(32) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 1

"Farrel."

Esy merasa pandangannya gelap. Dunianya gulita. Benar-benar seperti kiamat telah terjadi.

"Aku salah lihat kan?"

Farrel membuang napas panjang. Tak berdaya, ia mengembalikan ponsel Esy. Di mana pada layarnya sedang menampilkan laman portal akademik. Dan adalah angka 3,23 yang tertera di sana.

Itu adalah indeks prestasi Esy semester dua. Tinggi dan mengalami peningkatan bukan? Oh, tentu saja. Tapi, sayangnya ekspresi syok Esy tidak berhubungan dengan tingginya IP yang ia dapat.

"Sy."

Farrel buru-buru meraih tangan Esy. Tidak bermaksud berlebihan, tapi siapa yang bisa menebak bahwa Esy tidak akan pingsan? Dengan tubuh yang gemetar dan bibir yang memucat, tentu saja kekhawatiran Farrel amat mendasar.

"Duduk dulu, Sy," ajak Farrel.

Esy tak menolak. Ia duduk dengan pundak yang terjatuh. Sekujur tubuhnya mendadak lemas tak bertenaga.

"P-padahal aku udah belajar mati-matian, Rel," lirih Esy dengan suara bergetar. "T-tapi, gimana bisa?"

Farrel tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kalau soal belajar mati-matian, tentulah Farrel orang pertama yang akan membenarkannya. Bahkan setelah sebulan berlalu dari ujian akhir semester, tapi sisa bengkak di mata Esy masih tertinggal. Samar memang. Hanya saja memang masih ada.

"Gimana bisa Statistika aku dapat D?"

Sungguh kenyataan buruk yang tak bisa Esy terima. Ketika IP-nya mengalami peningkatan, mengapa justru satu mata kuliah itu harus gagal?

"Kenapa aku bisa dapat D, Rel? Kenapa bisa? Aku udah belajar mati-matian, tapi kenapa aku masih dapat D?"

Bertubi-tubi pertanyaan itu Esy layangkan, tapi tak ada satu pun yang bisa Farrel jawab. Cowok itu pun bingung. Walau tentu saja ia bisa menyadari faktanya. Bahwa beberapa kali Esy memang mendapat nilai buruk untuk mata kuliah itu. Entah tugas ataupun ujian.

"Terus aku harus gimana, Rel?" tanya Esy kemudian seraya meremas tangan Farrel. Ia menatap cowok itu dengan sorot kesedihan yang tak mampu ditahan.

"Ya ..."

Farrel balas menatap Esy. Kabut sudah mulai membayang di matanya. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Selain jujur menjawab pertanyaan Esy?

"... itu artinya kamu harus ngulang Statistika tahun depan."

Remasan Esy mengendur. Farrel melirik pada jari-jari lentik itu. Layaknya kehilangan kekuatan, jemari Esy melepaskan tangannya.

"K-kalau aku ngulang Statistika tahun depan ..."

Esy meneguk ludah. Pucat di bibirnya semakin menjadi-jadi. Tatkala kemungkinan mengerikan itu muncul di benaknya, Esy pikir nyawanya telah hilang.

"... itu artinya aku nggak bisa sekelas sama kamu untuk Rancangan Percobaan semester depan."

Tentu saja. Sebagai mata kuliah prasyarat, itulah hukum mutlak yang harus Esy lalui. Ia tidak bisa mengambil mata kuliah Rancangan Percobaan ketika Statistika tidak lulus. Dan bagi Esy, tidak ada hal yang lebih mengerikan ketimbang tidak bisa mengambil mata kuliah yang sama dengan Farrel.

"Tidaaak!"

*

"Sy."

"Esy sayang."

"Esy kesayangan Mama, Papa, dan Mas Bara. Jangan sedih gitu dong."

Esy bergeming. Membiarkan ponselnya untuk tetap tersambung dalam panggilan video, ia yang tak bersemangat hanya bisa merebahkan kepala di bantal. Dan hal itu tentu membuat keluarganya menjadi khawatir.

"Tapi, IP kamu bagus, Sayang," kata Dhian. "Wah! Mama bangga sama kamu. Seumur hidup Mama nggak pernah loh ambil 25 SKS. K-kalau kamu gimana, Bara? Kamu pernah ambil 25 SKS?"

Bara menggeleng. "Mana pernah, Ma. 23 SKS aja udah buat aku pusing. Apalagi kalau 25 SKS?"

"Bara aja nggak sanggup. Tapi, ternyata Esy sanggup. Mana nilainya bagus. Papa benar-benar bangga dengan kamu, Sy."

Esy tidak peduli. Entah sebanyak apa pujian dan bujukan yang dilontarkan oleh keluarganya, nyatanya semua itu percuma.

"Esy."

Kali ini Dhian memanggil Esy dengan suara lirih. Dengan nada yang terdengar berbeda hingga membuat Esy mengerjap. Tanpa mengubah posisi kepalanya di bantal, mata melirik pada layar ponsel.

Agaknya baik Dhian, Nadiem, atau Bara sama mengerti. Bahwa sebanyak apa pujian dan bujukan yang mereka lakukan, semua itu tidak berguna. Karena pada dasarnya yang diinginkan oleh Esy hanya satu. Dan mereka semua tahu apa itu.

"Mama tau kamu sedih karena nggak bisa sekelas sama Farrel. Tapi, kan cuma satu mata kuliah itu, Sayang."

Nadiem pun mengangguk. Membenarkan perkataan Dhian.

"Lagipula kamu sudah berusaha. Jadi kamu jangan sedih. Kamu sudah mencoba sebisa kamu, Sy. Dan kehidupan memang seperti itu. Kadang yang kita mau nggak bisa kita dapatkan."

Apa yang dikatakan oleh Nadiem memang benar. Bahkan sejujurnya Esy pun menyadari hal tersebut. Tapi, bukan berarti kesadaran itu bisa meredam kesedihannya.

"A-aku nggak bisa sekelas sama Farrel, Pa. Kalau aku nggak belajar, aku bisa terima. Tapi, aku kan udah belajar."

Bola mata Nadiem membesar. Dhian pun spontan memukul tangan suaminya itu. Mendelik seolah tengah berkata.

Orang sedih itu jangan dinasehati. Tapi, dibujuk dulu. Kalau udah nggak sedih, baru deh dinasehati.

Nadiem hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Semua sudah terlambat. Dan ia bisa menerka. Dalam waktu dekat, isakan Esy pasti akan meledak.

"Sy! Bentar. Kayaknya kamu masih ada kesempatan!" seru Bara kemudian. Sedetik sebelum isakan Esy meledak.

Esy mengerjap. Walau matanya sudah berkabut, tapi perkataan Bara sukses membuat air matanya urung jatuh.

"K-kesempatan?" tanya Esy bingung. "Maksudnya, Mas?"

"Kuliah antar semester. Ada yang nyebut KAS. Ada yang nyebut SP alias semester pendek. Apa pun itu istilahnya, tapi biasanya tiap kampus mengadakan ini setiap peralihan tahun ajaran."

Informasi Bara dengan amat ampuh membuat Esy bangun seketika. Ia menyambar ponsel. Memegang benda itu tepat di depan wajah.

"Kuliah antar semester? Semester pendek? Maksudnya ... selama libur panjang ini adal perkuliahan, Mas?"

Bara mengangguk. "Iya. Libur dua bulan itu biasa dimanfaatkan kampus untuk buka kuliah antar semester. Dan mata kuliah yang ditawarkan pun lebih fleksibel. Entah mata kuliah semester ganjil atau genap bisa diadakan semuanya. Sesuai dengan permintaan mahasiswa dan kesediaan dosen yang bersangkutan."

Penjelasan panjang lebar yang Bara berikan sukses menghapus kabut di mata Esy. Hanya dalam hitungan detik yang amat singkat, sorot putus asa di sana menghilang seketika. Tergantikan oleh kobaran api penuh semangat.

"Aku masih ada kesempatan."

Pun bukan hanya Esy yang kembali muncul semangatnya. Dhian dan Nadiem pun merasa lega dengan informasi yang diberikan oleh Bara. Dalam hati mereka pun tak henti-hentinya mengucapkan syukur.

"Aku masih ada kesempatan. Aku masih bisa ngambil Rancangan Percobaan. Aku masih bisa sekelas sama Farrel."

Wajah Esy seketika berbinar-binar. Tampak cemerlang dengan harapan baru. Dan tentunya ia tidak akan lupa pada Bara.

"Mas," ujar Esy dengan tersenyum lebar. "Makasih!"

*

"Kamu nggak serius kan, Sy?"

Farrel yakin ada yang salah dengan Esy? Bagaimana bisa ia mengambil keputusan hanya dalam satu malam yang singkat?"

"M-maksud aku ..."

Farrel menarik napas dalam-dalam. Sepertinya ia mendadak kekurangan oksigen. Dan itu semua berkat apa yang Esy katakan padanya.

"... kamu baru berhenti berhubungan dengan Statistika sekitar sebulan yang lalu. Dan sekarang kamu bilang mau ambil KAS? Mau langsung ngulang Statistika?"

Esy mengangguk dengan penuh irama. Tekad yang menguar dari dirinya benar-benar tidak bisa diremehkan.

"Iya," jawab Esy tanpa ragu sama sekali. "Aku bakal ngulang Statistika di KAS."

Farrel syok. Tidak bisa berkata apa-apa. Karena menurut sudut pandang Farrel akan lebih bijak bila Esy beristirahat sebentar.

"Sy, kayaknya kamu nggak usah ambil KAS deh. Aku bukannya nggak mau sekelas sama kamu di Rancangan Percobaan. Tapi, kamu perlu istirahat."

Esy menggeleng dengan penuh irama. "Aku udah cukup istirahat kok sebulan ini."

"Bukan istirahat itu maksud aku," ujar Farrel putus asa. "Tapi, otak kamu juga harus dikasih jeda. Kamu---"

Tangan Esy terangkat satu. Tepat di depan wajah Farrel. Mengisyaratkan pada cowok itu untuk berhenti bicara. Lalu Esy menepuk pelan kepalanya sendiri.

"Otak aku udah terlatih kok. Kamu tenang aja."

Farrel membuka mulut. Ingin bicara, tapi pada akhirnya ia menyerah. Ia sadar bahwa tak ada gunanya ia mendebat keputusan Esy.

"Jadi kamu serius mau ambil KAS?" tanya Farrel sekali lagi. Ia ingin memastikan untuk yang terakhir kali.

Esy mengangguk. "Serius."

"Baiklah," ujar Farrel seraya membuang napas panjang. Ia tak bisa berbuat apa-apa. "Itu artinya kamu tetap di sini kan?"

Mata Esy mengerjap. Bingung dengan pertanyaan Farrel.

"Kamu tetap di sini untuk ikut KAS," lanjut Farrel. "Sementara aku bakal balik untuk liburan."

Wajah Esy seketika berubah.

Ya Tuhan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top