(41) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 10

"Farrel."

Suara penuh dengan irama misterius itu membuat Farrel bergeming. Dengan sendok berisi kuah bakso yang ada di depan mulut, sungguh ia ingin menikmati makan malam itu tanpa sorot penuh selidik Esy.

"Apa lagi, Sy?" tanya Farrel seraya membuang napas panjang. Ia taruh kembali sendok ke mangkuk dan menatap Esy. "Mau berapa kali sih aku bilangin? Aku tuh nggak ada apa-apa sama Dira. Astaga."

Mata Esy menyipit dengan aura mengintimidasi.

"Kamu nggak bohong kan?"

Farrel menyerah. Ia mengacak rambutnya sekilas dan lantas berkata seperti ini.

"Kalau kamu nggak percaya dan masih nanya hal yang sama, mending aku balik duluan deh ya. Kamu makan aja bakso sendirian."

Esy tersentak. Terlebih lagi karena sejurus kemudian Farrel benar-benar bangkit dari duduknya. Sontak membuat Esy buru-buru mengulurkan tangan demi menahan cowok itu.

"Eh eh eh? Iya iya. Gitu aja marah. Ih, ngambek."

Bola mata Farrel membesar dengan ekspresi tak percaya. "N-ngambek?"

Esy terkikik. Ia mengajak Farrel untuk duduk kembali. Tak hanya itu, ia pun memberikan sendok dan garpu untuk dipegang Farrel. Lalu ia menyilakan seraya tersenyum.

"Ayo, dimakan dulu. Keburu baksonya dingin. Ntar nggak enak."

Farrel memegang sendok dan garpu dengan tak habis pikir. Sekarang ketika ia sudah tak bernafsu lagi untuk makan bakso, eh Esy justru sebaliknya. Wajah penuh semringah itu tampak amat bersuka cita tatkala menikmati suapan demi suapan.

Astaga. Bisa-bisanya Esy kayak gini. Buat alasan badan meriang dan akhirnya ngajak makan bakso. Padahal cuma mau nanya soal Dira.

Mau heran, tapi ini Esy. Percuma kalau Farrel ingin kesal. Jadi lebih baik ia turut menikmati bakso ketimbang terbawa emosi.

*

"Udah dengar gosip baru nggak?"

Bisik-bisik itu menarik perhatian Esy yang sedang berjalan di koridor. Ia celingak-celinguk ke kanan dan kiri berulang kali. Berkat gosip yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu, praktis telinga Esy sekarang lebih peka dengan kata itu.

"Iya. Tadi aku udah lihat di Jurusan. Maksudnya mau lihat maba, eh malah lihat dosen baru. Gila, cakep asli! Dia mantan Putri Indonesia bukan sih?"

Mata Esy mengerjap berulang kali dengan bibir yang mengerucut imut. Ia manggut-manggut.

Kayaknya bukan gosipin aku. Soalnya kan aku bukan mantan Putri Indonesia. Aku cuma putri Mama tercinta.

Esy melangkah lagi. Berniat untuk langsung menuju ruang empat di mana kelas Statistika akan dimulai setengah jam lagi, ia justru bertemu dengan Bella.

"Dari mana?" tanya Esy. "Ini hari terakhir OSPEK kan?"

Bella mengangguk. "Makanya aku capek banget. Apalagi karena seksi acara mendadak kehilangan dua anggotanya. Praktis aku sebagai penghuni seksi dokumentasi dialihkan ke sana. Jadi satu waktu, aku ngerjain dua kerjaan."

Wajah kusut Bella sudah menjelaskan semuanya. Sekarang mahasiswa baru kebetulan sedang dialihkan ke Gedung Jurusan dalam acara pengenalan laboratorium. Acara yang dipandu oleh laboran dan dosen itu memberikan jeda untuknya beristirahat sejenak.

Namun, itu sama sekali tidak menarik perhatian Esy. Alih-alih adalah hal lain yang membuat ia bertanya.

"Kehilangan dua anggota?" tanya Esy bingung. "Maksud kamu?"

"Ah."

Bella melirih dengan penuh irama. Sekilas ia terlihat ragu, tapi akhirnya ia menjawab juga. Walau dengan kesan penuh kehati-hatian.

"Tadi Bu Iis manggil Farrel dan Dira ke jurusan. IPK mereka kan paling tinggi seangkatan kita. Jadi mau dicalonkan buat daftar beasiswa. Itu loh ... beasiswa yang kayak Kak Ryan tahun lalu."

Esy tertegun. "Oh."

Bella mengernyit. Ia melihat bagaimana wajah Esy yang sontak berubah. Agaknya Bella mengerti apa yang dipikirkan oleh Esy.

"Sy! Kok malah bengong? Ntar kesambet loh," gurau Bella mencoba untuk mencairkan suasana.

Esy mengerjap. Ia menggeleng pelan seraya membuang napas panjang.

"N-nggak kok. Aku nggak bengong. Aku cuma lagi mikir aja."

Perasaan Bella tidak enak. Ia yakin apa pun yang dipikirkan oleh Esy sekarang pastilah bukan hal yang bagus.

"Makin lama Farrel dan Dira makin sering bareng ya?"

Tuh kan.

Bella merutuk di dalam hati. Ia buru-buru meraih Esy untuk duduk di taman Gedung Kuliah.

"Sering bareng bukan berarti ada something kali, Sy," ujar Bella menenangkan. "Lihat aja kamu dan Radit? Kalian bukannya lebih sering bareng ketimbang Farrel dan Dira?"

Mata Esy berkedip dengan lesu. Ia melihat Bella seperti tak ada tenaga lagi.

Bella meraih tangan Esy. Tak peduli respon Esy, ia lanjut bicara.

"Kamu dan Radit itu lebih sering bareng timbang mereka, Sy. Coba lihat. Kamu dan Radit satu kelompok bareng."

Esy menyanggah. "Farrel dan Dira juga."

"Ah, bener," ringis Bella. Tapi, ia tidak menyerah. "Kamu dan Radit PA-nya sama kan?"

Esy kembali menyanggah. "Farrel dan Dira juga."

Susah. Ini amat susah. Bella langsung memutar otak hingga kemudian jarinya menjentik dan mengeluarkan suara.

"Aku tau. Kamu dan Radit sama-sama dapat nol kan tugas Statistika dulu?"

Esy melongo. "Hah?"

"Bener. Tugas kalian sama-sama nol. Terus kalian sama-sama gagal Statistika. Dan sekarang kalian sama-sama ngulang."

Esy makin melongo sementara Bella makin bersemangat.

"Bukannya itu bukti kalau kamu dan Radit lebih sering bareng timbang Farrel dan Dira?" pungkas Bella. "Tapi, nggak berarti kamu dan Radit ada apa-apa kan?"

Mata Esy memejam dengan dramatis. Ia megap-megap dan berusaha untuk tetap bernapas.

"K-kamu bener-bener temen yang baik, Bel."

Bella tersenyum dengan amat lebar. "Memang."

*

Farrel menarik udara dalam-dalam. Langkah kakinya berhenti ketika Esy kembali merengek seraya menarik jas almamaternya.

"Apa sih, Sy?"

Esy cemberut. "Kamu nggak ada kerjaan kan malam ntar? Kita makan bakso yuk?"

Bola mata Farrel berputar dengan malas. Sekilas ia melihat langit di atas sana. Warna jingganya semakin pekat. Mulai ternoda oleh hitam yang kian lama kian menggelap.

Hari itu adalah hari yang melelahkan. Hari terakhir OSPEK dan ada hal mendadak yang harus ia urus. Berkaitan dengan pendaftaran calon penerima beasiswa.

Pengumuman beasiswa itu baru keluar tadi pagi dan berlaku selama seminggu. Tapi, Iis sebagai ketua jurusan mendesak agar dirinya segera mengurus kebutuhan administrasi. Jangan sampai kuota terpenuhi ketika ia belum mendaftar.

Alhasil bolak-balik membuat Farrel lelah. Sekarang yang ada di benaknya hanya satu. Cepat pulang, kembali ke kos, mandi, dan beristirahat. Ia bahkan tidak berpikir untuk makan saking dirinya yang sudah mengantuk.

"Aku beneran capek, Sy. Aku mau tidur di kos. Sorry, tapi kayaknya besok-besok aja deh kita makan baksonya."

Mulut Esy mengerucut. Farrel yang melihat sontak membuang napas. Ia berkacak pinggang dan berdiri tepat di hadapan Esy.

"Udah berapa kali sih aku bilang, Sy?"

Esy mengangkat wajah. Pertanyaan Farrel membuat ia bingung.

"Maksud kamu?"

Farrel menatap Esy. Ia lantas sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Demi memaku mata Esy dalam garis lurus.

"Aku dan Dira itu nggak ada apa-apa. Jadi aku mohon. Nggak usah pake acara ngajak makan bakso cuma untuk nanya hal yang sama berulang kali."

Esy mengerjap. Melihat mata Farrel tepat di depannya membuat ia tak bisa bernapas. Terlebih lagi ketika sedetik kemudian jari telunjuk Farrel menekan dahinya samar.

"Ngerti?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top