(52) 4. Apa Semua Akan Baik-Baik Saja? 4

Farel.

Satu nama itu langsung melintas di benak Esy tatkala Zidan tuntas bicara. Satu nama yang memberikan pemberontakan ketika dua pilihan itu dihadapkan padanya.

Bertahan atau pindah?

Nyatanya bukan hanya Farrel yang memberikan pilihan itu pada Esy. Alih-alih Zidan pun demikian. Dan itu bukan tanpa sebab.

"Saya tau di jurusan lain akan ada Statistika," ujar Zidan. "Cuma yang jadi pertimbangan adalah apakah Statistika menjadi mata kuliah prasyarat atau tidak. Itu yang memberatkan saya sehingga saya menyarankan kamu untuk pindah."

Esy diam. Ia paham maksud Zidan.

"Dan kampus memiliki kebijakan khusus. Maaf bila perkataan saya pahit. Tapi, mahasiswa diperbolehkan untuk tamat membawa satu D."

Zidan tidak berusaha untuk memperhalus perkataannya. Terkesan kejam, mungkin. Tapi, sayangnya itu adalah kenyataan.

"Bila Statistika kamu dapat D di tempat lain, itu mungkin nggak akan sefatal nilai D di sini, Sy. Di tempat lain kamu bisa tamat walau Statistika kamu nggak lulus. Tapi, di sini? Di Agroekoteknologi? Nggak bisa," ujar Zidan lagi panjang lebar.

Esy mengangguk seraya menahan napas selama mungkin. Berharap itu bisa membendung isak tangisnya yang mengancam untuk meledak.

"Jadi saya harap kamu berpikir dengan matang-matang," ujar Zidan. "Ingat selalu. Kamu yang berhak untuk setiap pilihan yang kamu ambil."

Kembali, Esy mengangguk.

"Sebagai PA, cuma itu yang bisa saya lakukan."

Esy berusaha untuk tersenyum. Walau pada akhirnya Zidan justru merasa kasihan melihatnya.

"T-terima kasih, Pak," ujar Esy terbata. "Saya akan memikirkan masukan Bapak dengan sebaik mungkin."

Zidan tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk samar ketika Esy menyalami tangannya dan permisi pergi.

Wajah Esy tertunduk. Ia menyusuri koridor dengan lesu. Tak ada senyum di wajahnya. Ia diam dan bahkan tidak menyapa orang-orang yang ia papasi di sepanjang jalan. Pun termasuk Radit yang ternyata ada pula di sana.

"Sy, kamu–"

Esy terus berjalan. Benar-benar mengabaikan semuanya hingga ia pun tiba di parkiran.

"Esy."

Esy mengerjap dan langkah kakinya terhenti. Di hadapan Farrel, ia sudah tidak bisa bertahan lagi. Pada akhirnya ringisan itu lolos dari bibirnya.

"A-aku mau pulang, Rel."

Farrel mengangguk. Ia segera mengenakan helm di kepala Esy. Tapi, Esy kembali terisak.

"Aku mau pulang ke rumah."

Air mata Esy kembali jatuh. Dari kelopak yang telah membengkak itu, tangisan kembali luruh.

"Aku nggak mau di sini lagi," ujar Esy dengan pundak berguncang. "Aku mau pulang."

Dan Farrel tidak bisa berkata apa-apa.

*

Esy benar-benar pulang. Dua hari setelah ia bertemu dan konsultasi dengan Zidan, Esy pulang.

Itu memang adalah waktu yang tepat. Saat libur tahun ajaran baru. Dan untuk itu, Farrel pun turut serta.

Kepulangan setelah nyaris dua tahun seharusnya menjadi momen yang menyenangkan bagi semua pihak. Tapi, nyatanya tidak untuk Esy dan keluarganya.

Bukan hanya rencana liburan yang batal, mereka pun tidak tahu harus bersikap seperti apa pada Esy. Mereka khawatir bila semakin menyakiti perasaan cewek itu. Terlebih lagi mereka khawatir kalau Esy jatuh sakit.

"Kalau kamu nggak mau makan," ujar Dhian putus asa. "Terus Mama gimana, Sy? Mama masak kan untuk kamu."

Esy bersikeras untuk tetap bersembunyi di balik selimut. "Aku nggak lapar, Ma."

"Sy! Kamu tau nggak? Ada wahana baru loh. Gimana ka–"

"Aku nggak mau ke mana-mana, Mas," ucap Esy memotong perkataan Bara. "Aku mau istirahat aja."

Dhian dan Bara menyerah. Mereka sama mengerti. Bahwa sebagai anak bungsu, keras kepala Esy benar-benar tidak ada tandingannya.

Pada akhirnya Dhian dan Bara keluar dari kamar Esy. Menutup pintu dan membuang napas panjang.

"Sampai kapan adek kamu begini, Mas? Lama-lama dia beneran bisa sakit."

Bara mengacak-acak rambutnya. Ia pun pusing. Adiknya yang selalu ceria dan kerap memamerkan aksesoris terbaru padanya, menghilang. Tergantikan oleh seorang cewek yang hanya berdiam diri di kamar dan menangis sepanjang hari.

"Aku juga nggak tau, Ma," kata Bara tak berdaya.

Tepat setelah Bara mengatakan itu, ada suara ketukan pintu. Membuat Bara dan Dhian sama-sama beranjak. Menuju keluar dan kompak mata keduanya membesar.

"Farrel!"

Farrel mengerjap bingung. Respon Dhian dan Bara sepertinya terlalu berlebihan. Tapi, walau demikian ia berusaha untuk tetap sopan. Dengan satu piring di tangannya, ia berkata.

"M-Mama baru selesai masak tempuyak ikan, Tan."

Dhian langsung menghambur pada Farrel. "Kamu datang di waktu yang tepat."

"Ehm ... datang di waktu yang tepat? Tante mau makan tempuyak?" tanya Farrel tak yakin.

Bara menggeleng. "Bukan Mama yang mau makan tempuyak ikan. Tapi, Esy."

"Esy?" tanya Farrel tak yakin. "Esy mau makan tempuyak ikan?"

Dhian mengangguk. Ia lantas menyodorkan piring nasi di tangannya pada Farrel. Menyerahkannya hingga Farrel benar-benar memegang piring tersebut.

"Esy mau makan tempuyak," ujar Dhian berdusta. "Dia sampe nggak mau keluar dari kamar karena mau banget makan tempuyak."

Farrel mengerjap seperti orang bodoh. Oh, tentu saja ia tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, bagaimana caranya ia menolak?

"Tante minta tolong, Rel. Kamu bawa nasi dan tempuyak ini ke kamar Esy ya? Biar Esy mau makan," pinta Dhian sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Ya?"

Farrel menarik napas dalam-dalam. Dua tangannya sudah penuh dengan dua piring. Berat? Jangan ditanya. Tapi, yang lebih berat lagi adalah permintaan Dhian.

"Tante mohon."

Akhirnya, Farrel mengangguk. Sontak membuat Bara memejamkan mata seraya mengucapkan 'yes' tanpa suara sementara Dhian tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Farrel menuju kamar Esy. Sedikit bingung bagaimana caranya agar ia bisa membuka pintu, ternyata Bara muncul dari tempat persembunyian sementaranya.

Bara membuka pintu. Membiarkan Farrel masuk dan segera menutupnya kembali. Lantas ia berlari-lari kecil untuk menunggu kembali bersama dengan Dhian.

"Esy bakal makan kan, Mas?" tanya Dhian.

Bara mengangguk. "Kalau sama Farrel, tulang ikan juga bakal dia makan, Ma."

Walau sebenarnya Farrel pun tak yakin kalau ia bisa membujuk Esy. Lantaran ia bisa merasakan aura yang berbeda ketika ia masuk ke kamar cewek itu. Terasa suram dan dingin. Tidak ceria dan hangat seperti biasanya.

Di atas tempat tidur, Esy menutup sekujur tubuhnya dengan selimut. Tak mengizinkan Farrel untuk bisa melihatnya sedikit pun. Tapi, Farrel bisa menebak. Dari guncangan samar dan isakan pelan itu. Bahwa Esy sedang menangis.

Tidak. Esy masih menangis. Di tiap kesempatan yang ia miliki, Esy akan terus menangis.

"Sy."

Farrel menaruh dua piring itu di meja belajarnya. Dan ia memilih duduk pula di sana. Dengan bingung dan tak tau harus bicara apa, ia memutuskan untuk diam saja. Menunggu hingga Esy bicara. Tapi, sayangnya ketika Esy bicara maka adalah sesuatu yang menohok yang ia ucapkan.

"Farrel."

Farrel mengangkat wajah. "Ya?"

"Apa kamu senang?" tanya Esy dari balik selimut. "Kalau aku pindah ... apa kamu senang?"

*

bersambung ....

Sedikit penjelasan: Jadi pertimbangan Zidan (juga Farrel mungkin) adalah Statistika itu MK prasyarat. Prasyarat apa? Ini alurnya: Statistika => Rancangan Percobaan => Metodologi Penelitian => Penyajian Ilmiah => Skripsi.

Karena itu kan Esy ga bisa ambil MK Rancangan Percobaan. Soalnya Statistika dia ga lulus. Kalau ga prasyarat, Esy pasti udah ngambil Rancangan Percobaan juga.

Jadi Esy beneran ga bisa tamat kalau Statistika ga lulus. Dengan kata lain, gagal Statistika maka dia ga bisa ngambil MK selanjutnya loh. Sistem prasyarat gini memang momok semua mahasiswa sih. 

Tapi, satu mata kuliah yang sama di prodi yang berbeda bisa saja memiliki kedudukan yang beda. Ada yang nggak prasyarat. Ada yang SKS-nya beda. Dan ya macam-macam. Karena prioritas tiap MK di tiap Prodi itu juga beda-beda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top