengar. Dosen muda yang hari itu menggelung rapi rambut panjangnya, memanggil Farrel setelah ia menutup kelas praktikum.
"Kamu jadi mau bimbingan sama saya?"
Farrel ingat. Ketika praktikum tadi ia memang mengatakan pada Vanessa untuk bimbingan. Ia sedang menyusun rencana untuk penelitian dan skripsinya mengingat sekarang ia sudah semester enam.
"Jadi, Bu. Apa Ibu ada waktu nanti?" tanya Farrel.
Vanessa mengingat jadwalnya sejenak. "Ada. Kebetulan praktikum ini jadwal terakhir saya hari ini."
"Syukurlah," ujar Farrel lega. "Saya permisi dulu, Bu. Sebenarnya saya belum sempat makan siang tadi. Nanti saya ke sini lagi untuk konsultasi ya, Bu?"
"Oke. Jam empat saya sudah pulang. Seandainya nanti ruangan saya tertutup, berarti besok saja kita konsultasinya," jawab Vanessa.
"Baik, Bu. Saya permisi dulu."
Setelahnya Farrel menyalami Vanessa dan beranjak langsung. Ia menuju parkiran dan segera mengeluarkan ponsel. Ada pesan dari Esy.
[ Esy-ku ]
[ Rel, kamu sudah praktikumnya? ]
[ Kamu udah makan belum ya? ]
Menunda sejenak niatnya untuk segera memacu motornya, Farrel membalas pesan Esy.
[ Esy-ku ]
[ Ini baru keluar praktikum. ]
[ Aku ke GK. ]
[ Kebetulan aku juga belum makan. ]
Farrel memasukkan ponsel kembali ke saku celana. Selang beberapa detik kemudian, ia pun meninggalkan parkiran belakang Gedung Jurusan.
*
"Kalau kamu mau ..."
Sedikit menarik napas, Nathan meneruskan perkataannya. Seraya mata di balik lensa kacamata itu menatap Farrel.
"... kamu bisa mengerjakan proyek saya. Bagaimana?"
Pertanyaan itu membuat Farrel tercengang untuk beberapa saat. Tak banyak dosen yang menawari penelitian pada mahasiswa. Pun tentunya dosen tidak akan sembarangan mengajak mahasiswa untuk terlibat dalam proyek penelitiannya.
"Kebetulan penelitian saya didanai dan saya pikir kamu bisa membantu saya," lanjut Nathan.
Sejujurnya baru beberapa hari ini Farrel menyusun rencana penelitiannya. Itulah yang menyebabkan mengapa ia ingin berkonsultasi dengan Vanessa. Namun, Nathan justru memberinya tawaran yang lebih menggiurkan. Siapa yang mengira kalau Nathan menghubunginya pagi itu karena ingin memberi Farrel kabar baik?
Farrel mengangguk. "Baik, Pak. Saya mau."
"Baguslah kalau begitu," ujar Nathan senang. "Tim saya ada Bu Vanessa, Pak Rahmat, dan Pak Ariodama. Mungkin dari mereka bertiga ada yang bisa jadi dosen pembimbing pendamping kamu nanti."
"Baik, Pak," angguk Farrel. "Sekali lagi terima kasih."
"Sama-sama. Dan jangan lupa langsung buat draf proposal. Semakin cepat kamu buat maka semakin cepat juga kamu bisa memulai penelitian."
Farrel keluar dari ruangan Nathan dengan perasaan amat senang. Separuh dari kekhawatirannya akan penelitian dan skripsi sudah teratasi. Sekarang yang perlu ia lakukan hanya mulai mempersiapkan semuanya.
"Sy? Kamu udah keluar Statistika?" tanya Farrel melalui sambungan telepon.
"Udah," jawab Esy di seberang sana. "Ini baru saja keluar."
"Oke. Aku ke sana. Kita cari makan terus langsung balik ke kos."
Setelahnya Farrel langsung menjemput Esy. Sesuai dengan perkataannya, mereka mencari makan siang terlebih dahulu sebelum pulang ke kos masing-masing.
Farrel tidak akan menyia-nyiakan waktu. Ia harus bergegas menyusun proposal. Terlebih lagi karena ia harus segera menyerahkan draf proposal tersebut pada Nathan dan Venessa.
Sepertinya Tuhan sedang berbaik hati pada Farrel. Tidak hanya ditawari penelitian oleh dosen pembimbing akademiknya, ia pun mendapati Vanessa yang akan menjadi pembimbing pendampingnya.
Setelah melewati beberapa malam dengan bekerja keras, draf proposal Farrel sudah selesai. Memiliki judul berupa 'Pengaruh Beberapa Konsentrasi 2,4 D dan BA Terhadap Pertumbuhan Stek Buku Kentang (Solanum tuberosum L.) Pada Media MS Secara In Vitro', Farrel berniat untuk menemui Nathan dan Vanessa.
Untuk yang pertama, lancar. Farrel bertemu Nathan dan segera memberikan draf proposal tersebut. Nathan berjanji akan menghubunginya dalam waktu seminggu untuk memberikan hasil koreksiannya.
Beralih pada Vanessa, Farrel segera menuju lantai dua. Namun, ia melihat sesuatu dari kejauhan sebelum tiba di ruangan Vanessa.
Pintunya yang membuka mengizinkan Farrel untuk melihat bahwa di sana ada Ryan. Sontak saja membuat Farrel menunda niatnya.
"Ah," lirih Farrel. "Apa Kak Ryan lagi bimbingan juga?"
Sempat berpikir seperti itu, Farrel lantas teringat sesuatu. Ia tidak akan keliru lantaran beberapa bulan yang lalu hadir di seminar proposal Ryan.
"Perasaan pembimbing Kak Ryan bukan Bu Vanessa."
Mengabaikan kenyataan itu, Farrel pun menunggu. Berharap Ryan akan segera keluar dari ruangan Vanessa, yang terjadi justru sebaliknya. Bagaimana bisa sudah sejam berlalu dan Ryan belum keluar-keluar juga?
"Wah! Sepertinya Kak Ryan benar-benar persiapan buat seminar hasil ya?"
Farrel pun memutuskan untuk besok saja menemui Vanessa. Terlebih lagi karena Esy menghubunginya. Cewek itu baru keluar dari kelas Statistikanya.
"Gimana dengan Statistika kamu?" tanya Farrel setelah pelayan yang mengantar makanannya mereka berlalu. "Lancar?"
Bola mata Esy berputar dengan dramatis. Ia sempat melihat sekeliling sebelum tatapan matanya kembali pada Farrel.
"Lancar sekali."
Ada yang sedikit berbeda di suara Esy ketika menjawab. Mungkin itulah yang membuat Farrel mendengkus geli. Lagipula keadaan kafe saat itu lumayan sepi sehingga memberikan kenyamana tersendiri.
Tidak di kantin kampus, Esy yang mengaku pusing karena masih keliru membedakan tabel z dan tabel t mengajak Farrel makan di tempat yang berbeda. Begitulah, perjalanan sekitar setengah jam itu mengantarkan mereka berdua ke satu kafe bernuansa hangat dan santai. Tepat sekali untuk menenangkan pikiran Esy.
"Entahlah," ujar Esy membuang napas. "Aku nggak berharap muluk. Dapat C aja udah syukur banget."
Farrel tersenyum dan Esy teringat sesuatu.
"Terus kamu gimana?" tanya Esy. "Udah ngasih draf ke Pak Nathan dan Bu Vanessa?"
Farrel mendeham sejenak. "Pak Nathan sudah. Kalau Bu Vanessa belum."
"Loh? Kenapa? Bu Vanessa lagi nggak ada?"
"Bukan gitu. Bu Vanessa ada sih. Cuma tadi Kak Ryan kayaknya lagi bimbingan sama beliau. Jadi nggak enak juga mau menyela."
Esy manggut-manggut.
"Nggak apa-apa," ujar Farrel kemudian. "Aku bisa temui Bu Vanessa besok."
Esy tersenyum. "Iya. Semakin cepat, itu artinya kamu cepat juga bakal seminar proposal. Ehm semoga semuanya lancar, Rel."
"Iya. Dan selagi menjalani semuanya ... aku mendadak kepikiran sesuatu. Mungkin karena aku lagi nyusun proposal ya? Jadi pikiran aku ke mana-mana."
"Mikir sesuatu?" tanya Esy seraya menjeda makannya. "Apa?"
Sama seperti Esy, Farrel pun ikut-ikutan menjeda makannya. Ia menjawab pertanyaan Esy dengan pertanyaan.
"Apa yang mau aku lakukan selanjutnya? Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Setelah tamat, aku mau ngapain?"
Esy diam. Tiga pertanyaan Farrel membuat ia ikut-ikutan berpikir pula.
"Ehm."
Farrel menyipitkan mata. "Kalau kamu ... gimana? Apa yang akan kamu lakukan setelah tamat?" tanyanya. "Cita-cita kamu apa?"
Untuk beberapa saat lamanya, Esy tidak menjawab pertanyaan Farrel. Ia melarikan matanya ke langit-langit. Mendeham seraya berpikir.
"Cita-cita aku ..."
Suara Esy terdengar lirih ketika menjawab pertanyaan Farrel. Ia mengatakan keinginannya dan ditutup oleh kekehan.
"Kayak mustahil ya?" tanya Esy geli.
Terkekeh untuk beberapa saat, Esy terlambat menyadari bahwa saat itu Farrel terdiam. Sontak membuat kekehan Esy menghilang pelan-pelan. Di hadapannya, Farrel bergeming dengan mata yang menatap pada Esy.
Esy mengerjap. Dilihat seperti itu membuat ia jadi salah tingkah.
"K-kenapa?" tanya Esy gagap. "Mustahil banget kan cita-cita aku?"
Sekali, Farrel membuang napasnya sekilas. Ia melepas sendok dan garpu dari tangannya. Kali ini jelas terlihat ada sorot yang beda dari mata Farrel.
"Apa kamu sadar, Sy?" tanya Farrel tanpa menunggu jawaban Esy. "Ini pertama kalinya kamu benar-benar mengatakan apa cita-cita kamu."
Dahi Esy mengerut. Tampak bingung dengan perkataan Farrel. Namun, cowok itu tidak akan keberatan untuk menjelaskannya.
"Bukannya selama ini cita-cita kamu itu ... dapetin cinta aku ya?"
Sendok dan garpu terlepas dari tangan Esy. Ia menutup mulut dan kaget. Buru-buru berkata.
"M-masih, Rel. Itu memang cita-cita aku. Aku mau—"
Farrel tersenyum dan anehnya itu ampuh sekali untuk memutus ucapan Esy. Cowok itu berkata.
"Selamat menggapai cita-cita, Sy."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top