(36) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 5
"Farrel?"
Bola mata Esy membesar. Tapi, ia belum percaya. Bisa saja ia sedang berhalusinasi.
Esy mengucek matanya. Lalu melihat lagi pada ponselnya. Tapi, tidak berubah. Itu memang adalah Farrel. Tepatnya lagi adalah panggilan dari Farrel.
Segera, Esy mengangkat panggilan tersebut. Khawatir bila panggilan berakhir dan ia kehilangan kesempatan emas sepanjang hidup.
"Ehm," deham Esy sekilas. "Halo, Rel."
Sedetik hening, lalu suara Farrel mengisi indra pendengaran Esy.
"Halo."
Mata Esy seketika menghilang tatkala si empunya tersenyum dengan amat lebar. Kala itu layaknya ada musik yang mengalun. Membuat kaki Esy terangkat satu seolah balerina. Ia berputar. Lalu menjatuhkan diri di tempat tidur.
"Kenapa, Rel? Kamu nelepon aku ... apa karena kangen?"
Jelas sekali Farrel terbatuk di seberang sana. Tapi, ia menyanggah tebakan Esy.
"Aku cuma mau tau keadaan kamu aja. Kamu sehat?"
Esy membuka mata. Menatap langit-langit dan merasa seperti ada rembulan yang bersinar di sana. Seketika ia menangkup satu pipinya yang terasa hangat.
Astaga. Aku benar-benar jatuh cinta sama Farrel.
Esy menarik udara sebanyak-banyaknya. Demi mendamaikan debar jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Bodoh, tapi ia mengangguk demi menjawab.
"Iya. Aku sehat kok. Karena aku tau kamu nggak ada buat antar aku ke klinik, aku nggak boleh sakit. Karena aku tau kamu nggak ada buat antar makanan ke kos, aku nggak telat makan. Karena ..."
Esy mengerjap. Debar bertalu-talu di dadanya menghilang. Dengan amat cepat tergantikan oleh nyeri. Dan ketika ia mengusap mata, ada sedikit kabut yang terhapus di sana.
K-kayaknya ... aku deh yang kangen dia.
"Sy?"
Suara Farrel membuat Esy mengerjap lagi.
"Y-ya?"
"Kamu kenapa mendadak diam?"
"N-nggak apa-apa," jawab Esy bohong. "Gimana dengan liburan kamu? Kamu ketemuan sama temen-temen?"
"Cuma sekali. Aku lebih banyak di rumah. Lagian sekali pulang, aku mau sama orang rumah aja."
Esy manggut-manggut. "Oh."
"Terus kamu sendiri gimana? Lancar KAS-nya?"
"Lancar kok," jawab Esy. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Belajar yang rajin. Biar kamu lulus Statistika."
Senyum kembali merekah di wajah Esy. "Kenapa? Kamu mau kita sekelas ya Rancangan Percobaan ntar? Iya?"
"Aku nggak ada ngomong gitu."
Esy terkekeh. "Nggak mau jujur."
"Sudah ah. Kayaknya kamu baik-baik aja."
Kekehan Esy seketika menghilang. Perkataan Farrel membuat Esy sedikit bingung.
"Aku tutup. Belajar yang rajin. Bye."
Baru saja Esy ingin menanyakan maksud perkataan Farrel. Tapi, panggilan itu sudah diputus sepihak.
Esy mengerucutkan bibir. Melihat pada layar ponselnya di mana sedang menampilkan lama panggilan barusan.
"Aneh," lirih Esy dengan suara misterius. "Memangnya Farrel mikir aku lagi nggak baik-baik aja?"
Kalau dipikir-pikir lagi, Esy semakin merasa aneh. Farrel mendadak menghubunginya dan mengira dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Sebenarnya emang sih. Aku lagi nggak baik-baik aja," gerutu Esy kemudian. "Dan itu gara-gara seseorang."
Esy membuka aplikasi Whatsapp. Di mana ada satu nomor yang baru saja ia blokir. Eh, tak lama kemudian ada pesan di aplikasi Instagram.
[ ___radit: Sy, serius kamu blokir aku? ]
Esy mencibir. Tidak banyak babibubebo. Ia pun langsung memblokir akun Instagram Radit.
"Dasar cowok gila. Udah aku tolak, masih aja berulah."
Esy tidak akan lupa. Bagaimana beberapa hari yang lalu ia jadi bahan tertawaan. Lantaran Radit memberikannya bunga di parkiran. Tepat setelah jam kuliah berakhir. Alhasil parkiran yang penuh orang menjadi saksi tak bisu untuk kejadian memalukan itu.
"Argh! Apa kata Pak Zidan ntar? Aku kan malu."
Esy memukul-mukul bantal. Sungguh tak terungkapkan lagi betapa ia kesal pada Radit. Dan di atas semuanya, ada satu yang paling membuat ia kesal hingga ke ubun-ubun.
"Dia kan tau aku suka sama Farrel," ujar Esy frustrasi. "Kenapa malah nembak aku?!"
*
"Sy! Sy! Sy!"
Esy mempercepat langkah kakinya di koridor. Mengabaikan semua mata yang menatapnya, ia berkata pada diri sendiri.
"Aku nggak dengar apa-apa. Aku nggak dengar apa-apa. Aku nggak dengar apa-apa."
Langkah kaki Esy mendadak tertahan. Satu tangan berhasil menyambar pergelangan tangannya. Menggenggamnya. Membuat Esy tak bisa melangkah lagi.
Esy berpaling dengan ekspresi horor. "Radit."
Itu memang adalah Radit. Yang sepanjang kuliah Statistika tidak bisa serius demi mendapatkan celah untuk bicara dengan Esy. Dan akhirnya, penantian dan kesabarannya membuahkan hasil.
"Astaga, Sy," ujar Radit seraya memperbaiki laju napasnya yang berantakan. "Serius kamu mau main Tom and Jerry kayak gini?"
Mata Esy melotot. Ia menarik tangannya lepas dari genggaman Radit.
"Aku nggak mau main Tom and Jerry kalau kamu waras."
Radit memejamkan mata dengan dramatis. Sekilas, ia mengusap wajahnya.
"Maaf. Aku tau aku kelewatan kapan hari. Tapi, nggak gini juga kali, Sy."
Menarik napas dalam-dalam, Esy bersedekap. "Gimana aku nggak gini? Sementara aku udah nolak kamu, tapi kamu masih begok aja."
"Kamu yang begok!" tukas Radit. "Masa cowok secakep aku, eh malah ditolak?"
Wajah Esy berubah horor. Penuh irama satire, ia melirih dengan gestur menjauh dari Radit.
"Dih! PD amat jadi cowok."
Radit tergelak. "Oke, Sy, oke. Aku tau kalau ini pasti buat kamu kaget."
"Kaget? Bukan cuma kaget. Aku kayak kena serangan jantung."
Radit masih tergelak. Ia geleng-geleng kepala melihat wajah Esy yang kesal. Tapi, anehnya justru terlihat imut dan menggemaskan.
"Aku minta maaf. Jadi gimana kalau kita pelan-pelan dekat?"
Esy mengerutkan dahi. Bergumam rendah pada dirinya sendiri. "Emang udah nggak waras lagi ini cowok."
Radit mengabaikan gumaman Esy. Ia menyugar rambutnya sekilas. Tak memedulikan beberapa pasang mata yang tampaknya tertarik melihat pada mereka.
"Kita dekat dulu dan ntar pasti kamu bakal meralat jawaban kamu."
Esy menggeleng ngeri. Tapi, Radit tidak peduli. Ia kembali menyambar tangan Esy. Menariknya. Mengajaknya pergi dari koridor dan menuju parkiran.
"Siang ini aku ada pertemuan panitia OSPEK di sekre. Tapi, sebelum itu kita makan dulu. Gimana?"
Esy terpaksa mengikuti langkah Radit. Hanya saja bukan berarti ia pasrah. Ia berusaha menarik lepas tangannya dari genggaman Radit. Dan akhirnya berhasil. Tepat ketika mereka baru dua meter keluar dari gedung kuliah.
"Aku nggak mau makan siang bareng kamu. Aku udah pake jasa katering di kos," tolak Esy seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi. "Jadi aku sekarang mau pulang."
Radit tidak menyerah. "Aku antar."
Esy mengelak. Kembali menolak.
"Nggak. Aku bisa jalan aja. Dekat kok. Sekalian olahraga. Biar sehat."
Sama seperti Esy yang terus memberikan alasan penolakan maka Radit pun akan melakukan hal yang serupa. Alasan apa pun itu agar ia bisa mendapatkan kesempatan bersama dengan Esy. Kesempatan yang sayangnya tidak akan ia dapatkan. Lantaran satu suara lainnya mendadak turut memanggil nama itu.
"Esy."
Baik Esy maupun Radit sama berpaling. Melihat pada satu titik. Dan ketika Radit berdecak kesal, Esy justru membolakan mata dengan berbinar-binar.
"Kamu udah mau pulang?"
Esy membeku di tempatnya berdiri. "Farrel?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top