(42) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 11
"Farrel."
Wajah Farrel maju lagi. Matanya tetap menatap Esy tanpa kedip. Seolah tak peduli dengan Esy yang sudah membeku jiwa raga, ia kembali menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya.
"Ngerti?"
Esy buru-buru mengangguk. "N-ngerti."
Farrel menarik diri. Berdiri dengan posisi semestinya dan kembali mengingatkan.
"Ini yang terakhir. Sekali lagi kamu nanya soal aku dan Dira, nggak bakal aku ladeni."
Mengatakan itu seraya beranjak, Farrel tidak menyadari bagaimana Esy yang langsung membuka mulut besar-besar. Membuang napas dan buru-buru menarik udara sebanyak-banyaknya.
Gila! Bertahan tanpa napas selama beberapa detik sudah membuat paru-parunya memberontak.
Esy megap-megap seraya memegang dada kirinya. Ia meneguk ludah. Tampak kewalahan ketika sekujur tubuhnya gemetaran.
Y-ya Tuhan. Farrel nggak kira-kira ya. Mau buat anak orang jantungan apa?
Sementara di seberang sana, Farrel sontak menghentikan langkahnya. Ia melihat berkeliling dengan bingung. Sampai akhirnya ia benar-benar memutar tubuh dan melongo melihat Esy.
"Sy! Kamu mau balik nggak?"
Esy mengerjap. Berusaha untuk mengembalikan kesadarannya ke alam nyata.
"Atau mau tinggal di parkiran sampe besok?"
Langsung saja Esy berlari. Takut kalau Farrel akan meninggalkannya di parkiran yang sepi.
"Nggak!"
*
Esy menguap. Semua yang terjadi akhir-akhir ini di luar dugaannya. Terlebih lagi menguras waktu dan tenaganya pula.
Dari gosip dengan Radit, gosip dengan Radit dan Farrel, dan ditutup oleh kedekatan Dira dan Farrel. Semua itu membuat Esy lelah dan letih. Pikirannya tersisa, suasana hatinya berantakan, dan Statistika menjadi penutup yang paling sempurna.
Dahi Esy mengerut. Ia melihat soal ujian akhir semester Statistika seraya memutar otak.
Aneh. Aku yakin aku udah belajar. Tapi, kok aku mendadak amnesia ya?
Esy menggigit bibir bawahnya. Memegang pena dengan kuat. Berharap ingatannya akan kembali muncul. Tapi, tetap kosong.
Ya Tuhan. B-bentar. Ini pake rumus yang mana ya?
Keringat dingin mulai memercik di dahi Esy. Seiring dengan jantungnya yang mulai berdetak dengan tak nyaman.
Nggak. Aku harus bisa. Aku harus bisa.
Esy menghirup udara dalam-dalam. Ia berusaha untuk tetap tenang dan mulai mengerjakan soal ujian tersebut.
Dua jam kemudian, Esy keluar dari ruang ujian. Ia semakin lemas. Mengerjakan ujian Statistika seperti menyedot semua tenaga tak seberapa yang ia miliki.
"Gimana ujian tadi, Sy?"
Lemas, Esy berpaling. Wajah Radit membuat ia meringis.
"Aku nggak mau bahas soal Statistika lagi," ujar Esy dengan suara rendah. "Aku capek. Aku mau istirahat."
"Sama. Aku juga. Gimana kalau kita istirahat bareng?"
Esy melihat Radit dengan horor. Sementara cowok itu cengar-cengir dan lanjut bicara.
"Di kantin? Makan ayam bakar?"
"Males," tukas Esy sambil mencibir. Ia pun memutuskan melangkah. "Aku mau balik sekarang."
Tak heran bila mendapati Radit mengekori langkah Esy. Cowok itu terlihat santai memasukkan kedua tangan ke saku jaket yang ia kenakan. Di belakang Esy, ia tersenyum geli melihatnya.
"Kamu nggak mau main ke Jurusan? Anak-anak lagi heboh sama dosen baru itu loh."
Esy terus berjalan. "Kamu pergi aja sana. Ikutan liatin dosen baru. Katanya kan cantik."
"Banget," jawab Radit. "Jadi nyesal lahir terlambat."
Esy mendengkus. Tapi, ia tidak mengomentari perkataan Radit. Ia terus berjalan hingga keluar dari gadung kuliah. Melewati area parkiran dan ia tidak mengira kalau pada akhirnya Radit mempercepat langkah kakinya. Hingga ia mengadang jalan Esy.
"Sy, aku mau nanya sesuatu ke kamu. Kali ini aku benar-benar serius."
Bola mata Esy berputar dengan malas. Sama malasnya ia dengan meladeni Radit. Tapi, Esy menarik napas dalam-dalam dan bertanya.
"Apa yang mau kamu tanyain?"
Tangan Radit masih bersembunyi di dalam saku jaket. Mengepal dan berusaha menyembunyikan fakta bahwa keringat dingin sudah membasahi telapaknya sedari tadi.
"Kamu bener-bener nggak mau jadi pacar aku?"
Sepanjang ujian Statistika tadi Radit memikirkannya. Ia tau kalau ia sudah ditolak. Tapi, terkadang ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Masih tidak bisa diterima oleh akal logikanya kalau Esy memang menolaknya.
"Ya ampun, Dit. Kurang jelas jawaban aku kapan hari itu?" tanya Esy tanpa menunggu jawaban. "Aku benar-benar nggak ada perasaan apa pun ke kamu. Mau kamu kasih aku sebuket bunga, kebun bunga, atau bahkan hujan bunga pun jawaban aku nggak bakal berubah."
Radit geleng-geleng kepala. Walau sudah pernah ditolak, ternyata mendengar penolakan yang kedua kali tetap saja memberikan denyutan tak nyaman di hatinya.
Ah. Aku benar-benar ditolak.
Kepalan jari Radit di saku, perlahan mengendur. Ia menatap Esy.
"Memangnya apa sih bagusnya Farrel?"
Tiba-tiba menanyakan itu, memang wajar kalau Radit menuding Farrel sebagai biang kerok untuk penolakan pertama dan kedua yang ia dapatkan. Ironis, dua penolakan itu berasal dari cewek yang sama.
"Ehm."
Esy mendeham penuh irama. Bibirnya menutup dalam bentuk seuntai senyum. Dengan bola mata yang mengarah pada langit, tetapi pandangannya kosong. Tak sulit menerka kalau saat itu Esy tengah melakukan wisata masa lalu.
"Cuma aku yang boleh tau bagusnya Farrel," ujar Esy kemudian. "Yang lain nggak boleh tau."
Radit melongo. "Dia udah nolak kamu berulang kali. Kamu nggak sadar?"
"Kamu juga."
Esy menunjuk Radit hingga cowok itu semakin kehabisan kata-kata.
"Akhirnya kamu tau? Kalau kita memang suka sama orang, sekali penolakan nggak bakal berarti apa-apa."
Radit tercengang. "Wah!"
Namun, di lain waktu Radit kembali geleng-geleng kepala. Satu tangannya terangkat dan menunjuk Esy.
"Ini terakhir kalinya aku nembak kamu. Besok-besok nggak bakal lagi."
"Syukurlah kalau begitu," ujar Esy sambil mengusap dada. Tampak senang dan juga lega.
"Awas aja ntar kamu nyesal karena udah nyia-nyiakan aku."
Senyum geli langsung mekar di wajah Esy. Radit semakin gusar.
"Jangan aja ntar kamu nangis-nangis gara-gara Farrel," ujar Radit lagi. "Aku nggak bakal iba."
Tuntas mengatakan itu, Radit pun mendengkus. Langsung buang muka dan pergi. Meninggalkan Esy seorang diri yang lantas bergumam pada dirinya sendiri.
"Kalau dilihat-lihat, Radit memang cakep sih ya. Tapi, Farrel tuh kayak lebih dari cakep."
Di mata Esy, Farrel itu ibarat sesuatu yang tak bisa dibandingkan dengan hal serupa di dunia ini. Farrel berada di level yang berbeda. Pun menurut Esy, Farrel tidak akan pernah membuatnya menangis. Dan sampai sejauh ini, memang.
Farrel selalu ada. Farrel selalu menemani. Farrel tidak pernah membuat Esy bersedih.
Lantaran hanya ada satu hal yang akan membuat Esy lara. Meneteskan air mata. Itu adalah ketika ia tidak bisa bersama Farrel.
Pagi itu adalah salah satu contohnya. Ketika nilai untuk kuliah antar semester keluar dan air mata Esy jatuh seketika.
"N-nggak mungkin."
Esy mengucek matanya. Tapi, nilai akhir itu tidak berubah. Dalam bentuk satu huruf yang amat ia benci.
D.
*
bersambung ....
btw. PO TEST DRIVE ditutup besok ya. Yang masih peluk Vonda-Max, jangan sia-siakan waktu yang tersisa. Pukul 23.59 WIB tanggal 15 Oktober 2022, PO bakal aku tutup.
Makasih :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top