(34) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 3

"Farrel."

Mata Esy menyipit ketika senyum itu dengan teramat lebat merekah di wajah manisnya. Dengan ekspresi berbunga-bunga, untuk kesekian kalinya Esy melirihkan nama itu.

"Farrel."

Bersamaan dengan jemari Esy yang mengusap layar ponselnya. Tepat pada satu foto Farrel yang terpampang di sana.

"Udah baik, eh cakep lagi. Eh, pintar lagi. Eh eh eh."

Kali ini mata Esy benar-benar terpejam. Pipinya merona, malu. Dan ketika pada akhirnya ia mendekap ponsel di dadanya, geraman bahagia itu tak mampu ia tahan.

"Perhatian lagi."

Tidak perlu dijelaskan, rasanya semua penghuni di bumi sudah bisa menebak apa penyebab rasa senang Esy. Tentu saja pesan yang Farrel berikan tadi. Ketika mereka makan bersama sebelum akhirnya Farrel benar-benar pergi.

Esy membuang napas panjang. Ekspresi senang di wajahnya seketika menghilang tatkala ia menyadari bahwa Farrel sudah pulang. Terlebih lagi dengan pesan yang ia terima sekitar sejam yang lalu.

[ Farrel-ku ]

[ Iya. Udah sampe. ]

Cuma itu yang Farrel katakan pada Esy untuk pesan beruntun yang ia kirimkan. Tapi, tak apa. Esy sudah paham betul bagaimana Farrel yang memang tidak terlalu suka berkirim pesan. Juga bertelepon. Apalagi melakukan panggilan video.

"Dua bulan, Sy. Cuma dua bulan," lirih Esy padanya dirinya sendiri. Dalam posisi berbaring di atas tempat tidur, ia menatap langit-langit. "Cuma dua bulan. Dan setelah itu kamu bisa bareng lagi sama Farrel."

Esy berusaha menenangkan dirinya sendiri. Membangkitkan energi positif. Berharap ia tetap semangat menjalani hari-hari walau tanpa ada Farrel.

"Kamu pasti bisa."

*

Hari pertama kuliah antar semester dimulai, sepertinya keyakinan Esy mulai goyah. Itu adalah ketika ia masuk ke ruang empat dan mendapati betapa padatnya kelas Statistika.

Esy tercengang. Dari mahasiswa yang rahangnya masih licin hingga mahasiswa yang rahangnya sudah kasar, ada semua. Dari mahasiswi yang rambutnya masih bergelombang feminin hingga mahasiswi yang rambutnya dikucir asal-asalan, ada semua.

Itu jelas adalah pertanda. Bahwa nyaris semua angkatan memanfaatkan kuliah antar semester dengan sebaik mungkin. Saking baiknya, sampai-sampai membuat Esy khawatir tidak bisa mendapatkan kursi.

"Sy!"

Esy tersentak. Ada seseorang yang menyambar dan menggenggam pergelangan tangannya. Pun menariknya. Mengajak dirinya untuk beranjak menuju pada kursi yang tersisa.

Bola mata Esy membulat. "Radit?"

Radit terengah-engah. Tepat ketika akhirnya mereka berhasil mendapatkan kursi.

"Astaga," lirih Radit seraya mengatur napasnya. Ia duduk. "Hampir aja kita nggak dapat kursi."

Esy tidak langsung duduk. Alih-alih masih berdiri dengan menatap ngeri pada Radit. Kemungkinan itu seketika melintas di benaknya.

"R-Radit."

Radit mengusap wajahnya. Merapikan sekilas rambutnya yang berantakan. "Ya?"

"J-jangan bilang kalau kamu ...," ujar Esy seraya meneguk ludah. "... juga ngulang Statistika."

Seringai geli seketika muncul di wajah Radit. Dan bukannya menjawab, eh ia malah balik bertanya dengan entengnya.

"Menurut kamu?"

Ya Tuhan.

"Buruan duduk. Ntar kursi kamu diambil sama yang lain loh. Kamu nggak lihat? Ini banyak mahasiswa yang belum kebagian kursi."

Apa yang dikatakan oleh Radit memang benar. Maka dengan berat hati, Esy pun duduk di sebelah Radit.

"Aku nggak tau kalau kamu juga bakal ambil KAS," ujar Radit kemudian setelah memastikan bahwa Zidan belum datang.

Esy membuang napas dengan lesu. "Gimana nggak ambil KAS? Statistika aku kan dapat D."

"Alah cuma D. Nggak usah lemes gitu," seloroh Radit. "Aku yang dapat E aja masih enjoy kok."

"Hah? Kamu dapat E?" kesiap Esy horor.

Radit mengangguk seraya cengar-cengir. "Keren kan? Ehm. Padahal Pak Zidan itu PA kita. Tapi, tega banget kan Bapak sama kita?"

Esy tidak menjawab pertanyaan tidak penting itu. Alih-alih ia mengusap tengkuknya. Sumpah. Ia merinding karena nilai itu.

Amit-amit. Jangan sampe aku dapat E.

Layaknya bisa menerka apa yang ada di benak Esy, Radit kemudian menyeletuk.

"Nggak usah sok, Sy. D dan E itu levelnya sama. Yaitu, sama-sama ngulang."

Esy mencibir. "Seenggaknya D itu masih ada nilai. Walau cuma satu. Kalau E? Beneran nol."

Perkataan Esy sama sekali tidak membuat Radit tersinggung. Alih-alih ia justru terkekeh samar.

"Bener-bener deh ya."

"Bener-bener apa?" tanya Esy.

"Kamu ini bener-bener asyik anaknya," jawab Radit. "Kalau ada kamu bawaannya rame gitu."

Esy memutar bola matanya dengan ekspresi seolah tengah berpikir. Tapi, sejurus kemudian ia justru mengangkat bahunya sekilas.

"Nggak heran sih kalau aku jadi suka sama kamu."

Bahu Esy sepertinya tidak kembali ke posisi semula.

"Hah?"

Tentu saja Esy kaget. Bahkan saking kagetnya, ia melotot besar seolah ingin membuat bola matanya melompat keluar.

"Selamat pagi semuanya."

Suara Zidan membuat Esy tersentak. Ia mengerjap. Baru menyadari bahwa Zidan sudah masuk dan berdiri di depan kelas.

Waktu yang tepat. Setidaknya Esy bisa mengalihkan fokusnya pada Zidan dan materi yang akan dijelaskan.

Dasar gila. Emang nggak seharusnya aku duduk dekat Radit.

Sementara Radit, tentu saja ia merasa geli melihat Esy yang sontak salah tingkah. Dan ia mengambil kesempatan. Di sisa waktu yang ada sebelum kuliah benar-benar dibuka.

Radit sedikit beringsut. Tidak terlalu dekat, tapi lumayan untuk mengikis jarak antara dirinya dan Esy. Sehingga ia bisa berkata lirih dan yakin Esy bisa mendengarnya.

"Aku tunggu jawaban kamu."

*

Benar-benar gila!

Esy tidak bisa menahan umpatan itu menggema di benaknya. Tepat ketika matanya bersirobok dengan tatapan Radit. Di parkiran, ketika Esy mengira bahwa ia sudah berhasil melarikan diri dari cowok itu.

Setelah kelas Statistika berakhir, Esy buru-buru keluar dari kelas. Menuju ke toilet. Satu-satunya tempat paling aman yang ada di dunia.

Esy menunggu. Nyaris setengah jam lamanya. Dengan harapan Radit sudah pergi dan ternyata ia kecele.

Radit masih ada di kampus. Masih ada di parkiran. Tepatnya masih duduk di atas motornya dengan santai.

"Sy!"

Radit melambaikan tangan. Mengabaikan beberapa pasang mata yang ada di sana, ia tersenyum.

Ya Tuhan. Seumur hidup Esy memang sering menjadi pusat perhatian. Dan itu berkat tingkah lakunya bila berkaitan dengan Farrel. Bukan karena seorang cowok yang terang-terangan memanggil namanya dengan gestur manis seperti itu.

Ada gelagat asing yang tentu saja dengan cepat disambar oleh mata para mahasiswa. Yang merasa heran dengan satu kemungkinan. Bahwa Radit sedari tadi menunggu Esy.

Dan di antara mereka yang merasa heran, ada Laura yang lantas menghampiri Radit. Mahasiswi Agribisnis yang kerap diajak makan siang oleh cowok itu.

"Dit, kamu udah selesai kuliahnya? Kita makan siang gimana?"

Tangan Radit bergerak memberikan penolakannya. Seiring dengan bangkitnya ia dari atas motor. Tanpa mengalihkan matanya dari Esy, Radit berkata pada Laura.

"Aku mau makan siang bareng Esy."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top