(50) 4. Apa Semua Akan Baik-Baik Saja? 2
"Farrel."
Kali ini bukan Esy yang menghampiri Farrel. Alih-alih sebaliknya. Adalah Farrel yang terburu-buru menuju pada cewek itu.
"Sy," kata Farrel dengan napas terengah-engah. "B-bagaimana?"
Esy tidak menjawab pertanyaan Farrel. Melainkan ia menggigit bibir bawahnya. Lantaran ia tak akan sanggup menjawab pertanyaan itu.
Esy tak bisa bicara. Sekarang ia hanya berusaha untuk kuat agar tangisnya tidak pecah di kampus.
Tak ada jawaban yang Farrel dapatkan membuat cowok itu melihat pada tangan Esy yang menggenggam ponsel. Dan Farrel tidak butuh permisi sama sekali untuk mengambil ponsel yang layarnya menghitam itu.
Farrel mengarahkan ibu jarinya pada sensor sidik jari. Ponsel menyala dan kunci terbuka seketika. Menampilkan layar portal mahasiswa Esy.
D.
Satu huruf itu terpampang dengan amat nyata. Berulang kali Farrel mencocokkan tabel nilai itu dengan harapan bahwa bukan Statistika yang mendapat D. Tapi, semua tak ada guna. D itu memang adalah nilai Statistika Esy. D yang ketiga kalinya.
"F-Fa–"
Farrel menyambar tangan Esy. Membuat suara Esy yang terbata, putus seketika.
Mengabaikan beberapa mata yang melihat pada mereka, Farrel mengajak Esy untuk pergi dari Gedung Jurusan. Langsung menuju parkiran dan tanpa basa-basi mengenakan helm di kepala Esy. Serta memastikan kacanya tertutup dengan sempurna.
Farrel melanjukan motor meninggalkan kampus. Melirik sekilas pada spion. Melihat pantulan Esy yang bergeming di belakangnya.
Esy tampak tak bergerak. Tapi, siapa yang bisa menebak? Bahwa tetes pertama air matanya telah terjatuh di pipi.
Esy memejamkan matanya. Semakin kuat menggigit bibir bawahnya. Bila ia tidak bisa menahan tangis, setidaknya jangan buat ia terisak.
Namun, semua tidak berguna. Ketika Farrel menghentikan laju motor. Berhenti di satu taman kota yang Esy tak tau entah itu ada di mana, isakannya pun tak mampu dibendung lagi.
Farrel tertegun. Tepat ketika standar motor terpasang dan mesinnya tak lagi menyala, telinga Farrel mendengarnya dengan amat jelas.
"Esy."
Farrel turun dari motor dengan hati-hati. Pun lebih hati-hati lagi ketika menuntun Esy untuk turut turun pula. Mereka duduk di satu bangku dan Farrel melepaskan helm Esy.
Farrel membeku. Tatkala wajah basah penuh dengan air mata itu masuk ke retina matanya, tubuhnya sontak kaku tak berdaya.
Esy menatap Farrel dengan pandangan yang berkabut. Air mata memenuhi penglihatannya. Membuat kabur semua di matanya.
"F-Farrel," isak Esy dengan pundak terguncang. "K-kenapa? Kenapa aku dapat D lagi?"
Jantung Farrel seperti tidak berdetak lagi. Seumur hidup mengenal Esy, tidak perrnah ia melihat Esy sehancur ini sebelumnya.
"E-Esy."
Ada keinginan untuk menghapus air mata Esy. Tapi, Farrel merasa tubuhnya tak ada kekuatan. Lantaran air mata itu terus mengalir dengan teramat deras. Seolah memberikan bayangan untuknya. Bahwa untuk setiap air mata yang ia hapus maka akan ada air mata selanjutnya yang menggantinya.
Itu seperti tindakan yang percuma. Tapi, juga tindakan yang membuat nyeri di dada.
"A-aku udah belajar, Rel. Aku udah begadang. Aku udah menghapal materi mati-matian. Tapi, kenapa aku dapat D lagi?"
Farrel meneguk ludah. Tapi, ia benar-benar tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Ia tidak tahu bagaimana menenangkan Esy. Terlebih itu, ia tidak tahu bagaimana caranya agar tangis itu berhenti.
"Ini sudah tiga kali, Rel. Aku udah ngambil Statistika tiga kali, Rel. Dan semuanya gagal, Rel. Padahal aku sudah berusaha mati-matian. Kenapa aku selalu dapat D?" tanya Esy dengan sorot yang benar-benar terluka.
Namun, bukan cuma Esy. Farrel pun pasti merasakan sedih yang serupa. Lantaran ia pun tahu dengan pasti bagaimana perjuangan Esy selama ini.
Bila ada orang yang paling mengetahui setiap usaha yang Esy lakukan demi Statistika maka itu pastilah Farrel orangnya. Ia tahu dengan jelas bagaimana Esy yang terus belajar dan memeriksa tugasnya berulang kali. Demi mendapatkan nilai yang bagus.
Hanya saja semua percuma. Semua seperti tidak berarti apa-apa ketika D kembali keluar.
"Aku harus bagaimana, Rel? Kalau Statistika aku nggak lulus-lulus ..."
Suara Esy terdengar bergetar. Di balik air matanya yang terus mengalir tanpa henti, ada pucat yang menjajah.
"... artinya aku nggak bisa tamat."
Tuntas mengatakan itu, Esy tak bisa bertahan lagi. Tangis dan isakannya kali ini benar-benar pecah.
Esy menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tapi, air mata terus memberontak. Hingga merembes samar dari sela-sela jarinya.
Farrel mengerjap. Rasa panas pun hadir di matanya. Keberadaannya tak mampu ia cegah. Ia meneguk ludah dan tangannya naik di udara. Jari-jarinya mengarah pada Esy.
Ada sedikit ragu yang berhasil menghambat pergerakan jari Farrel. Tapi, sejurus kemudian ia benar-benar meraih tangan Esy.
Farrel menarik tangan Esy. Lepas dari wajahnya. Dan semua kesedihan itu terpampang dengan amat nyata.
"Sy."
Suara Farrel tak seperti biasanya. Terdengar amat lirih dan nyaris tak terdengar.
Esy berpaling. Menatap Farrel dengan semua air mata yang tertumpah ruah. Ia berusaha menahan isakannya beberapa detik. Hanya demi bertanya.
"Aku harus bagaimana, Rel?"
Kesedihan dan keputusasaan itu benar-benar membuat Esy terluka. Menghadirkan lebih banyak air mata. Dan kabut yang terus membuat kabur pandangannya seperti memberikan bayangan untuknya. Bahwa seperti itulah kira-kira masa depannya nanti.
Dengan Statistika yang tidak lulus. Esy sudah bisa dipastikan tidak akan bisa tamat kuliah. Lantas ....
"Apa yang harus aku lakukan?"
Mata yang berlinang air mata itu menatap Farrel dengan tak berdaya. Esy sudah putus asa. Ia benar-benar tak lagi bertenaga. Semangatnya hilang sudah.
Farrel menarik udara dalam-dalam. Ia memang tidak mengalami, tapi ia bisa merasakan penderitaan Esy kala itu.
Bukan setahun atau dua tahun, Farrel sudah mengenal Esy bertahun-tahun. Dan selama itu, tak pernah Farrel melihat Esy menangis seperti ini. Menangis dengan keadaan yang amat terpuruk.
Farrel menggenggam jemari Esy. Meremasnya. Berharap agar Esy bisa menerima kenyataan.
"Mungkin ... kamu harus berhenti di sini, Sy."
Pelan. Teramat lirih. Tapi, Esy bisa mendengar perkataan Farrel dengan begitu jelas. Tiap kata yang Farrel ucap bisa Esy dengar dan langsung tertancap di benaknya.
"B-berhenti?" tanya Esy dengan gamang.
Farrel mengangguk. "Nilai kamu yang lain bagus, Sy. Aku pikir mungkin lebih baik kamu pindah."
Air mata Esy berhenti mengalir. Isakannya pun langsung menghilang. Semua tergantikan oleh rasa dingin yang membuat tubuh Esy membeku.
"P-pindah?"
Farrel kembali mengangguk. Ia terlihat sama putus asanya dengan Esy ketika berkata.
"Belum terlambat buat kamu berhenti dan pindah, Sy. Kamu bisa pindah tahun ajaran baru ini."
Angin berembus. Membuat dingin di tubuh Esy semakin menjadi-jadi. Ia diam. Ketika Farrel bicara, ia memilih menutup mulut rapat-rapat. Dengan satu suara yang lantas menggema di benaknya.
Berhenti? Pindah? Apa aku harus nyerah dan pergi dari sini?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top