(53) 4. Apa Semua Akan Baik-Baik Saja? 5

Farrel?

Di balik selimut, Esy mengerjap. Satu nama itu sontak menggema di benaknya tatkala ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka lagi.

Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi, tubuhnya seketika menegang. Dan itu layaknya sinyal yang memberitahukan bahwa adalah Farrel yang datang.

"Sy."

Esy membuang napas. Suara itu membuktikan bahwa tebakannya tidak keliru. Memang adalah Farrel yang datang ke kamarnya.

Diam, walau itu adalah Farrel, Esy memilih untuk bicara. Ia malas dan benar-benar seperti tidak ada gairah untuk melakukan apa-apa. Bahkan sekadar bicara dengan Farrel.

Padahal biasanya Esy tidak pernah seperti ini. Apa pun yang terjadi dan tengah ia hadapi, Farrel adalah satu-satunya hal yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

Mungkin karena aku akhirnya aku sadar. Aku nggak bisa sama-sama dengan Farrel lagi.

Satu pemikiran menyedihkan itu melintas di benak Esy. Yang diawali oleh ingatan akan tiga kali kegagalan Statistika, saran Farrel, dan bimbingan Zidan. Semua itu memberikan sebuah kesimpulan logis yang membuat Esy pada akhirnya melirihkan nama tersebut.

"Farrel."

Esy mengerjap di kegelapan yang diciptakan oleh selimut. Ia menahan napas dan mendengar suara Farrel bertanya padanya.

"Ya?"

Esy menguatkan diri. Di balik selimut, ia meremas kedua tangannya satu sama lain. Hanya demi melayangkan pertanyaan itu.

"Apa kamu senang? Kalau aku pindah ... apa kamu senang?"

Hening. Sesaat Esy pikir kalau Farrel tidak akan menjawab pertanyaannya. Pun bila Farrel menjawab, tentunya itu adalah jawaban yang bisa ia tebak.

Pasti kan? Pasti kamu senang kan? Karena selama ini kamu selalu berusaha untuk menghindari aku kan?

Esy memejamkan matanya. Menggigit bibir bawah dan berusaha untuk tidak mengeluarkan isakan yang lebih besar dari yang ia tahan saat itu.

"Ya."

Mata Esy semakin rapat memejam. Remasan tangannya pun kian menguat.

"Aku senang."

Tidak ada getar di suara itu. Tidak ada gagap di sana. Tidak ada sedikit indikasi pun yang bisa menjadi tanda bahwa Farrel ragu mengatakan hal tersebut.

Tidak. Farrel tidak ragu sama sekali untuk mengatakan itu. Alih-alih ia amat serius.

Farrel menatap lurus pada Esy. Yang tertutupi selimut, tapi tak akan sulit baginya untuk menebak. Bahwa cewek manis itu tengah meringkuk di baliknya.

"Aku senang, Sy. Kalau kamu sampai pindah, aku senang," ujar Farrel lagi seraya tersenyum tipis. "Aku senang karena akhirnya kamu bisa menentukan sendiri jalan hidup kamu."

Menarik udara dan mengembusnya perlahan, mata Farrel tak berpindah dari Esy. Dalam jarak yang tak seberapa, ia yakin Esy mendengar setiap perkataannya dengan jelas.

Aku memang nggak mau kamu mengikuti aku terus menerus, Sy. Aku nggak mau jadi penghalang untuk kamu menentukan jalan hidup kamu.

Kata-kata itu hanya menggema di benak Farrel saja. Tidak ia ucapkan. Lantaran ada hal lain yang ia katakan.

"Mungkin dengan pindah, itu akan jadi hal yang bagus untuk kamu. Seenggaknya kamu nggak perlu bersedih karena Statistika lagi. Dan aku yakin kamu pasti bisa memulai perkuliahan yang baru dengan baik."

Ada sedikit gemerisik di seberang sana. Membuat mata Farrel membesar melihat pada Esy dan tubuhnya seketika menegang. Entah mengapa, tapi kala itu Farrel hanya berharap satu hal.

Jangan keluar dari balik selimut, Sy. Jangan.

Doa Farrel dikabulkan Tuhan. Setidaknya Esy pun tidak berniat untuk memperlihatkan wajahnya yang kian kusut dan pucat pada cowok itu.

"Apa seyakin itu kamu, Rel? Kalau aku bakal bisa bertahan di tempat baru?" tanya Esy masih di balik selimutnya.

Farrel membuang napas panjang sekali. "Kamu sudah ada rencana mau pindah ke mana?"

"Menurut kamu ... bagusnya aku pindah ke mana?"

Dahi Farrel mengerut. Samar memang, tapi telinganya tak akan salah menangkap. Ada isakan yang kembali Esy tahan. Dan gemerisik itu semakin nyata ketika selimut tampak bergerak-gerak abstrak. Tanda bahwa Esy kembali berjuang melawan tangisannya.

"Bagaimana kalau FKIP Biologi? Nilai Biologi kamu kemaren bagus dan ... aku yakin kamu bisa."

"Aku nggak tau kalau kamu bisa seyakin itu, Rel."

Farrel menundukkan wajah. Memutuskan untuk melihat pada jari-jari tangannya saja ketimbang pada selimut yang terus bergemerisik itu.

"Kita udah kenal berapa lama, Sy?" tanya Farrel tanpa menunggu jawaban Esy. "Bukan setahun atau dua tahun. Aku kenal kamu sudah seumur hidup. Dan karena itu aku bisa yakin."

Bukan lagi waktu yang singkat. Hingga nyaris sudah dua puluh satu tahun mereka saling mengenal. Dan tentunya bukan sekadar kenal nama saja.

"Selama ini kita bareng terus dan nggak sulit untuk aku tau beberapa hal. Salah satu di antaranya adalah ..."

Farrel menarik napas dalam-dalam. Ketika ia melanjutkan perkataannya, ia tersenyum dengan ekspresi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"... aku kagum sama kamu."

Esy diam. Mungkin di balik selimut itu, ia tengah bingung. Bagaimana bisa Farrel kagum padanya?

"Selama ini orang-orang selalu menganggap aku pintar. Tapi, terkadang aku pikir aku ini biasa saja. Sebaliknya, aku malah berpikir kalau yang pintar itu sebenarnya kamu."

Jari-jari tangan Farrel yang sedari tadi bergerak tak menentu, berhenti. Tepat ketika akhirnya Farrel tertegun dan ia seolah tertarik ke masa lalu.

"Kamu ingat nggak? Waktu kita pernah TO pas SD dan nilai kamu anjlok banget? Bu Guru sempat bilang kalau kamu nggak mungkin bisa masuk SMP unggulan. Tapi, kamu malah mengejutkan banyak orang. Nilai ujian akhir kamu malah melonjak dan nama kamu ada di posisi ketiga dari bawah."

Farrel mendengkus geli. Ia bahkan geleng-geleng kepala.

"Tiga dari bawah untuk siswa yang berhasil masuk ke SMP unggulan."

Farrel tidak akan salah mengingat. Hari itu Esy benar-benar girang sementara orang-orang banyak yang tak percaya.

"Kejadian yang sama terulang lagi saat kita SMA," ujar Farrel kemudian. "Itu malah nyaris banget. Nama kamu yang paling terakhir. Dan tiap malam kamu berdoa biar nama kamu nggak tergeser."

Tuntas mengatakan itu, Farrel tersenyum geli. Sesaat membuat ia terlupa untuk yang terjadi saat itu.

Farrel mengerjap. Kesadaran menampar dirinya untuk kenyataan sekarang.

"Jadi kalau kamu nanya kenapa aku bisa seyakin itu," ujar Farrel seraya menarik napas dalam-dalam. "Jawabannya karena aku sudah kenal kamu dari dulu, Sy."

Farrel bangkit. Mengerjap ketika ada rasa aneh yang mendadak muncul di matanya. Berikut sesak yang membuat ia ingin segera pergi dari kamar Esy.

"Aku balik dulu, Sy," ujar Farrel. "Dan jangan lupa makan."

Tuntas mengatakan itu, Farrel segera keluar dari kamar Esy. Ia menutup pintu dan meninggalkan Esy sendirian di kamar.

Sepeninggal Farrel, Esy tak lagi bisa membendung tangisannya. Ia meledak. Terisak dengan amat memilukan. Dan di benaknya, suara-suara itu menggema.

"Mungkin ... kamu harus berhenti di sini, Sy."

"Apakah kamu mau lanjut kuliah di sini atau kamu mau pindah?"

"Belum terlambat buat kamu berhenti dan pindah, Sy. Kamu bisa pindah tahun ajaran baru ini."

"Ini hidup kamu, Esy. Artinya semua pilihan dan tanggung jawab ada di tangan kamu. Baik atau buruk, kamu sendiri yang menentukannya."

Suara Farrel dan Zidan seolah sahut menyahut di benak Esy. Membuat ia semakin terisak seraya memukul dadanya sendiri.

Sakit. Sesak. Jangan ditanya lagi. Semua seperti bergumul di dada Esy.

Isakan Esy semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin tertumpah ruah. Tapi, kala itu ada sekilas bayangan yang turut muncul.

"Jadi butir-butir hijau itu kloroplasnya, Kak?"

"Iya. Kamu lihat kan dia bergerak? Itu karena di dalam sel ada cairan sel. Jadi mereka bisa muter-muter cantik gitu deh."

Yang diikuti oleh kilasan lainnya.

"Di sini ada cacingnya nggak, Kak?"

"Yang namanya lahan pertanian ya pasti dong ada cacing. Kamu ini gimana sih?"

"Hahahaha. Iya juga ya."

Pun dengan kilasan berikutnya.

"Mengapa ilmu biotek perlu dalam pertanian, Esy?"

Y-ya ampun. Kenapa sih Bu Emi suka banget kasih aku pertanyaan yang diawali kata 'mengapa?'

"Coba kamu jelaskan."

"Sekurang-kurangnya biotek bisa memberikan efisiensi dalam segi waktu dan tenaga, Bu. Sebagai contoh pemanfaatkan kultur jaringan bisa menyediakan bibit dalam waktu singkat dengan jumlah yang banyak. T-terus ... pemanfaatan PCR bisa mengetahui kualitas tanaman dari masa bibit."

"Oke."

Ya Tuhan. Untung malam tadi aku udah belajar duluan. Bu Emi ini hobi banget kasih pertanyaan selama kuliah.

Berikut dengan kilasan-kilasan lainnya. Entah itu ketika Esy berkumpul dengan teman-temannya atau belajar bersama mengerjakan tugas kelompok. Semuanya muncul persis seperti rekaman dokumenter.

Itu adalah masa-masa yang indah. Hal yang menyenangkan. Sesuatu yang membuat Esy berpikir ribuan kali untuk pindah.

Lantas Statistika hadir dan menguasai benak Esy. Melenyapkan semua kenangan indah itu. Menggantinya dengan kenyataan dan kemungkinan yang harus ia hadapi. Dalam bentuk dua pilihan yang membuat Esy bertanya pada dirinya sendiri.

Apa yang kamu inginkan, Sy?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top