(29) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 14
Hai, ketemu lagi di bulan Oktober 2022. Dan ini jadwal aku selama sebulan ke depan ya :)
1. Farrel! "Setiap hari"
2. [Masih] Sekantor Tapi Menikah "Setiap hari"
Btw. Dua cerita itu update di pkl 18.00 WIB. Dan aku minta maaf kalau bulan ini cuma update dua cerita. Soalnya sekarang kerjaan aku merangkap banyak profesi. Hahahaha.
*
"Farrel?"
Suara Esy terdengar menyiratkan ketidakpercayaan. Terbukti dengan langkah kakinya yang lantas terhenti seketika.
"Dan Dira?"
Esy melihat bergantian ke kanan dan ke kiri. Pada Bella dan Mia. Kedua temannya itu mengangguk dengan kompak. Pun kompak pula ketika merengkuh masing-masing tangannya.
"Aku kan ikut pertemuan itu Minggu kemaren," ujar Bella memulai ceritanya. "Dan aku lihat sendiri. Dira itu bener-bener nempel sama Farrel."
Bola mata Esy seketika membesar. "Nempel?"
Bella mengangguk. "Iya. Nempel."
Bola mata Esy semakin membesar. "N-nempel kayak gini?" tanyanya seraya melirik tangan Bella yang merengkuh tangannya.
Wajah serius Bella seketika berganti wajah dengan cengiran.
"Ya nggak nempel kayak gini sih."
Esy membuang napas lega. Bola matanya kembali ke ukuran semula.
"Astaga, Bel. Kamu buat aku ketakutan aja sih."
Kali ini adalah Bella dan Mia yang membolakan mata. Tampaknya tak percaya dengan sikap Esy yang menunjukkan kelegaan.
"K-kok kamu lega gini sih, Sy?" tanya Mia tak mengerti. "Itu Dira kayaknya lagi deketin Farrel loh."
"Bener. Aku lihat sendiri. Dia kayak sengaja gitu cari cara biar selalu dekat Farrel. Nyari topik apa aja biar bisa ngobrol sama Farrel," tambah Bella menggebu.
Esy tersenyum. Mengangguk beberapa kali.
"Iya iya iya. Aku tau kok. Bahkan sebelum kalian tau ..." Esy kembali melihat bergantian pada kedua temannya itu. "... aku tuh udah tau duluan."
Bella dan Mia diam.
"Aku udah ngerasa dari kapan hari kalau dia kayaknya mau deketin Farrel. Tapi, aku udah nanya langsung ke Farrel kok."
Bella dan Mia kembali syok.
"A-apa?"
"K-kamu nanya langsung ke Farrel?"
Esy mengangguk. "Iya."
"Apa?" tanya Mia megap-megap. "Kamu nanya apa ke dia?"
Diawali dengan satu dehaman penuh irama, Esy mengulum senyum geli. Hingga kemudian barulah ia menjawab.
"Aku nanya ke Farrel apa dia suka sama Dira atau nggak."
Tangan Bella dan Mia lepas seketika dari tangan Esy. Seolah mereka mendadak kehilangan tenaga berkat kejujuran Esy yang satu itu.
"Ya Tuhan."
"Sumpah?"
Esy mengerjap polos. "Emang ada untungnya kalau aku bohong?"
Tentu saja tidak. Maka dari itu Mia beralih pada pertanyaan selanjutnya.
"Terus apa jawaban Farrel?"
Esy menoleh. Berpaling pada Mia dan menjawab. "Nggak."
Hening sejenak. Bella dan Mia bertukar pandang. Agaknya mereka berdua tengah bertelepati. Hingga keduanya berakhir pada kesimpulan yang membingungkan.
"Terus ..."
Suara Bella terdengar tak yakin.
"... kamu percaya gitu sama jawaban Farrel?"
Esy mengangguk tanpa ragu sama sekali. "Farrel nggak pernah bohongin aku selama ini."
Tidak termasuk dengan maksud tersembunyi Farrel ketika memilih masuk Pertanian. Kalau menurut Esy, itu berada di konteks yang berbeda.
"Dan ya," angguk Esy lagi. "Aku percaya dia."
Mia mengerutkan dahi. "Kok bisa?"
"Ya bisa dong. Aku itu udah kenal Farrel dari kecil. Dia itu anaknya baik, patuh orang tua, nggak pernah melawan, dan nggak pernah bohong."
Bella dan Mia memasang ekspresi masam ketika Esy memuji Farrel. Tidak merasa aneh, tapi tetap saja membuat mereka geleng-geleng kepala.
"Lagipula ..."
Esy menarik napas dalam-dalam.
"... aku yakin Farrel bakal jujur kalau semisalnya dia emang suka Dira. Karena pasti kan dia nggak mau kalau aku sampe merusak hubungan mereka?"
"Ah."
Bella dan Mia kompak melirih. Pemikiran Esy yang satu itu benar-benar masuk akal. Maka baik Bella atau Mia pun memutuskan untuk tidak memperpanjang topik itu. Walau yang sebaliknya justru terjadi pada Esy.
Selepas pembicaraan tersebut, Esy jadi termenung. Nyaris sepanjang hari. Lantaran di benaknya ada satu pertanyaan besar.
Kayaknya Dira benar-benar suka Farrel ya?
Esy sih yakin Farrel memang tidak memiliki perasaan pada Dira. Tapi, tetap saja. Melihat Dira berusaha mendekati Farrel membuat perasaannya tak enak. Dadanya terasa panas dan jantungnya berdetak dengan kesan yang tak nyaman sama sekali.
Tanpa sadar, hal tersebut berdampak pada ekspresi Esy. Sepanjang hari ia terlihat cemberut dan tak bersemangat seperti biasanya.
"Halo, Esy!"
Esy membuang napas dan melirik tanpa minat. Ketika kelas Ekologi Tanaman berakhir dan para mahasiswa mulai meninggalkan ruangan, Radit justru menghampiri Esy. Ia duduk di kursi yang kebetulan telah kosong. Tepat di sebelah Esy.
"Apa?"
Wajah penuh semangat Radit berubah seketika. Tergantikan ekspresi heran.
"Eh? Kamu kenapa, Sy?" tanya Radit seraya mengangkat satu tangannya. Menuju pada dahi Esy. "Kamu sakit?"
Esy menarik diri. Alhasil tangan Radit hanya menyentuh udara kosong.
"Kamu ini hobi banget sih megang-megang," gerutu Esy.
Radit cengar-cengir. "Kan nggak kena juga," ujarnya membela diri. "Tapi, aku serius deh. Kamu sakit?"
Esy menggeleng. Dengan lesu mulai merapikan bukunya. Memasukkan ke dalam tas sementara di sebelahnya, Farrel telah tuntas melakukan itu dari tadi.
"Aku nggak sakit. Aku sehat."
"Tapi, kamu kelihatan lesu," kata Radit.
Diam-diam, Farrel pun membenarkan perkataan Radit di dalam hati. Dari sepanjang perkuliahan tadi ia sudah mendapati keanehan Esy. Tidak seperti biasanya, cewek itu terkesan lebih pendiam hari itu.
"Mungkin aku cuma kurang makan," ujar Esy sekenanya. Ia membuang napas panjang.
"Wah! Kalau gitu, sini. Aku ajak kamu makan."
Radit berniat meraih tangan Esy. Tapi, cewek itu dengan gesit menarik tangannya. Matanya menyipit.
"Kamu ini hobi banget sih ngajak aku makan," gerutu Esy. "Aku nggak mau makan. Aku cuma balik ke kos. Mau istirahat."
"Oke deh."
Radit ikut-ikutan membuang napas panjang. Tampaknya ia tidak berniat untuk memaksa Esy. Mungkin karena wajah lesu cewek itu membuat ia tak tega juga.
"Kamu balik dan istirahat. Jangan sampe sakit. Apalagi karena Sabtu besok kita bakal panen loh."
Kepala Esy rasanya berdenyut ketika Radit membahas soal praktikum Dasar-Dasar Agronomi. Sepertinya ia semakin tidak bertenaga.
Esy bangkit. Bersamaan dengan Farrel yang turut berdiri dari duduknya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Radit, Esy pun melangkah. Bersama dengan Farrel di sebelahnya.
Menuju parkiran, Farrel berulang kali melirik pada Esy. Walau pada dasarnya ia tidak suka ketika Esy riuh, tapi melihat cewek itu dalam keadaan tak bersemangat juga bukanlah hal yang bagus untuk Farrel.
Farrel menyerahkan helm pada Esy. Seraya bertanya.
"Kamu hari ini kenapa?"
Esy berusaha melepas pengait helm, tapi gagal. Hingga Farrel pun turun tangan. Pun turut membantu hingga helm terpasang di kepala Esy.
"Aku cuma lemes aja, Rel."
"Lemes? Lemes kenapa?" tanya Farrel. "Kamu nggak sakit. Kamu juga nggak magh. Tadi pagi kamu juga sarapan. Terus?"
Esy membuang napas dengan lesu. Berusaha mengumpulkan tenaga, ia memaksa diri untuk mengangkat wajah. Demi bisa melihat wajah Farrel.
"Aku lemes gara-gara kamu."
Farrel mengerutkan dahi. "Gara-gara aku?"
"Iya. Gara-gara kamu," angguk Esy. "Gara-gara kamu yang cakep. Gara-gara kamu yang baik hati. Gara-gara kamu yang pinter."
Farrel tidak bisa mengatakan apa-apa. Mulutnya hanya bisa membuka tanpa bisa bersuara.
"Menurut kamu ..."
Kaki Esy bergerak. Maju selangkah. Mengikis jarak antara dirinya dan Farrel.
"... aku masih ada kesempatan nggak buat jadi pacar kamu?"
*
bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top