(57) 6. Tak Apa Tertatih, Asal Jangan Berhenti 1

Farrel menghentikan langkahnya. Berpaling pada Esy yang masih tertinggal di belakang. Ia bergeming dengan tubuh gemetaran.

"Sy?"

Memanggil nama itu, Farrel memutar tubuh dan menghampiri Esy. Cewek itu mengangkat wajah dan tampak ketakutan.

"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Farrel tak yakin. "Atau kamu sakit?"

Esy menggigit bibir bawahnya. Sakit? Tentu saja tidak. Ia sama sekali tidak sakit.

"N-nggak kok. Aku nggak sakit," jawab Esy lirih.

"Terus?" tanya Farrel seraya melihat pada jam tangannya sekilas. "Lima menit lagi kuliah dimulai."

Esy mengerjap. "Kuliah aku yang dimulai lima menit lagi," ujarnya lirih. "Kamu nggak ada kuliah hari ini."

Memang. Di semester enam, Esy dan Farrel mengambil sedikit SKS. Total 16 SKS untuk Esy sementara Farrel sebanyak 14 SKS. Dan itu bukan tanpa sebab. Melainkan mereka yang sudah mengambil beberapa mata kuliah yang ditawarkan ketika masih di semester dua dan empat dulu.

Kelonggaran SKS itu membuat Esy bisa mengulang Statistika. Untuk Farrel, ia akan mengisi jadwalnya dengan menjadi asisten praktikum.

"Memang. Aku nggak ada kuliah," ujar Farrel. "Aku cuma mau ke Jurusan habis ini. Mau lihat jadwal asdos dulu."

Mata Farrel mengerjap. Dahinya kian mengerut saat mendapati Esy yang masih bergeming.

"Ayo. Nanti Pak Zidan keburu masuk," ujar Farrel kemudian.

Esy menarik napas dalam-dalam. Bukan tanpa alasan mengapa ia gemetaran sedari tadi. Melainkan karena itu adalah kuliah pertama Statistika.

Mengangguk samar, Esy pun beranjak. Meninggalkan Farrel yang bergeming di tempatnya berdiri. Untuk beberapa saat, ia masih berdiri di sana demi memastikan Esy benar-benar menuju kelasnya.

Kaki Esy berhenti tepat di depan ruang sebelas. Ia meneguk ludah dan berusaha untuk kembali melangkah. Namun, ia benar-benar ketakutan.

S-Statistika. A-apa aku bisa lulus kali ini?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Esy. Membuat gemetar di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Diikuti oleh rasa dingin yang memeluk dirinya.

Esy menggigil. Bibirnya pucat. Dan mungkin saja ia akan menangis bila tidak ada tepukan samar di pundaknya.

"Sy?"

Esy mengerjap. Rasa panas di matanya sontak menghilang. Ia berpaling dan mendapati ada Sella yang menyapa dirinya.

"K-Kak Sella."

Itu adalah Sella. Seniornya yang kebetulan kala itu tengah menunggu Indri. Sikap Esy yang terkesan aneh membuat ia menyapa.

"Kamu kenapa?" tanya Sella seraya melongok ke ruang sebelas. Sudah ramai oleh mahasiswa, tapi belum ada dosen di sana. "Kelas kamu?"

Esy mengangguk. "I-iya," jawabnya terbata. "Kelas Statistika."

"Oh, kamu ngulang Statistika lagi?"

Menggigit bibir bawah, Esy mengangguk. "Iya, Kak."

"Semoga sukses. Mudah-mudahan kali ini kamu bisa lulus," ujar Sella tersenyum.

Ucapan dan senyuman Sella tidak menenangkan Esy sama sekali. Malah sebaliknya, kian membuat ia ciut.

Sella mengerutkan dahi. Menyadari perubahan pada wajah Esy.

"Eh? Sy? K-kamu baik-baik aja kan?"

Esy tak yakin. Begitu pula dengan Sella yang lantas membawanya untuk duduk sejenak di kursi koridor.

Berusaha menenangkan diri, Esy buru-buru meneguk air di botol minum yang selalu ia bawa di tas. Namun, itu tidak berdampak banyak.

"Aku tau kok. Kamu pasti takut ya? Khawatir kalau kamu gagal lagi," ujar Sella penuh simpatik.

Esy tidak menampik, alih-alih ia mengangguk. "Kakak mungkin nggak bakal tau rasanya, tapi aku benar-benar ketakutan."

Mata Sella menyipit sementara Esy membuang napas panjang.

"Kakak, Farrel, dan semua yang pintar," ujar Esy dengan pundak yang jatuh. "Pasti nggak tau gimana rasanya kayak aku. Harus ngulang berkali-kali dan itu pun belum tentu lulus."

Mendengar perkataan Esy, Sella sontak terkekeh. Esy pun bingung melihat reaksi Sella.

"Kakak ketawain aku?"

Sella buru-buru menggeleng. "Bukan. Aku bukannya ketawain kamu, tapi aku ketawain omongan kamu."

"Yang?"

"Yang ngomong aku pinter," ujar Sella.

Esy cemberut. "Nyatanya Kakak kan memang pintar. IPK Kakak 3,5 kan?"

"Ehm," deham Sella dengan penuh irama. "IPK aku memang tinggi, tapi bukan berarti aku pintar."

"Kalau nggak pintar, kenapa bisa dapat IPK tinggi?"

"Karena aku belajar," tukas Sella langsung.

Bola mata Esy berputar. "Semua orang juga belajar, Kak."

"Eh! Jangan salah loh ya. Si Ryan itu nggak pake belajar, tapi IPK dia nyaris 4."

"Masa?" tanya Esy sangsi. "Nggak pake belajar?"

Sella menepuk tangannya sekali. Ia sedikit memperbaiki posisi duduk demi bisa melihat Esy di sebelahnya dengan lebih jelas.

"Sistem belajar Ryan itu beda dengan kita. Kamu percaya? Dia bahkan nggak punya buku catatan."

Mata Esy membesar. Semakin sangsi. "Masa?"

"Bener. Dia nggak ada buku catatan dan dia cuma nyimak penjelasan dosen sambil sesekali mencatat. Ingat ya? Sesekali. Kadang catatan dia satu semester itu nggak sampe sehelai kertas A4."

Kali ini Esy mengerjap-ngerjap berulang kali. Teramat sangsi dengan cerita Sella.

"Kamu bisa tanya ke semua angkatan kami. Tapi, ya Ryan memang sepintar itu. Dan aku nggak bisa iri ke dia kan? Toh memang Tuhan menciptakan dia kayak gitu."

Mengatakan itu, Sella membuang napas panjang. Tampak ia manggut-manggut sebelum lanjut bicara.

"Jadi aku pikir nggak ada yang bisa aku lakukan selain belajar mati-matian."

Esy ikut-ikutan membuang napas panjang. "Aku juga udah belajar mati-matian."

"Aku tau rasanya," imbuh Sella tersemyum. "Saat Ryan main-main, aku justru belajar. Saat Ryan bisa buka usaha depotnya, aku justru belajar. Pokoknya aku terus belajar. Rasanya memang kayak nggak adil kan? Kayak Tuhan pilih kasih. Cuma kita nggak bisa apa-apa, selain berusaha."

Esy melihat Sella. Selama ini ia tahu kalau Sella adalah salah seorang seniornya yang memiliki IPK tinggi. Ia juga aktif dan sering terlibat dalam kegiatan kampus bertaraf internasional. Pun dekat dengan dosen dan disenangi semua orang. Ia memang cewek yang supel.

"Saat itu aku cuma kepikiran satu. Kalau Ryan cukup belajar lima menit, artinya aku harus belajar lima jam. Bahkan kalau perlu lima hari. Pokoknya selama ada waktu kosong, aku pakai buat belajar," ujar Sella. "Jadi yang kamu lihat IPK aku tinggi itu, nggak aku dapatkan cuma-cuma loh."

Bibir Esy mengerucut. Ia angguk-angguk kepala dengan aneka rasa. Malu, kagum, dan tak percaya.

"Jadi nggak apa-apa. Kalau kamu ngulang sampe empat kali, ya nggak apa-apa. Selama kamu berusaha, semua pasti bakal terlewati juga."

Sebenarnya Esy ragu, apakah ia bisa melewati Statistika atau tidak. Namun, perkataan Sella membuat ia refleks tersenyum.

"Makasih, Kak."

"Sama-sama," ujar Sella. "Dan ingat. Kamu kuliah, artinya kuliah harus jadi prioritas kamu. Nggak usah dengar omongan orang lain. Nggak usah pikirin yang lain. Pokoknya nggak usah mikir apa-apa selain belajar. Kalau ada waktu dikit aja, pakai untuk belajar."

Tertegun, Esy sepertinya de javu dengan perkataan Sella yang satu itu. Namun, ia tak yakin pernah mendengarnya di mana.

"Esy?"

Suara berat menginterupsi pembicaraan Esy dan Sella. Keduanya sontak berdiri dan sama-sama terkejut melihat Zidan.

"Kamu kuliah Statistika kan pagi ini?" tanya Zidan meyakinkan. "Kamu nggak bermaksud untuk bolos di hari pertama kan?"

Esy buru-buru menggeleng. "Nggak, Pak. Saya masuk."

"Bagus," lirih Zidan. Ia lalu beralih pada Sella. "Nanti jam dua kan?"

Sella mengangguk. "Iya, Pak. Draf hasil penelitian juga sudah saya print."

"Baiklah."

Zidan berlalu dari sana. Langsung menuju pada ruang sebelas. Dan Esy buru-buru berkata pada Sella.

"Makasih banyak, Kak. Aku masuk dulu."

Sella mengangguk. Ia melambaikan tangan pada Esy yang masuk ke ruang sebelas dengan tersenyum lebar.

Sepertinya Esy sudah nggak apa-apa.

Begitulah yang terbersit di benaknya. Tepat ketika akhirnya Farrel benar-benar pergi dari Gedung Kuliah.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top