(40) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 9

"Farrel."

Esy melirihkan nama itu dengan penuh irama. Dengan tatapan dan senyum manis yang tertuju padanya. Tak peduli bagaimana Mia yang duduk di sebelahnya sudah geleng-geleng kepala sedari tadi.

"Dia kelihatan cakep dan berwibawa banget kalau lagi pake jas almamater."

Mia buru-buru meneguk air mineralnya. Jaga-jaga sebelum mual yang ia rasakan benar-benar berubah menjadi muntah.

"Aku pikir bukan cuma kamu yang jatuh cinta di dunia ini, Sy," keluh Mia kemudian. "Tapi, kayaknya cuma kamu yang jatuh cintanya sampe buat aku mual-mual."

Esy terus menatap Farrel dengan kepala yang bergoyang-goyang penuh irama. Bertopang dagu dengan kedua siku, ia seolah tidak peduli dengan nasi goreng yang sedari tadi ada di hadapannya.

"Kamu udah ke klinik?"

Mia menoleh bingung pada Esy. "Ke klinik?"

"Iya," angguk Esy pelan. "Siapa tau kamu ada magh."

Mia melongo. Butuh beberapa detik untuk dirinya lantas manggut-manggut dengan ekspresi menyerah.

"Ya ... kayaknya aku emang kena magh semenjak kenal kamu," sungut Mia seraya kembali meneguk air mineralnya. Hingga ia menyadari sesuatu. "Ngomong-ngomong kamu nggak makan? Dari tadi itu nasi goreng dianggurin aja."

Esy kembali menggeleng. "Sebelum ke kampus aku udah makan. Kan aku udah pake jasa katering kos."

"Hah?"

Mia mengerjap bodoh. Ia menunjuk nasi goreng Esy. Yang masih utuh tanpa tersentuh sementara miliknya sendiri sudah habis lima menit sejak makanan itu tersaji di hadapannya.

"Terus kenapa kamu pesan?" tanya Mia tepat ketika sesuatu melintas di benaknya. Ia menebak horor. "Jangan bilang itu alasan biar kamu bisa lihat Farrel di sini?"

Tentu saja tebakan itu benar. Bahwa Esy rela-rela datang siang itu ke kampus walau tak ada jadwal kelas Statistika adalah demi melihat Farrel yang sedang bertugas sebagai panitia OSPEK. Bertempat di kantin, Esy tidak yakin. Entah nasi goreng kantin atau Farrel yang membuat ia kenyang.

"Kamu jatuh cintanya bener-bener kebangetan, Sy. Udah jatuh ketimpa tangga. Mentok. Nggak bisa ke mana-mana," ujar Mia seraya geleng-geleng kepala.

Esy tak peduli. Entah Mia mau menggerutu atau berpidato sekalipun, itu tidak akan mengusik dirinya yang terus menatap Farrel. Bahkan ketika Bella mendadak datang ke meja mereka, ia tetap bergeming.

Bella yang juga tergabung dalam panitia OSPEK akhirnya bisa mendapatkan jeda. Ia buru-buru meninggalkan kegiatan. Mahasiswa baru yang sedang makan siang dan istirahat memberikan kesempatan bagi beberapa panitia untuk turut beristirahat pula.

Duduk di hadapan Esy dan Mia, Bella meneguk ludah. Tatapannya langsung tertuju pada nasi goreng yang belum tersentuh.

"Ini punya siapa?" tanya Bella menunjuk. "Kok dianggurin?"

Satu tangan Esy meninggalkan dagunya. Ia mendorong piring itu ke arah Mia.

"Makan aja."

Tentu saja Bella tidak menolak. Tanpa bertanya dua kali, ia menyambut piring nasi goreng tersebut seraya berkata.

"Makasih, Sy. Kebetulan aku capek banget tugas dari pagi tadi. Mana belum sarapan juga."

Esy hanya mengangguk samar untuk ucapan terima kasih Bella. Ia terus saja menatap Farrel tanpa peduli bagaimana Mia dan Bella sekarang saling berkomunikasi dalam bahasa ghibah. Angguk-angguk, bola mata berputar, mulut monyong-monyong, dan ditutup oleh embusan napas panjang. Yang kalau diartikan, kurang lebih seperti ini.

Kenapa? Farrel?

Iya dong. Masa yang lain?

Astaga ini anak bener-bener nggak bisa ditolong lagi.

Emang nggak bisa. Aku udah hampir struk lihat tingkah dia dari tadi.

Mia dan Bella melihat Esy. Dalam diam dan hanya mengamati tingkah laku temannya itu, mereka sebenarnya memang tidak bisa mengelak. Bahwa yang memancar dari mata Esy memang adalah cinta.

Itu tatapan yang amat manis. Tatapan terpesona. Tatapan terpana. Tatapan yang penuh dengan cinta.

Jangankan Mia atau Bella, bahkan keluarga Esy pun tidak bisa melakukan apa pun untuk hal tersebut. Pada akhirnya, mereka hanya bisa pasrah. Semoga saja Esy tetap kuat dalam badai penolakan yang selalu ia dapatkan.

Sejujurnya itulah yang paling membuat Mia dan Bella bingung. Bagaimana mungkin seorang cewek tahan ditolak berulang kali? Wah! Esy benar-benar berada di level yang beda.

"Eh?"

Kesiap Esy menarik perhatian Mia dan Bella. Kedua orang temannya ia langsung melihat ke mana mata Esy memandang. Pada Dira yang menyodorkan sebotol air mineral pada Farrel.

Sikap santai Esy segera hilang. Tergantikan ketegangan yang membuat punggungnya tegap seketika. Tangannya pun terangkat, menunjuk ke seberang.

"Dia ngapain Farrel aku?"

Mia memejamkan mata dan buru-buru memalingkan wajah ke arah lain, malu. Sementara Bella tersedak kecil hingga segera menyambar gelas es teh Esy.

"F-Farrel aku," gumam Mia seraya merinding. "Esy yang ngomong gitu, tapi kenapa aku yang malu?"

Bella mendesah saat berhasil melegakan tenggorokannya yang tersedak. Ia geleng-geleng dengan wajah syok.

"Baru makan, kok aku mendadak langsung mau ke belakang ya? Berasa mules kayak kena kram bulanan."

Esy tidak peduli dengan perkataan temannya. Alih-alih ia semakin menegang dan matanya melotot saat melihat Dira tertawa.

"W-w-wah!"

Farrel menyerahkan kembali botol air minum pada Dira. Tapi, belum cukup sampai di sana. Dira menarik sehelai tisu. Berniat untuk mengusap bibir Farrel.

"Braaak!"

Piring nasi goreng bergetar di atas meja. Sama dengan tubuh Esy yang bergetar setelah ia memukul meja dengan geram.

"D-dia---"

Farrel mengambil alih tisu tersebut. Mengelap sendiri bibirnya dan Esy yang terlanjur berdiri dari tempat duduk buru-buru membuang napas melalui mulut.

Sejujurnya bukan hanya Esy yang syok. Mia dan Bella pun demikian. Tapi, setidaknya mereka tidak sampai memukul meja hingga menarik perhatian beberapa penghuni kantin kala itu.

"Serius? Dira barusan mau ngelap bibir Farrel?" tanya Bella dengan mulut yang kembali penuh dengan nasi goreng. "Itu kampungan banget nggak sih?"

Mia mengangguk. "Bener bener. Kampungan banget. Kalau lagi berdua sih mungkin masuk akal, tapi ini di tempat umum coba."

"B-berdua?"

Esy menunduk dan melihat Mia dengan kedua tangan terkepal. Mia buru-buru menenangkan temannya itu.

"N-nggak. Aku nggak ngomong gitu. Maksudnya kalau lagi sama pacar sih oke. Tapi, ini kan mereka cuma temenan."

Mia merutuki dirinya sendiri. Lalu ia menarik Esy untuk kembali duduk. Kala itu Bella berkata.

"Sebenarnya aku tuh nggak mau cerita. Kesannya ghibah nggak sih? Tapi, mau gimana lagi. Selama rapat panitia, Dira memang sering kayak mau deketin Farrel."

Esy mengatupkan mulut rapat-rapat.

"Bahkan kapan hari aku pernah nggak sengaja dengar. Dira minta pulang bareng sama Farrel," lanjut Bella. "Tapi, Farrel tolak. Katanya waktu itu dia mau langsung ke kos kamu. Kalau kamu nggak percaya, tanya aja sama Fajar. Diakebetulan dengar juga kok."

Cemberut langsung menghiasi wajah Esy. Kali ini ia tidak mampu menahan gerutuannya.

"Aku emang tau kalau Farrel nggak suka Dira. Tapi, gimana aku nggak panas kalau dia kayak gitu? Dia terang-terangan mau ngebet Farrel kan?"

Mia dan Bella tidak menjawab. Tapi, agaknya mereka sependapat. Maka mereka pun memilih untuk tidak bicara apa pun demi menghindari sulutan emosi Esy.

"Sy!"

Mia dan Bella memejamkan mata dengan kompak. Ketika mereka ingin menjaga emosi Esy, eh malah biang emosi datang.

Radit duduk di sebelah Esy. Langsung bertopang dagu pada satu siku, ia mengerutkan dahi ketika melihat cemberut di wajah Esy.

"Eh? Kamu kenapa cemberut?"

Esy berdecak. "Udah deh, Dit. Aku lagi males buang-buang tenaga. Aku lagi bad mood."

Radit mendeham dengan penuh irama. Agaknya ia pun sependapat dengan apa yang cewek itu katakan. Lantaran ia menyadari bahwa Esy memang sedang terlihat suntuk.

"Kamu tau nggak obat bad mood?" tanya Radit dan ia menggerling ketika Esy menatapnya. Ia mengeluarkan sebatang cokelat dari saku almamater. "Jawabannya cokelat."

Radit segera membuka kemasan cokelat tersebut. Tersenyum, ia memberikannya pada Esy.

"Nih! Cobain."

Sebenarnya Esy tidak ingin. Tapi, ketika Radit kembali menyodorkan dan ia butuh sesuatu untuk melampiaskan emosinya, Esy pun menerimanya.

Esy mengunyah cokelat itu dengan lahap. Dengan cemberut dan alhasil bibirnya sedikit berantakan.

"Ya ampun. Kamu nggak pernah makan cokelat?" tanya Radit terkekeh.

Mia dan Bella menoleh. Tanpa sadar turut tertawa ketika Esy keliru membersihkan bibirnya sendiri.

"Tolongin," kata Esy pada Mia.

Mia membantu Esy dengan sehelai tisu seraya terkekeh. "Makanya jangan suka marah-marah. Emosian itu nggak baik."

"Udah?"

Pertanyaan Esy dijawab oleh Radit. Seiring dengan tangannya yang naik dan menunjuk tepat di hidung.

"Mana yang udah? Itu hidung kamu masih ada."

"Hidung?" tanya Esy seraya mengusap hidungnya.

Namun, tidak ada cokelat sedikit pun yang Esy dapatkan. Radit pun tergelak.

"Kena kamu, Sy!" seru Radit. "Ya jelas dong hidung kamu masih ada."

Esy melotot tatkala baru menyadari jebakan perkataan Radit. "Kamu ngerjain aku?"

Tidak takut sama sekali dengan pelototan itu, Radit malah terpingkal-pingkal. Pun menjawab dengan enteng.

"Emang!"

Kali ini bukan hanya Radit, alih-alih Mia dan Bella pun kian terbahak-bahak. Sementara Esy cemberut, mereka bertiga justru puas tertawa tanpa peduli akan beberapa mata yang melihat. Bahkan mereka pun tak sadar bahwa satu dari melihat adalah Farrel orangnya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top