(6) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 1

"Farrel!"

Ketika matahari belum benar-benar keluar dari peraduannya, suara Esy sudah terdengar membelah kesunyian. Menarik perhatian semua orang seperti biasanya. Dan seperti biasanya pula ia tidak peduli dengan tatapan heran itu.

Esy mengabaikannya. Terus melangkah dengan cepat. Mengabaikan beberapa tangan yang dengan terang-terangan menahan dirinya, ia menghampiri Farrel.

"Kamu udah sampe, Rel? Udah lama?"

Farrel memejamkan mata dengan dramatis. Wajahnya terasa panas. Berdoa di dalam hati pun rasanya sudah percuma.

"Kamu kenapa nyamperin aku, Sy?" tanya Farrel menahan geram. "Kamu nggak lihat dari tadi senior pada manggil kamu?"

Bola mata Esy membesar dalam kesan polos. Ia melongo. Celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri bergantian.

"Ada yang manggil aku? Eh? Siapa?"

Sudahlah. Itu memberikan sinyal tersendiri bagi Farrel. Bahwa hari pertama OSPEK akan menjadi hari pertama perjuangannya dimulai. Tidak bisa tidak. Sekarang dirinya dan Esy pasti sudah menarik perhatian beberapa orang senior.

"Edelweis!"

"Edelweis Harum!"

Esy mengerjap. Tampak salah tingkah ketika ia baru menyadari sesuatu. Bahwa bukan nama aslinya yang dipanggil. Melainkan adalah nama yang tertulis di papan namanya.

Setidaknya ada tiga orang senior yang lantas menghampiri Esy dan Farrel. Dan itu membuat Farrel merutuk. Gagal sudah niatan hatinya untuk tidak mencolok di masa-masa OSPEK. Berkat Esy, bahkan sepagi itu sudah ada tangan-tangan senior yang mengecek perlengkapannya.

"Kamu dipanggil dari tadi malah cuek. Wah! Bener-bener ya. Masih maba udah cuek sama seniornya."

Esy mengerucutkan bibir. Tampak merasa bersalah, tapi ia masih membela diri.

"Maaf, Kak. Aku lupa kalau nama aku Edelweis Harum."

Ketiga orang senior yang terdiri dari dua orang cewek dan seorang cowok itu kompak melihat pada papan namanya. Seorang cewek lantas bertanya.

"Nama asli kamu siapa?"

"Esy, Kak," jawab Esy mantap. "Esy Handayani. Kalau Kakak?"

Cewek itu mengerjap sekali. Sepertinya cukup kaget dengan keberanian Esy yang menanyakan namanya.

"Ah, nama aku Sella Puspita. Tapi, panggil aja Sella."

"Atau Pus ... pus ... juga bisa kok."

Sella menoleh. Mendelik pada cowok yang berambut sedikit ikal itu. Yang dengan cepat menukas dan mempermainkan namanya.

"Norak, Bid. Ini udah tahun berapa? Masih mainin nama orang."

Cowok itu bernama Abid Wahyu Budianto. Tampak cengar-cengir melihat Sella yang manyun.

"Udah ah. Kalian ini malah ribut depan maba."

Seorang cewek lainnya turut bicara. Bernama Indrianti Amalia, ia menyelinap di antara kedua orang temannya itu. Dengan tatapan yang tertuju pada Esy, kedua tangannya lantas bersedekap.

"Ingat aturan OSPEK kan?" tanya Indri mengabaikan kedua orang temannya yang masih bertukar delikan. "Menggunakan nama samaran."

Esy yang sempat tersita perhatiannya lantaran tingkah Sella dan Abid, mengerjap sekali. Melihat Indri yang berdiri di depannya dan butuh dua detik baginya untuk mencerna pertanyaan yang ia dapatkan.

"Ah, iya, Kak. Maaf. Aku belum terbiasa."

"Kali ini dimaafkan. Tapi, nanti jangan sampai lupa lagi."

Esy mengangguk. "Baik, Kak."

"Dan ..."

Indri kembali bersuara. Tapi, kali ini ia tampak melirik Farrel. Sebelum pada akhirnya ia melihat Esy lagi.

"... kamu seharusnya absen dulu kan? Kenapa langsung ngacir ke sini?"

Esy tidak tahu tentang hal itu. Dan pertanyaan tersebut menyadarkan Esy akan sesuatu. Bahwa wajar saja bila dirinya dipanggil dari tadi.

"M-maaf, Kak. Aku nggak tau."

Mata Indri menyipit. Dengan sedikit mencondongkan tubuhnya, ia memberikan tatapan menuduh.

"Beneran nggak tau? Atau kamu nggak mau tau? Karena kamu ngejar Flamboyan Antik?"

Flamboyan Antik itu inisial untuk nama Farrel Anantara. Dan ketika namanya dibawa-bawa, Farrel hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Ia sudah mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan yang akan terjadi.

"Oh, jadi Edelweis ngejar Flamboyan? Makanya aku teriak-teriak dari tadi nggak didengerin?"

Abid turut bicara. Meninggalkan perkara pus-pus dengan Sella, ia melirik Esy dan Farrel bergantian. Ekspresi senang tercetak di wajahnya. Persis seperti seorang penjahat yang baru saja menemukan sasaran empuk.

"Iya?"

Esy menciut. Dengan bibir yang mengerucut, akhirnya ia mengangguk. "I-iya, Kak."

"Ehm ...."

Sella mendehem dengan penuh irama. Turut bergabung lagi dengan Indri dan Abid, sepertinya Sella pun tertarik dengan kejadian itu.

"Kenapa?" tanya Sella dengan mata yang turut menyipit seperti Indri. "Kalian pacaran?"

"Nggak, Kak."

Itu bukan Esy yang menjawab. Alih-alih adalah Farrel. Yang spontan bicara bahkan tanpa sempat berpikir dua kali.

"Nggak? Ehm ... yang bener?"

Farrel kembali mengangguk. "Benar, Kak. Kami nggak pacaran."

Yang dikatakan oleh Farrel memang benar. Ia dan Esy tidak pacaran. Tapi, walau itu adalah sebuah kebenaran, tetap saja Esy tidak terima.

Lihat saja. Esy sontak cemberut mendengar klarifikasi Farrel.

"Kami cuma teman," ujar Farrel kemudian. "Kebetulan kami tetangga."

"Oh ...."

"Tetangga."

"Pacarku lima langkah?"

Tawa meledak. Untuk kali ini sepertinya Abid dan Sella satu frekuensi. Mereka terkekeh sementara wajah Farrel berubah merah. Berbanding terbalik dengan Esy yang tampak sedikit semringah.

"Sudah sudah."

Indri menginterupsi tawa itu. Kedua tangannya naik ke atas. Memberikan isyarat bagi kedua temannya untuk diam.

"Sekarang kamu ke depan dulu, Edelweis. Absen. Terus habis itu baru kumpul dengan teman yang lainnya. Ngerti?"

Esy mengangguk. "Ngerti, Kak," jawabnya seraya tersenyum. "Kalau gitu aku permisi dulu."

Indri, Sella, dan Abid mengangguk. Memberikan jalan untuk Esy kembali meja absen. Tapi, nyatanya cewek itu tidak langsung pergi. Melainkan menyempatkan diri untuk bicara dengan Farrel terlebih dahulu.

"Rel, aku ke depan dulu. Tungguin aku bentar ya?"

Sedikit kelegaan yang sempat membuat lapang dada Farrel dengan cepat menghilang. Tepat ketika Esy memberikan pesan padanya dan sejurus kemudian cewek itu melenggang pergi seperti tanpa dosa.

Ya Tuhan. Farrel mencoba untuk bersabar. Tapi, bukankah itu sudah menjadi rahasia umum? Mahasiswa baru yang ketahuan berpacaran biasanya akan menjadi bulan-bulanan oleh para senior. Sering digoda dan diusili.

Memang sih Farrel dan Esy tidak ada hubungan apa-apa. Persis seperti apa yang Farrel katakan tadi. Mereka hanya teman dan kebetulan bertetangga.

Namun, dengan tindakan dan perkataan Esy barusan, orang waras mana yang tidak akan curiga? Ehm ... lihat saja. Tiga pasang mata itu dengan kompak langsung menatap lekat padanya.

"Ehm ... kamu sama temen memang kayak gitu ya, Flamboyan?" tanya Indri.

Abid geleng-geleng kepala. "Dari awal aku udah curiga. Nama Flamboyan itu benar-benar pertanda nggak enak."

"Kali ini aku setuju sama kamu, Bid," ujar Sella. "Edelweis dan Flamboyan ehm ... benar-benar kombinasi yang nggak biasa."

Farrel menahan keinginan hatinya untuk mendebat kesimpulan aneh yang diambil para senior itu. Memanfaatkan fakta bahwa acara OSPEK akan segera dimulai, Farrel pun permisi. Bergabung dengan teman-temannya di aula.

Sebagai kegiatan yang penting, OSPEK yang merupakan orientasi studi dan pengenalan kampus wajib diikuti oleh semua mahasiswa baru. Maka tidak heran bila keadaan di aula bisa dikatakan ramai. Setiap mahasiswa baru sudah duduk di tempat yang tersedia dan bersiap untuk memulai kegiatan hari itu.

Selama OSPEK, setiap mahasiswa baru akan mendapatkan panduan yang berguna selama kuliah. Ada pengenalan terhadap orang-orang penting di kampus, pengenalan bangunan-bangunan kampus –laboratorium, gedung kuliah, gedung jurusan, dan lain sebagainya, penjelasan sistem perkuliahan –meliputi kredit rencana studi (KRS); satuan kredit semester (SKS); indeks prestasi (IP); dan indeks prestasi kumulatif (IPK), dan pengenalan organisasi mahasiswa.

Hari pertama OSPEK akan diisi oleh pengenalan beberapa orang penting di Fakultas Pertanian. Terdiri dari dekan, wakil dekan, hingga ketua jurusan dan ketua prodi. Diikuti oleh sambutan dari ketua BEM.

Itu sepertinya akan menjadi hari yang panjang. Tapi, percayalah. Farrel tidak lagi memedulikan rangkaian kegiatan tersebut. Karena hanya ada satu hal yang saat ini menyita pikirannya. Yaitu, tentu saja Esy.

Cewek itu tersenyum lebar. Dengan rambut keriting feminin bewarna hitam yang dikepang dua, Esy sama sekali tidak terlihat seperti mahasiswa baru pertanian. Terlebih lagi dengan poni dan pipi yang sudah kemerahan. Ia persis seperti model salah alamat.

Farrel membuang napas panjang. Ingin menolak kenyataan pun rasanya percuma. Tapi, ia masih terheran-heran. Bagaimana bisa Esy memutuskan untuk masuk Pertanian pula?

Semula harapan Farrel sudah melambung hingga ke langit ketujuh. Tapi, semuanya hancur di saat Esy memamerkan surel pendaftaran padanya.

Farrel syok! Kaget. Tidak percaya. Tapi, itulah yang terjadi. Esy mengabaikan fakta betapa beratnya kuliah di Pertanian dan memutuskan untuk masuk ke fakultas yang sama.

Harapan terakhir pupus. Sekarang Farrel hanya bisa mempersiapkan diri. Setidaknya ada empat tahun yang harus ia lalui. Dengan Esy yang pasti akan terus mengekorinya ke mana-mana.

Farrel yakin. Itu pasti bukanlah hal yang mudah. Dan terbukti. Karena di hari pertama OSPEK saja Esy sudah membuat dirinya mendapatkan perhatian lebih dari senior. Apalagi selanjutnya?

Dan Farrel tidak perlu menunggu lebih lama. Perhatian kembali tertuju padanya. Tepat setelah dekan memberikan kata sambutan dan secara acak menunjuk mahasiswa baru.

Esy yang ditunjuk dekan pun berdiri. Mendapat pertanyaan umum yang sering diberikan setiap dekan pada mahasiswa baru.

"Coba bilang ke saya. Apa motivasi kamu mau masuk ke Fakultas Pertanian?"

Tidak perlu ditebak. Jawaban itu jelas membuat wajah Farrel memerah hingga ke telinga. Karena Esy langsung menunjuk dirinya dan berkata.

"Motivasi saya Farrel, Pak."

Seketika saja sorakan memenuhi aula.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top