(37) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 6

"Farrel?"

Suara Linda membuyarkan lamunan Farrel. Cowok itu berpaling. Melihat sang ibu yang berdiri di ambang pintu. Menatapnya dengan kesan ragu.

"Ya, Ma?"

Linda memutuskan untuk masuk. Ia hampiri sang putra yang sedari tadi ia amati hanya terpaku pada layar ponselnya.

"Jadi gimana?" tanya Linda seraya memilih duduk di tempat tidur Farrel. "Kamu beneran mau pulang ke kos besok pagi?"

Farrel membuang napas panjang. Wajahnya jelas menunjukkan kebimbangan. Tapi, ada alasan mengapa ia harus kembali walau liburannya baru berjalan sebulan.

"Sepertinya iya, Ma. Tiket juga udah aku beli."

Linda manggut-manggut. Sebenarnya kalau boleh mengutarakan keinginan, tentu saja ia ingin Farrel liburan lebih lama. Tapi, apa boleh buat.

"Oh, benar. Mama hampir lupa," ujar Linda seraya bertepuk sekali. "Nanti kamu jangan lupa ke rumah Tante Dhian. Dia pasti mau nitip buat Esy. Kayaknya sih sekarang dia lagi masak bagar ikan hiu untuk Esy."

Farrel mengangguk. Mengiyakan perkataan sang ibu dan pergi ke rumah Esy sekitar setengah jam kemudian.

"Tante itu sebenarnya khawatir sama Esy. Dia belajar terus. Bahkan nggak mikir buat liburan. Bagaimana kalau dia kenapa-napa?"

Melayangkan pertanyaan itu, Dhian memberikan isyarat pada Farrel untuk mengikuti dirinya pergi ke dapur. Berjalan di belakang Dhian, Farrel menahan napas tatkala melihat apa yang ada di atas meja.

Ya Tuhan.

Farrel berdiri melihat bingkisan yang ada di meja. Sepertinya bukan hanya bagar ikan hiu yang akan ia ajak terbang bersama.

"Menurut kamu gimana, Rel?"

Farrel mengerjap. Sedikit gagap, tapi ia menjawab. "Esy baik-baik saja, Tan. Kemaren aku telepon dan dia sehat."

"Tante tau," angguk Dhian. "Kami selalu video call tiap malam Minggu. Kamu tau kan? Tante khawatir kalau dia pergi keluyuran. Dia itu nggak bisa dilepas."

"Esy nggak gitu, Tan. Dia nggak suka ke mana-mana. Paling dia jalan sama Bella dan Mia. Shopping, nonton, dan main wahana. Selain itu nggak. Dia lebih banyak di kos dan belajar."

Dhian membuang napas lega. "Untunglah. Sebenarnya Tante itu benar-benar nggak tenang melepas Esy. Dia anak cewek Tante satu-satunya. Tapi, kalau ada kamu ..."

Tubuh Farrel seketika menegang. Agaknya ia bisa menerka ujung perkataan Dhian.

"... Tante bisa yakin Esy akan baik-baik saja."

Farrel diam saja. Ketika ia memilih duduk sementara Dhian menyiapkan bingkisan untuk Esy, ia hanya membuang napas panjang.

"Ini, Rel. Semuanya udah selesai Tante packing."

Wajah Farrel terangkat. Ia melihat ada empat bingkisan di atas meja. Untungnya adalah ia sendiri tidak banyak bawaan. Jadi Farrel bisa sedikit bernapas lega.

"Farrel."

Farrel semula berniat untuk segera membawa semua bingkisan itu ketika Dhian memanggil namanya.

"Ya, Tan?"

Dhian menatap Farrel. "Ini sebenarnya buat Tante merasa nggak enak. Tapi, Esy nggak merepotkan kamu kan?"

Merepotkan?

Mata Farrel mengerjap sekali. Ia lalu tersenyum tipis dan mengangguk.

"Nggak kok, Tan."

*

Pesawat sudah mendarat sekitar setengah jam yang lalu. Saat ini Farrel sudah berada di taksi yang meluncur membawa dirinya kembali kos. Selagi empat roda itu berputar dengan mulus di atas aspal, Farrel terpaku pada ponselnya.

[ Panitia OSPEK ]

[ Jangan lupa semuanya. Siang ini kita kumpul di Sekre. ]

Keluar dari grup pesan Panitia OSPEK, Farrel lantas melihat satu kontak yang tersemat di aplikasi Whatsapp. Bernama Esy-ku, sudah tentu itu adalah ulah Esy sendiri yang memberi nama kontaknya dengan sealay itu.

Farrel menelengkan kepala ke satu sisi seraya berpikir. Haruskah ia menghubungi Esy? Atau sebaliknya?

Hingga akhirnya Farrel hanya membuang napas. Memasukkan ponsel ke saku celana dan memutuskan untuk langsung ke kampus saja. Ia melirik pada bingkisan di sebelahnya, berpikir.

Ada banyak barang yang harus dia ambil di kos aku.

Farrel tidak membuang-buang waktu. Berbekal jadwal yang Esy kirimkan padanya di awal kuliah antar semester dimulai, ia pun bergegas. Tak lama setelah ia tiba di kos, ia pun langsung mengendarai motor dan menuju ke kampus.

Tiba lima menit sebelum kuliah berakhir, Farrel bisa mendapati parkiran yang padat. Cukup menjadi tanda bahwa banyak mahasiswa yang memanfaatkan liburannya untuk tetap kuliah.

Farrel menunggu dengan santai di atas motor. Matanya tertuju pada gedung kuliah. Ketika mahasiswa mulai memadati jalan keluar gedung, Farrel yakin ia akan segera melihat Esy. Tapi, tentunya ia tidak mengira bahwa ia akan melihat Radit pula.

"Aku nggak mau makan siang bareng kamu. Aku udah pake jasa katering di kos. Jadi sekarang aku mau pulang."

Samar, tapi Farrel bisa mendengar perkataan Esy. Ia tampak mengelak ketika Radit mencoba untuk mendekatinya.

"Aku antar."

"Nggak. Aku bisa jalan aja. Dekat kok. Sekalian olahraga. Biar sehat."

Farrel menarik napas dan membuangnya panjang. Bangkit dari duduk, ia lantas mengacak rambutnya sekilas. Ia berjalan dan dengan sengaja berhenti beberapa meter di depan kedua orang itu.

"Esy."

Tak kuat, tapi juga tidak bisa dibilang lirih. Farrel memanggil Esy. Dan anehnya bukan hanya Esy yang menoleh. Alih-alih Radit pula.

Nyaris tak tampak, tapi Farrel mengerutkan dahi ketika mendapati Radit berdecak kesal. Hanya saja Farrel mengabaikannya. Ia beralih pada Esy, bertanya.

"Kamu udah mau pulang?"

Esy bergeming. Di tempatnya berdiri, ia tak bergerak sedikit pun. Ia sepertinya butuh waktu untuk mempercayai apa yang matanya lihat.

"Farrel?"

Farrel mengerjap. "Ya?"

Esy sontak menutup mulutnya yang menganga dengan mata melotot. Senang, tapi tentu saja ia syok.

"Farrel!"

Akhirnya Esy tak mampu menahan diri dari ledakan rasa senang itu. Ia menyerukan nama Farrel dengan penuh semangat. Berlari dan menghampiri cowok itu.

Esy meraih tangan Farrel. Sepertinya ia butuh diyakinkan kalau Farrel yang ada di hadapannya adalah sosok yang nyata. Bukan sekadar mimpi atau halusinasi.

"I-ini beneran kamu?" tanya Esy dengan mata membesar. "Kamu balik?"

Farrel meneguk ludah dengan risi. Beberapa mata terlihat menuju pada mereka. Membuat ia mendeham dan menarik tangannya dari Esy.

"Iya, ini aku. Memangnya siapa lagi?"

Esy memegang wajahnya. Ia tersenyum lebar dan matanya tampak berbinar-binar bahagia.

"Kamu kapan datang? Kok nggak ngasih tau aku? Kan bisa aku jemput di bandara."

Farrel mendengkus geli. "Jemput aku di bandara? Jemputnya pake taksi kan?"

"Iya sih," jawab Esy mengulum senyum.

"Sama aja kalau gitu."

Esy tau. Ia terkekeh ketika Farrel menjawab pertanyaannya yang lain.

"Aku baru balik pagi ini. Penerbangan pertama. Soalnya ntar siang ada rapat panitia OSPEK."

"Ah."

Manggut-manggut, Esy pun teringat perkataan Radit tadi. Cowok itu pun mengatakan hal yang serupa. Tapi ....

Bola mata Esy membesar. Spontan ia memukul tangan Farrel. Membuat cowok itu kaget dan tak sempat mengelak.

"Kamu kenapa nggak ngomong sama aku kalau kamu mau balik hari ini?" tanya Esy tak habis pikir. "Waktu itu kan kamu ada nelepon aku."

Enteng, Farrel menjawab. "Kamu nggak nanya soalnya."

"Kamu."

Esy mengatupkan mulutnya dengan pipi yang menggembung. Yang dikatakan Farrel ada benarnya. Tapi, tetap saja Esy merasa kesal.

"Harusnya kamu ngomong."

Hanya saja Esy tidak berlarut-larut dalam rasa kesalnya. Lantaran sedetik kemudian ia pun menyadari bahwa masa-masa menahan rindunya telah berakhir.

"Tapi, nggak apa-apa deh. Yang penting kamu udah ada di sini lagi," kata Esy seraya tersenyum lagi. "Jadi ... ini kamu mau ke Sekre?"

Farrel melihat jam tangannya sejenak. "Masih ada dua jam lagi. Ntar aja aku ke Sekre. Pas rapat udah mau mulai."

Hal itu membuat senyum Esy kian melebar. Penuh harap, ia lantas bertanya.

"Jadi ... sekarang? Gimana kalau kita makan siang bareng?"

Farrel mengerutkan dahi. "Bukannya kamu udah pake jasa katering kos?"

"Iya sih."

Esy cemberut. Ia tidak mengira kalau Farrel mendengar hal tersebut. Tapi, ia tidak akan menyerah. Ia akan mencari cara untuk bisa berduaan dengan Farrel. Demi melepas rindu.

"Ya udah. Kalau gitu kita ke kos aku dulu."

Mengerjap, Esy pikir mungkin ia tidak butuh alasan. Ternyata alasan justru datang sendiri.

"Kenapa?"

"Ada titipan dari Tante."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dapat kiriman dari Mama dan bisa bersama dengan Farrel.

"Ayo!" seru Esy langsung meraih tangan Farrel. Mengajaknya menuju ke motor. "Kita langsung ke kos kamu."

Farrel tidak menolak. Alih-alih ia memberikan helm untuk Esy. Dan hanya butuh beberapa menit untuk kemudian ia melajukan motor. Pergi meninggalkan parkiran. Meninggalkan orang-orang yang sedari tadi terus memandang pada mereka. Tepatnya pada Esy, Farrel, dan juga Radit.

Radit merasa panas di wajahnya. Tak perlu ditanya. Ia bisa menebak apa yang ada di pikiran orang-orang saat ini.

"Kasihan banget si Radit."

"Hahahaha. Kuapok kan, Dit?"

"Dibilangin jangan nembak cewek yang suka cowok lain, eh malah ngeyel."

Maka tidak aneh bila Radit langsung buru-buru meninggalkan parkiran pula. Ia hanya menyelamatkan wajahnya yang tampan rupawan dari rasa malu seumur hidup. Dan ketika ia keluar dari area kampus, ia menggerutu.

"Nggak. Aku bisa jalan. Dekat kok. Sekalian olahraga. Biar sehat."

Mulut Radit monyong-monyong ketika meniru perkataan Esy tadi. Dan semua itu ditutup oleh satu rutukan.

"Noh! Dia malah naik motor Farrel! Dasar asem!"

*

bersambung ....

Hi, Guys. Cuaca sekarang lagi ga terlalu bersahabat ya. Jadi semoga kalian jaga kesehatan. Jangan sampe lupa makan dan istirahat yang cukup. Kalau udah ngerasa ga enak, mending istirahat langsung. Semoga kita selalu sehat :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top