(33) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 2

"Farrel."

Suara lesu Esy membuat Farrel tertegun. Tangannya yang semula ingin menarik ritsleting koper, berhenti seketika.

Farrel menoleh. Melihat pada Esy yang melihat padanya dengan tatapan sedih.

Kala itu Esy datang ke kos Farrel. Hanya demi memastikan bahwa Farrel benar-benar sedang berkemas. Farrel akan pulang ke Bengkulu tanpa dirinya. Ia akan menikmati libur dua bulan dengan liburan yang sesungguhnya. Sementara Esy? Ia akan berjuang demi menaklukkan Statistika.

"Kamu beneran mau balik?" tanya Esy dengan suara yang semakin lesu. "Balik beneran?"

Farrel menarik ritsleting kopernya. Bangkit berdiri dan ia mengangguk.

"Iya."

Mata Esy tampak sedih. "Kamu nggak mau tinggal di sini aja?"

"Ngapain?" tanya Farrel. "Selama dua bulan di sini, aku mau ngapain? Masa aku bengong aja di kos?"

Esy memutar otak. Berpikir dengan cepat. Hanya demi menemukan satu alasan saja.

"Kamu bisa ngajarin aku Statistika, Rel. Atau kamu bisa nemenin aku belanja."

Farrel memejamkan mata dengan dramatis. "Ya Tuhan, Sy. Seenggaknya cari alasan yang berbobot coba."

Mulut Esy terkatup. Kali ini ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya bisa membuang napas panjang.

Farrel meninggalkan kopernya. Ia beranjak dan duduk. Melihat Esy seperti itu, mau tak mau ia pun merasa iba pula.

"Ya udah sih, Sy. Ikuti aja omongan aku. Kamu pulang bareng aku. Nggak usah ambil KAS."

Kali ini mulut Esy bukan hanya mengatup. Alih-alih cemberut.

"Kamu beneran nggak mau sekelas sama aku ya? Senang kalau lihat aku nggak bisa ambil Rancangan Percobaan semester depan?"

"Nggak gitu, Sy. Tapi ...."

Farrel tidak meneruskan perkataannya. Alih-alih berdecak sekilas.

"Terserah deh kamu mau ngapain. Mau ambil KAS, mau liburan, atau mau apa, semuanya di tangan kamu."

Esy makin manyun. "Tapi, kamu mau pulang."

"Ya iyalah. Kan liburan dibuat biar mahasiswa bisa pulang."

Lama-lama membahas topik yang sama untuk kesekian kalinya, Farrel merasa kesal juga. Sudah seminggu lamanya dan setiap ia bertemu Esy, maka hal itulah yang menjadi pembicaraan mereka. Dan hasilnya tetap sama. Esy bersikeras tetap mengambil KAS dengan harapan Farrel pun tidak pulang liburan.

"Jadi gimana?"

Esy mengerjap sekali. Samar, tapi tatapannya terangkat. Terarah pada Farrel dengan sorot putus asa.

"Kamu beneran mau ambil KAS?" tanya Farrel dengan irama hasutan. "Atau mau pulang dengan aku?"

*

Itu jelas adalah pilihan yang amat berat. Hingga membuat Esy tak berdaya. Ia berguling-guling di kasur dan menyadari sesuatu. Bahwa seumur hidup, baru kali ini ia dihadapkan pada pilihan yang amat membingungkan.

Ambil KAS atau pulang?

Pulang atau ambil KAS?

Esy meremas rambutnya. Stres dan frustrasi.

"Aaargh!"

Di satu sisi, tentu saja Esy ingin menikmati liburan. Setelah menghadapi kehidupan perkuliahan selama dua semester, libur tentu adalah godaan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Terlebih lagi kalau liburannya dengan Farrel.

Tapi, kalau aku libur, artinya aku benar-benar nggak bisa sekelas sama Farrel untuk Rancangan Percobaan besok.

Esy menggeram. Kembali meremas rambutnya.

"Pak Zidan tega banget sih? Sama anaknya sendiri coba. Pak Zidan nggak punya perasaan. Persis kayak kata orang-orang."

Gosip seputar dosen memang akan selalu mewarnai kehidupan perkuliahan. Dan untuk Esy sendiri, setidaknya ada dua nama yang benar-benar menjadi momok. Yang nahasnya kedua momok tersebut sudah ia temui di semester dua.

Adalah Zidan dan Emi. Dua orang dosen yang membuat para mahasiswa yakin. Bahwa mempersulit mahasiswa akan berdampak pada susahnya jodoh.

"Jangan sampe deh Pak Zidan dan Bu Emi jodoh," ujar Esy meringis. "Khawatir anaknya ntar jadi dosen yang lebih sadis lagi."

Namun, setidaknya Esy masih beruntung. Nilai Botaninya selamat walau dengan nilai yang tidak terlalu membanggakan. Hanya C+. Nyaris gagal mengingat nilai ujian akhirnya dengan Emi yang sangat anjlok. Beruntung sekali nilai dari Nathan bisa menutupinya.

Hanya saja keberuntungan itu tidak berlaku di Statistika. Karena cuma itu satu-satunya alasan mengapa pagi itu Esy menghadap Zidan di ruangannya.

"Jadi kamu mau ambil Statistika di KAS?"

Wajah Esy cenderung menunduk. "Iya, Pak."

Zidan menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Untuk beberapa saat, ia tidak berkata apa-apa untuk keinginan mahasiswa bimbingannya tersebut.

Pena di tangan Zidan bergerak dalam ketukan samar. Matanya menatap lembar pengajuan rencana studi antar semester. Esy sudah menandatanganinya.

"Baiklah kalau begitu."

Esy membuang napas lega. Bersyukur karena Zidan menyetujui permohonannya. Terlebih lagi karena tak butuh waktu lama bagi Esy untuk mendapatkan tanda tangan Zidan di lembar pengajuan tersebut.

"Saya akan menyetujui pengajuan online kamu," ujar Zidan seraya menyerahkan kembali lembar pengajuan itu pada Esy. "Tapi, saya harap kamu benar-benar memanfaatkan kesempatan kali ini."

Senyum di wajah Esy yang sempat mekar lantara tanda tangan Zidan, sirna seketika. Esy tertegun ketika mendapati Zidan yang melihatnya dengan amat serius.

"Saya tau kamu pasti nggak mau ketinggalan Rancangan Percobaan semester depan. Dan kalau kamu berniat untuk tamat tepat waktu, itu artinya kamu harus lulus kali ini."

Entah mengapa, tapi ketakutan itu tiba-tiba saja hadir. Membuat bayang-bayang menyeramkan memenuhi benaknya.

Gimana kalau aku gagal lagi? Gimana kalau aku nggak lulus lagi?

Namun, bukan Esy namanya bila membiarkan pikiran negatif itu berlama-lama mempengaruhinya. Karena sejurus kemudian ia mengangguk dengan penuh tekad.

"Baik, Pak."

Walau tentu saja Zidan tidak yakin sepenuhnya. Lantaran di awal semester dua dulu Esy pun menunjukkan tekad yang serupa.

Zidan mengakui tekad dan semangat Esy. Tapi, masalahnya bukan hanya itu yang dibutuhkan. Alih-alih ketekunan dan niat yang benar-benar bulat. Karena bagi seseorang yang nyaris gagal di Matematika, Statistika tentu bukanlah hal yang gampang.

Keluar dari ruangan Zidan sekitar sepuluh menit kemudian, Esy membuang napas panjang. Tak langsung beranjak dari sana, ia termenung melihat lembar pengajuan di tangannya.

Esy sudah mengambil keputusannya. Ia tidak akan mundur. Dan itu artinya selama dua bulan ini ia tidak akan bertemu dengan Farrel.

"Hati-hati di jalan, Rel."

Sore itu Esy berpesan pada Farrel dengan wajah tertunduk. Sepuluh jarinya saling meremas satu sama lain. Karena melepaskan kepergian Farrel tentulah bukan hal yang mudah untuk Esy.

Farrel menghela napas panjang. Masih ada waktu satu setengah jam lagi sebelum jadwal penerbangannya.

"Argh!"

Farrel mengacak rambut hitamnya sekilas seraya menggeram. Sontak membuat Esy mengangkat kepala dan melihat gusar di wajah Farrel.

"Kenapa?" tanya Esy.

Menggeleng, Farrel berdecak. "Nggak apa-apa," jawabnya ketus. Ia melihat ke satu titik dan menunjuk. "Mau makan bentar nggak?"

Tanpa berpikir, tentu saja Esy mengangguk.

"Mau."

Memang itu tidak akan cukup mengobati kehampaan Esy selama dua bulan ke depan. Tapi, setidaknya ada sedikit pelipur lara yang ia dapatkan.

Esy makan dengan lahap. Persis seperti biasanya. Tanpa menyadari bahwa kala itu Farrel justru tidak benar-benar menikmati makanannya.

Hingga ketika Esy sadar bahwa Farrel melihatnya saja sedari tadi maka kunyahannya pun melambat. Tangannya yang semula ingin mengambil potongan ayam pun sontak berhenti.

"K-kenapa?" tanya Esy dengan pipi yang menggembung. Ia mengusap mulutnya. "Aku makannya berantakan ya?"

Mata Farrel berkedip sekali. Tapi, ia menggeleng.

"Jangan sering begadang. Selama aku pulang, kamu jangan sampe telat makan," ujar Farrel mengingatkan. "Jangan sakit."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top