(54) 4. Apa Semua Akan Baik-Baik Saja? 6

"Farrel."

Farrel menoleh. Melihat pada Linda yang masuk ke kamarnya. Sang ibu menghampiri dirinya yang tengah berkemas.

"Jadi ... gimana dengan Esy?" tanya Linda. "Dia nggak kuliah lagi atau gimana?"

Farrel membuang napas panjang seraya menarik ritsleting koper. Singkat, ia menjawab.

"Nggak tau, Ma."

Linda diam. Manggut-manggut mendengar jawaban sang putra. Ia tidak berpikir untuk bertanya lagi. Tapi, mendadak saja telinganya mendengar satu suara.

Ada salam yang menggema. Diikuti oleh derap langkah terburu. Lalu mendadak saja ada seseorang yang muncul di ambang pintu.

Bukan hanya Linda yang kaget. Farrel pun melotot melihat kejadian tersebut. Terlebih lagi ketika satu pertanyaan itu pecah di udara.

"Farrel! Penerbangan kamu besok jam berapa?"

*

Bella dan Mia syok. Mereka berdua tidak percaya dengan apa yang mereka lihat kala itu. Ketika OSPEK memasuki hari ketiga dan keduanya mendapati kehadiran seseorang yang sudah lama menghilang.

"Esy?"

Bella dan Mia sama-sama menghampiri Esy. Tidak lagi memedulikan mahasiswa baru yang atributnya tidak lengkap.

"Ini beneran kamu?"

Esy mengulum senyum. Ia mengangguk. "Iya dong. Ini aku. Memangnya siapa lagi?"

Mia buru-buru menutup mulutnya yang menganga. "Ya Tuhan, Sy. Aku pikir nggak bakal ketemu sama kamu lagi."

Senyum Esy berubah geli.

"Kamu pulang mendadak," ujar Bella kemudian. "Mana nggak ada kabar sama sekali. Ya ampun. Kami pikir kita nggak bakal kumpul lagi."

"Masih kok. Tenang aja. Kita masih bisa kumpul-kumpul lagi," kata Esy kemudian.

Wajah Bella dan Mia berubah. Mereka saling pandang untuk beberapa saat lamanya. Hingga dengan tak yakin, Mia bertanya.

"M-masih? Itu artinya kamu nggak jadi pindah?"

Bella menambahkan. "Kamu bakal tetap di sini?"

Pundak Esy sedikit bergerak ketika ia menghirup udara dalam-dalam. Ia tersenyum dengan penuh tekad. Pun mengangguk.

"Iya," jawab Esy. "Aku nggak bakal pindah. Aku tetap di sini."

Bella dan Mia seketika bersorak. Mereka memeluk Esy layaknya sekumpulan teletubbies yang sedang berpelukan.

"Akhirnya kita bisa sama-sama lagi!"

"Kita harus rayain ini!"

Sorakan itu semakin pecah di udara. Tanpa peduli bahwa saat itu tengah berlangsung kegiatan OSPEK mahasiswa baru. Namun, tak ada yang menegur mereka. Lantaran beberapa alasan.

Pertama, mereka adalah senior tingkat tiga. Artinya mereka sudah memiliki posisi yang cukup disegani.

Kedua, orang-orang tau apa yang terjadi. Desas-desus Esy akan pindah sudah tersebar. Jadi mereka bisa memaklumi sikap Bella dan Mia ketika mengetahui bahwa Esy memilih bertahan.

Walau tentunya tidak semua yang memaklumi. Ada juga beberapa orang yang sebaliknya. Contohnya saja Tiara yang berkata pada Dira.

"Ckckck. Demi Farrel, Esy sampe segitunya."

Dira tersenyum samar. "Iya. Aku nggak ngira dia sampe begini demi nggak mau jauh dari Farrel."

Tak hanya itu. Bukan hanya Tiara dan Dira yang tak percaya dengan fakta tersebut. Adalah Radit yang lalu menyeret Farrel. Membawanya ke sisi gedung kuliah yang sepi.

"Radit!" sentak Farrel. "Kenapa kamu?!"

Radit berkacak pinggang. Menatap Farrel dengan mata yang memerah. Ia meneguk ludah. Lantas satu tangannya terangkat, menunjuk ke sembarang arah.

"Kenapa Esy balik lagi ke sini?" tanya Radit dengan suara bergetar. "Kenapa?"

Farrel mengerjap sekali. "Aku yakin kamu tau jawabannya."

"D-dia nggak jadi pindah?" tanya Radit meringis.

"Aku yakin itu pilihan dia," ujar Farrel. "Sama sekali nggak ada urusannya dengan kamu."

Tuntas mengatakan itu, Farrel memutar tubuh. Ingin pergi dari sana, tapi Radit dengan cepat mengadang langkahnya. Lebih dari itu, Radit pun mendorong dada Farrel.

Beruntung. Refleks Farrel berhasil menyelamatkannya dari kemungkinan untuk jatuh tertelentang.

"Kamu?" geram Farrel.

Radit maju. "Kenapa kamu biarkan Esy tetap di sini? Harusnya kamu suruh dia buat pindah."

"Ini pilihan Esy," jawab Farrel seraya menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menekan emosinya. "Aku nggak ada hak apa pun untuk menyuruh dia bertahan atau pindah."

Radit mendengkus. Ekspresinya tampak tak percaya dengan yang Farrel katakan.

"Kamu memang nggak ada hak apa pun. Tapi, kamu bisa melarang dia. Dan seharusnya kamu melakukan itu!" bentak Radit.

Wajah Farrel mengeras. Jelas, ia tau apa maksud Radit.

"Apa kamu nggak kasihan sama dia? Dia sudah gagal Statistika sebanyak tiga kali. Kesempatan dia buat bisa tamat itu kecil dan kamu nggak kasihan sama dia?!"

Kasihan? Satu kata itu membuat Farrel menahan napas.

"Aku tau kamu nggak ada perasaan apa pun sama Esy selama ini, tapi apa kamu nggak ada secuil rasa kasihan sama dia?" tanya Radit kemudian. "Atau kamu sengaja nyuruh Esy bertahan di sini biar dia nggak bisa tamat?"

Samar, dahi Farrel mengerut. Ia menatap Radit dengan ekspresi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Kamu siapa, Dit?" tanya Farrel dengan nada rendah. "Kamu siapa sampai bisa menarik kesimpulan itu?"

Radit mengerjap. Ingin menjawab, tapi Farrel keburu lanjut bicara.

"Kamu nggak tau apa-apa tentang aku dan Esy. Lagipula ... kasihan?" Farrel mendengkus. "Esy nggak butuh dikasihani."

Ringisan membuat Radit tampak mencemooh Farrel.

"Karena itu kamu biarkan Esy untuk tetap bertahan di sini?" tanya Radit. "Apa kamu senang melihat Esy terus gagal seperti ini?"

Senang? Farrel meneguk satu kata itu bulat-bulat.

"Sudahlah, Dit," ujar Farrel akhirnya seraya menggeleng beberapa kali. "Kamu nggak usah mikir soal Esy. Atau sebenarnya kamu masih suka sama dia?"

Radit tertegun. Farrel mendengkus melihat respon Radit.

"Kalau kamu suka sama Esy, seharusnya kamu sudah tau bagaimana sifat Esy. Kalau nggak ... itu benar-benar lucu kan?"

Apa itu sindiran? Mungkin saja. Lantaran wajah Radit yang seketika memerah hanya dalam waktu singkat.

"Itu bukan urusan kamu, Rel. Mau aku masih suka sama dia atau nggak, itu sama sekali bukan urusan kamu," ujar Radit.

Farrel mengangguk. "Kalau begitu sama. Mau Esy bertahan atau pindah ... itu juga bukan urusan kamu. Sama sekali bukan urusan kamu."

Penekanan yang Farrel ucapkan membuat Radit tak bisa berkutik. Pada saat itu, Farrel pun merasa tak ada gunanya meladeni Radit.

Farrel beranjak. Berjalan. Tapi, ketika ia akan melintasi Radit, suara cowok itu terdengar lagi.

"Memang bukan urusan aku, tapi kamu bisa suruh Esy buat pindah."

Langkah kaki Farrel terhenti. Wajahnya terangkat. Melihat tanpa fokus ke seberang sana.

"Dia pasti dengar apa yang kamu bilang, Rel. Setidaknya kamu bila melakukan itu untuk kebaikan Esy. Dia bakal menyia-nyiakan waktunya di sini."

Farrel menarik napas dalam-dalam. Tanpa merasa perlu berpaling, ia berkata.

"Berapa lama kamu kenal Esy, Dit? Setahun? Dua tahun?"

Radit mengeraskan wajah ketika ada dengkusan mencemooh yang Farrel berikan padanya.

"Kamu nggak tau apa-apa soal Esy," tukas Farrel. "Sementara aku? Aku kenal dia bukan setahun atau dua tahun. Aku kenal dia seumur hidup. Dan selama itu ... aku sudah sangat tau bagaimana sifat Esy."

Farrel menghirup udara dalam-dalam. Bila berbicara soal kasihan, sejujurnya ia pun tidak tega melihat Esy menangis. Ia juga sudah pernah mencoba untuk membuat Esy pindah, tapi tak berguna. Pada akhirnya Esy tetap bertahan pada pilihannya.

"Salah satu di antaranya adalah ..."

Mata Farrel mengerjap. Kali ini ia menemukan satu titik yang menjadi fokus penglihatannya.

"... Esy nggak pernah menyerah dan mundur. Apa pun yang dia inginkan akan selalu dia perjuangkan."

Ada Esy di seberang sana. Ia tampak tertawa bersama Bella dan Mia dengan amat lepas. Seperti tidak ada beban sama sekali.

"Dan dia selalu mendapatkan apa yang dia perjuangkan."

Saat mengatakan itu, suara Farrel perlahan memelan. Seolah apa yang ia ucapkan hanya untuk dirinya sendiri.

"Apa pun itu ... Esy selalu mendapatkannya."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top