(30) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 15
"Farrel."
Suara lesu Esy terdengar begitu lirih. Tapi, ajaibnya masih bisa menyentuh indra pendengaran Farrel. Cowok itu yang tengah berkutat dengan arit di tangannya, berpaling.
Esy berdiri di pinggir petakan Farrel. Menatap cowok itu dengan lesu pula.
"Aku rasanya lemes banget."
Farrel sontak berdiri. Mengabaikan tanaman kacang hijau yang harus ia cabut dari tanah, ia menghampiri Esy.
"Kamu sakit?"
Esy menggeleng. "Nggak. Badan aku nggak panas," ujarnya seraya memegang dahi. "Tuh kan. Beneran nggak panas."
Farrel mengelap satu tangannya di baju. Menyingkirkan butiran tanah dan kotoran lainnya.
"Coba sini."
Esy maju selangkah. Membiarkan Farrel untuk meraba dahinya dan cowok itu mengangguk.
"Iya. Kamu nggak demam."
Esy manyun. "Kan udah dibilangin."
Namun, dengan wajah selesu itu tentu saja membuat Farrel berpikir sebaliknya. Hingga ia melihat ke atas sana. Pada langit biru yang amat bersih. Tanpa ada awan sedikit pun. Dan matahari bersinar dengan amat cerah. Terkesan terik dan menyengat.
Farrel pun berkesimpulan. "Pasti gara-gara hari ini panas."
"Kayaknya."
"Kamu bawa minum kan? Banyakin minum," kata Farrel. "Kalau kurang, di tas aku ada."
Esy hanya mengangguk. Ia tidak kekurangan air minum. Bahkan demi panen Dasar-Dasar Agronomi hari itu, ia sudah membawa lima botol air minum sekaligus.
"Dan pake terus topinya," tambah Farrel seraya melihat pada topi pantai lebar berpita yang menutupi kepala Esy.
Kembali, Esy hanya mengangguk. Sebelum akhirnya ia menunjuk dengan arit di tangannya.
"Aku pergi dulu. Sebelum Radit ngomel-ngomel."
Kali ini adalah Farrel yang mengangguk. Dan ketika Esy pergi, ia tak langsung melanjutkan pekerjaannya kembali. Alih-alih melihat cewek itu. Perasaannya tak enak.
Dia baik-baik aja kan?
Mempertanyakan hal tersebut di benaknya, Farrel kembali melihat ke langit. Lantas ia merasakan keringatnya melintas di punggung. Sungguh! Hari itu benar-benar amat panas.
"Rel."
Dira menghampiri Farrel. Cowok itu berpaling dengan salah tingkah.
"Sorry," ucap Farrel. "Kita lanjutin panennya sekarang. Biar cepat selesai."
Acara panen pada praktikum Dasar-Dasar Agronomi tentu saja bukan kegiatan panen pada umumnya. Tidak hanya mengambil buah atau bagian konsumtifnya, alih-alih satu tanaman akan dipanen secara keseluruhan hingga ke akar-akarnya. Dikarenakan akan ada pengukuran lengkap yang dilakukan selanjutnya. Entah itu luas daun, panjang akar, atau massa total tanaman.
Maka bisa dikatakan bahwa Farrel dan Dira cukup beruntung. Karena komoditi mereka adalah kacang hijau. Lumayan mudah untuk ditangani ketimbang tanaman jagung. Dan nahasnya, itulah komoditi Esy dan Radit.
"Ya Tuhan. Kapan lagi cowok cakep disuruh blusukan di kebun jagung begini?"
Radit menggerutu seraya melindungi wajahnya ketika ia masuk ke petakan. Ia mengumpat dalam hati. Seharusnya ia membawa kain atau semacamnya untuk menutup muka. Baju lengan panjang saja tidak cukup.
"Mana bareng cewek cantik lagi kan?"
Celetukan itu membuat Radit menoleh ke belakang. Pandangannya sedikit terhalang batang jagung. Tapi, ia masih bisa melihatnya dan ia tertawa.
"Sy, ya ampun. Tiap lihat kamu pake topi pantai itu," ujar Radit di sela-sela tawanya. "Aku beneran geli."
Esy mengabaikan komentar Radit untuk topi pantainya. Alih-alih ia mengatakan hal sebaliknya.
"Aku panen yang di sini aja ya? Jagungnya nggak terlalu tinggi."
Radit kembali tergelak. Ia bisa membayangkan apa yang terjadi bila Esy pun turut menyelinap di antara pohon-pohon jagung itu. Tentu saja, ia akan tenggelam.
"Hahahaha. Iya," ujar Radit. "Kamu urus yang di sana aja. Yang bagian sini, biar aku."
Esy tersenyum tipis pada Radit. Dalam hati ia bersyukur. Setidaknya di hari yang panas itu Radit tidak mengajaknya untuk berdebat.
Bukan tanpa alasan. Radit pun pasti merasa berdosa kalau menyuruh Esy untuk mengurus pohon jagung yang jelas lebih tinggi daripada dirinya. Terlebih lagi ketika Radit menyadari sesuatu.
Dia belakangan ini kok lemas terus ya? Apa dia sakit?
Menurut Radit, aneh. Melihat Esy tidak ceria seperti biasanya itu adalah hal yang aneh. Karena bukankah Esy dan keriuhan adalah satu paket?
Bagi Esy sendiri, ia pun juga ingin penuh semangat seperti biasanya. Tapi, setelah hari di mana Bella memberi tahu dirinya soal Dira, tubuhnya terasa lesu. Hari berganti dan ia tetap merasa tak bersemangat. Apalagi sekarang.
Esy berusaha untuk tetap kuat ketika mengayunkan arit di tangannya. Mencungkil tanah dengan hati-hati demi menghindari kerusakan pada perakaran jagung.
Pohon jagung goyah. Esy segera berdiri. Dan lantas ia merasakan tubuhnya ikut-ikutan goyah.
Esy mengerjap. Kakinya gemetar. Lantas ia merasa ada sesuatu yang mengalir dari hidungnya.
"Esy!"
Suara Farrel meledak di udara. Membuat semua orang di sana berpaling pada satu titik. Begitu pula dengan Radit yang segera keluar dari rimbunnya pohon jagung. Dan ia dapati Farrel yang telah berdiri menghampiri Esy. Memegang tangan cewek itu.
"K-kayaknya ada gempa, Rel."
Tentu saja bukan gempa. Farrel melihat dengan jelas ada darah yang keluar dari hidung Esy.
"Kamu mimisan."
Esy mengerjap. Tubuhnya terasa dingin sekarang. Seperti tenaga perlahan meninggalkan dirinya. Ia pun berpegang pada Farrel.
"Kenapa?"
"Esy kenapa?"
Tak butuh waktu lama, orang-orang pun menghampiri mereka. Tak terkecuali Abid dan Ryan yang sebagai asisten dosen bertugas untuk mengawasi panen hari Sabtu itu.
"Dia mimisan, Kak," jawab Farrel. "Ini pasti karena hari ini panas."
"Kalau gitu buruan bawa Esy istirahat dulu," kata Abid.
Ryan merogoh saku celananya. "Atau mau ke klinik? Aku bawa mobil."
Esy buru-buru menggeleng. Berusaha menutup hidungnya dengan tisu yang tak pernah alpa hadir di saku celananya.
"Aku istirahat di leb aja bentar."
Farrel ingin mendebat. Tapi, ketika ia merasakan tubuh Esy gemetar, ia pun segera memutuskan.
"Kami ke leb aja dulu, Kak."
Abid dan Ryan berdiskusi singkat.
"Aku ikut mereka. Khawatir ntar kalau ada apa-apa," kata Ryan.
Abid mengangguk. "Oke. Ntar kalau misalnya parah, langsung bawa ke klinik aja. Yang di sini biar aku yang ngurus."
Ryan segera menyusul Esy dan Farrel. Sesampainya di Gedung Jurusan, Ryan bergegas membuka pintu laboratorium. Langsung menuju ke ruang administrasi laboratorium dan menyilakan kedua juniornya untuk duduk.
Ketika Ryan mengambil segelas air untuk Esy, Farrel menarik tisu lebih banyak lagi. Menukar tisu yang telah penuh darah itu dengan yang baru. Pun tak lupa melepas topi pantai dari kepala Esy.
Esy menyandarkan kepala ke kursi. Memejamkan mata dan menahan tisu di hidungnya.
"Apa kita nggak ke klinik aja, Sy?" tanya Farrel dengan suara sarat khawatir. "Kamu udah lama nggak mimisan."
Esy masih memejamkan mata. Ia menggeleng.
"Nggak. Ini paling cuma bentar aja. Paling berapa menit lagi mimisannya selesai."
Dari yang sudah-sudah, memang seperti itu. Biasanya mimisan Esy akan berhenti dalam hitungan menit. Dan selama ini, hal tersebut bukanlah hal yang berbahaya.
Letih dan kepanasan. Setahu Farrel, itulah penyebab mengapa Esy terkadang mengalami mimisan. Dan nahasnya hari ini adalah Esy harus praktikum di saat matahari tengah terik-teriknya.
"Tapi, ntar kalau kamu juga masih merasa lemas," ujar Farrel seraya menarik tisu lagi. Hanya saja bukan untuk menahan mimisan Esy, alih-alih untuk mengelap keringat di dahinya. "Kita langsung ke klinik aja."
"Oke. Kalian bilang aja kalau mau ke klinik. Aku antar," kata Ryan mengangguk.
"Nggak," ujar Esy. "Aku istirahat aja di sini, Rel."
Farrel menatap Esy tak yakin. "Kamu kelihatan pucat, Sy."
"Bener kata Farrel, Sy," imbuh Ryan.
Esy menggeleng samar. "Pucatnya paling bentar aja, Rel. Ini juga kayaknya darahnya udah berhenti keluar."
"Coba aku lihat."
Farrel menarik tisu dari hidung Esy. Ada sedikit jejak darah yang mengering di sana. Tapi, yang dikatakan Esy memang benar.
"Nggak keluar lagi kan?" tanya Esy.
Berat hati, Farrel mengangguk. "Iya."
"Wah! Syukurlah," kesiap Ryan lega. "Berhenti juga mimisannya."
"Kalau gitu, kamu istirahat aja. Nggak usah mikir panen. Biar Radit yang ngurus," kata Farrel.
Untuk hal itu, Ryan pun sependapat.
"Bener kata Farrel. Kamu istirahat di sini aja, Sy."
Esy tersenyum. "Makasih, Rel."
Farrel mengangguk tipis. Tidak mengatakan apa-apa selain memastikan Esy telah membaik. Dan kelegaan membayang di wajahnya. Sesuatu yang berbeda jauh dengan apa yang dirasakan oleh Ryan.
Mata Ryan menyipit. Bersedekap dan menatap bergantian pada dua orang juniornya itu. Mulutnya mengatup rapat dan dalam hati ia mengumpat.
Aku kurang besar? Apa aku dianggap makhluk astral? Gimana bisa dari tadi aku ngomong, tapi mereka cuekin? Wah wah wah!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top