(55) 5. Seandainya Bisa Melihat Masa Depan 1

"Farrel."

Farrel bisa melihat sedikit gentar di wajah Esy. Tepat ketika pagi itu ia menjemput Esy di kosnya. Sesuai rencana, mereka hari ini akan pergi ke kampus. Demi bertemu dengan dosen pembimbing akademik.

"Kenapa?" tanya Farrel. "Kamu takut ketemu Pak Zidan?"

Bibir Esy mengerucut, tapi ia menggeleng. "Aku bukannya takut. Cuma nggak tau juga sih. Ehm menurut kamu, gimana ntar tanggapan Pak Zidan?"

Dahi Esy mengerut. Semalaman ia merenung, tapi ia tidak bisa menebak.

"Kira-kira Pak Zidan bakal tetap mau jadi PA aku kan?" tanya Esy lagi. "Aku cuma khawatir beliau kesal dan akhirnya balikin aku ke Jurusan lagi."

Farrel berdecak samar. Itu memang hal yang bisa saja terjadi. Ketika ada ketidakcocokan antara mahasiswa dan dosen pembimbing akademik, maka dosen yang bersangkutan bisa mengembalikan mahasiswa tersebut pada Jurusan atau Program Studi.

Pengembalian itu berarti bahwa dosen tersebut tidak ingin menjadi pembimbing akademiknya lagi. Dengan kata lain Jurusan akan mencari dosen lain untuk menjadi pembimbing akademik yang baru.

"Kalau Pak Zidan balikin kamu ke Jurusan ... bukannya itu hal yang bagus ya?"

Bola mata Esy membesar mendengar pertanyaan Farrel. Tapi, menciut seketika saat mendengar kelanjutan perkataannya.

"Kan kamu sendiri yang suka ngomong kalau Pak Zidan itu ganas, suka marah, nakutin, dan dosen dari pelajaran yang nggak kamu suka."

Esy membuang napas panjang. "Memang benar sih, tapi kok kayaknya aku jelek banget kalau sampai dikembalikan ke Jurusan."

Yang pastinya Esy merasa malu. Walau di sisi lain, ia pun sadar diri.

"Cuma ... kayaknya wajar sih kalau Pak Zidan sampai balikin aku ke Jurusan," lirih Esy pelan. Wajahnya lalu tertunduk. Seolah pasrah pada takdir.

Farrel mendeham. Ia mengambil helm dan memberikannya pada Esy.

"Ayo," ajak Farrel seraya memperbaiki posisinya di atas motor. "Nanti kamu tanyain aja sama Pak Zidan. Masih mau jadi PA kamu atau nggak."

Mengenakan helm di kepalanya dengan manyun, Esy lantas bertanya pada Farrel.

"Menurut kamu bakal malu-maluin nggak, Rel? Masa pas ditanya orang Jurusan alasan Pak Zidan balikin aku, terus beliau jawab begini."

Farrel melirik pada spion. Melihat Esy yang bersiap untuk duduk di belakangnya.

"Saya malu, Bu. Masa saya dosen Statistika, tapi mahasiswa saya justru gagal Statistika? Mana tiga kali lagi."

Mata Farrel menyipit mendengar perkataan Esy. Alih-alih menanggapi perkataan Esy, ia justru memilih untuk diam. Bahkan ketika Esy tertawa samar setelahnya.

Farrel tidak akan tertipu. Walau Esy berusaha untuk menyelipkan humor di perkataannya, ia tetap bisa melihat apa yang sebenarnya. Dan itu bukan hal yang sulit untuk Farrel mengetahui semuanya. Bahwa itu adalah upaya yang Esy harapkan bisa membantu menyamarkan rendah dirinya.

Terlebih lagi Farrel bisa melihat bagaimana senyum di wajah Esy terkesan tanpa ada rasa sama sekali. Tampak sendu. Tidak ada gairah dan semangat.

Farrel bergeming. Ketika Esy sudah duduk di belakangnya, ia belum juga melajukan motornya. Esy pun memanggilnya.

"Rel?"

Mata Farrel melihat pada spion. Namun, adalah Esy yang menjadi fokus retinanya.

"Kamu serius kan buat bertahan di sini?" tanya Farrel. "Atau kamu masih ragu?"

Esy tertegun. Pertanyaan yang Farrel berikan membuat sesuatu hadir di pangkal tenggorokannya.

Pahit. Getir. Dan ... Esy menelannya bulat-bulat.

"Iya!" tegas Esy. "Aku serius."

Farrel bersiap untuk melajukan motor. "Kalau begitu ... kita temui Pak Zidan sekarang juga."

*

Zidan tercengang. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa terdiam melihat mahasiswi imut itu di hadapannya.

Duduk dengan sopan dan rapi, Esy yang tak pernah melupakan bros di kemeja yang ia kenakan, menunggu. Ia menantikan apa pun yang akan dikatakan oleh sang dosen pembimbing akademik setelah ia mengutarakan keinginannya.

"Kamu serius, Sy?"

Akhirnya Zidan bersuara kembali. Esy mengerjap dan mengangkat wajah. Melihat pada Zidan.

"Kamu sudah memikirkannya dengan matang?" tanya Zidan lagi.

Esy berusaha untuk tersenyum. "Iya, Pak. Saya serius dan saya sudah memikirkannya dengan matang."

Menghirup udara, Esy bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Pun tangannya gemetaran. Tapi, lidahnya tetap berucap.

"Saya akan bertahan."

Zidan yang justru menahan napas ketika mendengar jawaban Esy. Dalam beberapa detik yang berlalu, Zidan hanya diam sembari melihat Esy lekat.

Bisa dikatakan semua dosen mengenal Esy. Memang bukan karena prestasi, melainkan karena sensasi yang ia buat di hari pertama OSPEK. Dari hari itu banyak dosen dan senior yang membicarakannya. Zidan? Tentu saja tidak termasuk di dalamnya.

Zidan tidak pernah memerhatikan hal semacam itu. Namun, semua jelas berbeda ketika ia tahu bahwa Esy adalah mahasiswa bimbingannya.

Pertemuan pertama, Zidan langsung memberikan penilaian singkat. Cewek yang tidak cocok untuk kuliah di Pertanian. Terlebih lagi di Agroekoteknologi.

Penilaian Zidan nyaris benar. Andaikan nilai semester satu Esy tidak menembus angka tiga. Apa itu kebetulan? Ternyata tidak. Lantaran Esy membuktikan peningkatan di semester-semester berikutnya walau itu bukanlah hal yang mudah.

Esy kerap begadang. Ia belajar hingga larut malam dan tak aneh bila mendapati ada kantung mata di wajahnya.

Namun, sayangnya Esy kurang beruntung di Statistika. Sudah tiga kali mengambil, tapi ia selalu gagal.

Pada titik itu, jujur saja bahwa bukan hanya Esy yang kecewa. Alih-alih Zidan pun merasa kecewa. Namun, sebagai seorang dosen pembimbing akademik, ia mencoba untuk realistis.

"Kamu tau kan resiko apa yang sedang kamu ambil, Sy?" tanya Zidan. "Konsekuensi apa yang sedang kamu pertaruhkan?"

Esy meneguk ludah. Dingin hadir dan membuat tubuhnya menggigil. Pertanyaan Zidan tak ubahnya seperti anak panah dari es yang langsung menancap di jantungnya.

""S-saya tau, Pak."

Zidan diam sejenak. "Dan kamu serius mau bertahan?"

"S-saya akan belajar lebih rajin lagi, Pak. Saya benar-benar ingin bertahan. Saya ingin lulus Statistika dan tamat di sini, Pak," kata Esy dengan suara bergetar.

Mengangguk, Zidan kembali meraih kotak tisu di mejanya. Memberikan pada Esy ketika mata cewek itu mulai berkaca-kaca.

"Baiklah kalau memang itu keputusan kamu," ujar Zidan. "Saya nggak akan melarang."

Esy meraih selembar tisu. Mengusap matanya sekilas dan memberanikan diri untuk bertanya.

"B-Bapak masih bersedia menjadi dosen PA saya kan?"

Zidan mengangguk samar. "Tentu saja."

"Terima kasih, Pak," ujar Esy. "Saya akan belajar dengan lebih giat. Saya akan lebih berjuang agar Statistika saya lulus."

Dalam hati, Zidan pun mendoakan hal yang sama. Lantaran siapa orangnya yang tidak bersimpatik dengan perjuangan Esy? Terlebih lagi Esy adalah mahasiswi bimbingannya sendiri. Ada beban yang lebih berat untuk Zidan pikul.

Tuntas berkonsultasi dengan Zidan, Esy tak lupa mengucapkan terima kasih dan menyalami sang dosen. Ia keluar dari ruangan Zidan dan langsung menuju parkiran.

Melewati beberapa mahasiswa dan dosen, Esy berusaha untuk tersenyum. Ia pun mencoba untuk menyapa dengan sesantai mungkin. Walau dalam hati, ia berharap agar dirinya segera pergi dari sana.

Farrel menunggu Esy di bawah pohon teduh. Ia bangkit dari duduk dan Esy berhenti tepat di hadapannya.

Esy menunduk. Berusaha untuk kuat, ternyata semua lebih berat dari yang ia bayangkan.

Tatapan mata orang-orang yang melihat padanya, entah karena iba atau mencemooh. Rasa rendah diri yang semakin membuat ia ciut. Dan semua hal yang tak pernah ia kira akan menghadirkan sesak sedemikian rupa. Ia tidak mengira bahwa akan sesulit ini.

"Aku bakal bisa kan, Rel? Aku pasti bisa kan?"

Farrel memasangkan helm di kepala Esy. Memasang kuncinya. Menutup kacanya. Lalu ia bertanya.

"Apa pernah kamu nggak bisa?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top