(3) Di satu hari yang cerah. Di satu sekolah menengah pertama.
"Farrel!"
Esy celingak-celinguk. Melihat sekeliling kelas, tapi ia tidak mendapati keberadaan Farrel.
"Farrel!"
Tidak memedulikan murid di kelas itu, Esy masuk. Mencoba mencari Farrel dengan lebih saksama. Tapi, nyatanya cowok yang sudah berusia tiga belas tahun seminggu yang lalu itu benar-benar tidak ada di kelasnya.
"Kamu nyari Farrel?"
Esy menoleh. Ada seorang teman Farrel menghampirinya. Ia tidak mengenal cowok itu, tapi untungnya ada nama dada di seragamnya.
"Iya," angguk Esy. "Kamu tau Farrel ke mana, Bob?"
Namanya adalah Bobby Setiawan. Salah satu siswa dari kelas 8.1 dan merupakan teman Farrel yang sudah hapal dengan kebiasaan Esy.
"Tadi ada Nadia ke sini. Terus mereka ngobrol bentar. Sekarang kayaknya ...."
Esy mengerutkan dahinya. Kakinya melangkah. Mengikis jarak antara dirinya dan Bobby dengan mata yang menyipit. Menatap Bobby dengan sorot penasaran.
"Kayaknya?"
Bobby tampak berpikir sejenak. Ada sekilas keraguan di wajahnya. Tapi, pada akhirnya ia menjawab.
"Kayaknya Nadia ngajak Farrel ke taman belakang."
Wajah Esy seketika berubah. Ia diam. Tapi, Bobby berani bersumpah. Mata Esy seperti mengeluarkan laser yang bisa mengiris tubuhnya.
Bobby meneguk ludah. "K-kamu dengar gosip itu?"
Sekarang wajah Esy mengeras. Mulutnya mengatup rapat dengan geraman yang menggema di tenggorokannya.
"Dia mau nembak Farrel?"
Bobby mengerjap. Berusaha untuk tetap bernapas ketika aura mencekam serasa menguar dari tubuh Esy.
"Berani-beraninya dia mau nembak Farrel," geram Esy sambil mengepalkan kedua tangannya dengan erat di sisi tubuh. "Nggak akan aku biarkan."
Bobby tersentak. Tiba-tiba Esy langsung beranjak. Berjalan dengan buru-buru hingga menyenggol tubuhnya. Nyaris membuat Bobby terjatuh.
"Wah!"
Bobby geleng-geleng kepala. Mengusap dadanya yang mendadak berdebar parah. Perpaduan antara takut dan syok.
"Pasti bakal ada perang dunia ketiga ini mah."
Kekhawatiran Bobby tentu saja bukan kekhawatiran tanpa dasar. Karena bila melihat ekspresi wajah Esy, perang dunia ketiga sebenarnya masih tergolong remeh. Mungkin sebenarnya kiamat yang sebentar lagi akan terjadi.
"Farrel!"
Persis seperti bunyi terompet sangkakala. Yang ketika pecah di udara maka dua pasang mata itu langsung beralih pada si pemilik suara.
Farrel kaget. "Esy?"
Esy mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Berang ketika melihat ekspresi malu-malu yang sempat tercetak di wajah Nadia. Tepat sebelum ia menyerukan nama Farrel dan sekarang bukan lagi ekspresi malu-malu yang ada di sana. Alih-alih sebaliknya.
Nadia memucat. Sorot tajam mata Esy membuat ia gemetaran.
"Kamu ngapain di sini?"
Esy mendekati Farrel dengan langkah cepat. Ia langsung menyambar tangan Farrel. Memegangnya dengan kuat.
"Kamu nggak tau kalau di sini banyak nyamuk? Nanti kalau kamu kena malaria gimana?"
Farrel membuang napas panjang. Sekilas, bola matanya berputar dengan malas. Ia berusaha melepaskan genggaman Esy, tapi cewek itu bersikeras.
"Dan kamu ..."
Suara Farrel terdengar malas ketika bicara. Begitu juga dengan caranya ketika melihat pada Esy.
"... ngapain di sini juga?"
Bibir Esy tampak cemberut. Tapi, sesekali terasa berkedut ketika ia melirik Nadia dan bisa melihat ketidaksukaan dari cewek itu.
"Aku nyari kamu!" tukas Esy.
Farrel hanya mengangguk-angguk. Itu jawaban yang jujur. Lagipula Esy memang akan selalu mencari dirinya.
"Ayo! Sekarang kita ke kantin. Istirahat bukannya jajan, ngapain kamu malah di taman yang banyak nyamuk gini?"
Esy menarik tangan Farrel. Sama sekali tidak peduli ketika bola mata Nadia membesar. Jelas merasa tidak suka dengan tindakan Esy.
"Sy."
Farrel bergeming di tempatnya berdiri. Bahkan ketika Esy berusaha sekuat tenaga untuk mengajaknya pergi dari sana, ia tetap tidak bergerak.
"Aku dan Nadia lagi ngomong."
Jantung Esy seperti tidak berdetak lagi di dalam sana. Untuk beberapa detik, Esy terdiam. Mulutnya membuka, tapi tidak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan.
"F-Farrel."
"Jadi ..."
Farrel melepaskan genggaman Esy. Membuat Esy memucat sementara Nadia semringah.
"... bisa kamu pergi dulu? Aku dan Nadia masih ada urusan."
Tidak bisa. Tentu saja tidak bisa. Tapi, jangankan untuk menolak, bahkan sekarang Esy hanya bisa membeku. Ia merasa tubuhnya mendingin seketika. Seolah dirinya tak lagi bernyawa. Bahkan udara seperti enggan masuk ke paru-parunya.
"F-Farrel."
Farrel membuang napas panjang. Tanpa dijawab, ia tentu sudah tau apa jawaban yang akan Esy berikan. Maka dari itu ia beralih pada Nadia.
"Kita ke sana aja."
Farrel beranjak. Memberikan isyarat untuk Nadia agar mengikutinya. Mereka pergi. Membiarkan Esy seorang diri yang seperti tak bisa bergerak lagi.
Butuh beberapa detik bagi Esy untuk bisa mendapatkan kekuatannya kembali. Dengan menguatkan hati, ia melangkah.
Namun, tentu saja bukan untuk menuruti perkataan Farrel. Alih-alih ia menyusul ke mana Farrel dan Nadia pergi.
"Aku minta maaf. Esy memang begitu orangnya."
Langkah kaki Esy berhenti seketika. Ia berpikir singkat dan memutuskan untuk bersembunyi saja di balik dinding. Memilih untuk menguping seraya menyiapkan hatinya.
"Nggak apa-apa, Rel."
Perut Esy mual seketika. Mendengar suara Nadia dan imajinasinya membayangkan cewek itu berbicara dengan sok pengertian membuat ia seperti ingin muntah saja.
"Jadi ... gimana? Aku bisa dapat jawaban sekarang kan?"
Kali ini bukan hanya mual, tapi Esy merasa seperti isi perutnya diobok-obok. Ia mendadak mulas. Dadanya terasa sesak. Dan rasa panas membuat ia mengerjap. Esy buru-buru mengusap matanya sebelum sesuatu di sana menetes dan membasahi pipinya.
"A-aku beneran suka kamu, Rel."
Esy menggigit bibir bawahnya. Ia sudah tidak tahan. Rasa sesak itu semakin menjadi-jadi.
L-lebih baik aku pergi dari sini.
Esy yakin dirinya akan benar-benar menangis. Dan ia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak nekat.
T-tapi, mungkin saja Farrel menolak Nadia.
Ada satu suara pengharapan yang menggema di benak Esy. Hal yang membuat langkah kakinya berhenti.
Nggak mungkin. Nadia cantik dan pintar. Mustahil Farrel nolak Nadia.
Secepat itu pengharapan tumbuh maka secepat itu pula pengharapan tersebut gugur. Pada akhirnya Esy memutuskan untuk benar-benar pergi.
Esy bertahan pada dinding yang dingin. Sama dingin dengan tubuhnya kala itu. Langkahnya terseret. Mencoba untuk secepatnya pergi.
"Maaf."
Kaki Esy berhenti melangkah. Ia bergeming. Bertanya di dalam hati.
Apa? Tadi Farrel bilang apa?
Esy pikir dirinya salah mendengar. Atau bisa saja rasa sedih yang teramat dalam membuat ia mengkhayalkan sesuatu yang ia harapkan.
"Tapi, aku nggak suka kamu."
Mata Esy mengerjap. Apa ia kembali salah mendengar?
"Jadi kita temenan saja."
"Farrel."
"Udah kan? Kalau gitu aku ke kantin dulu."
Bola mata Esy membesar. Suara langkah Farrel terdengar. Tapi, terlambat bagi Esy bila ia ingin bersembunyi atau pergi dari sana. Farrel lebih dulu menangkap keberadaannya.
"Esy?"
Perlahan. Pelan-pelan. Esy pun berbalik. Berusaha tersenyum dan menampilkan ekspresi pura-pura kaget.
"Loh, Rel? Kamu ada di sini? Ehm ... aku baru mau ke kantin. K-kita bareng yuk?"
Farrel menatap Esy tanpa kata-kata. Ia hanya geleng-geleng kepala. Tampak tak percaya, tapi sejurus kemudian ia malah meringis.
"Yah! Harusnya aku tau. Kamu nggak mungkin pergi begitu saja."
Esy mengerjapkan matanya berulang kali dengan cepat. Mengusap kedua tangannya satu sama lain, ia pun tau bahwa tak ada gunanya untuk berbohong. Ia sudah tertangkap basah.
"Maaf," lirih Esy pelan. "A-aku kan cuma mau tau aja dia dan kamu ngomongin apa."
Farrel berdecak. Memutuskan untuk tidak menanggapi perkataan Esy, ia pun melangkah.
"Farrel!"
Esy buru-buru menyusul Farrel. Kali ini wajah pucat dan takutnya menghilang sudah. Bahkan senyum kaku yang tadi menghiasi parasnya pun tak ada lagi. Berganti dengan ekspresi ceria dan senyum yang benar-benar menyenangkan.
"Tungguin!" seru Esy hingga ia berhasil menyusul Farrel. "Kamu mau jajan apa?"
"Jajan apa saja."
Esy mengangguk. "Kalau gitu biar aku traktir."
"Traktir?" tanya Farrel seraya melihat Esy di sebelahnya. "Dalam rangka?"
Pertanyaan itu membuat Esy tersenyum dengan lebih lebar lagi. Dan kali ini ia meraih tangan Farrel. Menggenggamnya kembali.
"Dalam rangka merayakan kebahagiaan yang baru aku dapatkan."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top