(51) 4. Apa Semua Akan Baik-Baik Saja? 3
"Farrel."
Esy menyebut nama Farrel dengan lesu di sambungan telepon. Sama lesunya dengan ia yang berusaha untuk bangkit dari tempat tidur.
"Ya? Kenapa? Kamu sakit?"
Esy membuang napas panjang. Sekilas, ia melihat pada jam dinding terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Ga. Aku nggak sakit. Tapi, kamu bisa antar aku ke kampus nggak? Sekitar setengah jam lagi?"
"Ke kampus? Mau ngapain? Lebih baik kamu istirahat dulu di kos, Sy."
Esy mengerjap. Apa itu perasaannya saja atau bagaimana? Suara Farrel terdengar khawatir.
"Pak Zidan baru aja chat, Rel," ujar Esy kemudian. "Beliau nyuruh aku menghadap pagi ini."
Hening sejenak. Setelahnya barulah Farrel menjawab.
"Kamu siap-siap aja dulu. Aku jemput setengah jam lagi."
Sambungan telepon pun berakhir. Memberikan kesempatan untuk Esy membuang napas panjang berulang kali.
Esy merasa lelah. Sejujurnya ia pikir dirinya tidak akan bangun pagi itu. Ia hanya ingin tidur dan tidak melakukan apa-apa. Tapi, pesan dari Zidan tak mungkin ia abaikan.
[ Pak Zidan PA ]
[ Esy, temui saya di ruangan jam sembilan ini. ]
Setelah membaca pesan itu untuk yang kesekian kali, Esy pun menyingkirkan ponselnya. Ia bangkit dan dengan langkah gontai, ia menuju kamar mandi.
Esy bersiap tanpa semangat seperti biasanya. Ia benar-benar seakan tidak memiliki gairah hidup lagi.
"Sy, kamu udah sarapan?" tanya Farrel ketika ia tiba di kos Esy.
Esy mengangguk. Ia berjalan menuju motor Farrel dan mengambil helm. Mengenakannya.
"Udah."
Farrel ragu Esy jujur. Wajah lesu Esy membuat Farrel curiga kalau cewek itu belum makan dari siang kemarin. Tepatnya setelah Esy mengetahui nilai Statistikanya gagal lagi untuk kali ketiga.
"Oh, aku pikir kamu belum sarapan. Soalnya aku mau ngajak sarapan. Aku belum sarapan," ujar Farrel seraya melirik pada spion. Memastikan Esy sudah duduk di belakangnya. "Habis dari ketemu Pak Zidan, gimana kalau kita cari camilan?"
Esy hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Dan Farrel memutuskan untuk tidak bicara lagi.
Farrel memacu motornya dalam keheningan. Tidak ada percakapan apa-apa di antara mereka. Itu adalah suasana yang canggung dan juga tidak biasa.
Lantaran biasanya Esy akan punya banyak hal untuk dibicarakan. Ia akan menceritakan apa pun. Dan di sela-sela itu, ia kerap tertawa.
"Kamu tunggu bentar ya, Rel?" pinta Esy ketika mereka sudah tiba di Gedung Jurusan. "Kayaknya aku nggak bakal lama."
Farrel hanya mengangguk. Lantas Esy pergi dan Farrel hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Sesampainya di depan ruangan Zidan, Esy menarik napas dalam-dalam. Tangannya sudah terangkat, tapi dibutuhkan banyak kekuatan bagi Esy untuk mengetuk.
"Masuk."
Esy membuka pintu. Mengucapkan permisi dan lantas Zidan menyuruhnya untuk duduk.
Tidak langsung bicara, Zidan mengamati keadaan Esy terlebih dahulu. Di balik kacamata anti radiasi yang ia kenakan, Zidan bisa melihat dengan pasti terpuruknya Esy. Zidan yakin tebakannya tidak salah. Bahwa adalah Statistika penyebabnya.
"Esy," panggil Zidan beberapa saat kemudian. "Saya nggak akan berpanjang lebar. Saya hanya ingin bertanya sama kamu satu hal."
Esy mengerjap. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Zidan.
"Apa rencana kamu ke depannya?"
Tertegun, Esy tidak menjawab pertanyaan Zidan. Hingga sang dosen kembali berkata.
"Saya nggak akan bermanis mulut. IPK kamu bagus. Setiap semester, IP kamu selalu mengalami peningkatan. Tapi, bukan cuma itu yang kamu butuhkan untuk bisa tamat."
Esy memang sudah menebak. Tentu adalah Statistika yang menjadi alasan mengapa Zidan menghubunginya pagi itu.
"Saya tau kamu kecewa karena Statistika kamu lagi-lagi gagal. Dan sejujurnya saya juga kecewa," ujar Zidan. "Kamu sudah berusaha, tapi apa boleh buat. Nilai akhir kamu tetap belum cukup untuk bisa lulus."
Esy menahan napas. Ia berusaha untuk tetap waras, tapi ternyata sulit sekali.
"Pak," lirih Esy pada akhirnya. "Apa nggak ada keringanan sedikit pun?"
Zidan mengerutkan dahi. "Keringanan?"
"Bapak bisa kasih saya tugas. Saya pasti akan mengerjakannya dengan baik, Pak. Saya akan melakukan apa pun agar Statistika saya bisa lulus. Saya mohon, Pak," pinta Esy dengan suara terbata.
Zidan menarik napas dalam-dalam. Ia melepas kacamata dan menaruhnya di atas meja.
"Bapak lihat sendiri kan? Saya sudah belajar mati-matian, Pak. Saya mohon, Pak," ujar Esy kembali dengan napas yang terasa payah. Lantaran panas telah hadir di matanya dan membuat kesedihannya memberontak. "Saya mau lulus, Pak."
Zidan diam. Ketika ia melihat mata Esy yang mulai berlinang, ia memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.
"Saya benar-benar mau lulus, Pak. Saya mohon."
"Sebagai seorang PA, saya pun ingin kamu lulus, Sy. Menurut kamu apa saya ingin menggagalkan kamu?" tanya Zidan tanpa menunggu jawaban Esy. Ia menggeleng. "Nggak mungkin."
Esy meremas kedua tangannya. "Kalau begitu saya mohon, Pak. Berikan saya tugas apa pun. Saya akan mengerjakannya. Asal Statistika saya kali ini bisa lulus. Saya mohon, Pak."
Ketika mengatakan itu, Esy sudah amat putus asa. Sebenarnya ia sudah mendengar desas-desus itu. Bahwa terkadang ada beberapa dosen yang akan iba pada mahasiswa.
Dosen-dosen yang demikian bisa memberi pengecualian. Memberikan tugas demi mendongkrak kembali nilai akhirnya. Dan mereka pun bersedia merevisi nilai akhir.
Hanya saja Esy pun sudah mendengar desas-desus yang lain pula. Bahwa Zidan tidak termasuk ke dalam golongan dosen tersebut. Gelar dosen killer dan tanpa hati yang disematkan mahasiwa pada Zidan, jelas bukan isapan jempol belaka.
"Maaf, Esy," ujar Zidan menggeleng. "Kalau kamu mau mendongkrak nilai kamu maka kamu harus melakukannya sebelum nilai akhir keluar. Bukan setelah nilai akhir keluar."
Esy tidak bisa bertahan lagi. Linangan di kelopak matanya, terjatuh.
Tidak ingin. Tapi, bolehkah Esy berharap bahwa air matanya akan meluluhkan Zidan? Nyatanya tidak.
Zidan menyodorkan kotak tisu pada Esy. Lalu ia kembali bicara.
"Saya adalah orang yang paling tau kalau kamu sudah berusaha selama ini. Kamu sudah sangat berusaha. Saya tau itu. Tapi, ternyata kamu tetap gagal."
Selain itu Zidan pun jelas tau bahwa apa yang akan ia katakan selanjutnya bisa membuat Esy semakin terpuruk. Berat, tapi itulah tugas Zidan sebagai dosen pembimbing akademik. Pahit manis, harus ia katakan dengan sejujur mungkin.
"Sekarang saya ingin kamu berpikir dengan penuh pertimbangan Esy," ujar Zidan seraya menatap Esy lekat. "Apakah kamu mau lanjut kuliah di sini atau kamu mau pindah?"
Air mata Esy berhenti mengalir. Ia tertegun untuk situasi yang kembali ia hadapi.
"Ini memang adalah hal yang berat. Saya selaku PA pun nggak mudah mengatakan ini. Tapi, kamu harus realistis. Apakah kamu ingin tetap bertahan atau sebaliknya?"
Pertanyaan Zidan menohok Esy. Itu adalah pertanyaan serupa yang telah ia dapatkan untuk kedua kalinya.
"Ini hidup kamu, Esy. Artinya semua pilihan dan tanggung jawab ada di tangan kamu," lanjut Zidan dengan penuh penekanan. "Baik atau buruk, kamu sendiri yang menentukannya."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top